Chapter 25

Ethan tidak masuk kelas tambahan lagi hari itu.

Kepalaku sibuk melongok ke sana ke mari pada tiap pergantian jam di sepanjang koridor. Aku tahu seharusnya aku tidak perlu repot-repot melakukannya, toh lokernya persis di sebelah lokerku. Tetapi aku tidak melihat rambut Bettencourt-nya di manapun. Aku cukup yakin dia tipe yang peduli setan dengan pendapat orang, maka rasanya mustahil jika alasannya adalah karena lebam-lebam di wajahnya. Jadi mau berapa lama dia mendekam di kamarnya?

Aku mengetuk pintu dan mendatangi meja Mr. Dodson siang itu seusai kelas tambahannya. Dia tak tampak terkejut melihatku mendatanginya ketika sedang membereskan kertas-kertas.

"Ada yang bisa kubantu, Ms. Madison?"

"Sir, saya hanya ingin tahu keadaan Ethan." kataku, tenggorokanku mendadak terasa begitu kering, "Ini sudah tiga hari, apakah sekolah melarangnya masuk?"

"Dia tidak dihukum, Chloe... jika itu maksudmu." ujar Mr. Dodson sembari memijat dahinya, meninggalkan sikap formalnya. "Dia hanya sedang... dalam tahap menjernihkan pikiran. Dia menginap di tempat ibunya."

Aku tak menangkap maksud Mr. Dodson, "Menginap... di tempat ibunya?"

Mr. Dodson mengangkat alis tinggi sekali padaku, "Apakah Ethan tidak pernah memberitahumu bahwa aku dan ibunya bercerai?"

"Oh." Tenggorokanku semakin kering, "Tidak. Maafkan saya, Sir."

Mr. Dodson mendengus, "Kudengar dari Ethan kau sudah pernah bertemu Gina. Dia tinggal di belakang kantornya di Montane Park, jika kau kepingin tahu."

Murid-murid untuk kelas Mr. Dodson berikutnya sudah mulai memasuki ruangan. Aku jadi terpaksa mohon diri. Sebelum keluar kelas, Mr. Dodson berkata lagi.

"Oh, dan jika kau bertemu dengannya, bilang padanya dia sudah terlambat menyerahkan makalah Sejarah dan aku tidak akan memberinya keringanan sedikitpun."

Mau tak mau aku harus mengakui bahwa lega rasanya mengetahui Ethan tidak diskors. Fakta bahwa nyaris semua orang yang kukenal di sekolah memaklumi kemarahan Seth terhadap Ethan hingga mampu membuatnya babak belur—bahkan Seth juga tidak menerima teguran apapun dari para guru, salah satunya mungkin karena dia adalah murid teladan—membuatku agak... jengkel.

Dilihat dari segi manapun, Ethan sama sekali tidak bersalah atas kecelakaan tragis yang menimpa Chloe Winchester... kecuali bila menjadi motivasi CW menyeberangi jalan tanpa melihat kiri-kanan masuk dalam hitungan, dan bila melibatkan insiden tabrakan yang nyaris membuat kaki Seth cacat permanen. Dan itu, sejujurnya, hanyalah alasan-alasan subjektif yang digunakan untuk menyalahkannya.

Yang lebih penting lagi, aku lega tak seorangpun murid Redville di konser itu mengetahui penyebab persis mengapa Ethan mendadak memulai pemukulan malam itu. Asumsinya hanya karena Ethan sejak awal memang tukang cari perkara. Dalam hati aku agak bersyukur reputasi Ethan selama ini terkenal begitu. Karena jika orang-orang tahu apa yang terjadi sebenarnya, aku berani bertaruh gambaran Chloe Winchester di wajahku tak akan hilang dari benak mereka seumur hidup.

Sabtu pagi, aku mengendarai Nissan-ku ke St. Carollus. Seperti biasa, aku mengobrol dengan Suster Frida dan menemani Rose bermain. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa setengah dari motivasiku adalah bertemu dengan Ethan. Tetapi hari itu dia tidak datang. Dan menurut Suster Frida, itu pertama kalinya sepanjang sejarah Ethan membolos kunjungan rutinnya. Cowok itu dulu bahkan tetap datang saat lengannya dalam keadaan cedera akibat bermain basket. Dan melihat ekspresi kecewa Rose, simpati yang sempat kurasakan terhadapnya beberapa hari belakangan ini berubah menjadi rasa kesal.

Maka keesokan harinya aku bangun pagi-pagi buta. Tanpa membangunkan ayahku, aku mengenakan pakaian olahragaku, turun ke dapur untuk mengambil sebotol air putih dan meninggalkan pesan singkat di pintu kulkas, lalu berkendara ke satu-satunya tempat yang terpikirkan olehku.

Melalui peta yang kuambil dari papan petunjuk, kupelajari bahwa jalur lari Montane Park memiliki dua rute berbeda; satu adalah rute yang aku dan ayahku lewati tempo hari, satunya lagi adalah rute yang lebih jauh memasuki hutan, dan memutari gerbang depan kantor jaga pendakian.

Ya, tuntut saja aku.

Selama berlari aku hanya menjumpai satu-dua orang—kurasa jalur lari ini belum tenar di sekitar sini—dan apa yang kusukai dari tempat ini adalah aku bisa berlari sambil menikmati pemandangan. Karena Montane Park memang luar biasa indah, terutama karena memiliki sebuah area hutan yang didominasi pepohonan birch berbatang putih.

Setelah kira-kira dua puluh menit melalui jalur setapak di dalam hutan, pepohonan di sekelilingku tidak lagi serapat tadi. Aku melihat kantor jaga Montane Park dan gerbangnya di kejauhan. Aku keluar dari setapak dan kini berlari di jalan berkerikil lebar yang berderak saat kuinjak, agak sulit berlari di medan seperti ini pada awalnya, tetapi jika sudah agak terbiasa...

"...dengan es yang banyak. Akan lebih baik."

"Kecemasanmu nggak diperlukan."

Aku mengerem langkahku. Aku mendengar suara-suara yang tak asing. Posisiku saat ini berada di sisi kanan belakang sebuah rumah kayu yang berada persis di balik kantor jaga. Suara-suara itu asalnya dari arah teras depan rumah itu, yang tidak kelihatan dari tempatku berdiri sekarang. Aku berjalan pelan-pelan dan melongok sedikit ke bagian depan rumah.

Aku melihat Ethan sedang duduk—agak membelakangiku—di undakan teras, dan satu orang yang tidak kuduga akan berada di sana.

Seth.

Seth bersandar di pagar pembatas teras tak jauh di sebelah tempat Ethan duduk, juga agak membelakangiku. Cowok itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Ketika dia mengedarkan pandangan untuk menikmati pemandangan hutan, aku otomatis mundur dan merapatkan tubuhku ke dinding rumah, bersembunyi.

"Tapi serius, orang-orang di sekolah mulai menganggapmu cengeng. Ini sudah seminggu." Seth berkata lagi. Aku dapat mendengar Ethan mendengus.

"Aku membolos bukan karena luka-luka ini. Pukulanmu bahkan sama sekali nggak sakit."

"Tukang bual."

"Pulanglah." Ethan berkata, "Aku nggak butuh dijenguk."

Aku dapat mendengar kayu berkeriut saat Ethan bangkit dari undakan dan hendak berjalan masuk, namun kata-kata Seth berikutnya menghentikannya.

"Itu bukan salahmu."

Selama beberapa saat tidak ada yang bersuara. Aku menajamkan pendengaran. Apa? Apa yang baru saja dikatakan Seth?

"Apa?" Ethan menyuarakan pertanyaanku.

"Bukan salahmu kakakku meninggal."

Aku bersandar ke dinding kantor yang dingin. Kata-kata itu. Aku hampir-hampir tak mempercayai pendengaranku sendiri. Aku tak percaya kata-kata itu keluar dari mulut Seth Winchester sendiri.

Akhirnya.

"Itu kecelakaan tragis. Dan kau bukan pembunuh." Seth berkata lagi, "Tetapi aku selamanya akan menyalahkan takdir karena mempertemukan Chloe denganmu sehingga menuntunnya pada kecelakaan itu."

Aku membuka mulut hendak memprotes, tetapi segera menyadari bahwa aku tidak berada dalam posisi yang berhak menyela percakapan keduanya, dan ngomong-ngomong aku juga sedang bersembunyi.

"Ibuku sama sekali nggak menganggap kau bertanggung jawab atas kematian Chloe." ujar Seth, "Tetapi ayahku... aku tahu suatu saat dia akan mengerti walaupun cukup sulit mengubah keyakinannya bahwa kau bersalah."

Dan nyaris seluruh penghuni Redville High, aku menimpali dalam hati.

Aku tidak mendengar Ethan berkomentar. Mungkin dia terlalu takjub dengan perkataan Seth. Atau murni karena gengsinya yang terlalu tinggi untuk sekadar mengucapkan 'terima kasih'.

"Dan sepertinya seisi sekolah sekarang juga semakin membencimu..." Seth menambahkan, "...kecuali mungkin satu orang. Maddy-mu."

Aku tertegun.

"Dia memberitahuku bahwa kalian hanya pacaran bohongan untuk memancingku. Karena wajah dan namanya." kata Seth, kemudian dia tertawa. "Sama sekali nggak seperti Ethan Dodson yang kukenal. Itu hanya alasanmu pada awalnya, mungkin."

Lantai terasnya berkeriut lagi, "Itu memang tujuanku. Kau hanya sok tahu."

Seth mendengus, "Dan kau meninjuku karena mencium 'pacar bohonganmu'? Ayolah, Ethan... kalau kau mau bersandiwara, paling nggak lakukan dengan lebih baik."

Selama beberapa saat, tidak ada suara. Yang terdengar hanyalah desir dedaunan di puncak-puncak pohon dan denting bel di atas pintu rumah yang tertiup angin.

"Dia menyukaimu." Ethan membuka suara.

"Nggak." Seth berujar, "Nggak seperti dia menyukaimu."

Ethan hanya terkekeh skeptis.

"Dia tahu kau mendekatinya karena dia mengingatkanmu akan mantan pacarmu." kata Seth, "Dia tahu kau menggunakannya tetapi dia tetap mengikuti permainanmu. Dia berada di pihakmu di saat semua orang tampaknya sebaliknya. Dan aku melihat tatapannya saat dia memandangi mejamu di kantin selama kau nggak masuk. Ayolah, apa lagi namanya?"

Entah sejak kapan aku sudah beralih dari berdiri ke berjongkok, menutupi separuh wajahku, dan benar-benar berharap dapat menenggelamkan diri saat ini juga.

"Chloe menyukaimu." Seth menegaskan, membuatku semakin kepingin menghilang dari tempat itu, "Tidakkah kau berpikir dia yang paling berhak mengetahui isi hatimu?"

Lagi-lagi tidak ada sahutan dari Ethan. Kemudian suara derak kerikil memberitahuku bahwa Seth tengah berjalan.

"Aku mengajak Chloe ke prom, sebagai teman." katanya pada Ethan, "Hanya jika kau ingin tahu."

Tidak ada sahutan. Lalu derak kerikil itu semakin menjauh. Aku dapat mendengar bunyi lantai kayu berkeriut lagi dan suara pintu ditutup. Aku merosot sejadi-jadinya. Kakiku kesemutan dan wajahku panas. Entah bagaimana aku harus menghadapi hari Senin nanti, atau apakah aku sanggup menghadapinya.

🍁

Bersiap untuk Senin yang canggung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top