#Redup38. Sebuah Cerita
[dianjurkan menonton video terlebih dahulu sebelum membaca]
Barangkali kalian tidak asing lagi ketika membaca bagian demi bagian dari cerita ini terus mengulang masa lalu. Namun, Sena sebagai tokoh utamanya cukup yakin, bahwa seluruh kejadian yang menimpa seseorang di masa lalu adalah batu loncatan untuk kesuksesan siapapun yang sanggup melewatinya.
Kamu tentunya memiliki pilihan. Menyerah atau bertahan. Adakalanya, menyerah memang menjadi sebuah opsi paling mudah untuk dilakukan. Adakalanya, menyerah merupakan opsi menggiurkan untuk dipilih. Tentu. Tentu saja akan ada saat-saat di mana kamu akan merasakan itu semua. Namun kembali lagi. Apa alasanmu hidup? Apa alasanmu melanjutkan hidup? Apa alasanmu bertahan dalam hidup?
Tiga pertanyaan tersebut barangkali cukup sederhana, tetapi hanya segelintir orang yang mampu menjawabnya. Mimpi, orang yang terkasih, dan ambisi. Tiga pilihan yang seringkali menjadi jawaban, sekalipun tentu masih ada jawaban lainnya yang tidak kalah menarik.
Namun sekali lagi, tolong izinkan Sena untuk menceritakan sebuah pengalaman yang cukup menohok relung hatinya terdalam. Ingatan terakhir yang tetap disimpan baik olehnya. Sesuatu yang cukup berharga lantaran itu adalah hal terakhir yang harus dia alami bersama dengan si kesayangan semesta yang teramat dia rindukan. Narajengga.
Barangkali kenangan terakhirnya dengan Narajengga tidak terlalu baik. Jengga pergi secara tiba-tiba. Jengga pergi tanpa pamit. Jengga pergi tanpa permisi. Segalanya yang terjadi secara mendadak cukup membuat Sena terpuruk sampai dia sempat kehilangan dirinya beberapa kali saat itu.
Sialan, Jengga. Kamu harus bertahan. Siapa yang akan mengurus Jingga kalau kamu pergi?
Begitu teriaknya dalam batin. Tangan Sena terkepal erat bersama dengan dua netranya yang menangkap bagaimana Jengga tengah berjuang di atas meja bersama perlengkapan medis dan seluruh dokter serta perawat di dalam sana.
"Ayah."
Suara tersebut cukup lirih. Namun berhasil diterima baik oleh Sena dalam rungunya. Pria tersebut memeluk erat keponakannya tanpa melepas pandang barang satu detik pun. Terus merapal doa dan harapan bahwa Jengga akan baik-baik saja. Jengga akan sembuh dan kembali bersama dengan seluruh tingkah menyebalkannya. Besok, Sena akan terbangun dengan Jengga yang menyapanya dengan senyum gigi kelinci yang masih ada bahkan saat pria itu sudah menginjak dewasa.
Benar, pasti begitu.
"Sabar, Sena. Dia sedang berjuang keras sekali. Jengga sudah pernah melewati masa-masa sulit. Dia pasti bisa melalui ini."
Tepukan pelan di punggungnya cukup terasa.Sena menoleh dan melihat presensi pria pucat di sampingnya. Turut memancarkan kekhawatiran yang serupa kendati berusaha menampik dan terlihat baik-baik saja.
"Sini, biar Jingga sama aku saja."
Sena hanya bisa menerima pasrah tanpa penolakan saat Jingga kini berada di gendongan Aksa dengan Mika yang juga mendampingi mereka.
Benar. Jengga sudah melalui banyak sekali masa-masa yang sulit.
Enam tahun, Jengga. Enam tahun kamu berusaha keras untuk terlihat baik kendati itu semua sangat amat payah. Kamu bisa membohongi semua orang, tetapi kamu tidak bisa membohongiku. Sialan, kamu pikir kamu tidak tahu bahwa aku kerap mendapatimu menangis diam-diam setiap malamnya?
Enam tahun Jengga benar-benar menata hidupnya yang berantakan. Memastikan anak semata wayangnya mendapatkan afeksi melimpah tidak kurang sedikit pun dan memenuhi segala kebutuhan ataupun permintaan putri kecilnya. Enam tahun Jengga mengurus segalanya agar Jingga bisa hidup dengan baik, kendati lelaki tersebut lupa bahwa ada raga lain yang harus dia perlakukan dengan baik pula. Dirinya sendiri.
Sena mengepalkan tangannya kuat. Kepalanya tertunduk dengan bulir-bulir air mata yang turut jatuh. Jengga tengah berjuang satu kali lagi, dengan detak jantungnya yang dipacu secara brutal agar tetap berdetak. Lantas segala pemikirannya cukup kacau. Egonya untuk terus mempertahankan Jengga di sisinya terus membumbung tinggi. Kendati sisi lain dari hatinya pun merasa cukup iba. Sena lelah. Sena cukup lelah harus melihat segala kehidupan menyedihkan yang harus dilalui adiknya.
"Jengga," bisiknya lirih. Tenggorokannya tercekat dengan bibir bawah yang bergetar hebat, "Kalau kamu tanya aku, sudah pasti jawabanku adalah aku ingin kamu tetap di sini. Aku ingin kamu tetap bersama kami. Aku ingin kamu kembali berjuang agar bahagia menjadi sebuah destinasi akhir yang bisa kamu tempati."
Kehebohan dalam ruangan semakin kentara. Dokter dan seluruh perawat masih belum menyerah membuat jantung Jengga terus berdetak. Di sisi lain, Sena melanjutkan ucapannya.
"Tetapi ini semua kembali padamu. Aku tidak bisa egois, kan, Jengga? Kamu pun berhak menentukan. Akan melanjutkan semuanya, atau―" Sena mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan cukup berat, "atau beristirahat."
Sena semakin tidak kuasa melihat adiknya yang tampak kesakitan di sana.
"Kamu tidak perlu khawatir, Jengga. Jingga akan baik-baik saja di sini. Jingga masih memiliki aku. Aku akan menjaganya dengan baik. Aku pun akan mempunyai bahagiaku sendiri. Tidak usah memikirkan kami. Jika kamu ingin pergi ...." Si Jumantara melepas tarikan napas panjangnya bersamaan dengan liquid bening yang membasahi pipinya, "kamu bisa pergi dengan tenang."
Dan selesai Sena mengucapkan itu, segalanya pun usai. Jengga sudah menetapkan keputusannya. Monitor menampakkan garis lurus dengan nada panjang yang memilukan. Dokter sudah menentukan waktu kematian. Dan di sana, si Jumantara meluruh. Hatinya sudah benar-benar hancur. Lebur tanpa sisa. Kepalanya tertunduk tidak kuasa harus menghadapi satu lagi hal menyakitkan yang terpampang nyata di hadapannya.
Sehingga ketika dia sudah benar-benar berdiri di samping tubuh Jengga yang membujur kaku, Sena tidak perlu menunggu waktu lagi untuk bersimpuh dan berlutut di samping adiknya. Menangis. Meraung. Berteriak cukup keras menumpahkan segala sesak yang melandanya. Suaranya yang pilu memenuhi ruangan, tidak memedulikan keadaan sekitar yang juga sunyi. Orang-orang meninggalkannya, memberikannya waktu untuk menerima seluruh keadaan ini.
Tangannya mengusap puncak kepala Jengga. Mencium dahi adiknya berkali-kali penuh sayang dan memeluk Jengga teramat erat. Pelukan terakhir yang bisa Sena berikan untuk si bungsu kesayangan, dengan bisikan lirih di telinga Jengga yang mengakhiri segalanya.
"Jengga, aku janji akan menjaga Jingga dengan baik. Kamu bisa beristirahat sekarang."
Narajengga pergi, dengan seluruh cinta dari semestanya yang turut dibawa untuknya sampai akhir.
***
Benar. Itu adalah kenangan terakhir yang begitu membekas dibanding semua hal-hal yang dilalui Sena selama tiga puluh satu tahun hidupnya. Kala itu dia tidak pernah berpikir panjang untuk melanjutkan hidup seperti apa, karena ada janji yang harus dia tuntaskan. Menjaga Jingga dengan baik sesuai apa yang dia katakan kepada Narajengga.
Prioritas Sena adalah menjalani hidup sesuai bagaimana alur semesta membawanya dengan terus memastikan dia dan Jingga hidup dengan baik selama ini. Tentunya sebelum gadis dengan penampilan menyedihkan datang ke kafenya dengan dalih memesan makanan yang harganya lebih murah dari biasanya.
Ara adalah tokoh baru yang disambut Sena dalam semesta miliknya.
Menyadari bagaimana dia bisa begitu jatuh atas setiap hal yang dilakukan kekasihnya. Memberikan banyak afeksi tanpa batas dan menyadari bahwa dunianya semakin indah dari sebelumnya. Hangat menyapa, lembut menerpa, dan manis terasa. Sosok Ara yang hadir dengan sebuah cerita tidak kalah perih pun membuat Sena tergugah atas keinginan untuk semakin mengenal Ara. Menebak apa isi kepala gadis tersebut, apa harapannya, apa keinginannya, apa mimpinya, dan tentang cerita apa yang ada sampai membentuk Ara menjadi pribadi seperti saat ini.
"Tidak apa-apa. Jingga tidak akan sendirian. Jingga masih punya Papa."
"Tidak apa-apa. Kamu tidak sendirian. Kamu masih punya aku,"
Sena tidak berbohong terkait dia yang menjadikan dirinya sebagai tempat untuk bergantung dua gadisnya. Karena sebaliknya, Sena juga tengah meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia sesungguhnya tidak benar-benar sendiri. Dia masih memiliki Jingga, dia masih memiliki Ara. Sebagaimana mereka bergantung pada Sena, maka Sena pun juga bergantung pada mereka. Ketiganya akan saling merengkuh dan bergantung satu sama lain membuka lembar demi lembar bagian dari hidup untuk menjadi sebuah kisah yang tidak akan terlupakan.
Segalanya sudah berlalu. Segalanya sudah terjadi. Apa yang pernah dialami menjadikan ketiganya sebagai pribadi yang lebih kuat saat ini. Ara, Sena, dan Jingga. Sudah siap dengan masa depan yang menanti mereka.
Seperti halnya saat ini.
Sena yang berada di hadapan Ara. Dengan sebuah buket bunga cantik untuk kekasihnya. Tersenyum bangga melihat Ara tampak cantik dengan balutan kebaya serta toga penanda kelulusannya. Usai sudah perjuangan gadis tersebut selama ini. Usai sudah penantiannya di jenjang pendidikan saat ini. Sena bahkan tidak akan lupa malam-malam ketika dia menemani gadisnya melalui telepon atau video call hanya sebagai support system setiap kali Ara lelah dengan pekerjaannya.
"Makasih, ya." Ara berkata lirih. Wajahnya tepat di hadapan Sena bersama dengan satu cincin manis yang sudah tersemat di jari manisnya. Gadis tersebut tersenyum haru mengingat panjangnya kisah yang mereka lalui di waktu yang singkat ini.
"Aku yang makasih," kata Sena. Dia menepuk puncak kepala Ara dengan bangga, "Makasih sudah datang ke hidup aku, makasih sudah mau terima Jingga, dan makasih juga sudah mau terima aku."
Ara hanya mengangguk tanpa menghilangkan seulas senyum yang sejak tadi ada di wajahnya. Dia lantas menunduk dan melihat gadis cantik berbalut gaun putih dengan jepit rambut pita berwarna serupa. Jingga tersenyum polos seraya menggandeng tangan Sena dan memberikan satu kado untuknya.
Ara pun membungkuk, sedikit susah mengingat kebaya dan kain yang melekat di badannya. Namun tak urung, dia mencium Jingga dan memberikan pelukan singkat untuk si kecil. Pun mengusap rambut Jingga yang sudah dipangkas sebahu, "Makasih ya, Sayang. Makasih sudah mau terima Mba Ara sebagai Mama kamu."
"Selamat Mama," kata Jingga, "Makasih juga sudah mau menjadi Mama Jingga. Jingga sayang Mama."
"Oke, oke! Cukup sudah romantisnya keluarga cemara," Ara mendengkus kesal lantaran suara melengking yang tak asing itu menyapanya. Benar. Itu Juniar. Tengah menghampiri mereka setelah tadi berbincang bersama keluarganya yang lain. Pemuda tersebut kini datang dengan ponsel mahal keluaran terbarunya.
"Sini, sini. Aku foto dulu kalian bertiga. Kasihan, pasti dari tadi mau foto tapi nggak nemu orang yang pas, kan? Sudah sama aku saja. Gratis. Nanti foto yang di studio menyusul. Masih ngantri." Juniar menunjuk stan khusus yang memang disediakan, studio sederhana tempat siapapun bisa mengambil foto di sana tanpa perlu repot pergi ke studio foto.
Maka ketiganya menurut saja. Mengikuti seluruh arahan Juniar sampai pada akhirnya, suara khas kamera terdengar dan sebuah foto tercetak sempurna. Itu adalah Ara, Sena, dan Jingga. Ketiganya dengan senyum lebarnya memenuhi wajah. Ketiganya dengan bahagianya memenuhi raga. Ketiganya dengan erat dekapnya memenuhi asa.
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
Ya, ini adalah kisah mereka bertiga. Tentang para lakon semesta yang berlagak bahagia, namun kini sudah sampai di destinasi akhirnya. Cerita yang baru saja selesai kamu baca. Cerita tentang sebuah kehilangan yang dijadikan sebagai pelajaran dan membuat mereka sadar untuk tidak lagi mengabaikan si kesayangan.
Cahaya yang dulu meredup, kini telah menemukan binarnya. Kini sudah menemukan tempatnya untuk semakin bersinar. Menciptakan sebuah harapan akan masa depan indah dan cerita lain yang menanti mereka.
[SELESAI]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top