Chapter 15

Minggu siang.

Aku masih dilanda syok akibat kecupan Ethan sekitar delapan belas jam yang lalu. Ya! Lagi-lagi aku menghitungnya. Sama seperti berapa lama dia meletakkan bibirnya yang hangat dan lembut itu di pipiku. Entah sejak kapan aku punya kebiasaan menghitung-hitung waktu. Aku Chloe Madison. Chloe Madison sebelumnya tidak pernah begini melankolis. Chloe Madison sebelumnya selalu berhasil mengatasi perasaannya dengan amat baik.

Yang mengingatkanku kembali akan ironiku. Keluargaku akhirnya menemukan tempat di mana kami akan tinggal dalam waktu yang lama—bahkan mungkin selamanya—dan kemudian segala kerumitan ini terjadi. Aku yang bertemu dua cowok tampan dan terlibat masalah dengan keduanya. Yang satu menganggapku kembaran kakaknya yang sudah tiada, yang satu lagi menganggapku mantan kekasihnya yang kembali hidup. Yang satu sangat imut dan sangat baik dan—oke—sangat kutaksir, dan yang satu lagi begitu menyebalkan sekaligus begitu memikat hingga mustahil menolak permintaannya untuk mengurusi 'putri kecil'nya di panti asuhan sana.

Bukannya aku ogah membantu Ethan soal Rose. Aku mengerti kondisinya dan Rose gadis kecil yang manis. Dia hanya butuh teman. Karena itu aku berani menjanjikan Ethan untuk pergi bersamanya setiap Sabtu.

Tetapi itu sebelum cowok itu tiba-tiba mengecupku. Oke, mungkin itu kecupan untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, namun pandangan itu tidak bisa berbohong. Sorot matanya seolah berkata, 'Maddy, kau mungkin telah menggores mobilku di hari pertamamu bertemu denganku, tetapi sekarang aku menginginkanmu.'

Rasanya ingin sekali aku balas menatapnya dengan sorot, 'Kau serius? Aku ini cuma buku membosankan yang diletakkan di rak sudut. Lagipula kau hanya melihatku sebagai kembaran Chloe Winchester, kan? Kau bilang pada Rose bahwa ratumu bernama Chloe. Maksudmu CW kan? Chloe yang itu kan? Well? Iya kan?'

Tapi tentu saja tidak kulakukan. Tidak menatapnya dengan sorot seperti itu, maksudku. Karena pertama, itu semua cuma asumsi liar. Kedua, Ethan tidak bisa telepati. Ketiga, aku terlalu sibuk melongo menyedihkan dan berkata, 'Sampai hari Senin' dengan serak seperti radio rusak.

Jadi, janji bertemu tiap Sabtu dengan Ethan—yang sebelumnya memang sudah canggung—sekarang rasanya jadi semakin jauh lebih mirip kencan. Dan aku semakin tidak bisa berpikir jernih setiap dia ada di dekatku.

Aku tidak percaya aku bisa galau tingkat berat hanya gara-gara seorang cowok. Tidak, ini tidak seperti diriku.

Aku butuh es krim.

Aku berkendara ke Birch's End setelah makan siang, berusaha keras untuk tidak menoleh ke arah tempat Ford Ranger hitam terparkir kemarin, dan berjalan masuk ke satu-satunya toko es krim enak yang kutahu di Redville.

Aku mengantre untuk dan memesan es krim vanilla-raisin double scoop untuk diriku sendiri.

Ketika aku berbalik hendak keluar dari antrean, aku nyaris bertubrukan dengan sosok tak asing yang mengantre di belakangku.

"Chloe?" sapa Chuck, terkejut juga menjumpai diriku, "Apakah ini hari es krim sedunia?"

Whoa, sebentar. Apa Chuck mendadak amnesia soal dirinya yang sedang mendiamkanku? Bukankah aku ini Si Pengkhianat?

"Nggak bersama Lee?" tanyaku basa-basi.

Chuck menggeleng, "Membelikan es krim untuknya, lebih tepatnya. Kami mengunjungi Seth pagi ini, dan Lee masih ada di sana sekarang."

"Oh." aku minggir dan mengawasi dia memesan dua es krim cokelat-kacang dan rum raisin ukuran besar, "Kalian nonton DVD bareng di rumah Seth atau apa?"

Chuck terdiam sebentar, "Sebetulnya Seth nggak mau kau tahu. Well, semalam dia kumat lagi."

"Apa dia baik-baik saja?"

"Kondisinya masih agak lemah hari ini."

Sepertinya aku gagal menyembunyikan raut cemasku, karena Chuck kemudian melirikku dan berkata, "Kau bisa datang, tahu. Hanya saja jangan bilang pada Seth aku memberitahumu. Bilang saja kau bertemu denganku dan kepingin mampir."

Dan begitulah, kurang dari setengah jam kemudian aku sudah memarkir Nissan-ku di pelataran mansion keluarga Winchester yang luar biasa besar, dengan Chuck turun dari mobilnya di sebelahku. Kami bersama-sama memasuki rumah Seth—yang masih semewah dan mengagumkan seperti yang terakhir kali kuingat—dan kami disambut oleh salah satu pengurus rumah yang disapa Chuck dengan 'Mrs. Owen'. Wanita gemuk pauh baya yang berwajah bulat ramah itu mengatakan bahwa Seth dan Leanna masih berada di ruang nonton.

Setibanya di sana, aku disambut serbuan rambut keunguan dan pekikan bersemangat Leanna ketika dia menubruk memelukku.

"Hai cewek kereeen!" dia menepuk-nepuk pipiku kegirangan, "Bagaimana kau bisa ada di sini?"

"Kami kebetulan ketemu di toko es krim dan aku bilang kita sedang ada di rumah Seth, jadi sekalian saja kuajak." jelas Chuck, dengan lihainya menghindari bagian di mana dia memberitahuku soal kondisi Seth, "Bagaimana keadaannya?"

Aku baru menyadari kalau Seth rupanya tertidur di sofa depan televisi. Pikiranku kembali melayang ke malam itu, ketika dia dan aku duduk di sana, menonton video perjalanannya ke Jepang sambil makan popcorn pedas. Ralat, hanya aku yang sibuk makan dan menonton, sementara Seth menyuruhku berhenti mengunyah dan fokus padanya.

"Masih agak lemas dan mengantuk. Pengaruh obatnya lama sekali. Nggak heran dia benci minum obat." Leanna memandangi Seth dengan kasihan, "Selalu membuatnya seolah tengah melayang-layang di dalam tabung hampa udara, katanya. Oh! Rum raisin! Chuck, kau yang terbaik!"

Betapapun berisiknya Leanna dan Chuck ketika mereka kembali duduk di karpet depan televisi dan meneruskan Interstellar, Seth nampaknya tak kelihatan terganggu. Dia tetap pulas di sofanya, walaupun memang wajahnya terlihat agak pucat.

"Di mana Mr. dan Mrs. Winchester?" tanyaku sembari duduk di tepi sofa dekat kaki Seth, merasa rumah itu sepi sekali.

"Kerja." Chuck menyahut, "Mereka jarang di sini. Tahulah, sejak peristiwa itu mereka agak 'menyibukkan diri'."

"Oh." aku memandangi wajah imut Seth yang sedang tertidur. Mulutnya membuka sedikit. Seketika aku dibanjiri perasaan simpati terhadap cowok ini. Pastilah Will dan Nicole Winchester menghadapi masa-masa sulit sejak kematian kakak kandung Seth. Aku bukannya kepingin bersikap sok menghakimi, tapi apakah adil bagi Seth—yang juga kehilangan kakak perempuannya—untuk menerima keadaan seperti ini? Sendirian ketika dirinya sedang dalam kondisi tak berdaya?

Kaki Seth mendadak bergerak menyenggolku, rupanya dia terbangun. Aku memperhatikan Seth membuka matanya dengan amat berat dan tatapan kami kemudian bertemu.

"Chloe?" katanya lemah, "Bagaimana bisa kau ada di sini?"

"Kami kebetulan ketemu di toko es krim dan dia kepingin mampir, Seth." jelas Chuck.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku menatapnya khawatir. Seth menghela napas panjang.

"Apa Chuck memberitahumu?" tanyanya.

"Aku nggak memberitahunya!" Chuck memprotes.

"Sudahlah, kau nonton saja." Seth balas berseru, sementara Leanna terkekeh. Kemudian Seth mendudukkan dirinya dan bangkit perlahan-lahan.

"Whoa, kau mau ke mana?" tanyaku bingung.

"Ke kamar. Aku benar-benar mengantuk."

Kami mengawasi Seth berjalan keluar ruangan dengan loyo. Ketika punggungnya sudah menghilang di balik pintu, Leanna menghampiriku.

"Tolong bujuk dia untuk minum obatnya." dia menyerahkan sekantung pil padaku, "Nggak ada satupun dari kami yang berhasil membujuknya. Mrs. Owen memberitahu kami kalau ini harus diminum tiga kali sehari. Dia menolak meneruskannya karena membenci efeknya."

Aku tidak tahu apa dasar Leanna memintaku untuk membujuk Seth meminum obat jantungnya. Memangnya aku ini siapa bagi Seth? Nona Kau-Tidak-Bisa-Menolakku? Walaupun begitu aku menerima kantung pil itu dari Leanna dan berjalan menuju kamar Seth. Sekadar catatan, saking besar rumahnya, nyaris sepuluh menit aku harus berkeliling seperti orang bodoh hingga akhirnya menemukan kamarnya. Untunglah aku masih ingat bagian rumah ini saat Seth menunjukkannya tempo hari.

Aku mengetuk pintu kamar Seth sembari berdoa dalam hati ini pintu yang benar. Namun tak ada jawaban.

"Seth, ini aku. Boleh aku masuk?"

Lagi-lagi tak ada jawaban. Ragu-ragu, aku memutar gerendelnya. Tidak dikunci. Biarpun keadaan di dalam agak gelap, aku masih dapat melihat bahwa kamar Seth sangat luas. Gorden-gordennya ditutup setengah, sehingga hanya menyisakan separuh bagian jendela bagi cahaya matahari untuk menyusup masuk.

Selama beberapa saat aku mengagumi sekelilingku. Tak seperti dugaanku selama ini, bahwa kamar-kamar anak orang kaya selalu rapi dan modern, dan terkesan dingin, tidak begitu halnya dengan kamar Seth. Kamarnya memang besar dan modern, dan—tentu saja—memiliki kamar mandi pribadi menakjubkan yang setelah kuintip sedikit, memiliki jacuzzi mini di dalamnya. Tetapi kamar itu sepenuhnya kamar cowok normal pada umumnya. Beberapa helai baju kotornya teronggok berantakan di sudut. Di bawah televisi layar cekung ekstra besarnya terdapat sederet peralatan gaming elektronik lengkap yang mampu membuat seluruh remaja cowok se-negara bagian menangis iri. Di meja belajarnya terdapat tumpukan buku pelajaran, diselingi beberapa komik dan bungkus Mars Bars yang dilipat kecil-kecil dan lupa dibuang. Di sebelah mejanya persis di depan jendela, ada sebuah kursi malas panjang dengan laptop yang masih menyala. Layarnya masih menampilkan iTunes.

"Bloc Party?" aku mendengus membaca judul-judul teratas di playlist. Tanganku tak sengaja menyapu touchpad-nya dan foto Seth denganku muncul di layar sebagai wallpaper.

Tunggu.

Memangnya kapan aku berfoto bersama Seth? Dan kapan dia pernah berangkulan denganku? Dan latar belakang foto itu adalah langit biru dan pasir putih. Memangnya kapan kami pernah ke pantai bersama-sama?

Aku baru menyadari ketololanku dan siapa gadis di foto itu ketika terdengar suara gerakan dari belakangku, dan kulihat Seth terbangun di tempat tidur king size-nya. Matanya yang setengah terbuka memandangku.

"Kau ke mari karena mereka memintamu membawakan obatnya kan?" tebak Seth jitu. Aku menghampirinya.

"Syukurlah, aku nggak perlu repot-repot menjelaskannya." kataku seraya menyerahkan bungkusan di tanganku kepadanya. Seth tidak menerimanya. Dia menatapku.

"Aku mau meminumnya hanya jika kau menjawab pertanyaanku."

Aku mengangkat alis, "Shoot."

Dia menatapku tajam, "Apa kau berkencan dengan Ethan?"

Pertanyaan itu jelas bukan hal pertama yang kutebak akan ditanyakan Seth. Karena itu aku agak terkesiap saat menyahut, "Eh, apa?"

"Aku melihatmu menemuinya kemarin sore, di dekat rumahmu." Seth berkata, "Kalian tampak... mesra."

Oh sial. Sial. Sial. Seth ada di sana ketika Ethan... mengecupku? Tunggu. Apa yang dia lakukan di dekat rumahku?

"Kau memata-mataiku?" tanyaku, pertanyaan bodoh yang entah mengapa terlontar dari mulutku. Seth mendengus.

"Hanya kebetulan kepingin mampir ke rumahmu." jelasnya, "Apa sekarang itu dilarang?"

Ada apa dengan Seth? Mengapa sekarang nada suaranya terdengar begitu sinis?

"Kami memang... membuat janji untuk bertemu. Tetapi itu bukan sesuatu yang dapat kuanggap sebagai 'kencan'." kataku, mendustai diriku sendiri, "Nah, sudah kujawab. Sekarang minum obatmu."

Seth menatap bungkusan obatnya.

"Tolong jangan temui Ethan lagi." gumamnya pelan, namun cukup jelas.

Aku terperangah.

Ya Tuhan.

Mungkinkah... mungkinkah Seth...?

"M-memangnya kenapa kalau aku menemuinya?" tanyaku sembari terkekeh gugup, "Apa kau cemburu atau semacamnya?"

Aku berusaha mengatakan itu dengan sikap dan nada bicara seringan dan sekasual mungkin. Tetapi jantungku tidak bisa berbohong. Jantungku berdentum-dentum di bawah leherku dengan begitu heboh, sampai-sampai aku ngeri Seth dapat mendengarnya.

Seth masih memandangi obatnya ketika menjawab, "Aku nggak mau Chloe yang kukenal selalu berakhir di tangan Ethan."

Oh.

Oh.

Jadi ini sepenuhnya masalah Chloe. Chloe yang dikenalnya. Chloe yang tersohor itu. 

"Wow."

Aku tertawa hambar. Bayangkan bagaimana kecewanya Seth padaku. Kakaknya meninggal ketika pacaran dengan Ethan dan sekarang ketika dia menemukan 'kakak' yang baru, 'kakak' barunya malah duduk semeja dengan Ethan. 

"Jadi kaupikir... cepat atau lambat Ethan akan membunuhku. Karena aku... Chloe." simpulku.

Seth memandangku, gusar, "Chloe, aku nggak..."

"Kau tahu sesuatu?" aku menunjuk layar komputernya kesal, "Dialah Chloe Winchester. Dialah yang meninggalkanmu. Sekadar informasi, aku Chloe Madison. Dan aku di sini, hidup dan sehat! Dan kau nggak punya hak untuk mengatur-atur dengan siapa aku boleh pergi. Karena apa? Karena aku bukan kakakmu!"

Aku berjalan meninggalkan kamar Seth dengan jantung yang masih berdentum-dentum di tenggorokanku, namun kali ini karena emosi yang menggelegak.

Entah bagaimana aku berhasil menemukan kembali ruang nonton tanpa tersesat sedikitpun. Leanna dan Chuck memandangiku saat aku menyambar tasku dan berjalan keluar tanpa mengatakan apa-apa. Leanna menyusulku ketika aku sedang menuruni tangga menuju lobi depan dan dia menarik bahuku.

"Hei, ada apa?" tanyanya cemas, "Kau tampak... kacau."

"Aku sudah muak disama-samakan dengan Chloe Winchester. Tolong sampaikan itu kepada temanmu."

Aku tidak bicara sepatah kata lagi saat menuruni tangga dan menghambur keluar, separuh berlari menuju mobilku. Tukang kebun keluarga Winchester sampai terlonjak kaget mendengar suara bantingan pintu mobilku. Aku menyisiri rambutku frustasi dan menatap pantulan wajahku dari spion.

Jika ada permohonan yang dapat terkabul saat kau merasa begitu putus asa, rasanya aku ingin dilahirkan dengan nama dan wajah yang berbeda.

🍁

Thoughts?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top