#Redup37. Rengkuhan Asa



Satu tahun yang lalu, Jingga berada di tempat yang sama. Bukan di rumah sakit yang sama, sih, tetapi sama-sama rumah sakit. Di mana dia duduk bersama dengan Sena di sisi kirinya. Ia sama sekali tidak paham kala itu. Yang dilihatnya hanyalah Sena yang tengah tertunduk dalam. Sikunya bertopang pada lutut dengan jemari yang bertautan. Jingga yang tidak tahu apapun hanya bisa mengerjap bingung. Menarik ujung baju Sena perlahan sebelum bertanya polos.

"Papa, Ayah nggak apa-apa, kan?"

Benar sekali. Satu hal yang Jingga tahu hanyalah ketika dia berada di dalam gendongan Sena. Papanya itu berlari kencang sampai mengabaikan beberapa orang yang tidak sengaja ditubruknya. Di depan mereka, Narajengga tengah terbaring lemah bersimbah darah dan sedang dibawa melewati lorong panjang rumah sakit untuk segera ditangani.

Ayah sedang sakit. Begitulah pemikiran sederhana yang terlintas di kepalanya. Jingga saja yang jatuh dari sepeda, sakitnya bukan main. Apalagi Ayah?

Namun bukan sebuah kalimat penenang yang didapatkan Jingga. Setelah nyaris satu jam berdiam diri dan tidak berani mengusik Sena, Jingga bisa melihat mata memerah dan sembab milik pamannya tersebut tepat di hadapannya. Detik setelahnya, si kecil mendadak sudah terangkat cepat berada di pangkuan Sena. Dipeluknya habis dengan teramat erat dengan bisikan lirih menyapa rungunya.

"Tidak apa-apa. Jingga tidak akan sendirian. Jingga masih punya Papa."

Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?

Jingga ingat sekali ketika Ayahnya dulu, Narajengga, mengajarkan bagaimana cara menenangkan seseorang ketika menangis. Pun gadis tersebut juga pernah melakukan hal yang sama ketika mendapati Narajengga menangis tanpa suara tengah malam. Jadi, gadis tersebut kini melakukan hal yang sama.

Mengalungkan dua lengan mungilnya pada leher Sena, dan setelahnya mengusap belakang kepala pamannya dengan lembut. Hal yang dulu seringkali dilakukan Jengga padanya, yang juga dilakukan sebaliknya, kini Jingga terapkan untuk menenangkan pamannya.

Sena yang mendapati keponakannya itu menenangkannya terkesiap. Tangisnya terhenti dan pelukannya terlepas sepihak. Ekspresi polos tidak tahu apa-apa kembali membuatnya meringis dalam hati. Tangannya spontan mengepal dan napasnya tertahan. Tuhan, bagaimana cara Sena menjelaskan semua pada anak ini? Bagaimana cara Sena memberitahukan bahwa Narajengga benar-benar pergi dan tidak akan kembali lagi?

Namun toh segalanya terjadi begitu saja. Sena, setelah berhasil menenangkan diri pada akhirnya bisa menjelaskan segalanya secara runtun. Paham sekali bahwa biar bagaimana pun Jingga butuh kejelasan kendati ini semua menyakitkan. Kendati usianya masih teramat muda untuk harus menerima fakta bahwa orang tua satu-satunya telah meninggal.

Jingga sudah tidak bisa bertemu dengan Ayah lagi. Begitu pemikirannya. Begitulah kesimpulan yang dia peroleh atas penjelasan Sena. Pun si gadis kecil tidak butuh waktu lama untuk langsung mengudarakan tangisannya. Tersedu, terisak, dan menyembunyikan wajahnya di dada Sena. Mereka saling berpelukan dan berbagi luka. Saling mengiatkan bahwa mereka setidaknya masih memiliki satu sama lain untuk terus bersama.

Entah kenapa, hal-hal tersebut sempat-sempatnya hadir dalam ingatan Jingga. Sudah satu tahun semenjak kepergian Jengga dan gadis tersebut mendadak mengingat bahwa ayahnya pernah berada di posisi ini. Kepalanya ditolehkan ke kanan. Tepat di mana Ara dan Sena berada. Jingga dipaksa melihat keduanya agar tidak takut harus berhadapan dengan benda-benda tajam untuk mengobati lukanya. Namun kendati begitu, sudut matanya menangkap hal lain.

Ada pasien lain di sisi kanannya. Lelaki. Sudah cukup dewasa dan barangkali dia korban kecelakaan. Seluruh kepalanya bersimbah darah dan mengenai kemeja putihnya. Sama halnya dengan Jingga, pria tersebut juga berteriak kesakitan. Di sela tangisannya dan eratnya genggaman tangan Ara dan Sena di tangan kanannya, mendadak Jingga mengingat sang ayah.

Ayah, jadi begini sakitnya sewaktu Ayah terluka?

Jingga tahu bahwa dulu Ayahnya tidak sampai berteriak seperti itu. Narajengga hanyalah terbaring lebah. Matanya mengerjap lemah dan tidak lepas memandang anak semata wayangnya sampai dia dibawa ke dalam ruangan untuk ditangani. Narajengga tidak berteriak. Dia hanya diam. Namun sebagai seorang anak, Jingga teramat yakin bahwa ayahnya merasakan sakit yang tidak jauh berbeda dengan dirinya. Lagipula, itu adalah salah satu kebiasaan Narajengga yang perlahan dipahami Jingga. Bahwa memang ayahnya tidak akan bersuara kendati luka itu teramat menyakitkan, kendati tangisnya tak kunjung mereda. Narajengga sudah terbiasa menyimpan semuanya seorang diai.

Kemudian sebuah fakta lain yang semakin membuatnya sesak.

Sedih sekali karena Ayah harus melalui semuanya seorang diri. Ayah harus melawan sakit seperti ini sendirian. Tanpa Jingga ataupun Papa di samping Ayah. Ayah, Jingga tidak sendirian, tetapi rasanya masih sakit. Sakit sekali.

Air matanya semakin mengucur deras. Karena sakit akibat lukanya pun ingatannya tentang Ayah yang memenuhi kepala mungilnya. Si kecil mendadak merasa sedikit sentimental. Dadanya sesak sekali dan seolah kehadiran Sena dan Ara tidak cukup. Mendadak dia merindukan ayahnya, Narajengga. Rindu ketika Ayah menatapnya dengan sorot teduh dan hangat yang kentara. Rindu ketika Ayah mengusap kepalanya dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Rindu ketika Ayah menenangkannya. Rindu ketika Ayah menepuk punggungnya lembut. Rindu segalanya tentang Ayah. Dan di sana, Jingga semakin mempererat genggaman tangannya dengan Sena dan Ara.

"Ayah percaya bahwa anak Ayah ini gadis yang kuat. Jingga anak pintar, kan? Janji tidak akan merepotkan, Ayah? Hm? Janji akan menjadi anak penurut?"

Maafkan Jingga, Ayah. Begitu batinnya. Karena di saat itu, Jingga sama sekali tidak bisa menahan gejolak dalam dadanya. Tidak bisa menahan kerinduan yang hampir setiap hari dia rasakan. Di setiap sudut rumah, setiap sudut kamarnya, pun ranjang miliknya yang dahulu selalu penuh karena diisi Narajengga di sana.

Jadi, ketika urusannya selesai. Ketika luka yang menganga lebar tersebut sudah ditutup rapat dan darahnya dibersihkan. Jingga lekas menjatuhkan pelukannya pada Sena. Tersedu dan terisak untuk kedua kalinya. Sebelum berucap lirih sarat akan permohonan.

"Jingga mau Ayah. Jingga mau sama Ayah. Jingga mau ketemu Ayah. Jingga kangen sama Ayah."

***

Ara tertunduk dalam dengan jemari yang sejak tadi digigitnya. Debaran jantungnya benar-benar kentara jelas dari balik kemeja yang kotor akibat bekas darah dari Jingga di sana. Saat ini dia sudah duduk di sofa milik Sena. Di ruang keluarga dengan Sena yang masih menidurkan Jingga. Gadis kecil tersebut tidak berhenti merengek dan meminta banyak hal. Termasuk ketika ingin bertemu dengan Narajengga. Maka, yang bisa Sena lakukan hanyalah membawakan satu kaos milik Jengga bersama satu bingkai foto Jengga dan Jingga di sana.

Merasa suasana lebih tenang, Ara pun bangkit dan membuka kamar Jingga perlahan. Gadis tersebut sudah cukup tenang. Punggungnya masih ditepuk-tepuk Sena agar semakin lelap. Jingga tertidur dengan posisi meringkuk memeluk kaos kebesaran Jengga dan bingkai fotonya. Sesekali dia sesenggukan dalam tidurnya.

Sena yang menyadari presensi Ara pun menghela napas panjang. Dia sadar bahwa urusannya belum selesai sempurna. Masih ada satu gadis lagi yang harus ditenangkannya kali ini. Jadi, memastikan Jingga sudah benar-benar tertidur, Sena membubuhkan satu kecupan sebelum perlahan bangkit meninggalkan putrinya.

"Kita bicara di luar," ucap Sena pelan dan Ara menurut. Dia mengikuti langkah Sena yang membawanya ke dapur.

"Minum dulu," Sena menyondorkan segelas air, sebelum meminta kekasihnya itu menunggu dan dia kembali dengan satu kaus berlengan panjang miliknya.

"Nggak usah," kata Ara, "aku pulang sebentar lagi. Nggak perlu repot-repot ganti baju."

Tidak bisa memaksa. Sena akhirnya melepas baju yang dibawanya asal ke atas meja makan. Melihat Ara yang kini tengah menunduk dalam, Sena pada akhirnya berlutut tepat di hadapan Ara. Dua tangannya menangkum tangan Ara yang sejak tadi gemetar hebat di atas pangkuannya. Lekas dia mengapit dagu Ara, membawanya agar mereka bisa bersitatap dan di sana, si Jumantara bisa melihat jelas mata kekasihnya yang sudah mengembun.

"Hei," panggilnya lembut, "Ini bukan salah kamu."

"Ini salahku," potong Ara cepat, "Kalau saja aku nggak ceroboh ninggalin Jingga sendirian. Kalau―kalau saja aku pesan minumannya nanti pas pulang bareng kamu. Kalau saja aku bisa nunggu―"

"Ara," panggil Sena sedikit lebih tegas, kepalanya mendongak menatap Ara yang tengah duduk di hadapannya. Ia berusaha keras memberikan sorot teduh penuh afeksi hanya untuk mengantarkan kehangatan serta ketenangan untuk Ara yang tengah kacau di hadapannya, "Jingga jatuh, Jingga kebentur kursi. Bukan salah kamu. Bukan kamu yang sengaja ninggalin Jingga. Bukan kamu yang melepas Jingga tanpa pengawasan gitu saja. Karena aku pun juga ngelakuin hal yang sama. Kita sama-sama salah. Kita tidak bisa jagain putri kita dengan baik. Jadi, berhenti nyalahin diri sendiri, hm? Karena kita berdua sama-sama memegang tanggung jawab di sini."

Ara tertegun. Dia mengusap kasar air matanya yang sejak tadi meluruh. Di pandangnya Sena tak percaya selagi ia bertanya, "Kenapa kamu baik sekali? Kenapa kamu nggak marah sama aku? Jingga begini juga saat dalam pengawasanku."

"Pengawasan kita," koreksi Sena cepat, "Jingga sedang bersama kita dan itu berarti Jingga harusnya ada dalam pengawasan kita berdua. Dan seperti yang kubilang tadi, kita sama-sama salah."

Menyadari Ara yang kembali menundukkan kepalanya dalam dengan bahu yang gemetar dan terisak. Sena lantas memanggil lembut, "Hei," panggilnya, "Sayang, lihat aku," pintanya.

Dan mau tidak mau, Ara menurut.

Sena masih memasang senyum hangatnya di sana, "Pasti sulit sekali karena ini pertama kalinya kamu hadapin situasi semacam ini. Baik kamu, aku, Jingga. Kita sama-sama mempunyai trauma yang sama. Anak itu sejak dulu tidak suka rumah sakit. Ingat Ayah yang sakit dan sendirian, katanya. Jadi dia pasti trauma akibat kejadian satu tahun yang lalu. Maafkan Jingga yang sedikit merepotkan hari ini. Dia sedang rindu ayahnya."

Ara hendak menyela. Dia baru saja ingin berkata bahwa ini sama sekali bukan salah Jingga, jika Sena tidak melanjut cepat.

"Dan kamu pun harus menghadapi situasi yang sama," lanjutnya masih dengan nada kelewat tenang, "melihatmu tegang, panik, dan kehilangan diri untuk beberapa saat buat aku paham, kalau ternyata kamu pun harus melawan kenangan pahit yang sama ketika ... Nava pun pernah menempati posisi yang sama dengan Jingga. Benar begitu?"

Ara mengangguk.

Sena mematri senyumnya. Menarik dua sudut bibirnya sampai menciptakan lesung pipi khasnya di sana. Satu tangannya terangkat untuk menyelipkan rambut Ara ke belakang telinga, "Kalian berdua sudah menjadi orang yang sangat berani hari ini. Kamu dan Jingga, kalian sudah melalui hari yang cukup berat dan kalian bisa melewatinya. Kalian bisa melawan rasa takut itu dan itu sangat luar biasa."

Sena kembali melingkupi kedua tangan Ara dengan tangannya yang besar. Menutup semua sisi tanpa celah. Mencoba memberitahu Ara bahwa gadis tersebut tidak sendiri. Gadis tersebut masih memilikinya. Dan Sena di sini ada untuk melindungi apapun yang akan membuat gadisnya terluka.

Jadi, mencoba melakukan hal yang sama tepat seperti satu tahun yang lalu. Si Jumantara menarik Ara ke dalam pelukannya dan berbisik lirih.

"Tidak apa-apa. Kamu tidak sendirian. Kamu masih punya aku," persis setelahnya Sena melanjut satu kali lagi, "Ara, kamu sudah melawan rasa takutmu dan kamu sudah berhasil. Kamu sudah berhasil melalui itu semua."

Aku ... berhasil?

Ara masih dengan dirinya yang stagnan dan menatap Sena yang memandangnya teduh. Pria tersebut bahkan menghapus sisa-sisa air mata Ara dengan jemarinya. Gerakannya sangat lembut, seolah tidak mau lagi semakin membuat gadisnya semakin hancur hanya karena pergerakan kecil yang bisa saja menyakitinya.

Namun di satu sisi yang lain. Ara bisa menemukan hal yang jauh lebih indah daripada itu. Menyadari bahwa segalanya telah selesai. Segalanya telah usai. Penantiannya berhasil dan perjuangannya membuahkan hasil.

Nava, kini aku sudah bisa hidup dengan baik. Janjiku padamu sudah berhasil aku wujudkan. Begitu ucap Ara dalam hatinya. Masih dengan sesuatu yang menghangat menjalar memenuhi dirinya. Menyadari dengan baik bahwa kini dia benar-benar tidak sendiri. Dia memiliki Jingga, memiliki Sena. Dua orang khusus yang juga memahami dengan baik perasaannya. Orang-orang yang tahu persis rasanya kehilangan. Seseorang yang dengannya Ara bisa berbagi perasaan tanpa batas di sana.

Seseorang yang bisa Ara rengkuh dengan erat. Menjadi miliknya. Menjadi temannya berbagi di masa depan. Pun bersama-sama saling merengkuh penuh asa bahwa kebahagiaan agaknya bisa mereka dapatnya karena mereka masih memiliki satu sama lain untuk terus bersama.

Benar. Mari lanjutkan hidup menjadi lebih baik dengan seluruh asa yang kini kumpulkan dan bagi bersama untuk masa depan yang lebih baik. Jingga, Mas Sena, mari hidup bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top