Chapter 16
Senin pagi.
Claire memulaskan lipgloss dan membetulkan atasan halter neck-nya untuk yang kesekian ratus kalinya, "Dengar, kalau kau berubah pikiran soal itu, jangan ragu untuk mendobrak masuk kelasku kapan saja. Kita bisa bolos untuk ke salon. Terutama jam keempat. Mr. Blake praktisnya membenciku. Dan aku membencinya. Nah, sampai nanti."
Aku mengikuti Claire keluar dari mobil seraya menyampirkan ranselku.
Dua belas jam yang lalu, Claire nyaris menjatuhkan piring salad-nya saat melihatku melangkah masuk rumah sepulangnya aku dari salon. Dad tampaknya oke-oke saja dengan penampilan baruku, tapi Mom dan Claire memasang tampang seolah baru dapat kabar kalau terapis kesehatan mereka meninggal karena kecelakaan.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi pada rambutmu?!" Mom memekik.
Aku berulang kali mengecek potongan baruku di cermin di salon dengan penata rambut berdiri di sebelahku, meyakinkanku bahwa penampilanku sekarang sesegar lemon sorbet di siang bolong pada musim panas. Dan dia memang berhasil meyakinkanku bahwa perubahan rambutku dari cokelat-gelap-lurus-sepunggung menjadi pirang-bob-pendek-acak adalah keputusan paling tepat yang pernah kubuat.
Oke, aku memotong pendek rambutku. Dan mengecatnya. Dirty blonde. Di tengah-tengah rasa frustasiku.
Dad hanya mengomentarinya dengan senyum simpul sambil berkata, "Cool."
Tapi Mom histeris dan Claire nyaris kebakaran.
Pokoknya, yang terjadi semalam adalah kekacauan. Karena itu aku cukup senang mendapati reaksi dari Leanna tidak buruk-buruk amat.
"Wow. Inikah hasil dari apapun yang dikatakan Seth kepadamu kemarin?" desahnya, mengamati rambutku kagum, "Kau bermetamorfosis."
"Apa CW pernah memotong rambutnya seperti ini?" tanyaku tajam.
"Seingatku tidak."
"Kalau begitu misi tercapai." kataku, menutup lokerku jengkel dan bersama-sama Leanna berjalan menuju kelas pertama kami. Ralat, kelas pertamaku. Kami berpisah di tangga karena Leanna mengambil kelas bahasa Inggris di hari Rabu akibat jadwalnya yang bentrok.
Dan di kelas pertamaku... ada Seth.
Seth mendongak melihatku ketika aku masuk ke dalam kelas selang beberapa detik setelah bel berbunyi, namun aku pura-pura tidak sadar. Dapat kutangkap dari sudut mataku dia tampak tak mengenaliku selama sepersekian detik, sebelum mulutnya membuka, seolah hendak menyapaku atau mengatakan sesuatu, namun urung saat melihatku tidak menghampiri mejanya seperti biasa. Aku duduk di kursi kosong sebelah cewek kurus yang sering kulihat di kelas Sejarah, namun tidak kukenal. Sepertinya dia tidak pernah peduli dengan sekitarnya termasuk dengan siapa dia duduk, karena itu aku memilih tempatnya.
Chuck menggodaku habis-habisan ketika kami bertemu pada istirahat makan siang, bahkan memanggilku dan Leanna dengan sebutan 'lemon dan raspberry' setelah dia mencuri dengar ceritaku pada Leanna soal pendapat penata rambut di salon. Dan Leanna terus-menerus berkata bahwa rambutku sekeren bob Dianna Agron. Aku terlalu sibuk mendiamkan Seth-walaupun kami duduk semeja-dan dia juga rupanya melancarkan aksi yang sama, sehingga aku tidak sempat merasa tersanjung dengan pujian-pujian Leanna.
Namun ada yang ganjil.
Hari ini belum ada yang menarik-narikku. Atau menyeret-nyeretku. Aku tidak bertemu cowok itu di lokerku pagi ini. Begitupun di kantin. Bukannya aku mengharapkan bertemu dengannya atau apa, hanya saja...
Hanya saja aku ingin tahu bagaimana reaksinya.
Seolah membaca pikiranku, aku melihat sosok menjulang Ethan yang berjalan masuk ke kantin bersama Ted. Dia mengambil nampan dan masuk ke antrean makanan. Matanya menyisiri seisi kantin sejenak. Entah ada apa dengan diriku, begitu mata birunya menemukan mejaku, aku langsung menunduk, berpura-pura sangat tertarik dengan kentang tumbuk di nampanku seolah kentang itu sedang berusaha menyampaikan sesuatu padaku. Jantungku bertalu-talu heboh.
Dan ketika aku menyadari Ethan sudah keluar antrean, aku mendongak sedikit. Kulihat matanya menyisiri kantin sekali lagi, lalu dia berjalan menuju mejaku. Meja kami, maksudnya. Aku menunduk lagi dan betapa herannya diriku ketika mendapati cowok itu berlalu begitu saja melewati kami.
Melewatiku.
Aku mendongak menatap Leanna, Chuck, dan Claire yang tampaknya tak memperhatikan apa yang baru saja terjadi karena sibuk berdebat soal Dr. Who semalam. Dan Seth...
Mata kami bertemu. Dia menatapku intens dan tajam. Perlahan, sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Dan dalam sekejap, kemarahan yang kurasakan terhadapnya selama dua belas jam terakhir seolah menguap entah ke mana. Seth tersenyum padaku dan berkata, "Rambutmu keren."
Leanna melemparkan pandangan aku-bangga-padamu kepadaku, jika kami berdua saja, mungkin dia bakal mengguncang-guncang wajahku dan berseru, "Tuh, sudah kubilang kan!" sementara Claire hanya memandangi Seth putus asa, "Astaga, apa hanya aku yang berpikir kalau rambutnya payah?"
Aku tidak menanggapi perkataan Claire. Di samping faktor Claire yang sangat bawel dan sangat menyebalkan, sejujurnya saat ini aku hanya bisa fokus pada satu hal di hadapanku. Senyuman Seth.
Dengan separuh kesadaran akibat efek senyuman Seth yang benar-benar luar biasa, aku menggumamkan sesuatu yang kedengaran seperti, "Trims." melalui kerongkonganku yang serasa dipenuhi pasir.
Setelah itu Seth dan aku kembali mengobrol. Seperti tidak ada yang terjadi. Jika mengingat betapa marahnya aku kepadanya kemarin, rasanya mustahil membayangkan hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam dia mampu mengubah suasana hatiku. Hanya dengan sebuah senyuman. Dan kata-kata 'rambutmu keren'. Tetapi aku tidak menyesali keputusanku memotong dan mengecat rambutku.
Walaupun tidak ada pembicaraan personal antara aku dan Seth, aku tahu dia paham. Dari gesturnya, aku tahu bahwa dia menangkap maksudku.
Bahwa aku Chloe yang berbeda. Bahwa aku bukan kakaknya.
🍁
Malam harinya-seolah tidak cukup dikejutkan dengan pujian Seth dan membaiknya suasana hatiku-aku mendapati bunyi dentingan notifikasi satu pesan baru di chat room ponselku ketika aku baru selesai mandi.
Kau bolos hari ini atau apa?
Aku bengong sejenak. Aku membuka profilnya dan melihat gitar hitam yang sering di bawa-bawanya ke sekolah sebagai foto utamanya.
Ethan.
Aku mengetikkan balasan.
Halo juga. Apa maksudmu?
Tak butuh waktu lama untuk menunggu balasannya datang.
Di sekolah. Aku nggak melihatmu.
Aku mengangkat alisku tinggi sekali. Aku duduk praktis di hadapannya ketika dia berlalu melewatiku di kantin. Aku bahkan berani bersumpah tatapan kami sempat bertemu sepersekian detik.
Jangan bercanda. Kau melihatku di kantin.
Kali ini balasannya agak lama. Ketika muncul, aku harus menekap mulutku untuk menahan diri agar tidak terbahak-bahak.
Sial. Kau si pirang itu.
Dan keesokan paginya setelah melambai pada Claire dan berpisah jalan dengannya di koridor, aku melihat cowok jangkung serba-hitam sudah berdiri bersandar di sebelah lokerku. Rautnya bosan sebelum dia akhirnya bertemu pandang denganku dan melihatku menghampirinya. Teknisnya, menghampiri lokerku. Aku tidak terima jika kesannya jadi seperti aku yang sengaja menghampirinya. Padahal tidak.
Yang menggelikan adalah, dia sama sekali tak mengatakan apa-apa. Tahulah, misalnya komentar sinis seperti... 'kau tampak aneh' atau 'siapa kau?' atau semacamnya. Ethan hanya berdiri bersedekap sembari memperhatikanku memasukkan nomor kombinasi lokerku, mengaduk-aduk tasku, mengambil beberapa buku dari dalamnya, memasukkannya ke laci atas...
Dan mood-ku seketika berubah jelek gara-gara terus menerus dipelototi seperti itu.
"Apa?" tanyaku jengkel, akhirnya tak tahan juga. Ethan hanya menyunggingkan senyum miringnya yang misterius. Aku memutuskan untuk mengabaikan saja cowok itu sementara dia terus menontoniku. Ketika akhirnya aku menutup lokerku dan berbalik hendak menuju kelas, barulah aku mendengarnya bersuara.
"Usaha yang bagus."
Aku terhenti. Aku menoleh padanya hanya untuk melihatnya masih memperhatikanku dengan mata birunya yang menusuk dan senyuman menyebalkan itu.
Maka, aku mengucapkan satu-satunya sahutan yang mampu terpikirkan olehku. Sedingin mungkin.
"Trims."
🍁
Pernah punya doppelganger yang satu sekolah? :p
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top