#Redup8. Mari Saling Menjaga Sikap

Sebelum baca, tolong tekan tombol votenya ya, Happy reading <3

"Berhenti menghukum dirimu sendiri, Juniar."

Setelah menghabiskan waktu untuk menyapa sahabat lama, keduanya mulai mengambil tempat yang tidak jauh dari pemakaman umum. Ada sebuah kursi panjang di pinggir jalan yang mereka tempati. Juniar baru saja kembali membawakan dua botol minuman dingin yang bisa melegakan tenggorokan mereka di pagi menuju siang itu.

Lagipula, menangis juga cukup menguras tenaga dan pikiran.

Yang dinasehati hanya bisa mengulas senyum tipis. Teramat tipis sampai tidak bisa mengenai dua netra cokelatnya. Sama sekali bukan tipikal Juniar.

"Aku nggak lagi menghukum diri sendiri, Ara. Aku hanya sedang cari cara supaya aku tidak terlalu merasa bersalah," sahutnya ringan. Juniar membuka tutup minumannya sebelum menenggak dan menatap lurus ke jalan raya.

"Kita sudah janji," sahut Ara masih dengan tatapan kosong yang menatap lurus ke depan, kulitnya yang putih terlihat memerah di wajahnya. Terutama di sekitar mata karena ia menghabiskan waktu yang lumayan lama untuk menangis, "Kita sudah janji sama Nava kalau kita akan hidup dengan baik. Kamu tau sendiri anak itu paling benci jika ada yang tidak mau menuruti perkataannya."

"Bagaimana aku bisa hidup dengan baik, Ara?" Juniar menghela napas beratnya, "Jika kenyataannya sahabatku bunuh diri dan sahabatku yang lainnya melihat langsung kejadian itu."

"Juniar―"

"Sulit bagi aku untuk menjalani hidup dengan baik, Ara. Sejak empat tahun lalu aku tidak akan lupa bagaimana kejadian mengenaskan itu. Nava yang benar-benar rusak dan kamu yang juga hancur di detik yang sama. Tanpa kamu sadari, aku juga terbawa kacau seperti halnya kalian."

"Maaf karena sudah melibatkan kamu."

"Tidak perlu minta maaf," kilah Juniar, "kita sama-sama tau bahwa kematian Nava nggak ada sangkut pautnya sama kita. Kita hanya dua manusia yang terjebak atas rasa bersalah dengan kesalahan yang sama sekali nggak kita lakukan. Semesta memang selucu itu ya, Ara?"

"Setidaknya kita berhasil melalui masa-masa itu dengan baik, Jun. Yang dulu sudah lewat dan kita harus bersyukur bahwa kita bisa bertahan sejauh ini."

"Kamu yang berhasil dan kamu yang bertahan, Ara," koreksi Juniar. Ia kembali mematri senyum simpul yang mampu menghangatkan hati Ara seperti biasanya. Tangan Juniar kini beralih merangkul pundak sahabatnya, membawa Ara semakin dekat ke pelukannya.

"Kamu sudah berhasil sejauh ini. Melihat kamu hancur sekali empat tahun lalu juga buat aku sama-sama hancurnya. Dan aku janji nggak akan buat kamu melewati hal yang sama kedua kalinya. Cukup itu saja, Ara."

Ara mengangguk dengan kepala yang bersandar di bahu bidang sahabatnya, "Makasih sudah bantu aku selama ini ya, Jun," gumamnya.

Terkekeh singkat seraya menelan ludah miris. Dengan pandangan kosongnya, Juniar berkata lirih, "Nggak perlu terimakasih. Itu kemauanku sendiri. Lagipula, aku nggak akan pernah biarin perempuan yang aku cintai bisa terluka seperti itu. Saat itu, kalau bisa aku ingin menghajar Nava karena sudah menyakiti kamu. Seharusnya dia nggak mengambil keputusan pendek dan bodoh seperti itu."

"Dan untuk yang itu, aku minta maaf, Juniar. Kamu tahu? Sudah cukup Nava yang pergi. Aku nggak sanggup kalau kamu juga melakukan hal yang sama. Aku nggak mau kehilangan sahabatku lagi."

"Aku tahu," sahut Juniar cepat. Sejatinya, dia hanya tidak mau mendengar penjelasan Ara lebih panjang karena itu jauh lebih menyakitinya, "Aku sudah bisa menerima kalau aku memang nggak akan pernah bisa menempati posisi yang sama seperti halnya Nava di hatimu. Begini saja, sudah cukup, Ara. Perasaan ini biar aku saja yang merasakan bagaimana sakitnya. Kamu nggak perlu merasa bertanggung jawab. Biarlah ini antara aku dan diriku sendiri."

"Lagipula," Ara berkata lirih, "kamu sudah punya kekasih. Briana perempuan yang baik. Seharusnya kamu sudah bisa membuka hati untuk dia."

"Iya, aku sedang mencoba. Beberapa kali, aku merasa bersalah juga karena lebih milih kamu daripada dia. Maaf, Ara. Kebiasaan. Sejak dulu kamu tau sendiri kalau kamu prioritasku setelah keluargaku."

Ara menepuk pelan paha Juniar sebelum menasehati pemuda tersebut, "Sahabat sama pacar itu bukan hal yang bisa kamu pilih mana yang paling penting, Jun. Dua-duanya sama-sama penting. Kalau aku kamu anggap prioritas, maka hal yang sama juga berlaku untuk Briana. Mulai sekarang, kamu harus bisa bedakan waktu-waktu khusus untuk Briana atau waktu-waktu khusus untuk teman-teman kamu."

"Iya, iya, Ara. Aku ngerti."

Selalu seperti ini. Setiap tahunnya, Juniar dan Ara memang memiliki satu waktu di mana mereka bisa benar-benar menjadi diri mereka sendiri. Bukan Juniar yang kerap hidupnya dipenuhi banyak tawa, bukan Ara yang tampak ceria dan ramah. Hanya dua manusia yang saling berusaha tampak baik dari kacaunya hidup yang selama ini mereka jalani.

Setiap tahun selepas mengunjungi Nava, Juniar dan Ara selalu menyisihkan waktu untuk berbincang bersama. Melepas beban dan saling berbagi cerita. Menjadikan tempat bersandar satu sama lain. Mengenang masa lalu. Karena keduanya sama-sama tahu, tidak ada yang benar-benar mengenal Ara selain Juniar dan begitu pula sebaliknya. Memberikan kepercayaan kepada orang lain hanya membuang waktu. Jika ada satu pihak yang bisa kamu jadikan sebagai tempat sandaran, kenapa harus repot mencari orang baru?

Mereka sudah terbiasa bersama. Melewati masa-masa sulit bersama, bangkit sama-sama, dan berusaha untuk sembuh bersama. Intinya, berjuang bersama.

Satu waktu selepas kunjungan rutin Nava setiap tahunnya. Sekali lagi, Juniar dan Ara hanya berusaha melepas lakon yang kerap mereka jadikan tontonan setiap harinya. Berusaha menjadi versi nyata atas diri mereka yang terbentuk dari drama semesta yang juga tidak kunjung berakhir.

Ara masih menyandarkan kepalanya di pundak Juniar saat bunyi telepon pemuda itu menyentak keduanya. Lekas menyingkir, Juniar menerima telepon di samping sahabatnya tersebut.

Di sela waktu yang ada, sesuatu tiba-tiba menarik perhatian Ara. Perawakan seseorang yang tak asing lagi di matanya memasuki area pemakaman yang sama tempat di mana Ara datang bersama dengan Juniar beberapa saat lalu.

Itu benar Mas Sena, kan?

Namun manakala si gadis hendak memastikan, suara decakan kesal di sampingnya merenggut kembali atensi Ara pada sahabat yang kini sudah tampak kesal dengan ekspresi kecut di wajahnya.

"Ada apa?"

"Mama minta jemput di restoran tempat biasa arisan. Adikku nggak bisa jemput gara-gara mendadak dosennya minta kuis. Terpaksa aku yang harus datang. Yuk pulang." Juniar bangkit tiba-tiba. Mengulurkan tangan pada Ara kendati tak juga dibalas oleh gadis tersebut.

"Ara?"

"Duluan saja."

"Eh?" Juniar keheranan. Satu alisnya menaik dan ia memandang Ara sedikit aneh.

"Aku bisa pulang sendiri."

"Mau pakai apa? Ojol? Dih, tertumben banget kamu rela uang habis gara-gara naik ojek begitu. Sudah pulang sama aku. Adem naik mobil ada AC. Angin semilir daripada kamu naik motor malah kepanasan."

"Tapi―"

"Lagian kamu harus pulang! Istirahat. Kamu akhir-akhir ini kurang tidur. Kamu juga harus kerja nanti siang. Jemput si Jingga-Jingga itu. Ayo sama aku."

Ara menghela napas pasrah. Pada akhirnya meladeni ocehan Juniar tidak ada usainya. Dia akan terus mengomel sampai permintaannya dituruti. Dan berpikir kembali, apa yang dikatakan sahabatnya itu tidak sepenuhnya salah. Akhir-akhir ini jadwal tidur gadis itu memang cukup berantakan. Belum lagi ditambah pekerjaan sampingan yang sudah lima hari ini ia lakoni. Ditambah revisi proposalnya yang harus ia tuntaskan jika ia berniat lulus tepat waktu.

Mengenyahkan pemikiran yang terlintas dan rasa penasaran yang merangkak naik. Ara menggelengkan kepalanya guna mengenyahkan seluruh pikiran yang mengacau di sana. Ia lantas menerima uluran tangan Juniar. Mengikuti langkah pemuda tersebut menuju mobil miliknya. Sempat Ara menoleh. Melihat presensi Sena yang tengah berdiri di depan sebuah makam dengan satu buket bunga di pelukannya.

Baiklah, berhenti mengurusi hidup orang lain dan selesaikan urusanmu sendiri, Ara.

***

"Jingga gimana hari ini?"

Sena bertanya lirih saat Ara sudah berhasil menidurkan anak semata wayangnya. Pria tersebut tengah berdiri dengan kedua tangan yang saling bersidekap. Cukup mengejutkan Ara sampai nyaris membuat gadis tersebut memekik jika tidak ingat ada satu buntalan yang baru saja berhasil ia buat tidur setelah menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain.

Mengabaikan ekspresi kaget Ara, lelaki itu melangkah mendekati putri kecilnya. Mengambil tempat di sisi ranjang dan Ara dengan pekanya langsung menyingkir memberikan ruang untuk Sena. Si pria lantas membubuhi kecupan di dahi, hidung, serta dua pipi gembil putri kecilnya.

"Selamat tidur, Kesayangan Papa," gumamnya lirih.

Perasaan hangat yang sempat hadir di hati Ara mendadak buyar saat Sena tiba-tiba saja bangkit menghadapnya. Pria tersebut tersenyum hangat sebelum memberikan tanda bagi Ara untuk segera keluar setelah menyalakan lampu tidur Jingga dan mematikan lampu kamar anaknya.

"Bagaimana Jingga hari ini, Ara?" ia mengulang kembali pertanyaan yang sama. Membawa Ara ke sofa ruang tengah sembari memberikan satu kaleng soda untuk gadis tersebut.

"Dia baik, Mas," jawab Ara, "hari ini kami seperti biasa. Saya bantu dia tidur siang, kerjakan tugas-tugas sekolahnya, main, ajak mandi. Dan ... bantu belajar juga. Mungkin karena tadi sore sudah banyak main dan belajar matematika, jadinya dia langsung tidur. Capek sekali kayaknya."

Sena mengangguk singkat. Satu sudut bibirnya tertarik, "Ada kendala selama dia belajar?"

"Dia agak sulit belajar matematika sih, Mas. Beda kalau dia belajar mata pelajaran yang lain. Menurut saya, Jingga lumayan bisa di pelajaran bahasa inggris."

Sena terkekeh ringan, "Sama kayak ayahnya. Sama-sama nggak suka matematika."

"Gimana, Mas?" Ara memastikan saat gumaman Sena sampai pendengarannya.

"Eh? Nggak. Nggak apa-apa," balas pria tersebut cepat.

Sena melirik jam yang menggantung di dindingnya, "Saya pulang cepat hari ini. Ada karyawan yang saya titipi kunci. Sudah kangen Jingga karena tiga hari ini jarang ketemu dia."

"Sibuk banget di kafe?" tanya Ara dan Sena hanya mengangguk meng-iyakan.

Hening sesaat dan suasana sedikit lebih canggung. Ara hanya memainkan kaleng soda yang berada di pangkuannya. Meneguk sedikit sesekali sedang Sena tampak luar biasa santai dan tenang.

"Jam kerja kamu masih setengah jam lagi. Kamu boleh pulang duluan, Ra."

"Eh? Benar?"

"Iya. Lagian kamu kelihatan capek sekali."

Ara tampak berpikir sejenak sebelum menggeleng, "Tetap pulang jam sembilan kok, Mas. Soalnya saya dijemput jam segitu."

"Berarti masih ada waktu setengah jam. Kita bisa ngobrol-ngobrol santai kalau gitu. Tunggu sebentar, ya." Sena bangkit sejenak dari duduknya. Memasuki kamar dan kembali sudah dengan baju kaos dan celana selutut rumahan.

Pria tersebut melangkah menuju dapur dan membuka kulkas. Membawa beberapa toples cemilan yang ia simpan dan meletakkan di meja kaca depan sofa yang diduduki Ara.

"Nggak usah repot-repot, Mas. Ini jajannya Jingga."

"Punya saya," Sena menjawab, "Lagipula Jingga nggak begitu suka jajanan seperti ini. Paling hanya makan satu-dua saja. Jadi, ayo kita saling ngobrol, Ra. Supaya saya bisa semakin kenal sama kamu."

Ara tertawa canggung, "Hehe, ngobrol apa, Mas?" Sejujurnya kendati dia dinilai sebagai orang yang cukup ramah dan mudah akrab, setidaknya melakukan basa-basi dengan sesama, berada di dekat Sena entah mengapa seluruh pasokan kalimat yang dimiliki Ara seolah raib begitu saja.

Bukan karena salah tingkah karena melihat wajah papa muda yang luar biasa tampan di hadapannya itu. Meskipun berat mengakuinya, tapi Ara tidak menyanggah karena nyatanya Sena memang benar-benar tampan. Namun barangkali karena sosok pria dewasa tersebut yang terlihat cukup berwibawa dengan aura pemimpin yang melekat di dalam dirinya. Belum lagi ketika Ara mendatangi Sena ke kafe miliknya bersama Jingga dan melihat bagaimana cara Sena memperlakukan pegawainya. Mengingat betapa menonjol dan hebatnya pria itu, Ara jadi sedikit sungkan dan memilih untuk menyeleksi kata yang hendak keluar dari mulutnya.

"Nama kamu misalnya," Sena mengedikkan bahu. Ia memainkan kaleng soda dan meneguk minumannya. Punggung bersandar pada sofa dengan kaki kanan yang naik dan bertumpu di kaki kirinya. Luar biasa santai kendati di hadapannya Ara justru merasa sedikit gugup.

"Kan nama saya Ara."

"Bukan," Sena terkekeh mendengar jawaban polos tersebut, "Nama saya Senarai Jumantara. Nama lengkap kamu apa, Ra?"

"Oh, Binar Araya Nayanika," jawab si gadis pelan.

Sena mengulum bibirnya sejenak sebelum tersenyum hangat. Memperlihatkan sedikit kerutan di sekitar matanya dan untuk sesaat Ara yang gugup menjadi semakin canggung karena menyadari sesuatu di balik tulang rusuknya justru berdetak dengan kecepatan yang sedikit lebih cepat.

"Araya." Sena menggumamkan nama gadis tersebut. Dan entah atas dasar sebab apa, Ara merasa jantungnya semakin menggila hanya karena pria tersebut menyebut namanya.

"Ra, saya pikir saya nggak perlu nunggu seminggu untuk membuat keputusan."

Ara mengernyit heran. Sumpah, pembicaraaan ini di luar topik pembahasan mereka.

"Maksudnya?"

Mengangkat bahunya santai, Sena menjawab, "Dilihat dari bagaimana caramu memperlakukan Jingga dan anak saya yang terlihat nyaman sama kamu. Saya kira nggak butuh waktu lama. Lagipula, saya juga lumayan sibuk untuk cari pengasuh lain."

Ara mengerjap. Otaknya masih mencerna.

"J-jadi saya diterima kerja?"

Tidak lekas menjawab, ucapan Sena justru melenceng, "Jangan khawatir. Saya paham kondisimu. Kamu bisa pulang jam sembilan tepat. Saya punya karyawan, biar malam kafe mereka yang urus. Saya juga masih punya otak untuk mikirin kuliah kamu."

"T-tunggu!" Ara meletakkan soda miliknya. Dua tangannya terjulur dan ia otaknya masih mencerna setiap ucapan Sena, "Ini artinya saya benar-benar diterima kerja kan, Mas?"

Sena justru terkekeh, "Saya sudah bilang panjang lebar dan kamu masih belum paham, Ra?"

Dua tangan Ara membekap mulutnya sendiri. Matanya membulat sempurna, "Se-serius? Berarti mulai besok saya sudah mulai bisa kerja?"

"Tiga hari dari sekarang. Ingat, kamu masih jadi intern dua hari ke depan."

"Oh, iya. Maksud saya juga begitu." Dua detik setelahnya, gadis tersebut terlonjak dan memekik girang. Tangannya terjulur dan langsung menjabat tangan Sena tanpa peduli lelaki itu setuju atau tidak. Toh, Sena di hadapannya hanya tersenyum hangat dan sesekali tertawa melihat tingkahnya.

"Makasih banget, Mas. Tau saja saya manusia kere lagi butuh uang. Duh, makanya sudah saya bilang dari awal kalau saya ini kompeten. Mas sih nggak percaya." Mengabaikan sejenak kegugupan yang hilang entah kemana, Ara lebih memilih menyenangkan diri mengingat bahwa keuangannya setidaknya akan aman selama beberapa bulan ke depan.

Sena terkekeh geli. Ia menegakkan badannya, "Iya. Sudah saya terima dan kamu bakalan pegang uang nanti. Nggak usah khawatir. Kita bicarakan mengenai biayanya besok saja. Ini sudah malam."

"Iya, Mas. Santai saja. Saya juga paham kok. Nanti malah Mas yang tepar duluan mikirin uang. Yang penting nanti gaji saya jangan lupa saja." Ara meneguk minumannya, agaknya suasana yang sejak tadi canggung terpecah begitu saja.

"Kuliahmu selesaikan dulu, Ara. Uang saja yang kamu pikir."

"Jaman kayak gini sulit kalau nggak punya uang, Mas."

"Kalau kuliahmu kelar, kamu bakalan lebih mudah buat dapat uang, Ara. Jangan sampai karena kerjaanmu, kuliahmu jadi terhambat."

"Iya, iya. Sudah mau selesai juga."

"Dan satu lagi, Ra."

Ara menoleh manakala Sena kembali meraih atensinya. Dua netra gadis itu mengerjap seraya menunggu apa yang hendak Sena katakan.

"Jangan terlalu gugup sama saya. Maaf kalau beberapa hari ini ... sikap saya buat kamu nggak nyaman. But over all, saya orangnya santai. Mungkin kelihatan kaku dan serius, tapi saya nggak seburuk yang kamu kira. Santai saja ngomong sama saya. Jangan sungkan dan takut, oke?"

Ara sedikit bingung. Gadis tersebut menggaruk tengkuknya kendati tak gatal, "Iya, Mas," jawabnya singkat lantaran tak tahu hendak menanggapi bagaimana.

"Ya, kita sama-sama jaga sikap saja, Ra. Jalan santai tapi jangan keterlaluan juga."

"Iya, Mas Sena." Lagi-lagi Araya hanya menurut.

Namun yang didapati justru Sena yang kini sedang tersenyum jahil padanya, "Sekarang jaga sikap dulu ya, Ra. Besok-besok kalau sudah waktunya, baru saling jaga hati."


Sebelum pergi, jangan lupa tinggalkan komentarnya.

Anyway selamat menikmati epilog khusus di chapter ini

Teruntuk Navarendra Dirgantara. Seseorang yang akan selalu kami berikan sebuah rindu tanpa banyak mengadu. Seseorang yang hingga saat ini kami berikan cukup banyak cinta dan tawa. Bintang kami yang paling gemerlap. Namun, Nava, seperti katamu, bukankah gemintang yang paling terang justru ia yang paling cepat menghilang?

Namun tidak peduli dulu, esok, atau di masa depan. Kapan pun kamu pamit, Nava. Kapan pun kamu berniat pergi. Meskipun itu berat, kami akan mencoba merelakan. Kami akan mencoba melepaskan.

Jangan khawatir. Kami akan baik-baik saja.

Meskipun,

Tidak pernah sebaik saat kamu masih ada.

Dari yang selalu menyimpan kamu di lubuk hatinya
-Binar Araya Nayanika & Juniar Nabastala

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top