Chapter 2

"Aku nggak menyangka mobil ini akan jatuh padamu." ujar Claire terang-terangan padaku, selagi aku mengendarai mobil Nissan baruku untuk pertama kali keesokan paginya.

Aku memandanginya tak percaya.

"Kau sudah tahu Dad membeli ini?"

"Yah, tidak diberitahu sih. Hanya menyelidiki." jawabnya sambil mengedip jahil. Claire memang terkenal akan kebiasaannya mengorek-ngorek privasi orang. "Kau benar-benar beruntung." dia menambahkan sambil menatapku iri dengan sepasang matanya yang besar.

"Dad bilang ini untuk prestasi baikku."

Claire mendengus sambil membetulkan kardigan tipisnya. Kentara sekali dia kesal. Aku baru menyadari pakaiannya yang terlalu mini untuk hari sedingin ini. Aku tidak akan pernah mengerti jalan pikirannya sampai kapanpun.

Gerbang besar dan kokoh Redville High mengalihkan perhatianku. Kami melewatinya dan sekarang memasuki lapangan parkir yang cukup luas dan penuh dengan mobil. Gedung itu hanya terdiri dari dua lantai, namun melebar ke samping. Dinding bata merahnya terlihat mencolok dibandingkan bangunan lain di sekitarnya, dan dapat kulihat gimnasium yang terletak agak di belakang gedung, terpisah dari gedung utama.

Aku mencari tempat kosong untuk memarkir mobilku dan akhirnya menemukannya di antara sebuah truk hitam dan sebuah... Porche silver yang sangat mulus.

Aku melongo.

"Ooh...!" Claire mendesah senang ketika melihat Porsche itu, "Apakah itu milik guru? Atau murid? Kalau murid, apakah dia cewek? Atau cowok?"

Kemudian, ketika aku sudah mematikan mesin mobil dan hendak membuka pintu, Claire menarik bahuku.

"Begini, jika nanti ada yang bertanya, apa kau keberatan menjawab kalau mobil ini milik kita berdua?" cewek itu menatapku lurus-lurus.

Aku tahu persis maksudnya.

"Jadi, aku secara-nggak-langsung adalah supir pribadimu?" tanyaku, memperjelas.

Claire mengangkat bahu sambil cemberut, "Aku nggak pernah bilang begitu."

Benarkan? Aku tahu persis.

Kemudian setelah mengecek make up-nya melalui spion tengah—yang membuatku terpaksa mengatur ulang posisinya ke semula—Claire mendahuluiku keluar dari dalam mobil, berusaha membuat orang-orang melihatnya terlebih dulu sebelum melihatku. Dan memang benar. Semua orang di tempat parkir sekarang menatapnya. Tapi mungkin bukan karena kekaguman, melainkan karena dia asing, tidak dikenal, pirang, dan mengenakan kardigan tipis serta rok mini di hari yang lumayan dingin ini.

Aku menghela napas menyaksikan keunikan adikku, kemudian membuka pintu mobil dan...

BRAKK!

Aku mematung.

Uh... apa?

Butuh lima detik bagiku untuk menyadari bahwa aku memarkir Nissan-ku terlalu rapat dengan truk hitam di sebelahku.

Dan pintuku membentur pintu truk itu. Dengan keras.

"Kayaknya aku masih perlu kursus menyetir, Dad..." aku menelan ludah.

"HEI!" suara seseorang meneriakiku.

"Oh, sial." gumamku panik sambil berusaha merangkak keluar dari pintu Claire, namun celakanya kakiku terjepit celah di antara kursi.

"Hei! Aku ngomong denganmu!" suara itu mendekat dan aku terpaksa menoleh. Dia sudah berdiri di depan mobilku sambil memandang marah pintu truk hitam—yang sepertinya miliknya—yang berhasil kubuat... sedikit tergores.

Aku bergegas keluar dari pintu penumpang dengan susah payah, menyambar ranselku dan buru-buru menghampirinya, "Maafkan aku... aku baru pertama kali mengendarai itu. Aku benar-benar nggak sengaja."

Kuperhatikan penampilan cowok itu. Rambut hitam lurusnya agak mengingatkanku pada Nuno Bettencourt—walaupun tidak sepanjang milik Nuno, hanya sebatas bahu. Dia mengenakan jaket kulit hitam, kaus polos, jeans, dan sneakers lusuh. Badannya tegap dan dia tinggi sekali.

Cowok itu memandangiku dingin dengan sepasang matanya yang biru pucat.

"Nggak lulus kursus menyetir?" tanyanya sembari memandangiku dengan tatapannya yang menusuk. Dipandangi olehnya benar-benar serasa seperti dihujam. Aku benar-benar terintimidasi mata birunya yang seolah mengaduk-aduk isi perutku.

Tetapi aku tidak tahan dengan nada bicaranya yang menyebalkan.

"Aku punya SIM." jawabku getir.

"Kalau begitu, seberapa sering kau kena tilang?" dia masih menatapku tajam dengan sebelah alis yang naik meremehkan.

Gestur dan kata-katanya membuat kepalaku mendidih.

"Dan kau pastinya tuli atau semacamnya? Aku sudah bilang maaf dan aku bilang baru pertama kali aku mengendarai itu."

Cowok itu mengatupkan rahangnya, dia membungkuk hingga matanya sejajar dengan mataku.

"Kau berhasil meninggalkan goresan di trukku dan kau mengataiku tuli?" desisnya mengancam.

Aku tidak tahu dari mana aku bisa mendapatkan keberanian untuk mengatainya tuli. Aku memang baru mengendarai Nissan-ku hari ini, walaupun semalam sempat test-drive di jalanan depan rumahku. Jadi wajar bila aku masih agak canggung mengendarainya.

Semua orang di lapangan parkir sekarang mengerubungi kami. Aku dapat melihat dari sudut mataku Claire yang ikut menonton sambil menekap mulutnya.

Ke mana perginya kebawelannya? Kenapa dia tidak membantuku?!

"Aku minta maaf sekali lagi. Apa ini cukup, Tuan Besar?" ujarku dengan nada penuh kejengkelan, berusaha keluar dari sorotan ingin tahu yang terpancar dari orang-orang di sekelilingku. Pipiku memerah, marah campur malu.

"Hei... hei... apa-apaan ini?" seorang guru mendadak menyeruak di antara kerumunan, "Masuk semuanya, sebentar lagi bel! Ethan Dodson, demi Tuhan... apa lagi yang kau lakukan?"

Cowok itu menegakkan diri, namun tatapannya masih tertancap padaku, "Jangan harap aku akan melupakannya, anak baru."

Aku mengerjap.

Dari mana dia tahu aku ini murid baru?

Guru tadi menghampiriku dan ketika tatapannya bertemu dengan si cowok menyebalkan itu, dia mengacungkan jarinya telunjuknya, "Sekali lagi, kau mengacau..."

"Maaf atas kekacauan kecilnya, Sir." cowok itu berkata sambil lewat dan melambai asal. Kemudian dia menyeruak masuk ke dalam gedung bersama yang lainnya.

Guru itu lalu beralih memandangku. Dan ekspresinya seketika berubah.

"Astaga..." gumamnya, terperangah.

"Maaf?" aku menatapnya heran campur tersinggung. Segitu parahkah wajahku sampai-sampai dia harus bengong sebentar ketika melihatku?

"Oh, maaf... k-kau pasti Miss Madison?" dia berdeham dan mengulurkan tangan. Tampak salah tingkah.

"Chloe Madison." aku menjabat tangan pria paruh baya itu, masih agak sebal.

"Perkenalkan, wakil kepala sekolah, George Dodson. Kau akan bertemu denganku setiap pelajaran Sejarah."

Dodson?

"Yang tadi itu...?" tanyaku ragu-ragu.

"Yeah, dia anakku. Ethan. Ulahnya macam-macam, temperamen, bikin malu saja. Tolong maafkan dia." Mr. Dodson berkata sambil menggiringku masuk. Dia sama sekali tidak terlihat mirip Ethan. Maksudnya, dia memang tinggi dan tegap, namun perawakannya ramah. Rambutnya juga tidak hitam, melainkan cokelat terang. Begitupun warna matanya, cokelat terang.

"Bukan, harusnya saya yang minta maaf, saya tadi... eh... tidak sengaja menggores pintu mobilnya."

"Oh! Jangan dipikirkan, dia memang suka melebih-lebihkan! Ngomong-ngomong kalau kau membicarakan goresan di pintunya, itu sudah ada sejak setahun yang lalu. Waktu itu aku yang menyetir dan tidak sengaja menyerempet pagar pembatas..."

Oh, brengsek.

🍁

Setelah mengurus administrasi bersama adikku, kami berpisah jalan dan aku diberi peta sekolah dan jadwal pelajaranku oleh Mr. Dodson. Dia berbaik hati menunjukkan kelas pertamaku hari ini, letak kantin, toilet dan ruang guru.

"Mengerti? Kurasa kau tidak akan kesulitan menemukan kelas Sejarah." Mr. Dodson mengangkat kedua alisnya.

"Saya harap. Terima kasih banyak Mr. Dodson."

Kami berpisah di pintu kelas Bahasa Inggris, pelajaran pertamaku. Aku masuk ke dalam kelas dan merasakan sensasi canggung yang sudah kukenal. Pandangan-pandangan ingin tahu berdatangan dari berbagai penjuru. Aku menunduk, berusaha mengabaikannya. Bisa kudengar beberapa cewek berbisik-bisik menyebut-nyebut namaku, sambil sesekali menyebut nama Ethan Dodson, si manusia mengesalkan di parkiran tadi. Upaya liciknya mungkin berhasil membuatku dikenal sebagai Madison Si Tukang Rusak Mobil dalam hari pertamaku di Redville High.

Aku berusaha berkonsentrasi mencari tempat duduk yang kosong, dan akhirnya menemukannya pada posisi kedua dari belakang dan langsung menyibukkan diri dengan ranselku. Dan baru kali ini aku benar-benar berharap gurunya cepat datang, aku tidak tahan dengan pandangan-pandangan penasaran yang tertuju padaku.

"Chloe Madison?"

Aku menoleh kaget dan nyaris tidak memercayai penglihatanku.

Dia berdiri hanya beberapa jengkal dariku. Seorang cowok yang agak kurus namun luar biasa mempesona. Rambut lurusnya memiliki warna yang agak mengingatkanku pada dedaunan pohon maple kering yang selalu kulihat dari jendela kamarku. Helaiannya tampak halus dan sedikit berkilau terkena cahaya matahari dari jendela. Pada pipi dan puncak hidungnya terdapat sedikit bintik-bintik.

Dan matanya. Sepasang mata cokelat jernih itu menatapku. Selama sepersekian detik dia terdiam melihatku, namun kemudian bibirnya yang sempurna perlahan mengembang membentuk senyuman.

Tidak mampu disangkal lagi, cowok itu benar-benar imut.

"Kau Chloe Madison?" tanyanya lagi.

"Y...ya?" aku menyahut susah payah, takjub mendapati cowok setampan dia menegurku.

"Keberatan kalau aku duduk di sini?" tanya cowok itu sambil menunjuk meja dan kursi di sebelah mejaku. Aku nyaris pingsan mendengarnya.

"Ng—nggak masalah!" kerongkonganku menjawab parau. Aku senang karena ada makhluk keren selain Ethan Dodson yang mengajakku berbicara. Maksudku, kejadian di lapangan barusan lebih tepat dikatakan keributan alih-alih obrolan.

Dengan satu gerakan luwes, cowok itu duduk di sebelahku dan meletakkan tasnya di atas meja. Merasa diperhatikan, dia menoleh dan tersenyum lagi memamerkan lesung pipit di pipi kirinya. Senyuman yang sanggup membuat daratan es di Arktik kontan meleleh tanpa campur tangan lapisan ozon yang menipis.

"Seth Winchester." dia mengulurkan tangannya yang kubalas dengan gugup, "Selamat datang di Redville."

Suaranya enak sekali didengar.

"Eh, trims..."

"Panggil aku Seth." katanya, lagi-lagi tersenyum lebar.

"Trims, Seth." kataku gugup, "Bagaimana kau tahu namaku?"

Seth tampak berpikir sejenak, tapi kemudian mengangkat sepasang alisnya yang sempurna, "Well, semua orang tahu kau. Apa sih yang nggak diketahui di kota sekecil ini? Terutama karena insiden kecil di tempat parkir tadi."

Kontan wajahku memanas. Hebat. Sekarang semua orang benar-benar mengenalku sebagai Mad-Madison. Aku memperhatikan murid-murid di sekelilingku. Mereka memang sedang mencuri-curi pandang ke arahku—atau Seth?—dengan penasaran.

"Bukan kesan pertama yang baik, yang jelas." aku meringis. Dia tertawa. Tawa renyah yang aku yakin hanya dimiliki oleh segelintir cowok istimewa di muka bumi. Tawa yang memamerkan deretan giginya yang rapi.

"Nggak juga kok. Madison bersaudara yang sama-sama menarik sangat cepat terkenal."

Aku yakin seratus dua puluh persen sekarang pipiku semerah saus lasagna yang kumakan semalam. Seth melihatku salah tingkah dan rupanya dia menyalahartikannya sebagai ekspresi kekhawatiran.

"Siapapun bisa emosi jika berhadapan dengan Ethan, tenang saja. Kau nggak bakal dibenci." Seth buru-buru menenangkan.

"Kau kenal dia?"

Seth mengangkat bahu, "Yah..."

Sejenak cowok itu seperti terhanyut dalam pikirannya. Seth hanya menatap kosong tasnya selama beberapa detik.

"Eh... halo? Bumi memanggilmu." aku menyadarkannya. Dia tersentak.

"Sori. Kami dulu berteman kelas satu. Tapi sekarang dia agak... jauh." kemudian dia meringis, "Nggak seharusnya aku jadi melankolis begini."

Aku terdiam. Mungkinkah dulu Seth dan Ethan berteman? Tapi sepertinya kelakuan Ethan yang congkak dan menyebalkan itu membuat Seth tidak tahan juga.

Kedatangan guru bahasa Inggris yang tadinya kunanti-nantikan memutus pembicaraanku dengan Seth. Tentu saja, siapa sih yang sanggup menolak berbincang-bincang lebih lama dengan cowok setengah malaikat ini?

🍁

Pertemuan pertama dengan dua male leads cerita ini; Seth dan Ethan ;)

Leave vomments!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top