Chapter 1
Nomaden.
Mungkin itu sebutan yang pas untuk keluargaku.
Sejak umurku sepuluh tahun, keluargaku terbiasa berpindah rumah, pekerjaan Dad-lah yang menjadikan kami harus terus beradaptasi dengan lingkungan baru. Kami selalu menyewa rumah paling lama dua tahun, tidak pernah membeli dan meninggalinya dalam jangka waktu lama.
Kau bisa bilang aku adalah remaja cewek dengan total teman terbanyak senegara bagian. Tetapi ironisnya, kondisi itulah yang justru membuatku tidak punya teman betulan. Maksudku, sahabat karib.
Pada awalnya aku memang sangat sedih harus berpisah dengan teman-teman dan rumah lamaku. Namun seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa menangisi kepindahanku hanya akan membuang air mataku sia-sia. Maksudku, melelahkan kan jika kau harus terus menangisi temanmu sampai matamu babak belur, dan itu rutin terjadi tiap tahun?
Parahnya, ketika kau memutuskan untuk menghadapi kehidupan baru di sekolah baru bersama teman-teman baru yang ternyata tidak buruk-buruk amat dan kau mulai terbiasa dengan semua itu, kau dihadapkan kembali pada kenyataan bahwa Dad mengumpulkanmu, adik perempuanmu, dan ibumu di meja makan untuk berkata, "Well Madisons, kita harus pindah lagi."
Berarti kau harus nangis lagi, bukan?
Itulah mengapa aku berusaha sejarang mungkin bersosialisasi dengan teman-temanku, bersikap tidak menonjol di sekolah-kayak aku populer saja-dan berupaya 'menenggelamkan diri dari keceriaan masa remaja' atau apapun istilah yang sering dipakai adik perempuanku Claire terhadapku. Bukannya aku remaja aneh atau apa. Aku hanya berusaha menghidari lebih banyak air mata.
Claire sendiri sungguh kebalikan dariku. Dia periang, supel, pintar berbicara, gampang membaur, dan penuh percaya diri. Dan seorang cheerleader. Dia selalu memiliki sekelompok teman-teman yang merendenginya bagai lebah pekerja dengan ratunya. Dia doyan gonta-ganti pacar, dan pacar-pacarnya juga populer. Ibuku sangat bangga akan kepribadiannya. Ibuku selalu percaya bahwa gadis dengan kepribadian secerah Claire akan mendapat masa depan yang juga cerah.
Sedangkan aku, menurut Mom aku seperti buku berdebu yang diletakkan paling pojok pada rak di sudut terjauh. Katanya aku terlalu pasif dan pendiam, hingga nyaris terlupakan. Walaupun dia bersikeras aku sama cantiknya dengan adikku kalau saja aku mau 'menyingkirkan debuku'. Entah apa maksudnya.
Well, Mom jarang berbicara denganku-bukannya dia membenciku atau apa-tetapi obrolan kami seringkali berakhir dengan kecanggungan. Sebaliknya, Dad sangat dekat denganku. Bila dibandingkan, ibaratnya Mom bicara soal gaya rambut Ryan Seacrest dan spa cokelat. Ayahku bicara soal kemungkinan legalnya kloning manusia seratus tahun ke depan dan Discovery Channel.
Kutekankan lagi, bukannya aku ini kutu buku. Hanya saja, membahas topik-topik semacam itu jauh lebih seru dibandingkan membahas Ryan Seacrest dan spa cokelat.
Seperti yang sudah berusaha kusampaikan, aku tidak pernah punya banyak teman dekat. Jadi aku hanya pernah memiliki satu teman yang betul-betul akrab, Leanna. Leanna juga berada di rak yang sama denganku, hanya saja dia tidak di pojok-pojok amat. Dia menggunakan istilah 'transparan' untuk kami-yang berarti kami ini nihil di mata orang lain. Tapi kemudian aku harus menerima kenyataan pahit bahwa Leanna harus pindah jauh seperti halnya aku. Kami terpisah, dan itu berarti aku kembali sendirian.
Dan musim semi ini lagi-lagi kami sekeluarga harus mempersiapkan diri untuk kembali menjadi bunglon. Kami baru pindah dari Los Angeles menuju Redville, sebuah kota kecil agak ke utara Amerika. Aku membayangkan kengerian yang akan dihadapi Mom atau Claire. Bayangkan saja, hengkang dari L.A. hanya untuk rumah di sebuah kota kecil yang bahkan namanya belum pernah kami dengar sebelumnya.
Aku sudah sangat sering mengalami ini, namun entah mengapa aku tetap tidak bisa menghilangkan kegugupanku dalam hal beradaptasi di sekolah. Karena itu aku selalu setia mempergunakan cara konvensionalku dalam menangani masalah ini. Menjadi transparan.
Klakson mobil Dad menyadarkanku dari lamunan. Aku mempercepat kegiatan u memasukkan baju-baju ke koper, melirik seisi kamarku sebentar untuk terakhir kalinya, dan menutup pintu.
Aku bergegas menuju mobil dan naik ke kursi depan sebelah supir. Dad yang menyetir. Claire tampak ceria, dia-seperti biasanya-selalu bersemangat dengan kepindahan. Kontras denganku, bagi Claire kepindahan sama dengan segerombol budak dan pacar baru.
Lamunanku kembali buyar ketika Claire tiba-tiba mendengus jengkel sambil menyibakkan rambut pirang stroberi ekstra-gelombangnya.
"...dan saat aku bilang bahwa aku akan pindah, Joey memohon-mohon padaku untuk kabur dengannya! Please...aku baru memacarinya tiga bulan dan bahkan dia tidak sekelas denganku. Maksudku... memangnya dia itu siapa sih?"
"Kau berkencan dengan cowok yang kau nggak tahu siapa?" tanyaku pura-pura syok.
"Claire Bear, percaya padaku. Mr. Right-mu akan segera kau temukan." Mom menenangkan.
Mr. Right dalam kamus mereka berarti Si Tampan, Si Populer, atau Si Kaya Raya. Bisa kulihat dari sudut mataku Dad sedang nyengir geli.
Sepanjang perjalan diisi dengan obrolan heboh seputar cowok antara Mom dan Claire. Sementara aku dan Dad hanya bisa menangisi itu dalam hati. Sampai akhirnya Dad berseru tiba-tiba.
"Nah, ini dia. Kota kecil kita yang baru."
Kami disambut gerbang bata merah besar yang bertuliskan 'Redville City'. Aku membuka kaca jendela lebar-lebar. Membiarkan angin sejuk menerpa wajahku. Claire tentu tidak akan melakukan itu, tatanan rambutnya akan berantakan.
Pemandangannya sungguh mempesona. Padang rumput hijau membentang luas di kiri-kanan kami, dibatasi oleh hutan cemara yang tinggi-tinggi. Rumah-rumah kecil dengan halaman berumput hijau dan pepohonan rindang menyusuri jalan yang masih basah tersiram hujan semalam. Setelah beberapa kilometer melewati kehijauan Redville juga danaunya yang besar, baru kami lihat gedung pertokoan, pom bensin, supermarket, kantor polisi, gereja, klinik, dan di sebuah belokan, aku dapat melihat sebuah gedung besar dengan dinding bata merah di kejauhan yang kuduga akan menjadi sekolahku dan Claire nanti.
Ini kota kecil yang indah. Hanya saja, di kota kecil segala sesuatunya menyebar dengan cepat. Termasuk, misalnya, kedatangan keluarga baru yang akan tinggal di sini selama beberapa waktu.
Mobil kami berbelok di perempatan ketiga setelah melewati pusat kota dan kami memasuki kawasan perumahan yang tidak jauh berbeda dengan yang tadi kulihat, dan akhirnya, Dad memelankan laju kendaraan dan menepikan mobilnya di depan salah satu rumah.
Tidak terlalu besar, bertingkat dua, dengan cat krem dan jendela panjang-panjang. Kelihatannya kami mempunyai pekarangan belakang yang cukup luas, teras dan balkon yang teduh dinaungi pohon maple yang berdiri kokoh di halaman depan.
"Bagaimana?" tanya Dad akhirnya, setelah beberapa lama kami hanya memandangi rumah itu. Claire mengerang.
"Kupikir akan lebih seperti rumah musim panas, Dad. Kau tahu aku nggak terlalu suka dengan yang teduh-teduh."
Rumah itu sempurna, pikirku. Pohon maple itu agak menghalangi pandangan orang langsung ke bagian depan rumah kami. Kami akan terlindung dari tetangga-tetangga yang biasanya akan memandangi dengan ingin tahu jika salah satu dari kami ke luar rumah di minggu pertama. Mom mendahului kami membuka pintu dan memasuki rumah. Dan aku langsung jatuh cinta pada rumah ini.
Rumah itu sederhana dan berkesan kuno, namun manis dan hangat. Interiornya didominasi kayu warna cokelat tua, dindingnya krem lembut. Sisi kananku adalah dapur, sisi kiriku ruang makannya. Di depanku tangga menuju lantai atas. Sebelah kiri tangga terdapat kamar mandi, sebelah kanannya ruang televisi yang luas dengan perapian dan lantai dilapisi karpet merah tua tebal yang empuk. Di belakang tangga terdapat lorong menuju kamar utama, yang kuduga akan menjadi kamar Mom dan Dad.
Lalu kami naik ke lantai dua. Dan ada kamar yang memiliki balkon. Aku akan menggunakan kamar itu, tidak perlu khawatir Claire akan menginginkannya juga, karena dia jelas akan menggunakan kamar yang paling dekat dengan tanaman rambat, supaya bisa menyelinap malam-malam mengunjungi teman-temannya dan pesta semalam suntuk. Untungnya ada kamar seperti itu di rumah ini.
"Aku akan menempati kamar yang di samping situ." Claire langsung menunjuk kamar di sisi kiri rumah seperti dugaanku.
"Jadi kau akan menggunakan yang ada balkonnya?" tanya Dad padaku.
"Mm-hm."
Yang paling menakjubkan, kami dapat melihat halaman belakang yang hijau dari dalam sini, karena seluruh dinding di sepanjang lorong dan ruang televisi terbuat dari kaca besar-besar, termasuk pintunya yang didominasi kaca.
"Wow... Dad ini keren!" Claire memekik senang, "Halaman belakangnya luas, kita bisa mengadakan pesta barbeque!"
Mom juga terlihat senang, tapi raut kecemasan tak dapat disembunyikan dari wajahnya.
"Apa ini tidak terlalu berlebihan Billy? Kau tahu kita hanya akan sementara..." Mom menatap cemas Dad. Dia menatap Mom penuh arti.
"Cukup setimpal dengan kehidupan di sini sampai tua."
Kami bertiga membeku mendengar perkataan Dad.
"Hidup sampai tua?" Claire menyuarakan pikiranku, "Apakah maksudnya ini rumah tetap kita?"
"Yeah, ini rumah tetap kita." Dad tersenyum sembari mengedip padaku.
Wow.
Tidak akan ada lagi kepindahan setelah ini. Tidak perlu lagi melakukan perkenalan diri pada Senin pagi di sekolah baru, kalau Dad bersungguh-sungguh akan ucapannya.
Apakah ini berarti aku harus mulai berteman? Maksudku, berteman sungguhan, mengingat ini mungkin satu-satunya kesempatanku? Ini tahunku yang terakhir di SMA.
Mom sepertinya cukup senang, sama sepertiku, namun Claire terduduk lemas.
"Tinggal jauh dari pantai?" sesalnya.
🍁
Malam itu hanya aku dan Dad yang makan di rumah baru kami yang masih dipenuhi kardus-kardus. Seperti biasa, di setiap malam pertama kepindahan, Mom dan Claire sudah pasti tidak akan ada di rumah. Mereka sibuk berkeliling berkenalan dengan para tetangga baru, mewakili kami yang lebih memilih makan dengan tenang di rumah.
"Bagaimana menurutmu, rumah ini?" Dad membuka percakapan selagi aku menghangatkan lasagna di microwave. Aku suka bercakap-cakap berdua dengan Dad. Rasanya normal.
"Ini sempurna, Dad. Sungguh. Aku menyukainya."
"Well, tapi kupikir Claire kurang menyukainya."
"Dia kan nggak suka yang... apa istilahnya? Teduh-teduh. Setidaknya dia puas dengan halaman belakangnya."
"Bagaimana dengan pohon maple di depan? Apa perlu ditebang? Sepertinya agak..."
"Nggak perlu!" aku menjawab spontan, "Aku suka pohon itu, nggak terlalu...well, mengumbar balkon kamarku ke jalanan depan."
Dad mengangkat sepasang alisnya, "Baiklah. Mungkin kau lebih suka yang 'teduh-teduh'."
Aku tertawa pelan, "Dad, mengapa kau nggak memberitahu kami dulu? Paling nggak kami punya sedikit persiapan mental."
"Memberitahu?"
"Maksudku, bahwa ini adalah rumah tetap kita mulai sekarang."
Dad nyengir bersalah, tapi dia kelihatan cukup puas, "Bukan kejutan yang buruk kan? Setiap tahun kita selalu mempunyai rumah 'musim panas' seperti kata Claire, namun kulihat seleramu dan Mom hampir sama, rumah yang sejuk. Cuaca di sini tidak terlalu menyengat. Itu berarti Claire harus mengalah kali ini."
Aku tetap mengernyit tidak mengerti, "Bagaimana dengan pekerjaanmu? Kau nggak diharuskan keluar kota lagi?"
"Tidak, tidak. Aku pindah bagian. Aku lelah harus terus pindah rumah."
"Wow. Itu hal besar."
Microwave berbunyi. Aku mengeluarkan makan malamku dan duduk di hadapan Dad. Lalu Dad berdeham.
"Oh ya. Mulai besok kau dan Claire sudah bisa ke sekolah. Kau masih ingat jalan yang kuberitahu tadi sore kan? Kusarankan kau yang menyetir. Claire kan tidak terlalu sigap..."
"Menyetir?" ulangku bingung, "Memang kau nggak membutuhkan mobilmu lagi? Tempat kerjamu dekat atau apa?"
Dad meringis, "Yah, kupikir aku bisa memberimu hadiah atas prestasimu di sekolah yang nyaris selalu baik. Terkecuali Matematika dan Fisika, tentu saja..."
Dia menggedikkan kepalanya ke arah garasi. Aku belum pernah merasa setegang dan sebingung ini. Aku setengah berlari menuju garasi dan membuka pintunya gemetar. Benda itu terparkir manis persis di tengah garasi kami yang cukup memuat dua mobil. Nissan Versa merah tua belum pernah terlihat sesempurna itu di mataku.
"Dad!" pekikku nyaris histeris. Aku jadi kedengaran seperti Claire saat ini. Aku tak mampu menutupi kegiranganku. Aku berjalan hati-hati menuju mobil itu, seolah jika aku berjalan terlalu cepat mobil itu akan hilang tiba-tiba. Aku membelainya syok.
"Aku nggak tahu uangmu sebanyak itu." aku menatapnya meminta penjelasan. Dia senyam-senyum.
"Yah, kupikir belakangan ini aku hanya memikirkan kebutuhan Claire dan ibumu. Dan kau tidak pernah meminta apapun. Jadi, sekalian saja kubelikan yang 'wah'. Anggap saja ini untuk melunasi."
"Bagaimana kau menyelundupkan ini tanpa sepengetahuan kami?" aku menatapnya keheranan.
"Ini sudah ada sebelum kita tiba. Aku sengaja belum menunjukkan garasinya karena ini."
Aku meringis geli, "Aku bisa membayangkan ekspresi Claire saat melihat ini... boleh aku naik?"
"Tentu, ini toh sudah jadi punyamu."
Aku membuka pintunya dan duduk di kursi supir, mengagumi interiornya. Nyaris belum percaya dengan kebaikan hati ayahku. Aku dapat mencium aroma khas mobil baru. Aku menggenggam setir dengan gugup, berpura-pura sedang menyetir. Dad tertawa, "Kau nggak perlu ikut kursus menyetir lagi kan? SIM-mu toh sudah jadi."
Aku menatap Dad penuh rasa terima kasih, "Kau yang terbaik di dunia. Ini benar-benar... kau seperti membaca pikiranku!"
"Aku ini ayahmu."
"Dad..." aku keluar untuk memeluknya, "Apa ini nggak berlebihan?"
"Sudahlah, Chloe, terima saja."
"Trims Dad, aku sayang kau!"
🍁
Henlo.
Redville akan update tiap Rabu dan Sabtu.
Btw, kalian pernah pindah rumah?
Leave vote & comment!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top