Chapter 14
Claire mencibir terus sepanjang pagi ini.
"Kau kenapa?" tanyaku seraya mengklakson mobil di depan kami yang terlambat menyadari bahwa lampu merah sudah berubah hijau.
"Apa yang kau lakukan dengan Seth semalam?" tanyanya dengan nada jengkel, "Kalian lama sekali."
Aku menghela napas, lalu mengarang. "Kami pergi ke rumah Lee. Bukan sesuatu yang khusus."
"Oh. Yeah. Tentu saja. Mungkin Leanna hanya lupa kalau semalam kau dan Seth ke rumahnya, karena aku meneleponnya semalam dan dia mengaku dia mengerjakan tugas Sejarahnya sepanjang malam. Sendirian."
Oh tidak.
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, "Oke, aku memang nggak ke rumah Lee semalam." aku mengakui. Claire terus memelototiku dengan sorot penasaran, karena itu aku meneruskan, "Aku ke rumah Seth."
"Apa?!" desisnya, "Ngapain kau ke rumah Seth?"
"Dia hanya mengajakku makan malam di rumahnya." jelasku cepat-cepat, berharap itu bakal mengurangi efek perkataanku pada reaksi Claire. Tapi ternyata gagal.
"MAKAN MALAM?!" jeritnya nyaring, sampai-sampai telingaku berdenging, "Makan malam apa?!"
"Hanya makan malam biasa." aku menutup sebelah telingaku. Aku tidak menjelaskan bahwa undangan Seth adalah karena kedua orangtuanya ingin menemuiku, si kembaran CW. Bisa-bisa gendang telingaku pecah nantinya.
"Aku nggak mengerti." Claire mengenyakkan punggungnya ke sandaran kursi dengan frustasi, "Kau berkencan dengan Ethan, tapi kau juga menerima ajakan makan malam Seth..."
"Aku nggak kencan dengan Ethan!" jelasku putus asa, "Dan kalau kaupikir semalam itu romantis luar biasa, well... itu hanya makan malam biasa, Claire. Tenangkan dirimu."
Claire tampak luar biasa sakit hati.
"Ethan jelas-jelas naksir padamu, dan Seth sepertinya juga." katanya, masih memandangiku dengan sorot tidak suka, "Paling nggak, kau harus tetapkan pilihan..."
Aku mengernyit memprotes, "Hei, memangnya aku yang..."
Claire memotongku, "Aku hanya berusaha bilang bahwa kau seharusnya konsisten dengan salah satu dari mereka, bukannya..."
"Bukannya apa?" aku menarik rem tangan dengan kesal. Aku sudah memarkir mobilku di pelataran parkir Redville High, yang masih sepi. Kami tiba agak terlalu pagi. "Bukannya main-main dengan mereka, begitu maksudmu?"
"Well..."
"Dengar, Claire. Kau cewek populernya. Selama ini kau-lah yang selalu jadi cewek populer. Kau tahu rasanya dapat perhatian dari cowok-cowok di sekitarmu dan menikmatinya. Sekarang, ketika dua cowok ini hanya memberiku sedikit perhatian lebih padaku, lantas kau kesal? Inikah inti dari mood jelekmu sedari tadi?" tandasku.
Claire diam saja. Dia menatap lurus dasbor di hadapannya sambil merengut, seolah-olah aku yang marah-marah adalah salah si dasbor.
"Aku hanya kepingin bilang bahwa kau cewek yang beruntung, Chloe. Kau-lah yang selalu amat beruntung." ujar Claire, pelan. Kemudian dia keluar dari mobil dan menutup pintu agak terlalu keras di belakangnya. Cewek itu berjalan menyeberangi pelataran parkir menuju lobi, meninggalkanku sendirian, tercengang.
🍁
"Dia iri padamu."
"Yeah, yang benar saja."
"Aku serius. Nggak ada penjelasan lain yang lebih masuk akal dari itu."
Aku dan Leanna berjalan bersisian sepanjang antrean makanan di kantin, jam istirahat siang. Chuck masih menghindariku, si Pengkhianat, karena itu dia duduk bersama beberapa teman cowoknya, dia bahkan menarik Seth bersamanya. Leanna tampaknya sudah bosan dan sekarang masa bodoh dengan aksi ngambek Chuck yang konyol ini.
"Maksudku," Leanna tiba di buffet makanan dan menyendok salad buah ke dalam mangkuk di nampannya, "...akui saja. Seth dan Ethan ibarat dua koin paling berkilau di dalam celengan bernama 'Redville High'. Dan kau mendapatkan kesempatan berharga untuk membelanjakan dua koin paling berkilau ini. Kalau kata-katamu soal Claire yang selalu jadi cewek populer di sekolah-sekolah kalian dulu itu benar, jelas sudah itu alasan adikmu uring-uringan."
"Karena dia nggak dapat 'kesempatan berharga membelanjakan dua koin' ini?" tanyaku setengah geli. Leanna memberi isyarat mata bahwa dia tidak bisa lebih setuju lagi dengan perkataanku.
Aku memikirkan kata-kata Leanna seraya mengisi nampanku dengan makanan-makanan favoritku; sandwich keju-daging asap, salad, puding susu, dan jus apel. Ketika nampanku sudah terisi penuh, aku merasa ada yang mendorong sikuku dari belakang.
"Sudah semua? Nah, ayo."
Aku menoleh dan ternganga mendapati Ethan, lagi-lagi, sudah menjulang di sana, di belakangku. Dia menekankan ujung-ujung nampan makan siangnya ke punggungku dan menggiringku ke mejanya yang biasa, di sudut dekat pintu dapur. Aku celingukan panik mencari-cari Leanna dan cewek itu sudah kabur dari antrean makanan, memberiku tanda lewat tatapan matanya agar aku nurut saja dan jangan melakukan apa-apa agar tidak celaka.
Aku kebingungan, Ethan lagi-lagi menculikku ke mejanya dan sikap cowok itu tampaknya santai-santai saja, seolah mendorongku paksa keluar antrean menuju mejanya adalah rutinitas kami setiap hari di kantin, lima hari seminggu selama jam istirahat.
Ethan duduk di hadapanku sembari meletakkan nampannya sendiri. Dia sudah menggigit kentang gorengnya yang kedua ketika menyadari tatapan ganjilku yang masih berdiri mematung di depannya.
"Kau terbiasa makan sambil berdiri?" tanyanya, alisnya terangkat.
Perlahan, aku menaruh nampanku dan duduk. Tetapi aku belum menyentuh makananku dan hanya memperhatikan Ethan.
"Apa?" Ethan bertanya risih menyadari pandanganku yang tak putus-putus.
"Kenapa sih kau harus melakukannya setiap kali?" aku balas bertanya, "Kau bahkan nggak pernah menanyaiku dulu apa aku mau duduk semeja denganmu."
"Jadi..." Ethan menelan kentang gorengnya, "...kau nggak mau duduk semeja denganku?"
Aku menghela napas berat, "Bukan begitu..."
"Kalau begitu masalah selesai." dia meneguk sodanya.
"Maksudku adalah..." aku berusaha menelan kejengkelanku, "...kau selalu melakukannya setiap kali. Menggiringku ke mejamu. Menarik-narik ranselku ke gym. Puncaknya, membawaku ke St. Carollus."
"Kau nggak suka kukenalkan dengan Rose?" Ethan lagi-lagi bertanya.
"Ini bukan masalah Rose." jelasku nyaris putus asa, "Hanya saja—nggak bisakah kau menanyai pendapatku dulu sebelum kau menyeret-nyeretku ke suatu tempat?"
Ethan tidak berkomentar apapun soal ini. Cowok itu berhenti mengunyah dan menatapku. Setelah beberapa saat terdiam, Ethan akhirnya membuka suara.
"Apa kau bersedia duduk denganku di kantin mulai sekarang?" tanyanya, perlahan dan jelas.
Aku belum pernah menerima kata-kata semanis itu dari seorang cowok. Well, aku nggak tahu apa tujuan Ethan mengatakan itu padaku, dia cowok yang mengesalkan dan sulit ditebak. Namun tetap saja aku tidak bisa mencegah diriku merasa tersanjung karenanya.
Ethan masih memandangiku, di sudut bibirnya tersungging senyuman samar yang nyaris luput dari perhatianku. Dia tampaknya menunggu, dan aku tidak kuasa untuk memberikannya jawaban selain dengan mengangkat bahu dan menggumam ogah-ogahan, "Yah. Nggak masalah, sih."
Sepanjang sisa hari itu aku sibuk memikirkan segala kemungkinan. Kalau kata-kata Claire benar—tentang Ethan yang naksir padaku—aku heran mengapa sampai sekarang cowok itu tidak terang-terangan saja menembakku.
Bukannya aku mengharap Ethan menembakku atau apa, aku hanya berusaha melihat ini secara objektif. Ethan keren. Dia populer di kalangan cewek. Dia tipe yang bisa menggaet kutu buku klub komputer hingga nona populer anggota cheerleader sekalipun dengan satu kedipan mata—tentu saja ini kukatakan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kesempurnaan Seth yang sudah jelas dipuja seluruh cewek seantero Redville.
Karena itu aku bingung. Kenapa Ethan berputar-putar? Kenapa cowok itu harus repot-repot menarik-narikku di kantin, mendorong-dorongku, dan membawaku ke panti asuhan? Kenapa dia harus repot-repot melakukan semua itu? Kenapa dia tidak... langsung saja memintaku jadi pacarnya?
Pacar.
Pikiran itu membuatku serasa dihempaskan kembali ke tanah.
Chloe Winchester. Tentu saja.
Apakah Ethan hanya penasaran seberapa miripnya aku dengan CW? Bagaimana reaksiku jika dia berbuat ini-itu, mengajakku ke sini-situ? Apakah sama dengan CW? Apakah dia hanya ingin melakukan semacam eksperimen?
Aku menggabrukkan diriku ke atas ranjang setibanya di rumah sepulang sekolah. Aku membuka sepatuku asal-asalan dan melemparnya ke ujung ruangan, menutupi mata dengan satu lenganku karena sinar matahari sore hari yang menembus masuk jendelaku lumayan menyilaukan.
"'Aku selalu amat beruntung'?" aku mengulang sinis kata-kata yang ditujukan Claire padaku tadi pagi, di dalam mobil, "Kayaknya lebih tepat aku yang selalu amat sial."
🍁
Hari Sabtu tiba.
Aku masih beberapa minggu berada di Redville dan bertemu dengan beberapa hari Sabtu, karena itu aku masih sangat tidak terbiasa ketika mendapati ponselku berbunyi pukul delapan pagi dan layarnya menunjukkan nomor tidak dikenal. Dan tahu-tahu suara maskulin yang sudah tak asing itu terdengar dari seberang.
"Kujemput di Wendy's setengah jam lagi."
Aku bahkan tidak sempat menjelaskan hendak pergi ke mana sepagi itu di hari Sabtu kepada Dad ketika aku ngibrit keluar ruang makan. Aku sempat menyambar setangkup roti panggang dan menyerukan "Pergi dulu!" diiringi tatapan keheranannya. Syukurlah Claire masih tidur.
Mobilku sedang dipinjam Mom untuk belanja bulanannya sejak pagi, sehingga aku harus naik bus. Aku menyeberang menuju Wendy's dengan napas satu-dua, pasalnya jarak dari halte bus terdekat menuju pertokoan Birch's End lumayan jauh, dan aku sudah sangat terlambat. Lalu aku melihat Ford Ranger hitam Ethan sudah terparkir di trotoar, namun tidak menemukan cowok itu di manapun.
Tepat saat itu, aku mendengar ketukan samar dari arah belakangku. Aku berbalik dan melihat cowok itu tengah duduk di dalam restoran, dia menempati meja persis di balik kaca dan memberi isyarat agar aku masuk.
"Sori aku... lupa... hari ini ada... janji... denganmu..." kataku terengah-engah. Ethan hanya memperhatikanku yang kehabisan napas dengan sorot tak terbaca.
"Kau berlari sampai sini?" tanyanya.
"Kelihatannya bagaimana?" aku balas bertanya jengkel, "Kau menelepon saat aku masih setengah bermimpi. Mobilku dipakai. Jadi aku naik bus."
Cowok itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya tersenyum. Senyumannya yang biasanya menyebalkan entah mengapa kali ini terlihat berbeda, "Makanlah dulu sesuatu. Kita nggak buru-buru."
Aku menurunkan bahuku lemas, "Nggak buru-buru. Harusnya kau bilang itu di telepon tadi." lalu aku duduk di hadapan Ethan dan memesan jus dan pretzel pada pelayan yang menghampiriku, "Ngomong-ngomong dari mana kau tahu nomorku?"
Ethan hanya mengangkat bahu sambil menggigit donatnya, "Data sekolah."
Ayahnya, aku membatin.
Sungguh aneh mendapati diriku sarapan dengan Ethan Dodson di Sabtu pagi. Trotoar juga masih sepi pejalan kaki, sedari tadi yang melintas hanyalah orang-orang yang lari pagi atau pasangan-pasangan senior yang berjalan santai untuk menikmati matahari. Janggal rasanya mendapati Ethan Dodson, si cowok misterius, makan donat dan menyeruput kopi di hadapanku. Terlihat makin keren setiap harinya dengan rambut gondrong, jaket kulit, dan mata biru pucat itu.
"Untuk apa itu?" tanya Ethan sekitar setengah jam kemudian, saat aku masuk ke mobilnya seraya menenteng sekotak donat.
"Rose." sahutku.
"Dia nggak suka yang manis-manis, tahu." kata Ethan.
Aku menunduk menatap donatku kecewa, "Oh."
Ethan nyengir, "Jangan khawatir, kau bisa berikan untuk Suster Frida."
Kami tiba di St. Carollus ketika matahari sudah nyaris sejajar dengan ubun-ubunku. Tidak seperti kunjungan terakhirku ke situ, tempat itu jauh lebih riuh, pekarangannya ramai oleh anak-anak yang sedang keluar istirahat. Aku dan Ethan menyeberangi parkiran.
"Tempat ini juga memiliki sekolah." Ethan menunjuk gedung besar agak di belakang panti asuhan, yang sebelumnya luput dari perhatianku, "Rose mungkin keluar satu jam lagi."
Satu jam? Apa yang harus kulakukan selama satu jam menunggu dengan Ethan Dodson?
"Mau berkeliling sembari menunggu?" usul cowok itu seolah membaca pikiranku. Aku mengangguk saja.
Maka kami berjalan mengelilingi kompleks panti dan sekolah—yang ternyata cukup luas—dan berakhir di bangku taman dekat lapangan bermain, mengawasi anak-anak berlarian ke sana ke mari dengan begitu cerianya. Tentu saja. Belum ada kelas Matematika Lanjutan atau Fisika Terapan untuk mereka.
"Apa kalian ingin menjemput seseorang?"
Aku tersentak mendapati seorang bocah laki-laki—mungkin sekitar enam atau tujuh tahun—berdiri di sebelah Ethan, menatap kami dengan pandangan curiga.
"Halo." sapa Ethan, "Bukan. Kami bukan ingin menjemput siapapun. Siapa namamu?"
Bocah itu cemberut, "Suster bilang kami tidak boleh berbicara dengan orang asing." katanya.
"Nasehat bagus, tapi kami ini bukan orang jahat. Aku Ethan. Dan dia Maddy." kata Ethan, "Kami ke sini mengunjungi Rose tiap minggu."
Perlahan, sepasang mata bocah itu membesar, "Jadi kau yang namanya Ethan?"
Ethan bertukar pandang denganku bingung, "Uh... yeah, kenapa?"
Dia menatap Ethan dengan pandangan sebal, "Rose bilang kau yang akan membawanya pergi ke istana barunya."
Raut wajah Ethan seketika berubah. Aku memperhatikannya tanpak kehilangan kata-kata. Karena itu aku mengambil alih.
"Siapa namamu?" tanyaku lagi.
"Kevin."
"Well, Kevin." aku bangkit dan berjongkok di hadapan Kevin, "Kami teman-teman Rose. Dan kami nggak berencana untuk membawanya pergi, jadi jangan khawatir."
"Tapi Rose bilang kalau pangerannya bernama Ethan akan membawanya keluar dari sini suatu hari. Aku nggak mau dia pergi."
Aku melirik Ethan sekilas, kali ini dia mengangguk padaku. Kemudian cowok itu ikut berlutut di hadapan Kevin dan berkata, "Kevin, Rose nggak bisa menjamin dia dapat terus menemanimu di sini. Kau juga nggak bisa menjanjikan hal yang sama terhadapnya. Suatu hari nanti, kalian akan diadopsi keluarga baru yang menyayangi kalian. Mungkin kalian akan terpisah."
Aku menggigit bibir mendengarkan perkataan Ethan yang begitu jujur dan tanpa basa-basi. Kevin cemberut, kemudian air mata mulai mengalir di pipinya dan dia menutupi kedua matanya dengan lengan.
"S-suster juga bilang hal yang sama kepada kami..." Kevin sesenggukan.
"Hei, maukah kau menjanjikan satu hal kepada kami, Kevin?" aku menyeletuk.
"Apa?" tanyanya parau.
"Kau harus berjanji untuk menjaga Rose selama kalian masih bersama. Hingga saatnya kalian harus berpisah nanti, Rose akan mengingatmu sebagai pangerannya."
Kevin tidak menyahut, dia hanya menurunkan lengannya dan mengangguk-angguk. Matanya sembab dan pipinya basah.
"Kau bisa melakukannya, Pangeran?" tanyaku seraya menghapus air mata di pipinya.
Anak itu mengangguk.
"Janji?" senyumku.
"Janji." sahutnya serak.
"Tapi aku nggak mau dia jadi pangeranku!"
Suara melengking itu mendadak terdengar. Rose sudah berdiri di dekat pohon tak jauh dari situ. Gadis cilik itu menatapku dan Ethan marah sebelum dia berbalik dan berlari.
"Aku akan bicara dengannya." Ethan bangkit dan menyusul Rose.
Selama menunggu Ethan, aku menemani Kevin bermain tangkap bola dan mengobrol dengan Suster Frida—dia menerima donatnya dengan sukacita. Kemudian ketika Kevin akhirnya tertidur di sofa ruang kerja Suster Frida sementara aku menceritakan masalah krisis kepercayaan Rose, Ethan kembali bersama gadis itu. Rose bergandengan dengan Ethan. Matanya sembab habis menangis.
"Oh, ini dia Putri kecil kita!" Suster Frida bangkit dan menghampirinya, "Semua orang mencarimu di kelas terakhir."
"Maafkan aku, Suster." Rose menyahut pelan. Suster Frida tersenyum.
"Ayo kita kembali ke asrama."
Rose melongok ke arah sofa, "Kevin bagaimana?"
"Mungkin dia akan tidur di sini sebentar." kataku.
Perhatian Rose jadi teralih padaku. Kemudian dia menunjukku sambil bertanya pada Suster Frida, "Bolehkah Maddy yang menemaniku?"
Suster Frida tampak terkejut sejenak, sebelum menoleh padaku dan kami saling bertukar pandang senang, "Tentu saja!"
"Hebat." kemudian Rose berjinjit dan menarik-narik ujung jaket Ethan, cowok itu membungkuk sedikit dan membiarkan Rose mengecup pipinya, "Sampai ketemu lagi!"
"Bye." Ethan mengacak puncak kepala Rose sementara aku menggandeng gadis cilik itu keluar ruangan menyusuri koridor. Karena aku tidak tahu letak kamarnya, sepanjang jalan Rose-lah yang memanduku. Lalu kami tiba di kamarnya. Dia sekamar dengan beberapa anak perempuan lainnya, namun ketiganya sedang asyik bermain pesta teh di teras belakang.
"Jangan bilang-bilang Ethan aku menanyaimu ini ya." Rose memulai seraya duduk di tepi ranjangnya. Dia lalu menepuk tempat di sampingnya dengan gerakan bersahaja, bertingkah seperti wanita bangsawan. Aku duduk di sampingnya, menantikan apa yang akan dikatakannya, "Jadi apa sebetulnya gelarmu?"
"Hah?" tanyaku, amat sangat tidak bersahaja.
"Gelarmu." Rose berdeham formal, "Kalau gelarku: Putri Rose Charlotte-Florian Brooke. Florian nama hamsterku yang meninggal bulan lalu dan Charlotte nama Barbie-ku."
"Kalau begitu..." aku pura-pura berpikir keras, "Namaku: Maddy-Chloe Rupert Madison."
"Rupert?" Rose mengernyit.
Aku mengangkat bahu, "Itu nama kura-kura peliharaan ibuku."
Rose terbahak, "Eww... namanya jelek banget."
Aku terkekeh, "Kalau begitu, Maddy-Chloe saja."
"Ratu Maddy-Chloe." ralat Rose. Aku menyipit bingung.
"Sekarang aku jadi ratu?"
"Jangan pura-pura bodoh. Aku sudah tahu dari Ethan. Tadi dia bilang selama ini dia tidak pernah bisa menjadi pangeranku karena dia sebetulnya seorang raja. Dia merahasiakan ini dariku untuk melindungiku dari ancaman-ancaman musuh. Dan dia bilang dia sudah punya ratu. Namanya Chloe. Itu kau." dia bersedekap.
"Oh."
Bukan, bukan aku, batinku.
"Karena itu aku menerima usulmu menerima Kevin sebagai pangeran. Tetapi dia nggak bisa apa-apa. Dia hanya tebas sana tebas sini! Dia perlu pelatihan khusus." gerutu Rose.
"Menurutku pribadi sih dia oke-oke saja. Kemampuan berpedangnya pasti bisa melindungimu dari monster atau naga jahat. Tetapi kalau kau masih ragu, Raja Ethan bisa melatihnya." saranku.
Sepasang bola mata Rose berbinar, "Benarkah?"
Aku tersenyum meyakinkan dan mengedip, "Serahkan saja padaku."
Setelah perbincangan 'cewek-ke-cewek' antara aku dan Rose, aku kembali ke parkiran sekitar lima belas menit kemudian. Ethan sudah menungguku di dalam mobil, rupanya selama aku di dalam, dia sudah membelikan kami burger di restoran cepat saji dekat sini untuk makan siang.
Selama perjalanan kembali ke Redville, kami tidak banyak berbicara. Aku sibuk dengan burger dobel kejuku dan aku tahu Ethan tengah sibuk dengan pikirannya.
Ketika kami tiba di kompleks perumahanku—Ethan bersikukuh mengantarku hingga ke rumah—langit sudah berubah jingga tua sewarna selai jeruk di atas donat yang kuberikan untuk Suster Frida tadi. Ethan menghentikan mobilnya persis di belokan jalan—setelah kuwanti-wanti bahwa Claire akan heboh jika melihat truk hitamnya parkir di trotoar depan rumah. Aku mengucapkan terima kasih atas burgernya dan turun dari mobil. Namun kulihat Ethan mematikan mesin dan ikut turun.
"Er... kau mau mampir?" tanyaku gagal paham mengapa dia sekarang malah berjalan mengitari mobil dan menghampiriku.
"Terima kasih..." kata cowok itu, berhenti di hadapanku. Kedua tangannya berada di saku celana, "...sudah membantuku soal Rose hari ini."
Aku mengulum senyum. Seorang Ethan Dodson yang terkenal angkuh dan menyebalkan sedang berterima kasih kepadaku. Mau tak mau aku merasa agak berpuas diri, "Setelah ini kau harus membantu Kevin melatih keterampilan berpedangnya."
Ethan mengerutkan dahi. Maka aku menjelaskan, "Aku menjanjikan Rose bahwa Raja Ethan bisa membantu Pangeran Kevin agar menjadi pelindung sejati yang layak untuknya."
"Wow." Ethan bersiul, lalu melangkah lagi, "Tugas yang berat. Trims atas misi ekstranya. Haruskah kubawa pedang Excalibur kebanggaanku?"
"Tidak perlu." kataku, kehilangan fokus. Matanya. Mata biru itu menghujamku. Mengapa Ethan berdiri begitu dekat? "Kita akan belikan pedang mainan lain kali."
"Ide bagus." Ethan tersenyum miring.
"Kita bukan pembicara yang baik tadi... maksudku... dengan Kevin dan Rose?" tanyaku pelan dan gugup.
Ethan mendengus. Saat jemarinya tiba-tiba menggamit daguku, aku membeku.
"Yeah... kita pembicara yang buruk." gumam Ethan, sebelum cowok itu mencondongkan wajahnya dan mengecup pipiku.
Lembut dan lama.
Sekitar lima atau enam detik.
Aku menghitungnya.
Ketika Ethan menjauhkan wajahnya dan memandangiku lagi, ujung-ujung hidung kami nyaris bersentuhan. Cowok itu seperti tengah menimbang-nimbang, aku berani bersumpah matanya terkunci pada bibirku.
Aku menelan ludah.
Dan entah apa yang hendak terjadi seandainya saja tidak ada serombongan murid sekolah dasar yang mendadak melewati kami dengan berisik. Yang kutahu, detik berikutnya Ethan sudah menarik tangannya dari wajahku dan kembali menegakkan diri.
"Sampai hari Senin, kalau begitu." katanya sambil mengacak rambutku.
Aku bengong selama beberapa detik sebelum menyahut akibat terpaan rasa syok, "Yeah. Uh, sampai hari Senin."
🍁
*gigit saputangan di pojokan*
3000 words! Lagi-lagi, maaf untuk chapternya yang panjang.
Ethan (juga) patut mendapatkan porsi yang banyak
lol
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top