Chapter 20
Aku tidak pernah sebenci ini dengan hari Senin sebelumnya.
Bukan hanya karena aku terpaksa menghadiri kelas tambahan untuk persiapan ujian pada liburan musim panas pertamaku di Redville. Aku baru tahu masalah ini ketika liburan sudah dimulai, mendadak saja aku mendapat email notifikasi dari sekolah dan suasana hatiku jadi jelek sepanjang minggu. Salahkan nilai Matematikaku yang memprihatinkan.
Dan mood-ku bertambah jelek karena apa yang terjadi Jumat lalu.
Aku menutup lokerku dengan kekuatan berlebihan, hingga beberapa orang di sekitarku menoleh kaget. Betapa bersyukurnya aku karena tak harus melihat wajah menyebalkan seseorang sebelum kelas dimulai. Ranselku berdebum pelan ketika aku menggabrukkannya di meja paling pojok kelas, merasa jengkel sekaligus merana.
Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Ethan mencampakkanku di hutan. Kedengarannya mengerikan sekali bila kugambarkan seperti itu. Maksudku adalah ketika dia meninggalkanku di dekat perairan. Hadapi saja. Situasi dan gerak-geriknya sudah sangat mendukung. Tetapi dia malah meninggalkanku dengan segala omong kosong chemistry itu.
Lebih parahnya, setelah kami kembali dari hutan dan membawa setumpuk jamur, aku terjebak dalam skenario terburuk di mana aku masih harus menghadapi Ethan. Cowok itu mengantar kami pulang. Lalu kami bersama-sama membersihkan jamur-jamur hasil panen. Setelahnya, Mom mengundangnya makan siang bersama kami, menunya omelet jamur. Yang artinya aku harus menunjukkan hidung badutku di hadapan Ethan sepanjang siang itu. Ditambah, ketika Ethan sudah pulang, Dad menghampiriku dan berkata dengan nada serius yang mungkin dipikirnya bakal membuatku senang.
"Aku suka anak itu."
Kalau dipikir-pikir, akulah yang bodoh. Tidak seharusnya aku mengharapkan apapun dari Ethan Dodson. Dia hanya ingin memanfaatkanku! Dan apa pula alasanku untuk mengikuti permainannya? Aku memang sempat terpicu reaksi Seth di Swanton Shore waktu itu, tapi ayolah... siapapun bisa melihat bahwa akulah yang terlalu bodoh untuk mau saja dipermai—
"Bumi memanggil Chloe."
Aku tersentak dan mendapati kursi di sebelahku sudah diduduki makhluk setengah-malaikat... maksudku, Seth.
Dia hanya Seth.
Tunggu... Seth?!
"Pa-pagi!" sapaku geragapan. Seth tersenyum. Entah sudah berapa ratus kali aku melihat cowok itu tersenyum, namun tetap saja hatiku tak mampu membiasakan diri.
"Kau baik-baik saja?" tanya Seth seraya mengeluarkan buku catatannya, "Kau kelihatan siap menelan paus."
"Oh... ha-ha." aku tertawa salah tingkah, "Kau ikut kelas tambahan juga?"
"Oh..." Seth kelihatan malu-malu, "Kurasa belakangan ini konsentrasiku agak menurun dalam hal pelajaran karena... satu-dua hal."
Aku merasakan tenggorokanku tersumpal. Bagaimana bisa Seth bersikap senormal ini setelah kejadian itu? Apakah dia lupa?
"Jadi..." Seth tersenyum lagi, "Bagaimana hari-hari pertama menjadi pacar seorang Ethan Dodson?"
Tidak. Seth rupanya tidak lupa.
"Tentang itu..." aku membuka mulutku, hendak menumpahkan fakta bahwa aku sama sekali tidak berpacaran dengan Ethan. Si manusia brengsek menyebalkan yang meninggalkanku di tepi perairan. Bahwa segala tingkah konyolnya di Swanton waktu itu hanyalah akting untuk memancing amarah Seth. Dan hasil dari upayanya, seperti yang bisa kulihat saat ini, gagal total. Seth terlihat sangat tenang. Sangat santai. Dan sangat... ganteng.
"Kenapa?" tanya Seth sementara Mrs. MacMillan memasuki ruangan.
Aku terdiam.
"Bukan apa-apa."
Seth mengangkat alisnya tinggi.
"Oke."
Sepanjang hari ini aku tidak melihat batang hidung Ethan. Bahkan di kantin ketika jeda istirahat. Melegakan rasanya melewati satu hari di sekolah tanpa mata birunya mengawasiku sepeti laser. Mungkin karena otak encernya dia tidak diharuskan mengambil kelas tambahan. Lima belas menit sebelum bel pulang berbunyi, Mr. Dodson membagi-bagikan kertas ke seisi kelas.
"Formulir universitas." dia mengumumkan sementara Lee dan Chuck yang duduk di belakangku dan Seth menerima kertas mereka, "Ujian tinggal beberapa minggu lagi. Dan bagi kalian yang merasa perlu meningkatkan skor SAT—dan itu berarti kalian semua—" dia memandangi kami dengan tatapan tuntut-saja-aku, "...kelas pelatihan SAT akan diadakan mulai hari ini seusai kelas tambahan."
Seisi kelas mengerang, termasuk Seth. Tentu saja. Dia terlahir jenius sehingga tak perlu repot-repot mengikuti ekstra pelatihan SAT. Biar bagaimanapun, pengumuman Mr. Dodson seolah menyadarkanku bahwa aku sedang menjajaki tahun terakhirku di Redville High. Aku tak pernah membayangkan rasanya menjadi murid senior sebelumnya karena terlalu sibuk beradaptasi dengan sekolah-sekolahku yang dulu. Aku memandangi formulir di tanganku. Dad mungkin bangga dengan prestasiku yang hampir selalu baik—kecuali Matematika dan Fisika, tentu saja—tetapi aku tidak yakin aku sudah memikirkan universitas pilihanku secara serius.
Bel pulang kemudian berbunyi tak lama kemudian. Di tengah hiruk pikuk murid yang tak sabar meninggalkan kelas, Chuck—yang merasa sama sialnya seperti kami— mencondongkan badannya untuk berbisik kepadaku dan Seth.
"Tahukah kau apa yang terjadi di tahun terakhirmu selain sederet jadwal ujian memusingkan, SAT, dan bimbingan kuliah?"
Seth dan Chuck saling berpandangan dan nyengir.
"Prom." mereka berujar berbarengan.
"Oh, please." Leanna—juga terpaksa ikut karena nilai Matematikanya sama parahnya denganku—memutar bola mata, sementara Chuck kembali ke kursinya, "Kayak nggak ada kegiatan lain yang lebih bermutu saja."
Sudah lama aku tidak melihat Leanna Si Transparan.
"Ayolah..." Chuck memandangi Leanna memelas, "Aku nggak bisa melihat kostum apa yang kali ini bakal dikenakan Lucas Freewell si badut angkatan kalau kau nggak datang."
Leanna menatap Chuck aneh, "Kau datang saja. Ajak Claire atau siapa gitu untuk menemanimu..." lalu dia ganti menatapku, "Aku dan Chloe hanya akan menyewa DVD dan nonton semalam suntuk sambil ngemil keripik. Ya, nggak?"
Leanna melemparkan senyuman persekutuan padaku, namun aku tak membalasnya.
"Eh?" Leanna melotot, "Jangan bilang kau berencana pergi!"
"Well..." gumamku.
"Kau benci prom." putusnya semena-mena.
Aku mengangkat bahu, "Ini tahun terakhir kita, Lee."
Leanna mendengus dan menyandarkan diri ke kursi dengan sikap tak percaya, "Aku nggak tahu Ethan tipe yang bakal mengacak ceweknya ke prom. Dia nggak pernah datang ke acara sekolah apapun sebelumnya."
"Dia memang nggak mengajakku." ungkapku jujur.
Leanna menatapku seolah aku mendadak sinting, "Dengar, aku nggak tahu apakah selama aku nggak ada, kau berkeliaran di sekolah-sekolahmu yang dulu meyakini bahwa kau sanggup ke prom seorang diri..."
"Kau benar juga sih..." sahutku nelangsa.
"Lalu dengan siapa kau bakal pergi?" Chuck menanyaiku antusias.
"Denganku."
Aku, Leanna, dan Chuck menoleh memandang si sumber suara. Seth mengangkat satu alisnya padaku dengan tatapan penuh persekongkolan, "Nggak masalah kan, kalau Ethan nggak tahu kau pergi ke prom denganku?"
Chuck bersandar dan menghela napas, "Whoa. Kau bakal mematahkan jutaan hati cewek-cewek Redville High, dude." lalu dia ganti memandangku, "Dan kau bakal dicap cewek yang nggak konsisten."
Aku mengangkat alisku tinggi sekali.
"Kupikir kau benci aku pacaran dengan Ethan Dodson."
Entah mengapa aku mengatakannya. Teknisnya, aku kan tidak pacaran dengan Ethan. Mengapa aku malah menguatkannya?
"Memang." Chuck menggertakkan giginya, "Melihatnya saja saja sudah bikin jengkel."
"Sudahlah." Seth menengahi, "Jadi, kita semua pergi ke prom?"
Aku tak percaya aku nyaris mengabaikan fakta bahwa Seth Winchester, si Ketua Murid populer yang luar biasa imut ini mengajakku ke prom. Entah apakah Seth mengajakku sebagai teman kencan atau sebagai kakaknya, yang jelas, bayangan Seth mengenakan tuksedo dan dasi kupu-kupu sangatlah menjanjikan.
🍁
Malam harinya, aku sedang mengerjakan tugasku di dalam kamar ketika ponselku bergetar. Begitu melihat nama yang terpampang di layarnya, mood-ku langsung anjlok.
"Apa?" sahutku dingin. Aku hanya mendengar suara napas selama beberapa saat sebelum cowok itu balas menyahut sama dinginnya.
"Ke mana saja kau?"
Aku mengernyit.
"Kau nggak datang Sabtu kemarin." Ethan melanjutkan, "Rose menunggumu."
Aku berusaha tidak membayangkan adegan konyol di mana aku menantikan bibir Ethan di tepi perairan sekaligus wajah kecewa Rose yang menungguku, lalu menjawab, "Pikirkanlah sendiri mengapa aku nggak datang."
"Aku benci jawaban berbelit-belit."
"Dan aku benci dipermainkan olehmu."
Terdengar suara helaan napas putus asa dari seberang, "Akui saja, kau juga penasaran dengan reaksi cowok tersayangmu itu, kan?"
Aku baru akan menyahut, tetapi terpotong oleh suara batuk-batuk yang terdengar dari seberang. Pantas saja suara Ethan agak aneh.
"Flu?" ledekku, "Aku nggak tahu kau bisa sakit."
Aku mendengar Ethan menggumamkan sumpah serapah sebelum cowok itu berbicara lagi, sama sekali tak mengindahkan ejekanku. "Kalau begitu apakah kau sudah bilang pada Seth kalau kita nggak berpacaran?"
Matilah sudah. Aku tahu Ethan akan menanyakan itu cepat atau lambat. Dan aku sama sekali tak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Terdengar kekehan puas cowok itu, "Sudah kuduga."
Diam lama. Aku sudah letih menanggapi ke-sok-tahu-an cowok itu, tetapi entah mengapa aku tidak memutuskan sambungan. Demikian pula Ethan. Seolah kami sama-sama merasa bahwa masih ada yang perlu dibicarakan. Kenyataannya, saat Ethan membuka suara lagi, pertanyaannya hanyalah, "Jadi apa yang terjadi di sekolah hari ini selama aku nggak ada? Aku tahu kau ikut kelas tambahan."
Aku melirik esaiku, dan selembar kertas yang kudapat dari Mr. Dodson siang tadi, "Formulir universitas pilihan. Ayahmu meminta kita menyerahkannya seusai liburan. Dia juga akan mengirimkan ke email semua yang nggak ikut kelas tambahan."
"Yeah. Menyebalkan. Aku juga dapat satu." samar-samar kudengar bunyi kertas diraih, mungkin Ethan sedang melihat formulirnya sendiri.
"Kau sudah memikirkannya?" tanyaku. Ethan batuk-batuk lagi.
"Entahlah. Nggak pernah terlalu serius memikirkannya." jawabnya cuek.
"Tentu saja, kau jenius di bidang sains... jadi nggak perlu terlalu khawatir berlebihan." komentarku. Aku ingat saat dia diam-diam menyodorkan jawaban Matematika tempo hari untuk membantuku. Sulit dipercaya begitu banyak yang terjadi setelahnya, "Harvard?"
"Jangan bercanda. Bagaimana denganmu?"
"University of Arizona?"
"U of A?" Ethan terkekeh, "Mengapa?"
"Ini konyol... entahlah, lokasinya dekat dengan salah satu rumahku dulu. Tahulah, keluargaku banyak berpindah... tapi yang itu favoritku." aku tersenyum sendiri, ingat bagaimana dulu aku sering mengambil jalan pintas melewati pekarangannya sepulang sekolah dan sering tak sengaja kebagian brosur-brosur pemilihan wakil mahasiswa, selebaran pengumuman pesta atau perkumpulan yang aku bahkan tak tahu apa, "Aku ingat pernah melihat mobil NASA parkir di pelatarannya. Kudengar U of A adalah salah satu yang paling intens mengadakan kegiatan penelitian luar angkasa."
"Mad-Madison menjelajah antariksa!" Ethan berseru, "Kedengarannya seperti judul buku petualangan bocah SD."
Aku tertawa, "Sejujurnya ketertarikanku murni karena faktor nostalgia. Sudahlah. Lupakan saja. Sudah kubilang ini konyol..."
"Sama sekali nggak ada yang konyol dari membicarakan minat seseorang." aku mendengar Ethan berkata. Diam-diam aku menghargai pendapatnya. Lagipula aku jarang mendengar Ethan mengatakan hal-hal bijak semacam itu. Sungguh sulit dipercaya bagaimana Ethan adalah manusia terbrengsek dan paling menyebalkan, namun berbicara seperti ini dengannya ternyata dapat terasa begitu... normal. Sedikit mengingatkanku ketika aku dan ayahku sedang mengobrol berdua saja.
"Maddy?" suara Ethan menyentakkanku dari lamunan.
"Sori."
"Kupikir kau ketiduran."
"Nggak bisa." keluhku, "Tugas Mr. Dennings... ingat?"
"Kau beruntung aku sudah menyelesaikannya." Ethan terkekeh, "Hitunganmu pasti meleset semua."
Aku menarik napas dan berujar dengan nada takjub berlebihan, "Kau mengerjakan PR-mu!"
"Lega mengetahuinya, bukan?" Ethan menimpali, sama sekali tak kedengaran tersindir, "Kepingin sekali melihat bukumu yang kosong melompong..."
Entah bagaimana, selama setengah jam berikutnya, Ethan jadi membantuku mengerjakan tugas Fisika. Bukannya memprotes, tetapi pasti ada sesuatu yang membuat Ethan menjadi tiba-tiba semurah hati ini. Jika mengingat insiden memalukan di hutan, emosiku mendidih lagi. Apakah ini juga salah satu triknya untuk 'membangun chemistry'?
Aku menyuarakan pikiranku pada cowok itu setelah tugasku selesai, dan dia hanya tertawa.
"Jadi pada dasarnya setiap kali aku sedang berbuat baik kepadamu, kau menganggapnya sebagai salah satu trikku." Ethan menyimpulkan sendiri.
"Anggapanku salah?" aku menjatuhkan diri ke ranjangku, "Kau yang bilang sendiri waktu itu. Di hutan."
Jantungku berdegup lebih cepat menantikan sahutannya.
"Nah, apalagi yang menarik selain formulir universitas dan tugas Fisika?"
Aku melongo. Tentu saja sama sekali tidak menduga perubahan topik yang secepat ini, "Apa?"
Ethan tak menyahut. Cowok itu terbatuk-batuk lagi.
Pikiranku langsung melayang pada jam pelajaran terakhir.
"Prom." kataku otomatis.
"Prom?" ulang Ethan.
Seth mengajakku ke prom. Seth mengajakku ke prom...
Tetapi alih-alih mengatakan itu, aku malah berkata, "Kurasa aku bakal pergi. Kau bukan tipe yang bakal menghadiri prom, bukan?"
Terdengar suara tawa dari seberang, "Kelihatannya bagaimana?"
"Kelihatannya kau lebih suka kumpul-kumpul sama band-mu daripada pesta dansa konyol."
Ethan terkekeh. Lalu dia berkata, "Ngomong-ngomong soal band... Northern Dollars bakal manggung di festival musim panas akhir pekan ini. Acaranya di alun-alun kota, pukul delapan."
Aku menunggu kelanjutannya, "Lalu...?"
"Jangan telat."
Aku masih dapat mendengar suara batuknya sebentar sebelum dia menutup teleponnya begitu saja. Aku memandangi ponselku sambil bengong. Itu adalah percakapan telepon paling aneh yang pernah kulakukan.
🍁
Claire tampak mulai disibukkan dengan dunianya sendiri belakangan ini. Dia sudah menemukan teman baru, seorang murid pindahan bernama Trista Frauss yang pernah datang ke rumah kami. Claire mengenalkannya pada kami tempo hari dan kelihatannya dia cukup oke.
Aku menghela napas panjang, lupa bahwa gerak-gerikku sedang diawasi.
"Menyesali keputusanmu untuk tidak menerima bantuanku di kuis Matematika?" tebak Ethan seraya mengamati wajahku.
Ethan, ternyata, juga ikut kelas tambahan karena nilai Sejarahnya yang hancur-hancuran. Aku mendapat kesan bahwa dia sengaja menggagalkan diri demi membuat ayahnya kesal. Dan kami duduk semeja lagi di kantin hari ini, lagi-lagi demi chemistry. Entah bagaimana, Ethan berhasil memposisikan duduk kami se-strategis mungkin hingga pemandangan ke meja kami tak terhalang dari meja Leanna, Chuck, dan Seth. Well... meja Seth.
"Hanya sedang memikirkan Claire. Dia selalu memiliki sekumpulan teman yang merendenginya ke mana-mana di sekolah-sekolah kami sebelum ini." jelasku, berusaha tidak terdengar seperti kakak yang kelewat paranoid, "Karena itu melihatnya duduk berdua saja dengan seorang murid baru itu... agak nggak biasa."
"Kita lihat saja bagaimana perkembangannya..." Ethan kemudian batuk-batuk lagi. Aku mengawasinya cemas.
"Kau yakin kau baik-baik saja? Band-mu bakal manggung Sabtu ini. Bukankah sebaiknya kau istirahat?"
"Jangan cerewet." Ethan membersit hidungnya dengan tisu makan, "Kami ada latihan hari ini."
Aku memutar bola mata, "Dasar cowok."
Kami terdiam selama beberapa saat. Ethan menghabisi sandwich-nya sementara aku menyendoki pudingku. Lalu aku menoleh ke meja Seth. Sejujurnya aku sendiri tak yakin cowok itu bahkan sempat berpikir untuk melihat ke arah kami.
Aku ganti menatap Ethan yang hidungnya agak merah dan ada lingkaran gelap di bawah matanya. Rasanya menyebalkan mengetahui dia masih tetap terlihat sangat keren walaupun sedang dalam kondisi tidak fit.
Ngomong-ngomong, aku mulai meragukan niatnya untuk membuat Seth menghajarnya. Habis, dia tidak melakukan hal-hal ekstrim yang kuduga bakal dilakukannya. Memang baru beberapa hari kami 'berpacaran', tetapi kami tidak berciuman hot di depan loker ketika Seth kebetulan lewat atau semacamnya. Maksudku, ini seperti reka adegan saat dia masih memacari CW, kan? Bukankah seharusnya dia terlihat sedikit lebih meyakinkan jika memang kepingin Seth meninjunya?
Bukannya aku kepingin Ethan menciumku di koridor... hanya saja... ugh, kau tahulah.
"Jadi." Ethan memutus lamunanku. Suaranya terdengar sengau, "Kau nggak perlu tiket untuk masuk nanti."
"Hah?"
"Tiket." ulangnya, "Untuk Sabtu ini."
Aku mengerjap-ngerjap, "Oh."
Ethan melanjutkan, "Aku kepingin menemui Rose sorenya. Kau ikut?"
Aku merasa agak bersalah karena telah membolos Sabtu lalu, "Aku akan menemani Rose dari siang kalau kau nggak keberatan."
Senyum Ethan mengembang, "Kalau begitu kujemput pukul empat di sana. Acaranya mulai pukul delapan. Tapi kami harus gladi resik sebelumnya..."
"T-tunggu. Maksudmu aku datang sebagai... semacam tamu VIP?"
Ethan mengernyit aneh, "Kau ngomong apa sih."
"Maksudku... kalau aku datang bersamamu... aku bisa nonton dari belakang panggung?"
"Tentu saja, kenapa?"
"Aku kepingin nonton dari depan panggung."
Ethan mendesah, "Dengar, kau bisa nonton dari manapun."
"Tetapi kalau di depan panggung, aku nggak mau nonton sendirian."
Ethan mendesah lagi, kehabisan kesabaran. Lalu dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan satu lembar tiket konser.
"Nih. Terserah kau mau ajak siapa."
Aku menerimanya dengan cengiran sumringah, "Trims!"
"Tapi kau tetap datang denganku." Ethan mengingatkan. "Well... anak-anak kepingin bertemu denganmu."
"Si cewek yang mirip CW?" sahutku otomatis. Ethan tersentak sedikit. Dinilai dari raut wajahnya, cowok itu tak menunjukkan tanda-tanda penyangkalan, yang berarti pertanyaanku tepat sasaran, "Sudahlah... aku sudah agak terbiasa dengan predikat itu belakangan ini. Ironis banget ya?"
Ethan tak menyahut. Dia hanya memandangi ke arah jendela kaca sembari meneruskan memakan sandwich-nya.
🍁
Aku baru sadar.
Perasaan Ethan nggak pernah makan selain sandwich di kantin sekolah wkwk
Leave vomments :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top