Chapter 23
Selama sisa akhir minggu setelah insiden di konser, aku menginap di rumah Leanna.
Aku meneleponnya sepulang dari rumah sakit Sabtu malam, dan dia langsung menawarkan diri untuk menjemputku di halte terdekat, tetapi aku menolak, karena aku tahu Chuck pasti masih bersama Leanna, dan aku tidak mau menjadi gangguan di saat-saat seperti ini. Chuck juga teman Seth, dan dia sekarang resmi membenci Ethan. Perlu usaha ekstra untuk mencegahnya menabrakkan mobil ke pekarangan rumah Ethan atau semacamnya.
Pokoknya, ketika aku tiba di rumah Leanna, hal pertama yang dikatakannya sambil meringis adalah, "Maafkan aku. Kalau aku yang pergi ke konser kemarin, kejadian ini pasti nggak bakal terjadi."
Mulanya kupikir aku akan banjir air mata atau semacamnya, tetapi ternyata mataku kering. Aku malah menanggapinya dengan cukup santai.
Dan aku segera disambut oleh keramahtamahan ibu Leanna—Mrs. Earl, atau Tina, begitu dia memintaku memanggilnya—yang sudah lama sekali tak bertemu denganku. Mr. Earl sudah meninggal sejak Leanna masih bayi, jadi kami berdua sama-sama tidak pernah mengenalnya.
Aku menceritakan semuanya pada Leanna sepanjang malam itu. Dia mendengarkanku dengan serius, tanpa menyela sekalipun. Entah sudah berapa lama kami tidak seperti ini. Aku ternyata merindukan teman transparanku. Bagaimana dulu kami seperti sepasang cewek aneh yang tak terpisahkan. Dan bagaimana tiba-tiba kepindahanku membuat segalanya berubah, tapi sekarang, ternyata kami masih sama seperti dulu, seperti tak pernah ada apa-apa.
Leanna menyopiriku ke rumah sakit Minggu siangnya, membawa sekantong popcorn karamel. Kami tiba di sana sekitar pukul sepuluh dan aku merasa lega karena tidak mendapati Ethan di manapun.
Seth tengah duduk membaca majalah di tempat tidurnya ketika aku dan Leanna masuk. Ruangan itu penuh oleh karangan bunga yang dikirimkan dari para pembesuk Seth. Mrs. Winchester—lagi-lagi dia bersikeras agar aku memanggilnya Nicole—mengupaskan apel untuk kami dan, tak sesuai dugaanku, terlihat ceria. Dia meminta kami menceritakan detail kejadian semalam, dan setelah selesai mendengarkannya, dia tampak tepekur sejenak.
"Oh, aku nyaris pingsan ketika menerima kabar itu semalam," dia menatap Seth dengan pandangan khas ibu manapun, cemas campur sayang, dan meneruskan, "Dan ketika kudengar penyebabnya adalah karena dia adu jotos dengan Ethan... entahlah. Aku kebingungan. Bagiku Ethan anak yang sangat baik. Aku bahkan tidak paham mengapa Will begitu menentang hubungannya dengan Chloe. Jika ini terkait soal kecelakaan kaki Seth dulu, teknisnya Seth dan Ethan sedang mabuk. Bukan hanya Ethan. Sejak awal tidak seharusnya mereka berdua naik mobil. Akibatnya Ethan jadi terus menyalahkan dirinya."
Aku dan Leanna saling berpandangan, menelan ludah. Sementara Seth terlihat luar biasa canggung.
"Maksudku, apa yang terjadi terhadap Chloe... maksudku anak perempuanku..." tambahnya seraya meletakkan apelnya di piring, "...memang tragis. Kecelakaan itu terjadi ketika dia hendak kabur ke rumah Ethan. Tetapi itu bukanlah kesalahan Ethan..."
Aku tak percaya betapa enteng dan terus terangnya Nicole membahas hal itu. Nampaknya Leanna juga merasakan hal yang sama denganku, karena dia hanya memandang Nicole takjub. Dia jelas juga memperkirakan suasana yang setidaknya lebih muram daripada saat ini.
"Mom, tolong... hentikan." Seth terlihat tak nyaman. Dia menghindari pandangan kami, "Aku tidak ingin membahasnya sekarang."
"Oh, kau harus!" Nicole kali ini menatap Seth dengan tegas, "Apa yang terjadi semalam adalah akibat dari emosimu terhadap Ethan yang tertahan sejak peristiwa itu. Dan sejak awal, seharusnya emosi itu tidak perlu ada. Kau tahu itu bukan kesalahan Ethan. Chloe tertabrak ketika dia berlari menyeberang tanpa menghiraukan lampu merah, ketika sedang menuju ke rumah Ethan."
Nicole menghapus air mata yang menjatuhi pipinya dengan ketenangan luar biasa, dan kembali meneruskan, "Jika bersikap objektif, itu murni kecelakaan yang terjadi karena kecerobohan Chloe sendiri, dan waktu yang buruk."
Suasana hening selama beberapa saat. Aku berada dalam tahap penyangkalan hingga aku berdoa bahwa apa yang sedang berlangsung di dalam ruangan ini hanyalah mimpi. Namun tidak. Ini sangat nyata.
Kemudian aku dan Leanna menyaksikan Nicole bangkit dari sofa untuk menghampiri Seth. Dia mengulurkan tangannya dan membelai kepala anak laki-lakinya itu dengan lembut.
"Butuh waktu bagiku untuk memahaminya. Bahwa kematian Chloe bukanlah salah siapapun. Bukan salahmu, bukan salahku, bukan salah pengemudi mobil di penyebrangan itu, dan bukan salah Ethan." kata wanita itu. Seth memandangi ibunya selama beberapa saat dalam diam. Kemudian dia menunduk. Nicole tersenyum, "Habiskan apelmu. Kau sedang butuh banyak vitamin."
Wanita itu meremas pundak Seth, kemudian berbalik pada kami seraya tersenyum lebar, "Akan kutinggalkan kalian supaya bisa mengobrol lebih leluasa. Oh... tapi," aku berani bertaruh dia sempat memandangku dan Seth bergantian selama sepersekian detik, "Lee, maukah kau membantuku membawakan bunga-bunga ini ke mobil kami? Aku tak percaya Seth tak pernah mengenalkanku pada penggemar-penggemarnya di sekolah..."
Leanna, yang merasa lega karena punya sesuatu untuk dilakukan, bangkit dari sebelahku dan membantu Nicole membawa karangan-karangan bunga untuk Seth yang diletakkan di meja samping ranjangnya, lalu menanggapi, "Oh, tahulah... bahkan dia sendiri tak pernah mengakuinya. Pada kami, dia bersikeras bahwa ketenarannya adalah karena semua orang terus menganggapnya sebagai Tuan Teladan, ditambah Ketua Murid. Bukan karena tampangnya yang imut-imut..."
Aku masih dapat mendengar jelas suara tawa Nicole yang membahana dari koridor luar ketika pintu kamar ditutup. Aku melirik Seth.
"Ibumu sangat ceria." aku menyeletuk. Jika salah satu dari kami tidak ada yang membuka suara dalam beberapa detik ke depan, aku bisa gila. "Kau dan ayahmu sangat beruntung."
Seth hanya memandangi piring apel di pangkuannya yang barusan diletakkan Nicole. Akhirnya setelah beberapa saat dia mendongak menatapku.
"Yeah." sahutnya, "Chloe..."
Aku balas memandanginya.
"Maafkan aku." katanya pelan.
"Ciuman itu..." ujarku tanpa ba-bi-bu, membuat setitik kegugupan melintas di wajah Seth, "...itukah yang kausesalkan?"
Aku menatapnya, namun Seth malah menunduk memandangi apelnya. Kalau saja aku bisa menyingkirkan piring apel itu jauh-jauh.
"Aku... sama sekali nggak memikirkan perasaanmu ketika melakukannya." ungkap Seth.
Aku tersenyum pahit, "Karena kau hanya ingin membuat Ethan jengkel?"
Seth tampak kehilangan kata-kata. Dia membuka-menutup mulutnya tanpa ada suara yang keluar. Aku menghela napas.
"Sejujurnya, aku nggak paham mengapa kau menganggap bahwa menciumku akan membuat Ethan kesal... karena dia bukan pacar betulanku. Kami hanya pura-pura. Itu hanya akting. Dia 'pacaran' denganku untuk membuatmu kesal karena aku ini mirip kakakmu dan dia pikir kau nggak akan rela kehilangan seorang 'kakak' lagi..."
...ditambah kebodohanku yang mendukung 'teater'nya, aku menambahkan dalam hati, merasa getir.
Aku bangkit dari sofa, berjalan ke dekat jendela dan melihat para pasien inap rumah sakit yang sedang berjalan-jalan di halaman belakang rumah sakit.
"Sepertinya aku tak akan pernah bisa menyingkirkan Chloe Winchester dari wajahku."
Bayangan wajah seseorang terpantul samar melalui kaca jendela di hadapanku. Aku melihat seorang gadis balas menatapku. Wajahnya biasa-biasa saja, tidak cantik juga tidak jelek. Rambutnya yang dipotong sebahu dicat pirang. Ada sehelai benang yang mencuat dari kerah sweater biru tua yang dikenakannya. Gadis itu tampak bingung. Dan bertanya-tanya. Apakah memang pernah ada seseorang yang begitu mirip dirinya, hingga menyebabkan dirinya terpaksa terlibat dalam sesuatu yang seharusnya tak pernah menjadi masalahnya?
Sebuah wajah lain mendadak muncul di sebelah bayangan si gadis, wajah lain yang lebih maskulin. Entah sejak kapan Seth sudah berdiri di belakangku. Aku tak sempat berbalik, karena tahu-tahu lengan-lengan cowok itu melingkari pinggangku, dia memelukku dari belakang.
"Detik pertama ketika aku melihatmu, kupikir aku sudah jadi gila." Seth membuka suara, "Kupikir aku melihat kakakku kembali... hidup. Dan aku nggak bisa mengabaikanmu. Aku begitu larut pada kekaguman akan kemiripan kalian hingga rasanya... rasanya melihatmu bersama Ethan begitu membuatku tertekan..."
Aku merasakan lengan-lengan Seth mendekapku semakin erat. Aku juga merasakan kepala Seth yang hangat dan berat di pundakku.
"Ethan benar." kata Seth lagi, "Aku nggak bisa menyingkirkan bayangan kakakku ketika melihatmu. Aku nggak sanggup melihat kakakku bersama Ethan... untuk yang kedua kalinya..."
"...dan ciuman itu seharusnya nggak pernah terjadi." sambungku, "Kau hanya putus asa."
Seth tak menjawab. Dia membenamkan wajahnya di bahuku. Lalu tiba-tiba, aku merasa bahuku basah.
"Seth...?"
Aku berusaha menoleh, namun karena Seth mendekapku begitu erat, aku tak bisa bergerak. Lalu aku mulai merasakan tubuh Seth berguncang. Aku tak bisa melihat wajahnya, namun aku cukup yakin dia tengah menangis.
"Seth..."
"Chloe..." ujar Seth parau, "...maafkan aku!"
Seperti yang selalu terjadi saat aku menghadapi Seth Winchester, aku luluh. Aku mengangkat lenganku dan membelai puncak kepalanya, "Hei... tenanglah."
"Kau seharusnya marah padaku!" Seth menggeram lagi dengan suara teredam sweater-ku.
Aku tersenyum dan mendengus.
"Kalian mengatakan hal yang serupa." kataku, "Kau dan Ethan."
Seth akhirnya mengangkat kepalanya dari pundakku. Aku berbalik dan memandang wajah Seth, matanya yang nanar dan pipinya yang basah oleh air mata.
"Aku memang marah." kataku padanya, "Tapi setelah menyaksikan cowok imut yang mengaku-ngaku sebagai adikku menangis di hadapanku, aku jadi nggak tega, kan."
Seth semakin gagal menahan emosinya. Aku tak peduli apa kata orang soal cowok yang menangis di hadapan cewek. Yang jelas, bagiku, aku lega melihatnya menangis. Bagiku, itu baik untuknya. Dalam dua hari ini, dia berhasil menumpahkan emosi yang dipendamnya sejak kematian kakaknya... walaupun itu berakibat dia harus bermalam di rumah sakit.
Dan dalam dua hari ini, dia juga berhasil menyadarkanku.
Bahwa perasaanku terhadapnya, ternyata, harus berakhir.
🍁
*sobs*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top