Chapter 17
"Hanya itu?"
"Yeah."
"Hmm."
Leanna memicingkan matanya, kebiasaannya ketika sedang berpikir keras. Kami sudah berputar-putar sekitaran Swanton Shore—yang dicap sebagai pusat pertokoan hip terbesar di perbatasan Redville setelah Birch's End—sebanyak tiga kali dan Leanna masih belum puas mendengarkan penjelasanku tentang reaksi Ethan. Terhadap rambut baruku, maksudnya.
Ya, topik hangatnya masih tentang rambutku dan aku yang mencoba membuktikan bahwa aku bukan mantan pacar atau mantan kakak siapapun.
Leanna memberi isyarat padaku untuk keluar dari toko baju keempat yang kami kunjungi sore itu. Di luar udaranya hangat. Ada alasan mengapa tempat ini dinamakan Swanton Shore. Pertokoan ini berderet di sepanjang dermaga yang mengarah langsung ke sungai besar pemisah kota Redville dan Swanton. Matahari senja menimpa kami dengan semburat jingga kemerahan hingga membuat Converse biruku tampak memudar.
"Nggak mengatakan apa-apa lagi setelahnya?" Leanna bertanya lagi untuk yang kesekian ratus kalinya sementara kami berjalan menyusuri dermaga. Aku mendesah bosan.
"Demi Tuhan, Lee. Hanya itu." sahutku, "Lagipula apa yang memangnya bisa kuharapkan?"
Leanna mengacungkan telunjuknya ke hidungku, "Jawaban macam 'usaha yang bagus' itu nggak menjelaskan apa-apa. Apakah dia memujimu? Atau menghargai usahamu? Atau justru sindiran yang berarti dia nggak menganggap serius 'perubahan'mu? Bikin frustasi saja."
"Kau memikirkannya kelewat keras." komentarku, dalam hati mengakui bahwa aku adalah pembual sejati mengingat aku memikirkan perkataan Ethan lebih keras dari siapapun sepanjang malam. Apa yang kulakukan? Aku memang menyedihkan.
Leanna mendadak mengerem langkahnya, pandangannya terpaku pada satu arah jauh di depan kami. Lalu kulihat dia melambai bersemangat ke seseorang yang tengah mengantre di kios kopi, "Oh, Seth!"
Seth menoleh dan melihat kami. Dia balas melambai seraya melayangkan senyuman seribu watt-nya ke arah kami. Leanna menarikku—tepatnya menyeretku—untuk menghampiri cowok itu.
Seth, syukurlah, sudah tampak lebih segar dibandingkan beberapa hari belakangan. Dan, entah bagaimana, dia terlihat semakin menggemaskan di sore hari ini walau hanya mengenakan kaus santai abu-abu sederhana dan training olahraga. Mungkin karena cahaya senja yang menimpa rambutnya hingga terlihat keemasan. Atau pada matanya yang membuat warna cokelatnya lebih jernih dari biasanya.
"Habis lari?" sapa Leanna.
"Yeah, dokter menyarankan menambah porsi jogging ringan soreku."
Bisa kurasakan Seth tengah mencuri pandang ke arahku. Sejujurnya, kami masih agak canggung. Aku diam saja, berpura-pura tertarik dengan menu kopi yang terpampang di atas kepala Seth.
Lalu Seth balas bertanya, "Habis belanja?"
"Hanya beli beberapa barang lucu. Chloe belum pernah ke sini sebelumnya, maka aku jadi pemandu sehari." Leanna mengedip padaku, "Tapi kami baru akan berpisah jalan..."
Apa?
"Aku sudah janji untuk menjemput nenekku dan menemaninya membeli bibit-bibit bunga baru untuk pekarangannya..."
Aku memandangi Leanna heran. Sejak kapan Leanna begitu akrab dengan neneknya, yang notabene tinggal ratusan mil dari Redville?
"...mau kubantu bawakan barangmu hingga ke halte?" Leanna mendadak bertanya kepadaku, "Sori, kau jadi harus pulang dengan bus..."
"Aku bisa mengantarmu." Seth menawarkanku.
Oh. Lee... dasar kau rubah licik.
"Jangan khawatir, aku baik-ba—"
"Oh, Seth! Kau penyelamat!" potong Leanna seraya menjejali tanganku dengan kantung-kantung kertas yang sebagian besar adalah belanjaannya, "Aku sudah terlambat lima menit! Trims, Seth... sampai ketemu di sekolah!"
Aku hanya bengong menyaksikan Leanna, sobat baikku, teman 'transparan'ku, berlari meninggalkanku di depan kios kopi sendirian dengan setumpuk kantung belanjaan di tangan. Aku dapat merasakan Seth berdiri di sebelahku, menyesap cappuccino-nya dengan tenang walaupun aku berani bersumpah dia tengah berjuang menahan tawa.
"Ditelantarkan?" Seth meringis.
"Aku bahkan baru tahu dia punya nenek yang tinggal dekat sini, kupikir neneknya tinggal di Hamilton..." aku menoleh melihat gelas di tangan Seth, "Apa kau tidak dilarang minum kopi?
"Well," Seth menggoyang gelas di hadapannya seraya mengernyit, "Ini cokelat panas, sekadar info. Biar kubawakan sebagian."
Seth dengan sigap mengambil kantung-kantung belanjaan dari satu tanganku dan kami bersama-sama berjalan menyusuri dermaga menuju tempat dia parkir.
Ketika kami berjalan melintasi pelataran parkir dan Seth menekan tombol kunci hingga Porsche-nya mengedip dan berbunyi di kejauhan, sontak kepala-kepala beberapa cewek yang berada di sekitar situ tertoleh pada Seth. Aku nggak bisa bohong, aku sangat menikmati detik-detik saat tatapan-tatapan iri para cewek itu tertuju padaku.
Aku mengagumi fisik Seth dari belakang ketika dia berjalan. Rambut sewarna maple kering yang sudah agak panjang itu menyibak karena angin dan terlihat sangat lembut, membuatku kepingin sekali membelainya. Tubuhnya agak kurus untuk ukuran cowok setinggi dirinya, namun aku tidak bisa menyangkal kalau Seth masih proporsional dan sangat enak dilihat. Ketika Seth menoleh padaku, aku refleks mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Aku baik-baik saja, jangan paranoid begitu." Seth nyengir, rupanya keliru mengartikan pandanganku. "Aku nggak perlu memintamu secara khusus untuk berhenti memperlakukan penderita lemah jantung dengan simpati berlebih, kan?"
"Kau sudah melakukannya." sesalku, sementara dia terkekeh, "Pasti menyebalkan."
"Sangat," gumamnya setuju, "...orang-orang memperlakukanmu dengan sikap seolah kau semacam barang pecah belah yang luar biasa rapuh."
"Jadi apa ini artinya aku bisa mengagetkanmu dari belakang sewaktu-waktu?" aku bertanya. Seth tertawa.
"Kau nggak perlu mengendap-endap untuk bisa membuatku jantungan. Penampilan barumu saja sudah cukup mengejutkanku." katanya seraya melirik rambutku.
Aku menyaksikan Seth memasukkan kantung-kantung belanjaanku ke bagasi mobilnya dalam diam. Kemudian setelah memasukkan semuanya, dia menutup bagasinya, memainkan kunci di tangannya sejenak, tampak ragu-ragu. Dia lalu berbalik menghadapku.
"Dengar, Chloe. Aku minta maaf." ujar Seth, tampak salah tingkah. "Kaubilang kau muak karena aku menganggapmu sebagai... um, 'Chloe yang berbeda' selama ini. Dan jika kau jadi terpaksa mengubah penampilanmu karena itu, aku... benar-benar minta maaf."
Agak sebal menyadari bahwa bahkan saat aku dalam posisi kesal pada Seth, aku masih mematung mengagumi bintik-bintik pada wajahnya yang mengagumkan. Bagaimana mungkin aku bisa marah pada cowok seimut ini?
"Aku nggak marah." aku mendengar diriku bersuara. Seth mengangkat alis.
"Kau nggak marah?" tanyanya sangsi.
Aku menggeleng.
"Kau jelas-jelas meneriakiku di kamarku waktu itu, dan kau bilang kau nggak marah?" Seth menatapku ragu, lalu menambahkan, "Juga di kelas bahasa Inggris. Kau menghindariku."
"Maksudku saat ini..." aku masih mengagumi cahaya matahari senja yang terpantul di mata Seth dan senyumannya yang terkulum, "...aku sudah nggak marah."
Kami bertatapan selama beberapa saat, hingga akhirnya kecanggungan itu runtuh. Aku tersenyum dan Seth tertawa. Apakah aku sudah pernah bilang kalau suara tawanya sangat enak didengar? Aku yakin jika tawa Seth berwujud makanan, aku akan memesannya setiap hari dan menjadikannya sarapan, makan siang, dan makan malam. Dan cemilan.
Ya, sudah sekacau itulah otakku.
"Lega mengetahuinya." ujar cowok itu akhirnya, tersenyum lebar setelah tawanya mereda. Senyuman memesona yang memamerkan deretan giginya yang sempurna, serta memunculkan guratan di sudut-sudut matanya yang menyipit...
Dan matanya.
Satu-satunya hal yang kepingin kulakukan saat ini adalah balas menatap matanya. Aku bahkan bisa melakukannya sepanjang hari.
Seth memainkan kunci di tangannya lagi. Kemudian ekspresinya kembali serius.
"Dan soal Ethan... aku juga minta maaf." ujarnya pelan.
"Apa?" kernyitku bingung.
"Aku nggak seharusnya mengatakan hal konyol seperti itu. Di kamarku... waktu itu." cowok itu menggaruk tengkuknya, tampak malu pada dirinya sendiri. "Kau toh berhak pacaran dengan siapapun."
Aku berusaha menjelaskan, "Jika yang kau maksud Ethan, aku nggak—"
"Kau benar." Seth menatapku lurus-lurus, "Kau memang bukan kakakku."
Ya! Memang bukan! batinku nyaris putus asa, "Kami sama sekali nggak... maksudku... janji bertemu tiap Sabtu itu hanyalah, uh... semacam acara khusus yang kebetulan melibatkanku..." suaraku makin menghilang karena tidak yakin bagaimana aku harus menjelaskan mengenai agenda rutin kami.
Aku bisa saja menjelaskan bahwa kami sebetulnya hanya mengunjungi teman kecil Ethan setiap akhir pekan di panti asuhan, namun sebagian dari diriku yakin bahwa itu bukan hal yang cukup bijak untuk dilakukan. Ethan memang tidak pernah memintaku untuk merahasiakannya, dan oke... aku memang sudah cerita masalah ini pada Claire dan Leanna...
Tetapi entah mengapa, aku punya perasaan bahwa Ethan tidak akan terlalu suka jika Seth mengetahui masalah Rose.
Bagus. Sekarang aku malah repot-repot memikirkan soal perasaan cowok mengesalkan itu.
"Kedengarannya bagiku seperti kencan." Seth mengangkat bahu. Aku menghela napas tak sabar.
"Dengar. Ethan bukan pacarku." tegasku.
"Dia hanya merendah."
Suara itu datangnya bukan dari Seth.
Tatapan Seth saat ini tertuju ke satu titik di balik bahuku, dan betapa terkejutnya diriku ketika berbalik dan mendapati—panjang umurnya—Ethan Dodson sudah berdiri di belakangku.
Jaket kulit, jangkung, dan ekspresi dingin.
Itu benar-benar dia.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku jantungan. Ethan menatapku keheranan.
"Ini tempat parkir umum. Aku tidak boleh kebetulan berada di sini?" tanyanya dengan nada cueknya yang biasa, sambil menunjuk ke arah truknya yang parkir tak jauh dari situ. Lalu dia menatap Seth dan melanjutkan, "Seperti yang kubilang, Maddy hanya merendah. Dia nggak mau kau ngamuk-ngamuk kalau tahu aku memacarinya."
"Tunggu—"
Seth menatap Ethan dengan tatapan yang tak kalah dinginnya, dan memotong protesku, "Mengapa aku harus 'ngamuk-ngamuk' kalau memang kau pacarnya?"
Ethan mengangkat bahu, "Oh, entahlah. Dengar-dengar kau dan teman-temanmu agak alergi denganku."
Mendengarnya, Seth mendengus dan terkekeh datar, "Bukankah kau yang alergi dengan kami?"
Uh-oh. Aku nyaris dapat mendengar genderang perang bertabuh di udara.
Kemudian tanpa peringatan apapun, Ethan merangkulkan lengannya di pundakku.
Apa yang sedang coba dilakukannya?
"Bagaimana Maddy? Menurutmu kami saling alergi satu sama lain?" bisik Ethan, bibirnya dekat sekali dengan telingaku.
"Uh... aku nggak mau ikut cam—"
"Hentikan omong kosongmu dan katakan saja apa maumu, Ethan." Seth menyipit menatap Ethan, rahangnya berkedut geram.
Aku lega ketika Ethan mengangkat lengannya dari pundakku. Mulanya aku sempat ketakutan kalau-kalau dia hendak memukul Seth atau apa. Tetapi sebagai gantinya, Ethan malah beringsut semakin dekat dan merangkulkan kedua lengannya di sekitar perutku untuk memelukku dari belakang.
"Aku mau dia." ujarnya, meletakkan dagunya di bahuku.
Aku kehilangan kemampuan untuk berpikir maupun bergerak. Kesadaranku menguap entah ke mana.
Seth menatap kami bergantian. Ekspresinya tak terbaca.
Setelah kira-kira seabad lamanya saling adu tatap, Seth akhirnya membuka suara.
"Terserah. Kau nggak butuh izinku." gumamnya datar seraya berbalik untuk menaiki mobilnya.
Aku masih dilanda rasa syok bahkan setelah aku berbaring di kasurku malam harinya, memikirkan kejadian sore itu. Ethan bersikeras mengantarku hingga ke rumah, tetapi aku menolaknya mentah-mentah di tengah emosiku. Dan ketika tiba di rumah, aku mendapati belanjaan-belanjaanku dan Leanna—yang terlanjur dimasukkan Seth ke dalam bagasinya—sudah tergeletak begitu saja di terasku.
Ada satu alasan yang membuatku tidak mendorong atau menonjok Ethan di lapangan parkir sore tadi, ketika dia dengan semena-mena memelukku di hadapan Seth. Satu alasan yang konyol dan kekanakkan. Ethan membisikkan sesuatu, tepat ketika dia menempelkan wajahnya di pipiku saat itu. Dengan suara yang amat pelan dan samar, namun masih dapat kutangkap.
"Kau nggak ingin lihat bagaimana reaksinya?" bisik cowok itu, dengan suara congkaknya yang menyebalkan.
🍁
Team Seth?
Atau Team Ethan?
;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top