Chapter 24

Ingat ketika aku bilang di Redville tidak ada taman kota yang cukup oke untuk berlari?

Well, sepertinya aku salah.

Karena aku merasakan ujung kakiku diguncang-guncang seseorang pagi itu, ketika aku masih setengah sadar dengan separuh bagian wajah yang menempel nyaman di bantalku. Aku mendongak ogah-ogahan, lesu dan mengantuk, dan aku melihat siluet ayahku berdiri di kaki tempat tidur. Dia sudah berpakaian lengkap. Dan yang mengherankan, itu pakaian olahraganya. Kaus lengan panjang, celana training, dan sepatu lari.

"Dad?" tanyaku serak sembari mengerjap-ngerjapkan kedua mataku yang terasa lengket.

"Aku menemukan tempat bagus." katanya dengan nada bersemangat, "Ayo."

Aku melirik jam dindingku. Sekadar catatan, ini Rabu pagi. Pukul enam. Kelas tambahanku dimulai beberapa jam lagi dan aku berencana tidur beberapa puluh menit lagi demi kesehatan mental.

Karena... yah, karena banyak yang terjadi.

Tetapi toh aku menurutinya—karena iming-iming 'tempat bagus' itu, dan rasa penasaran mengalahkan rasa malas—dan aku cukup menghargai Dad karena membiarkanku tertidur dalam pakaian lariku sementara dia menyopiri kami menuju suatu tempat. Aku terkejut saat dia mengguncang bahuku tak sampai lima belas menit kemudian, terbangun di suatu tempat yang tidak terlalu asing.

"Kita sampai." Ayahku membuka pintu mobil dan mendahuluiku keluar. Aku mengikutinya. Aku menatap sekelilingku. Pepohonan aspen putih. Jalanan berkerikil. Aku tahu tempat ini.

"Apakah ini Montane?" tebakku, mendapati ayahku merespon dengan mengangguk senang seraya menyerahkan tas pinggang berisi botol minumku. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku lagi. Ini memang Montane City Forest. Tetapi daerah ini berbeda dengan yang kuingat. Tidak ada gerbang 'Selamat Datang'. Juga tidak ada kantor tempat Gina Dodson bekerja. Hanya... sebuah parkiran kecil dengan jalan setapak menuju ke dalam hutan.

"Jangan bilang ini termasuk daerah dengan beruang berkeliaran yang tempo hari dibicarakan Ethan..."

"Tentu saja tidak!" ayahku menggosok-gosokkan telapak tangannya bersemangat seraya nyengir, seolah bangga terhadap dirinya sendiri, "Ini hanya berada di sisi lain dari gerbang masuk pendakian. Ini jalur lari. Dan ada papan petunjuknya." dia menunjuk sebuah papan kayu yang sempat luput dari perhatianku. Papan itu dilengkapi gambar Montane Park serta map gratis untuk diambil di sebuah kotak plastik yang tersedia. Aku mengambil selembar untuk kubawa sebagai panduan, tetapi Dad bersikeras tak membutuhkannya karena dia sudah beberapa kali berlari menggunakan jalur yang tertulis di situ.

Setelah melakukan pemanasan sekitar lima menit, kami mulai berjalan memasuki setapak kecil yang diberi papan arahan dengan tulisan 'Jalur Pejalan Kaki', dan Dad mulai berlari. Aku membiarkannya beberapa meter di depanku sebelum mulai mempercepat langkahku dan mengikutinya berlari.

Langit di atas kami masih abu-abu pucat dan hawa di sekitar sini sangat sejuk, aku merapatkan jaketku dan bergidik. Dad berseru padaku tentang betapa 'otentik'nya tempat itu dan bagaimana enaknya aroma hutan di pagi hari, juga pemandangannya yang benar-benar luar biasa. Aku tak bisa tak setuju. Aku dikelilingi aspen-aspen berbatang putih, dengan aroma rumput dan kayu menyeruak ke hidungku ketika kami memasuki wilayah hutan, dan aku menghirupnya dalam-dalam. Jalur larinya tidak begitu lebar, sehingga kami tidak bisa berlari berdampingan dan aku harus menyelaraskan kecepatanku dengan kecepatan lari Dad untuk menjaga agar tetap berada di belakangnya dan kami tak saling bertabrakan. Yang menyenangkan adalah, tanahnya solid dan kering, cocok untuk berlari.

Sehelai daun menjatuhi kepalaku. Aku mendongak, mengamati puncak-puncak pepohonan yang mulai diwarnai semburat-semburat kuning. Seketika ingatanku langsung melayang pada percakapan itu.

"Waktu terbaik adalah penghujung musim panas."

"Segera." aku menggumamkan kata itu ke udara, teringat bagaimana kami mengucapkan kata itu bersamaan. Segera. Bisakah kami melakukannya? Gambaran hilir dari perairan itu begitu menyisakan kesan. Bisakah kami segera menemukannya sebelum musim gugur datang?

Karena Ethan tidak muncul di sekolah beberapa hari ini. Insiden keributan di konser itu menyebar di Redville High secepat kedipan mata. Dinilai dari sikap Mr. Dodson yang mendadak tak terlalu banyak bicara saat mengajar di kelas dan kemurungan Ted Kyle serta teman-temannya, aku tahu mereka juga berada dalam posisi sama denganku.

Seth, sebaliknya, mendadak semakin populer—melebihi popularitasnya yang biasa—dan menerima semakin banyak tepukan-tepukan di punggung, ucapan-ucapan menyemangati, dan sikap-sikap mendukung dari seantero sekolah. Tentu saja Redville mengingat Chloe Winchester sama kuatnya dengan Seth, dan itu membuat mereka menyambut positif reaksi Seth. Ditambah, Ethan yang kabarnya menyerang duluan. Pokoknya begitulah.

Dan setiap kali aku tak sengaja memandang meja kosong dekat pintu keluar darurat kantin di jam-jam istirahat, aku tak bisa mencegah diriku merasakan buncahan simpati yang memenuhi rongga dadaku terhadap Ethan Dodson. Bagaimana selama ini dia menyalahkan dirinya karena dia-lah Si Tersangka. Si Antagonis. Si Bersalah Yang Pantas Untuk Dipukul.

Leanna selalu menyadari tatapan-tatapan menerawangku ke arah meja Ethan, dan aku tahu dia paham. Dan aku sangat menghargai sikapnya dengan tidak mengatakan apapun kepada Chuck atau Seth. Karena Chuck pasti akan langsung menghakimiku, dan Seth...

Well, sesungguhnya aku tidak tahu bagaimana Seth akan bereaksi.

Tetapi aku tahu, aku tahu Seth tidak bangga atas tindakannya di konser malam itu. Dan walaupun kami sudah dapat bercakap-cakap normal seperti sebelumnya, keadaannya tidak lagi sama bagi kami. Dan setiap kali seseorang mengangkat topik mengenai apa yang terjadi di konser, air mukanya berubah muram.

"Chloe, ke sini dan lihatlah!"

Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku dan mengerem lariku. Aku melihat Dad berada di luar jalur lari, berdiri di area yang sedikit lebih terang dibanding yang lain. Aku menghampirinya, sementara pria itu menunjuk ke arah satu titik di kejauhan. Aku tiba di sampingnya dan menyadari kami berada di semacam area terbuka tanpa pohon, di pinggir bagian hutan yang melandai naik dan semakin berbukit. Semakin ke atas, barulah pepohonan kembali memenuhi pandangan. Lalu aku melihat apa yang ditunjuk ayahku. Di kejauhan, aku melihat kilauan yang terpantul dari gemericik air dari sela-sela batang-batang putih pepohonan birch, agak tertutupi semak bila dilihat dari sudut pandang kami saat ini.

"Itukah..."

"Ya. Itu pasti hulu dari perairan yang kita temukan tempo hari." Dad mendesah kagum. Dia kemudian berdecak, "Kapan rencananya kau dan Ethan akan ke sana?"

"A-apa?"

Dad menyadari gerak-gerik canggungku. Dia hanya melirikku sekilas, namun kata-katanya berikutnya sungguh mengena.

"Kalian baik-baik saja?"

Aku terdiam sejenak, "Apa?"

Dia menghela napas, aku memperhatikan Dad mengeluarkan botol minum dari tas pinggang kecilnya, "Kau dan Ethan. Kudengar dari Lee dia terlibat semacam perkelahian kecil dengan teman cowokmu yang mengendarai Porsche... siapa namanya?"

"Seth." sahutku, sembari mengingatkan diriku untuk tak meminjami lagi Leanna esai Sejarahku karena sudah cerita-cerita pada Dad soal ini, "Seth Winchester."

"Yeah, dia." Dad mengangguk, "Apa yang terjadi?"

"Well..." aku kebingungan harus bagaimana menjelaskannya, "...sebetulnya, mereka memiliki semacam... masalah di masa lalu yang belum terselesaikan."

Dad mencibir menanggapi penjelasanku yang tidak memuaskan, "Klise. Dan kudengar dari Lee, cowokmu yang memulai pertengkaran duluan."

"Pertama-tama, Dad, izinkan aku meluruskan satu hal." kataku, "Ethan bukan pacarku."

Sebagai reaksi, Dad hanya menatapku dengan kedua alis terangkat tinggi. Aku benci jika ditatap seperti itu olehnya. Itu tatapan yang sama seperti ketika dia menghadapi Claire yang suatu hari merengek minta dibelikan boots Vivienne Westwood dengan harga yang tak masuk diakal, "Bukan?"

"Bukan." tegasku.

Dad menurunkan alisnya, tetapi sebagai gantinya, dia mengernyit, "Kalian putus?"

"Bukan seperti itu. Dia..." aku kesulitan mencari kata-kata yang tepat, "...uh, kami hanya berpura-pura."

"Berpura-pura...?" ulang Dad, "Untuk apa?"

"Untuk memancing emosi Seth."

"Apa Seth menyukaimu?"

"Well, tidak, dia..." aku menghela napas keras, "...dia menganggapku mirip kakaknya yang sudah meninggal. Dan kakaknya dulu pacaran dengan Ethan. Dan sialnya, Ethan sepertinya juga menganggapku mirip mantan pacarnya. Dan kebetulannya lagi, nama kami sama."

Dad menatapku tak percaya, dan bersiul. "Wah, situasimu parah."

Aku mengangkat alis setuju, "Sangat."

"Jadi apa yang menyebabkan kau dan Ethan mengakhirinya?" tanya Dad lagi.

"Karena... entahlah, mungkin dia lelah berpura-pura?" jawabku asal. Aku bahkan tidak tahu apa yang diinginkan cowok itu, "Dan aku menolak dijadikan objek pembalasan dendam. Tepatnya, alat untuk memancing emosi Seth."

"Dan apa yang sebetulnya terjadi di antara mereka?"

Aku mulai merasa sedang diinterogasi, "Ethan yakin Seth mengganggapnya bersalah atas kematian Chloe Winchester, kakak perempuan Seth yang mirip denganku. Dan tampaknya Seth memang masih menyalahkannya. Padahal... itu murni kecelakaan. Ethan telah menerima kebencian yang tidak perlu."

"Maka dia berpikir lebih baik sekalian saja Seth menghajarnya." Dad berkesimpulan.

Aku mengangguk, "Yeah. Mungkin begitu."

Sesaat hening.

"Jadi pada dasarnya..." Dad tampak berpikir, "...dua bocah itu telah melibatkanmu pada sesuatu yang seharusnya... bukan urusanmu?"

Aku tersentak, kagum pada betapa cepatnya ayahku memahami masalah ini. Masalah yang kuhadapi sejak aku menginjakkan kaki di Redville High, sebenarnya.

"Nggak bisa lebih tepat lagi dari itu, Dad." aku mengakui berat hati.

Mungkin rasanya akan aneh bagi sebagian besar cewek tujuh belas tahun manapun untuk membicarakan masalah kehidupan sosial pribadinya dengan ayahnya. Tapi, tidak bagiku. Maksudku, aku dan Dad memang selalu membicarakan hal-hal yang bersifat umum sebelumnya. Belum pernah masalah pribadiku. Canggung, memang, tetapi sama sekali tidak aneh.

Dad mengajakku untuk kembali ke jalur lari. Kami meneruskan rute kami dengan santai sambil terus mengobrol. Aku heran sendiri pada diriku. Ketika aku menceritakan kisahku pada Lee, well... Lee memang pendengar yang baik, tetapi dia tak dapat mencegah dirinya untuk berada di pihak Seth. Bagaimanapun Seth juga sahabatnya. Sehingga aku tidak merasa cewek itu merasakan simpati terhadap Ethan, walaupun dia menghormati perasaanku.

Bercerita pada Dad, lain halnya. Dad menunjukkan sikap bahwa dia berada di pihak netral, dan aku menyukainya. Dia tidak berada di pihak Seth, Ethan, maupun diriku. Dia hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mengutarakan kesimpulan-kesimpulan masuk akal, tanpa menghakimi siapapun. Dan aku pikir dia luar biasa tenang menghadapi ini.

Aku tak bisa membohongi diriku bahwa aku sedikit mengharapkan melihatnya marah, bereaksi seperti ayah-ayah heroik dengan menyerukan sesuatu seperti, 'Aku akan menghajar siapapun yang mencoba menyakiti putriku' atau semacamnya... tetapi tidak. Dad, seperti yang selama ini kukenal, tetap kalem dan berkepala dingin.

Mungkin inilah salah satu alasan dia bisa tahan menghadapi Mom yang meledak-ledak. Dan sialnya temperamen Mom menurun pada Claire. Dan sedikit padaku, mungkin. Ketika aku mengutarakan pikiranku itu pada Dad dan sebagai respon, dia tertawa keras.

"Ibumu tidak seburuk itu, tahu." katanya dengan cengiran geli.

Aku mengangkat alis sangsi, "Materialistis, cerewet, temperamen, dan senantiasa kepingin tahu masalah orang lain. Mom dan Claire sangat mirip. Tetapi menakjubkannya, mereka berdua sama-sama populer, pirang, dan sangat cantik."

Dad tersenyum padaku, "Kau juga sangat cantik."

"Ha-ha." aku menanggapi perkataan ayahku sambil memutar bola mata.

"Itu bukan basa-basi." ujar Dad serius, "Sejujurnya, dibandingkan Claire, bagiku kau lebih mirip ibumu ketika dia masih seumuran denganmu. Well, apalagi kalian sekarang sama-sama pirang."

Aku mengerutkan dahi, "Apakah aku melakukan kesalahan dengan mengecat rambut cokelatku?"

Dad menggeleng, terkekeh. Kami melewati batang pohon yang roboh dimakan usia dan merintangi jalan, "Dulu kami sama-sama satu jurusan di kampus. Teknik Informatika. Dia murid kesayangan dosen karena nilai-nilai A-nya yang berderet."

Aku ternganga.

"Kau bercanda."

Ayahku menatapku bingung, "Mom tidak pernah memberitahumu?"

Aku tergagap, "Selama ini dia hanya bilang bisa bertemu denganmu karena kalian satu kampus. Aku nggak tahu dia mengambil Teknik Informatika!"

"Cantik dan otak encer. Banyak yang iri, banyak pula yang mengaguminya. Termasuk diriku, tentu." Dad terkekeh, pandangannya menerawang jauh seolah sedang mengingat masa-masa itu, "Sayangnya bakat menghitungnya nggak menurun padamu."

"Juga nggak pada Claire." sahutku membela diri, "Tapi... Mom? Teknik Informatika?"

"Kau bakal terkejut jika melihat koleksi buku-buku lamanya di gudang."

Aku menggeleng-geleng takjub, "Tetapi mengapa... selama ini kesan yang kudapat dari Mom nggak seperti yang kaugambarkan?"

Dad mendesah, "Nggak bisa ada dua kutu buku dalam satu rumah, Chloe. Selalu ada satu yang harus beradaptasi. Antara aku atau ibumu. Dan itu ibumu. Sejak mengandung dirimu, prioritasnya berubah. Dia jadi lebih bergaul dengan komunitas-komunitas ibu muda... dia panik karena tidak tahu apa-apa tentang bayi. Dia menyerap informasi apa saja, terutama yang menyangkut perkembanganmu. Sejak itulah dia jadi punya banyak teman.

"Ditambah, dulu dia tak punya banyak waktu untuk memanjakan dirinya. Dia harus bekerja di sela-sela kegiatan kuliahnya demi membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Karena itu, ketika sekarang dia memiliki cukup waktu untuk melakukannya, dia jadi gemar berbelanja."

Dad mengamati reaksiku. Aku tak mampu berkata-kata. Aku tak percaya selama ini aku selalu memandang Mom dengan sikap sinis, menganggapnya sebagai Claire versi lebih tua. Kami jarang mengobrol karena bagiku dia tidak memahamiku sebaik Dad.

Rasanya tidak adil.

"Apa yang kaupikirkan?" tanya Dad. Aku merasa tenggorokanku kering.

"Kurasa selama ini aku nggak memberi Mom kesempatan."

"Kalau begitu," Dad berkata seraya mengacak rambutku, "...berilah mulai sekarang."

Aku dan Dad kembali ke rumah hampir pukul delapan, mendapati Mom sedang membuat pancake di dapur. Dia melihat kami dalam pakaian olahraga dan tampak kaget.

"Kalian sudah menemukan tempat bagus?" tanyanya.

"Yeah." Dad mengecup kening ibuku, "Cukup bagus. Dan bebas beruang."

"Chloe?" Mom menatapku dengan tatapan was-was, "Ada apa? Kau sakit?"

Aku mengamati Mom dari atas ke bawah. Sosoknya masih terlihat cantik walaupun bulan depan dia sudah memasuki kepala empat. Rambut pirang bergelombangnya diikat agar tak mengganggu saat memasak. Di celemeknya ada sedikit noda tepung.

Aku mendapati diriku berjalan menghampiri Mom dengan langkah-langkah cepat, lalu memeluknya.

"Apa—" Mom kehilangan kata-kata. Walaupun kebingungan, dia meletakkan sodetnya ke atas konter dan balas memelukku, "Kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk tanpa sanggup berkata-kata, karena tenggorokanku sudah sangat sakit menahan luapan emosi yang sewaktu-waktu dapat tumpah.

"Billy..." Mom pasti sedang menatap ayahku dengan curiga, "Apa terjadi padanya?"

"Oh, entahlah, sedang PMS mungkin?" aku mendengar ayahku menyahut sambil mencomot sepotong pancake yang masih mengepul dari atas piring.

Kemudian aku mendengar Claire memasuki dapur, masih memakai piyama. Dia menatapku dan Mom bergantian dengan pandangan aneh, "Apa ini Hari Ibu?"

"Oh, bukan..." Dad melirikku dan memberi kedipan penuh arti, "Kurasa berolahraga setelah sekian lama membuat kami agak emosional."

Bagiku itu alasan terpayah yang bisa dikarangnya. Tetapi mengamati Dad dengan cara seperti ini, aku tahu aku membicarakan masalah pribadiku kepada orang yang tepat. 

🍁

#DadForPresident

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top