Chapter 11

Sisa akhir pekanku habis hanya demi berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan nonstop dari Claire yang luar biasa penasaran soal 'kencan'ku bersama Ethan. Padahal aku sendiri sudah cukup muak dengan pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa-Ethan-memelukku atau kenapa-dia-bertingkah-seperti-itu dan kenapa-kenapa lainnya yang bermunculan di kepalaku sendiri. 

Minggu pagi, aku turun ke dapur dengan masih memakai piyama untuk mengambil sereal, ketika kulihat Claire memasuki dapur beberapa menit kemudian. Belum pernah dia terlihat segembira itu mendapatiku ada di dapur, sedang menuangkan susu pada mangkukku.

"Mana Mom dan Dad?" tanyanya segera.

"Mereka sedang keluar, ada janji dengan Mr. Manson masalah perbaikan pintu garasi atau semacamnya." aku memandangnya penasaran, "Ada apa?"

"Apa lagi!" dia menyeretku ke meja makan, "Ceritakan tentang Ethan!"

"Astaga. Kau betul-betul keras kepala." ujarku letih.

Kemudian dia melonjak-lonjak di tempat seperti anak anjing yang hendak diajak jalan-jalan, "Ceritakan! Apa yang kau lakukan dengannya kemarin? Apa dia menembakmu? Apa dia menciummu?"

"Apa isi otakmu hanya soal itu?" aku menatapnya tak percaya. Maka akhirnya, mau tidak mau aku menceritakan soal St. Carollus dan Rose, juga kenyataan bagaimana Ethan ternyata sangat peduli pada anak itu. Namun aku tetap bertahan tidak menceritakan bagian 'sensitif'nya. Karena aku masih punya cukup akal sehat. Bagaimana kalau dia tak sengaja membocorkan hal itu ke semua orang di sekolah?

Pada akhir ceritaku, mata Claire berkaca-kaca. 

Aku memandangnya keheranan, "Kau kenapa?"

"Ethan Dodson, ternyata seorang cowok yang sangat perasa." desahnya sambil menerawang, kemudian dia meneruskan dengan agak histeris, "Mana ada remaja cowok di jaman ini yang mempedulikan nasib seorang anak yatim piatu?!" matanya membulat, "Jangan-jangan dia punya dua kepribadian?! Yang satu cuek dan kejam namun di satu sisi dia bisa menjadi sangat lembut dan penuh perhatian?"

"Kau kebanyakan nonton drama." komentarku pendek.

"Atau mungkinkah..." imajinasi Claire mendadak liar, "...Rose sebetulnya adalah anak kandungnya?!"

Aku mendengus ke serealku, "Yeah, dan aku adalah kandidat Presiden Amerika berikutnya."

"Tapi kenapa..." sela Claire, mengerutkan dahi dan mengabaikan kesinisanku. "Kau nggak pulang naik mobil Ethan? Kemarin aku lihat kau turun dari mobil Leanna..."

Astaganaga, anak ini tahu segalanya!

"Aku ada janji dengan Lee." kilahku, "Dan ngomong-ngomong, aku juga sudah memberitahunya soal pertemuanku dengan Ethan. Dia agak marah, tapi... kami tidak sampai pukul-pukulan atau apa."

"Tuh, kan. Sebetulnya nggak ada yang perlu dirahasiakan!" Claire mengibas rambut pirangnya sok, "Aku juga yakin Chuck dan Seth nggak akan keberatan..."

Yah. Begitulah.

Tibalah hari Senin, ketika rasanya aku ingin berbaring terus di bawah selimut dan kasurku yang empuk di rumah, menolak beranjak sampai hari Minggu tiba lagi, jadi aku tidak harus bertemu pandang dengan Ethan. Atau Leanna. Atau Chuck. Atau Seth. Atau siapapun.

Tapi Mom tidak akan pernah membiarkan hal sarat ego semacam itu terjadi. Maka aku tetap berjalan menuju kelas Bahasa Inggrisku dengan langkah gontai. Setibanya di kelas, aku mendapati Seth sudah duduk di kursi kami yang biasa, menyisakan satu kursi kosong di sebelahnya untukku. Kalau suasana hatiku tidak sedang seburuk ini, aku pasti sudah merona-rona, meletup-letup kegirangan, atau semacamnya.

"Hai." sapa Seth, nyengir lebar. Wajahnya tetap imut dan memesona, walaupun masih terlihat agak pucat.

"Hai. Senang kembali berkeliaran di koridor-koridor sekolah yang ramai?" tanyaku lesu.

"Setidaknya aku masih kelihatan lebih senang daripada kau." Seth menatapku khawatir, "Apa yang terjadi? Kau kelihatan siap menenggelamkan diri."

Aku mendesah jengkel, "Semua orang mendadak bisa membaca pikiran? Baru tadi pagi Dad menanyai ada apa padaku, sekarang kau yang tanya."

"Nggak perlu jadi peramal dulu." Seth tersenyum, seakan sudah biasa menghadapiku bersikap seperti ini, "Apa kau mau cerita?"

Aku menimbang. Sebenarnya agak enggan menceritakan kejadian memalukan di belakang St. Carollus itu, tapi melihat tampang Seth yang baik dan polos, aku sebetulnya tidak tega.

"Nggak apa kalau kau nggak mau Chloe, toh aku nggak bakal memakanmu." Seth langsung memotong sambil tertawa renyah. Diam-diam aku lega. Cowok setengah malaikat ini memang cowok paling pengertian yang pernah kukenal.

🍁

Seth menemuiku lagi di koridor pada jam istirahat siang, di depan lokerku. Aku berjalan bersamanya menuju kantin yang hiruk pikuk. Kami langsung mengambil nampan dan memasuki antrean makanan. Sepanjang perjalanan sembari membawa-bawa nampan, punggung Seth terus-menerus ditepuki teman-teman cowoknya. Tak ketinggalan ucapan 'Selamat datang kembali!' dari cewek-cewek yang ketara sekali ingin mendapat secuil senyuman Seth yang memabukkan. Aku yang mengantre di depan Seth cuma bisa membisu.

"Mana sih Lee dan Chuck?" cowok itu menggerutu kesal sehabis menerima berlusin-lusin tepukan, "Punggungku sakit dan aku kelaparan nih."

Ketika tangan Seth terulur melewatiku dengan tak sabar untuk mengambil kentang goreng, sebuah tangan lain melakukan hal yang sama. Tangan-tangan itu bertubrukkan.

Seth menatap si pemilik tangan dengan agak terperangah. Beberapa detik kemudian, senyuman tipis mengembang di bibirnya, "Hai, Ethan."

Ethan, yang ternyata dari tadi mengantre persis di depanku—namun saking tidak fokusnya diriku sampai tidak kukenali—sama terkejutnya dengan Seth. Namun cowok itu hanya mengangguk singkat, lalu menyahut dengan kaku, "Seth."

Pandangan Ethan lalu teralih padaku, dan tampaknya dia juga baru sadar bahwa aku sedari tadi berdiri di belakangnya, di antara dia dan Seth.

"Oh... kau lagi, Maddy." katanya dengan nada bosan. Aku menelan kedongkolanku. Seth mengangkat alisnya tinggi sekali, seolah-seolah dia mempertanyakan panggilan 'Maddy?' padaku tanpa suara. 

Kami bertiga terdiam.

"Ng... halo? Kalian nggak lihat ya antreannya masih panjang?" seorang cewek di belakang Seth memprotes jengkel.

Aku sangat bersyukur akan kehadiran cewek itu juga pada mulut pedasnya. Seth buru-buru menyendok kentang gorengnya dengan canggung sementara Ethan memutuskan melupakan kentangnya dan keluar antrean. Sambil menggandengku.

"Kau ngap—?" aku tercengang. Seth yang juga keheranan melihat tanganku ditarik, baru akan membuka mulutnya untuk bertanya, namun didului Ethan.

"Kau keberatan kalau hari ini aku duduk dengannya?" Ethan bertanya datar. Seth, yang juga tak tahu harus berkomentar apa, hanya mengangguk, lalu ganti memandangku yang hanya mampu bengong.

"Bagus." Ethan menggiringku ke mejanya, yang ternyata sudah ditempati Ted Kyle dan pacarnya, Vanessa.

"Oh hai!" Vanessa tak tampak heran melihatku. Sebaliknya, Ted-lah yang memandangku aneh.

"Dude, sejak kapan kalian berdua pacaran?" tanyanya blak-blakan. Alisku menghilang di balik rambutku saking syoknya.

"Diamlah." Ethan mendesah letih.

Vanessa menatapku dan Ethan dengan senyuman persekutuan, "Ayo kita cari meja lain, Ted."

Ethan hanya melayangkan pandangan jengkel pada Ted, sementara Ted segera menarik Vanessa berdiri, sambil berseru, "Ayo querida, kita cari tempat lain!"

Aku duduk dan menaruh nampanku dengan canggung di meja di hadapan Ethan, sambil sesekali mengedarkan pandangan ke seisi kantin, mencari-cari Seth. Atau Leanna. Claire. Chuck. Siapa saja! Tolong!

"Aku nggak sedang merencanakan untuk menculikmu atau meninggalkanmu di tengah hutan. Rileks, Maddy." sindir Ethan sambil mengawasi gerak-gerikku yang gelisah. 

Daripada kelihatan semakin idiot dengan hanya memperhatikan Ethan menggigiti sandwich-nya, aku mulai melahap makan siangku sendiri, hanya mendongak untuk menyeruput jus apelku atau berpura-pura sangat menikmati pemandangan di belakang bahu Ethan, yang hanya berupa tembok putih dan pintu kayu yang catnya sudah mengelupas, dilalui orang-orang untuk keluar masuk dapur.

Tak sengaja mataku bersirobok dengan mata Claire di kejauhan, wajahnya langsung sumringah. Dia melayangkan dua jempol dan memberi isyarat norak ala cheerleader tentang sesuatu seperti 'Semoga berhasil!' atau sesuatu seperti 'Kau pasti bisa!' yang malah membuatku makin sengsara. Aku dapat menangkap mata biru pucat Ethan yang sedang mengawasiku dari sudut mataku. Maka aku memberanikan diri balas memandangnya.

Selama beberapa saat kami hanya saling bertatapan. Klimaksnya, dia menaikkan sebelah alis dan tersenyum miring padaku.

Seisi perutku lagi-lagi serasa diaduk-aduk. 

Ya ampun, Chloe, kendalikan dirimu!

"Kau nggak marah padaku kan?" tanya Ethan, memecah kesunyian.

Aku menelan jusku, "Marah?"

"Kupikir sejak aku... kau tahu, sejak aku memelukmu kau kelihatan..."

"Oh!" aku memaksakan diri untuk tertawa kecil dan tampak santai, lalu mulai menyerocos nggak karuan, "Kau cemas berlebihan. Aku cuma agak heran tiba-tiba kau bertindak begitu aneh dan... memanggilku Chloe. Tahu kan, biasanya kau memanggilku dengan sapaan menyebalkan kayak Tukang Bikin Rusak Mobil Orang atau Maddy..."

"Seharusnya nggak kulakukan."

"Apanya?"

Ethan menatapku, "Memelukmu."

"Yeah..." kataku, "Kenapa begitu emosional?"

"Aku nggak bisa mencegah diriku. Aku teringat... maksudku karena kau—"

Kata-kata Ethan terputus. Mungkin dia sadar dia sudah bicara terlalu banyak.

"...mirip Chloe Winchester?" sambungku.

Sepasang mata Ethan membulat kaget.

"Da-dari mana...?"

Aku agak menikmati detik-detik menyaksikan Ethan Dodson kehilangan kata-kata. Maksudku, dia kan tipe yang jarang bisa kehilangan kata-kata.

"Aku ini juga teman Seth. Wajar saja aku sudah tahu kalau kakaknya itu mantan pacarmu."

Ethan tidak menanggapi kata-kataku. Dia memainkan sisa keripik di nampannya.

"Apa kau tahu kalau dia sudah meninggal?" cowok itu bertanya.

"Ya."

"Apa kau tahu kalau dia sangat mirip denganmu?"

"Dari reaksi orang-orang kelihatannya begitu."

Ethan terdiam lagi. Maka kali ini aku menyuarakan pikiran yang dua hari ini menggangguku.

"Kesimpulanku, kau memelukku di lapangan waktu itu karena kau teringat Chloe yang satunya. Tebakanku benar?"

Nah, sudah kukatakan. Ayo jawab sekarang, Ethan. Jangan jadi pengecut.

Mata Ethan lagi-lagi melunak, seperti waktu itu. Namun kali ini dia menatapku dengan sorot pasrah. Aku kenal persis pandangan seperti itu, karena Dad dulu biasa menatapku seperti itu jika aku memergokinya merokok diam-diam di halaman belakang. Dia dulu perokok berat.

"Kau benar." dengusnya, melempar sisa keripik yang sedari tadi dimainkannya ke atas nampan. Aku bersandar di kursiku, entah merasa lega atau malah semakin jengkel setengah mati saking bosannya dianggap Chloe Winchester. 

Pertama, Seth berteman denganku karena aku mengingatkannya pada kakaknya. Kedua, Ethan berteman (aku nggak tahu apa hubungan kami yang aneh ini bisa disebut pertemanan) denganku karena aku mengingatkannya pada pacarnya.

Chloe Madison dan Chloe Wichester. Lama-lama kami bisa melebur jadi satu. Kenapa sih kami berdua harus begitu sama? Ketemu dengannya saja aku tidak pernah.

"Dengar, aku nggak kenal siapa itu Chloe Winchester. Kami nggak memiliki hubungan darah. Tidak ada drama dia kembaranku yang terpisah atau apapun. Kami dua orang yang berbeda. Jadi sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu yang... well, sedikit esktrem... tolong camkan hal itu." aku menumpahkan kejengkelanku sambil menatapnya tajam.

"Aku nggak bisa jamin itu. Kau juga nggak bisa mengganti wajahmu, kan?" ujar Ethan. Aku menghela napas.

"Setidaknya kau terus terang." komentarku pahit.

"Kau juga. Kau cewek yang jujur. Walaupun kau memang sudah bikin lecet mobilku sedikit." tatapan Ethan telah berubah, lagi, menjadi dingin dan menyebalkan. Tanda dia sudah kembali normal.

"Terserahlah, Tuan Besar..." 

"Ngomong-ngomong kau juga mengataiku tuli..."

Membayangkan insiden goresan itu kembali, aku mengulum senyum. Akhirnya pertahananku runtuh. Aku tertawa. Dan Ethan juga ikut tertawa. 

Memang bukan tawa yang sama dengan yang ditunjukkannya saat bersama Rose. Ini tawa kecil lebih mirip seperti kekehan. Namun entah bagaimana, efeknya tetap mengesankan. Diam-diam aku memperhatikan sudut bibirnya yang naik membentuk senyuman simpul di akhir tawanya, bagaimana jari-jarinya yang panjang menyisiri rambut Bettencourt-nya yang hitam untuk menyingkirkan helaian yang menutupi mata, serta mata biru pucatnya yang mengagumkan...

Aku sudah pernah bilang belum sih kalau dia, ternyata, juga luar biasa keren?


🍁

Mixed feelings. Menurut kalian chapter ini gimana?

Leave vote & comment!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top