Chapter 12

Chuck langsung membombardirku dengan tatapan setajam duri landak dan sebuah kata sepedas tabasco di kelas Sejarah, kelas pertama kami setelah istirahat siang.

"Pengkhianat."

???!!!

Praktisnya, seisi kantin melihatku dan Ethan duduk semeja. Termasuk Chuck. Akibatnya, sepanjang sisa pelajaran, Chuck tak lagi mengajakku berbicara. Leanna, yang sudah bisa menerima fakta bahwa aku mulai dekat dengan Ethan, hendak membuka mulut untuk memprotes sikap agresif Chuck padaku. Namun Chuck menatapnya dengan pandangan jangan-coba-coba dan Leanna hanya mampu pasrah.

Bahkan Seth saja tampaknya tidak terlalu memusingkan masalah kedekatanku dengan Ethan. Well, aku tak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, aku toh bukan tukang ramal, tapi apapun emosi yang masih tertinggal di sana, dia mampu mengatasinya dengan kepala dingin. Bukan malah bersikap kekanakkan dan berapi-api seperti Chuck. 

Secara objektif, Ethan tidak sepatutnya disalahkan soal kecelakaan mobil itu, apalagi meninggalnya Chloe Winchester. Chuck membuat seolah-olah nama tengah Ethan Dodson adalah Patut-Dibenci!

Oh, sedikit ralat. Tadinya kupikir Seth memang kelihatannya tidak memusingkan masalah ini, tapi nyatanya dia malah bungkam total.

Cowok itu berusaha bertingkah seperti biasa, tetap duduk di sebelahku di kelas dan mencatat. Tapi aku berani bertaruh dia telah memasang tembok tebal kasatmata bertuliskan 'anti Chloe' atau 'Chloe dilarang masuk' atau sejenisnya di antara kami selama pelajaran.

Aku hanya bisa mengagumi sosok tampannya dari sudut mataku. Kebiasaannya menopang dagu dengan sebelah tangannya sambil menulis. Astaga, dia masih saja sempurna.

Aku mulai mencorat-coret sudut buku catatanku, kebiasaan jelek ketika bosan atau frustasi. Lalu begitu saja tanganku meluncur menuliskan kata-kata yang terngiang-ngiang di kepalaku. 

Ini tidak adil.

Bel berbunyi. Seth berdiri. Aku spontan menutup bukuku kaget, terlalu keras hingga selama sepersekian detik Seth menatapku, namun tanpa komentar apa-apa dia berbalik pergi. Seth mengikuti rombongan keluar kelas, Leanna yang berjalan di belakang Chuck memberi isyarat padaku bahwa dia akan meneleponku malam ini. 

Yah, untunglah sahabatku satu-satunya tidak ikut-ikutan membenciku.

🍁


"Dia membenciku, Lee."

"No way."

"Sangat benci."

"Nggak bakal."

Aku mulai merasa muak dengan perdebatan kami di telepon. Leanna bersikeras mempertahankan pendapatnya bahwa Seth tidak mungkin membenciku. Dia yakin bahwa Seth hanya agak terkejut dengan sikap Ethan yang mendadak jadi dekat denganku.

"Dia nggak membencimu. Kau nggak lihat wajahnya ketika kau dan Ethan tertawa-tawa di kantin tadi siang seperti sepasang kekasih di video klip musik. Dia hanya kelihatan... syok."

Aku menghela napas, "Poinmu?"

"Dia cemburu."

"Sori saja, usahamu sia-sia. Aku ini 'kakaknya', ingat?" sahutku munafik. Padahal jantungku melompat-lompat membayangkan alis Seth bertaut jengkel saat melihatku duduk dengan Ethan.

"Entahlah, Chloe. Lagipula, mengapa kau yakin sekali dia memandangmu seperti kakaknya?" komentar Leanna.

"Dia sendiri bilang padaku—"

"Nggak bisakah kau memikirkan secuil kemungkinan bahwa Seth suka padamu?" potong Leanna, "Aku nggak mau sok tahu, tapi... mungkin saja kan?"

Kata-kata Leanna menghujamku. 

"No way." sahutku keras kepala.

"Kau harus dengar kata Chuck. Dia bilang padaku, 'Kenapa di saat Seth dan Chloe sudah akrab, dia malah melenggang dengan Ethan? Bukankah menurutmu dia naksir Seth?'  dan jangan coba-coba mengelak, aku tahu kau naksir Seth."

"Hei! Aku nggak pernah mendeklarasikan kalau aku naksir Seth! Dan sekadar info, bukan aku yang mendekati Ethan! Cowok itu yang menarikku ke mejanya." protesku habis kesabaran.

"Pokoknya, Chuck berpikir kau plin-plan." lanjut Leanna tak menggubrisku, "Yah dia memang menanggapinya berlebihan, dia juga yakin kau naksir Seth dan menyinggung-nyinggung soal kau yang dia anggap berada di blok putih..."

"Sudah kubilang aku nggak pernah mendekla—"

"...tapi nyatanya kau sekarang dengan Ethan terus, kau masuk 'blok hitam', makanya Chuck tadi memanggilmu pengkhianat."

"Chuck sama sekali nggak tahu apa-apa." tukasku pendek, "Terserah cowokmu mau bilang apa. Ethan yang menarikku. Dan apa-apaan sih blok hitam dan blok putih?"

Leanna terdiam. Sungguh melegakan sekaligus menyiksa tak dapat melihat ekspresinya saat ini.

"Entahlah Chloe, terkadang Chuck bisa begitu absurd." Leanna mendesah, "Yang pasti aku sudah menjelaskan semuanya. Dan kupikir, Seth nggak membencimu. Sekarang terserah padamu. Nah, selamat tidur!"

Klik. Teleponnya dimatikan. Aku masih memegangi gagang telepon selama beberapa saat, tertegun.

Selama setengah jam penuh aku hanya bengong di kasurku, tidak tahu harus berbuat apa. Aku memutar ulang seluruh percakapanku dengan Leanna di kepalaku, namun tidak bisa kuterima begitu saja. Ide bahwa Seth marah pada Ethan dan mendiamkanku karena dia naksir padaku rasanya terlalu... muluk untuk jadi kenyataan.

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh dering ponsel.

"Halo?" sahutku letih.

"Halo, Chloe."

Aku langsung terduduk tegak.

"Seth?" aku mengecek layar ponselku. Nomor Seth.

"Yeah, ini aku." Seth menjawab dari seberang, "Apa kau lagi senggang?"

Dia bertanya apa aku senggang! Dia tidak membenciku!

"Apa ada tugas untuk besok?" aku balik bertanya.

"Hmm... kayaknya nggak. Kenapa?"

"Kalau begitu aku senggang. Ini pertama kalinya kau meneleponku." kekehku gugup, berusaha memalsukan nada gembiraku semaksimal yang kubisa.

"Aku hanya merasa nggak enak padamu di kelas Biologi tadi. Lee meneleponku barusan. Kau sepertinya salah paham, aku nggak marah padamu. Hanya sedang... berpikir."

Lee, aku cinta padamu!

"Apakah kau mau membicarakannya?" tanyaku.

Seth hanya diam, maka aku menumpahkan isi hatiku saja sekalian, "Aku sempat mengira kau marah padaku gara-gara aku... uh, duduk dengan Ethan." aku diam sebentar untuk mengetahui reaksi Seth, namun ternyata dia masih diam. Maka aku melanjutkan, "Tapi aku ingat kau sepertinya nggak menaruh dendam padanya sebesar Chuck, jadi kurang lebih aku kebingungan."

"Aku minta maaf, sikapku nggak sopan." ujar Seth.

Kau malah terlalu sopan untuk ukuran cowok abad dua puluh satu, batinku terpesona.

"Kukira malah kau yang membenciku."

Terdengar tawa renyah dari seberang sana, "Kau toh hanya duduk semeja dengan Ethan. Memangnya kita ini apa, bocah SD? Dan jika aku membencimu, aku nggak bakal meneleponmu dari mobilku sambil menatap jendela kamarmu sekarang."

Pantatku rasanya seperti disengat listrik ketika aku langsung meloncat berdiri, menyeberangi kamarku untuk melongok ke luar jendela. Dari balik dedaunan pohon maple aku dapat melihat kilau keperakan Porsche Seth di seberang jalan. Kaca jendela pengemudinya terbuka dan Seth melambai padaku dari dalam situ.

"Kau sinting." komentarku sambil nyengir lebar, "Apa yang kau lakukan di situ? Dari mana kau tahu ini jendelaku? Uh—maksudku rumahku?"

"Lee memberitahuku alamatmu ketika dia meneleponku tadi. Dan ngomong-ngomong apakah kita harus berlagak seperti Rapunzel dan pangerannya terus seperti ini, kau di menaramu, aku di bawah sini, saling bercakap-cakap lewat telepon padahal jarak kita kurang dari sepuluh meter?"

Aku tergelak, "Kau mau masuk?"

"Oke, kututup ya."

Aku masih mengagumi sosok Seth di kegelapan yang keluar dari mobilnya, dan berjalan dengan mantap menuju pintu rumahku. Aku terlambat sadar aku harus segera membukakan pintu untuknya ketika ayahku berseru dari bawah.

"CHLOE, ADA UH... TEMANMU DI RUANG TAMU!"

"AKU DATANG!" balasku panik sambil buru-buru mengganti piamaku dengan t-shirt dan jins yang pantas.

Begitu membuka pintu kamar, Claire menghadangku dengan mata yang memelototiku hingga sebesar bola tenis.

"Itu Seth! Mau apa dia ke sini? Apa dia ada janji denganmu?" desisnya.

"Ng... nggak juga."

"Oh!" matanya semakin membulat hebat, "Apa dia ingin menemuiku?"

Karena tak punya alasan kuat, akupun menjawab sekenanya. "Entahlah tapi Dad memanggilku, bukannya kau."

Claire tampak ngotot, "Yeah aku tahu, secara teknis dia memang temanmu, kau yang sekelas dengannya. Tapi kan siapa tahu..."

Dia kemudian melonjak-lonjak di tempat dan masuk ke kamarnya, "Bilang ya kalau dia ingin menemuiku!"

Aku masih agak terperangah ketika turun ke ruang tamu, lalu melihat sosok mirip malaikat mengenakan jaket, kaus putih, dan jins biru gelap yang sedang duduk di sofa.

Oh, rupanya itu Seth. Mataku memang kesulitan membedakan keduanya.

"Halo." sapanya sambil tersenyum cerah. Aku balas tersenyum gugup, lalu Seth menambahkan sambil berbisik, "Ayahmu baik sekali. Nggak tanggung-tanggung menawariku langsung naik ke kamarmu."

Aku melotot.

"Ibumu juga, dia bertanya padaku apakah aku mau bergabung untuk makan malam." lanjut Seth, nyengir semakin lebar.

Tentu saja Mom pasti sudah melihat Porsche-mu, Seth, batinku. Mereka berdua sungguh memalukan.

"Sori soal itu." aku meringis, "Jadi... adikku bertanya-tanya apakah kau ke sini untuk menemuinya atau menemuiku. Karena dia sudah siap untuk turun dengan anggun bila aku memanggilnya."

Seth mengulum senyum, "Sayangnya, aku ke sini untuk mengajakmu mampir ke rumahku. Orangtuaku mengundangmu makan malam."

Badai topan kontan terjadi dalam perutku.

"Ke rumahmu?" ulangku syok, "M-makan malam?"

"Mm-hm. Aku sering menceritakan teman-temanku pada mereka dan... mereka tertarik untuk mengundangmu."

Claire mungkin akan langsung pingsan karena syok jika dia ada di sebelahku. Tapi aku berusaha berpikir jernih, "Oh. Apa... uh, apa Lee dan Chuck juga datang?"

"Oh." Seth tampak berusaha bersabar menghadapi ketidakmampuanku untuk menerjemahkan kalimat, "Nggak. Mereka hanya mengundangmu. Secara spesifik."

"Aku, secara spesifik?" tanyaku lagi.

Seth mengangguk, kentara sekali tengah menahan tawa. "Yep. Kau. Secara spesifik."

Kali ini angin puyuh berputar-putar di paru-paruku.

"Bukan sesuatu yang serius kok. Hanya saja... kedua orangtuaku well, melihatmu saat menjengukku dan mereka... penasaran." Seth meringis, "Aku janji ini hanya makan malam yang kasual."

Tidak membantu, batinku.

Aku berusaha keras membuat suaraku terdengar netral, "Oh. Oke. A-apakah pakaianku pantas?"

Seth menimbang sesaat, "Kau hanya perlu memakai jaket atau semacamnya, udara malam ini dingin."

"Oh. Oke, tunggu."

Aku terburu-buru menaiki tangga menuju ke kamarku sambil menyesali kebodohanku yang terus menerus mengucapkan 'oh' dan 'oke' pada Seth, kemudian setelah menyisiri isi lemari pakaianku dengan kilat, akhirnya aku memutuskan mengenakan blus putih favoritku dan dandan seadanya, diselingi kepala Claire yang muncul di sela-sela pintu kamarnya ketika aku keluar, "Apa dia menanyakanku?"

Dan aku buru-buru kabur, "Sori Claire, aku harus pergi. Sampai nanti."

Di bawah aku langsung menghampiri Dad yang keheranan melihatku siap berangkat dan berbisik, "Dad, aku diundang makan malam di rumah Seth, dan tolong katakan aku akan ke rumah Lee atau apa saja pada Mom dan Claire."

Dad mengedip, "Kau nggak mau mereka berlebihan? Terutama soal Porche-nya?"

"Sangat." Aku memutar bola mata lalu mengecup pipinya, "Dah, Dad. Dah Mom!" seruku. Mom melongok dari dapur.

"Apa Seth tidak ikut makan malam? Aku sudah membuat daging panggang!"

"Sisakan saja untukku." aku nyengir bersalah.

🍁

Cie yang dinner sama camer wkwk
Jangan lupa voment :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top