#Redup34. Mari Pulang, Sena

Jangan lupa klik tanda bintang dulu sebelum baca. Terimakasihh ^^
Selamat bersemesta.



Tepat di depan makam itu, Sena dan Ara berdiri. Keduanya masih dengan tangan yang berkait menatap dengan senyum tipis bersama isi kepala yang melanglang buana. Memanggil fregmen-fregmen masa lalu berputar bak film sekali putar yang sering ditonton keduanya. Baik Ara maupun Sena baru saja menemukan satu fakta baru. Tentang lucunya takdir yang membawa mereka. Mengikat keduanya sampai seberapa kerasnya Ara dan Sena berpisah pun, mereka akan tetap kembali pada titik yang sama.

Makam Narajengga dan Navarendra terletak di tempat yang sama. Hanya berjarak sekitar beberapa makam saja. Keduanya geleng-geleng kepala menyadari bahwa selama ini, mereka memang sudah terhubung sejak lama.

Bergantian, merapalkan doa terbaik untuk dua insan kesayangan semesta. Terbaik untuk mereka yang telah pergi. Dan ucapan terima kasih karena dulunya pernah ada serta mengisi hidup Ara dan Sena.

Narajengga, Mas datang lagi. Berbeda dari dulu, Mas sedang bersama orang lain. Mungkin kalau kamu masih ada, kamu akan jadi orang pertama yang nggak pernah berhenti ngolok aku yang sedang masa bucin-bucinnya seperti sekarang ini. Jangan khawatir, Jingga ada denganku. Jingga baik-baik saja. Sesuai harapanmu, dia tumbuh menjadi anak yang baik dan tidak pernah merepotkan kami. Tenang di sana ya, Jengga. Kamu sudah tidak sakit lagi sekarang. Jangan khawatirkan kami, kami akan baik-baik saja.

Nava aku datang kembali. Tidak ada Juniar kali ini. Ngomong-ngomong, aku jadi ingat ketika kamu sedang cemburu-cemburunya. Waktu beberapa cowok datang untuk cari perhatian ke aku. Tapi kali ini, aku yakin kamu pun tetap bahagia di atas bahagiaku. Kamu akan selalu punya tempat tersendiri di hatiku, Nava. Lelaki baik yang dulu aku sayang dan aku cinta. Yang pernah menjadi poros semestaku. Yang mengajarkan aku banyak hal-hal baik di dunia. Sedih sekali rasanya ketika kamu menunjukkanku semua itu, kamu sendiri tidak bisa melihat hal-hal baik dari sudut pandangmu. Kamu yang memilih menyerah di sisa-sisa harapanmu untuk terus melanjutkan hidup. Di jeritan terakhirmu untuk meminta pertolongan orang lain bahwa kamu masih ingin bertahan, tetapi saat itu aku tidak ada di sana. Maaf karena saat itu aku tidak ada. Maaf atas kesalahan terbesar yang pernah ku lakukan. Namun, Nava. Seperti permintaan dan permohonan terakhirmu yang sudah aku kabulkan. Aku akan terus hidup dan bahagia. Dan kini, aku sudah menemukan bahagiaku. Kami akan selalu merindukanmu, Nava.

Berada tepat di tengah-tengah seraya memandang dua gundukan dengan satu tangkai bunga di sana. Ara bisa merasakan rangkulan Sena yang mengerat sembari mengusap bahunya. Seperti biasanya memberikan sebuah ketenangan absolut yang mengantarkan sensasi nyaman untuk si puan. Ara membalas senyum tipis Sena dengan sorot keduanya yang mengartikan hal yang sama. Kerinduan.

"Hidup harus terus berjalan, Araya. Bukan begitu?"

Ara mengangguk, "Kita harus tetap melanjutkan hidup. Perjalanan masih panjang."

Keduanya memutuskan untuk beranjak pergi. Hari itu adalah hari di mana mereka sepakat untuk berdamai dengan keadaan serta menjadikan setiap hal yang sudah mereka lalui sebagai pembelajaran untuk dijadikan pijakan menjadi seseorang yang lebih baik ke depannya. Baik Ara maupun Sena sama-sama tahu bahwa mempertahankan rasa sakit, luka, dan dendam itu tetap ada bukan perihal yang baik untuk diteruskan.

Hidup adalah jangka waktu yang singkat untuk dihabiskan dengan merasakan hal-hal semacam itu. Bukankah bahagia agaknya menjadi destinasi setiap orang? Dan bagaimana bisa keduanya mencapai rasa bahagia, nyaman, dan tenang jika masih tetap mempertahankan perasaan-perasaan negatif semacam itu? Terluka, boleh. Sedih, boleh. Marah, boleh. Semua adalah hal-hal yang manusiawi dan mencoba mengambil waktu sedikit lebih lama untuk menerima kenyataan pun sesuatu yang normal untuk dilakukan. Namun, terus-terusan bersedih dan tersulut dalam emosi atas permasalahan yang sama tentunya bukan keputusan yang dewasa.

Menerima, memaafkan, berdamai, dan melanjutkan kembali perjalanan yang tersisa.

Hidup tentang sebuah proses dan untuk mendapatkan hasil yang baik pun perlu perjalanan yang panjang dan tidak mudah.

Hari itu, Ara dan Sena akhirnya bisa bernapas lega bahwa segala hal yang dulunya sempat menjadi penyebab utama atas segala emosi yang tidak ada habisnya, bisa mereka selesaikan dengan baik. Sekalipun itu semua butuh waktu yang tidak bisa dikategorikan singkat. Dan kini saatnya melanjutkan sisa-sisa perjalanan hidup atas kisah-kisah baru yang menanti mereka.

Atau barangkali belum?

Karena untuk melanjutkan sebuah hubungan itu ke tahap yang lebih serius. Keduanya pun tahu masih ada banyak hal yang harus di lalui. Menikah bukan perkara menyatukan dua insan yang saling mencinta, tetapi juga menyatukan dua keluarga besar.

Dan di sanalah letak masalahnya.

Bukan perihal yang aneh setelah perdamaian atas diri sendiri pun kepada semesta, seperti yang baru saja mereka lakukan. Bahkan Sena sudah berencana akan mengajak Ara ke kafe terdekat sebelum menjemput Jingga dari les matematikanya sore ini. Tentu saja semua tidak berjalan lancar karena di saat yang sama ... Sena akhirnya bertemu dengan seseorang yang sudah dua tahun ini tidak ditemuinya. Membawa kembali rasa sesak penuh rindu pada dirinya.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari dua orang yang tengah berdiri tegak dengan ekspresi yang sama. Sena berucap dengan nada yang gemetar dan tubuh meremang hebat.

"Ibu? Bapak?"

***

Suasana di dalam rumah ini cukup hangat. Rumah Sena bukanlah rumah yang besar nan superior karena Ara tahu bahwa prianya itu berasal dari keluarga yang sederhana dan biasa-biasa saja. Atau barangkali, kendati memiliki isi tabungan yang tidak sedikit dan tanah di mana-mana, orang tua Sena selalu menerapkan hidup sederhana untuk anak-anaknya.

Dengan halaman yang dipenuhi berbagai macam bunga yang ditata rapi, beranda yang terdapat dua kursi santai dengan satu meja bundar di antaranya, Ara kini tengah menempati ruang tamu keluarga mereka. Kursi dengan kayu jati yang sudah pasti tidak murah dengan beberapa hiasan dinding untuk mempercantik ruangan.

Masih dengan perasaan gugup yang tersisa (atau barangkali tidak akan hilang dalam waktu singkat), sedari tadi yang bisa gadis itu lakukan hanya memainkan jemari yang saling memilin. Menunduk atau memerhatikan keadaan rumah orang tua Sena sesekali dan netranya menangkap satu foto keluarga berukuran besar yang terpajang di ruang keluarga. Kedua orang Sena duduk di depan dan Sena serta Narajengga di belakangnya berdiri dengan senyum keempatnya sangat lebar menatap kamera. Sekilas, orang yang melihat akan berasumsi bahwa mereka adalah keluarga bahagia.

Melalui celah penghubung antara ruang tamu dan ruang keluarga, Ara pun bisa melihat beberapa foto lain yang ada di sana. Foto kelulusan Sena dan Jengga, foto-foto semasa kecil mereka, atau pun foto ketika keduanya baru saja memenangkan beberapa perlombaan.

"Sudah puas melihat-lihatnya?"

Ara tersentak kaget manakala Ibu Sena baru saja datang menghampirinya. Wanita tersebut datang dengan pakaian yang lebih santai dan nyaman dari tadi. Memasang senyum hangat dan sorot teduhnya (yang sejujurnya sangat mirip dengan Sena) dan di sana Ara mengasumsikan darimana asal muasal ekspresi teduh yang senantiasa Ara dapatkan dari prianya. Kedua irisnya memandang Ara sejak tadi, memerhatikan dengan baik dan seksama tanpa ada yang terlewat dan tentu saja membuat gadis tersebut hanya bisa memasang senyum canggung.

"Ibu," Sena yang sejak tadi diam pun membuka suaranya. Ara maklum saja, bukan hal yang mudah pasti kembali ke rumah ini. Ada perasaan haru yang sejak tadi menginvansi perasaan Sena sejak awal menjejakkan kaki ke rumah ini. Rasa rindu tanpa batas sampai membuat dia tidak bisa menahannya sejak tadi.

Dan tidak butuh waktu lama sampai Bapak Sena pun mengambil posisi tepat di samping istrinya.

Sena sendiri, di sisa-sisa kesadarannya atas segala perasaan campur aduk yang dia rasakan. Tidak bisa menahan lebih lama lagi untuk segera bersimpuh. Berlutut tepat di depan orang tuanya dan mengambil tangan Ibunya. Menunduk sedalam-dalamnya dengan bahu gemetar hebat dan isakan tangis yang terdengar. Di ciumnya punggung tangan Ibu sebelum lelaki tersebut memeluk kaki ibunya dengan teramat erat.

"Ibu, maafkan kami," katanya, "Maafkan Jengga atas segala kesalahan yang sudah dia lakukan. Sena juga salah di sini, Bu. Sena tidak memperhatikan Jengga, Sena tidak menjaga Jengga, Sena tidak bisa mengawasi Jengga, Sena lalai sama Jengga. Sena gagal menjadi kakak yang baik untuk dia. Tolong maafkan kami. Tolong ampuni kami. Sena minta maaf. Ini semua salah―"

"Sena, anak Ibu," Sena menghentikan ucapannya. Masih sesenggukan ketika Ibu memanggil dan meraih dagu pria tersebut. Dan di sana Sena bisa melihat bagaimana senyum ibu dan sorot teduhnya yang selama ini hanya bisa dilihat melalui ingatannya. Melalui dua netra indah itu, Sena merasa cukup karena itulah tempat pulang yang selama ini senantiasa dia rindukan.

Ibu menghapus air mata Sena dengan ibu jarinya. Lekas setelah itu membubuhkan sebuah kecupan di dahi putra kesayangannya. Si sulung yang selama ini tidak pernah mengecewakan mereka, "Tidak perlu menyalahkan diri seperti itu. Kesalahan ini bukan milikmu. Ini salah kami, kami sebagai orang tua yang tidak bisa menjaga dan mengurus kalian dengan baik. Kami yang telah gagal menjalankan peran sebagai orang tua. Kami yang lalai, bukan salahmu."

"Tapi tetap saja," Sena menjeda saat dirinya masih sulit berbicara karena tangisnya, "Kami sudah buat Ibu dan Bapak kecewa."

"Memang iya," Bapak angkat suara, tangannya mengusap puncak kepala Sena dengan hangat, seraya melanjut, "dan kesalahan itu bukanlah sebuah kesalahan kecil. Dan kami sudah memaafkan itu. Sama seperti kami sudah memaafkan kesalahan Narajengga. Meskipun itu memang butuh waktu yang tidak sebentar."

"Orang tua mana yang tega sampai tidak memaafkan kesalahan anak mereka? Maafkan kami ya, Nak," Ibu mencoba menahan tangisnya, telapak tangan kurus itu kini mengusap pipi Sena penuh cinta, "Kalian pasti kesulitan sekali selama ini. Kalian pasti lelah sekali harus melalui semua ini sendirian. Dan Jengga," ibu menjeda sesaat di sela tangisnya, "anak itu pasti sangat kesepian dan kesulitan. Dan Ibu ... Ibu bahkan dengan teganya mengusir kalian dua tahun lalu. Meminta kalian untuk tidak kembali lagi ke rumah ini."

Sena menggeleng cepat, diraihnya kembali tangan Ibu untuk diberikan rematan kuat di sana, "Ibu, jangan bicara seperti itu. Kami tidak pernah membenci Ibu. Jengga ... Jengga bahkan sampai akhir hidupnya, dia masih sangat menyayangi Ibu dan Bapak. Kami paham atas perasaan kalian."

"Dan kami yang justru tidak paham perasaan kalian. Maafkan Ibu ya, Nak." Ibu menghapus air matanya kasar dengan punggung tangannya, detik setelahnya, Sena membeku saat tiba-tiba tubuh besarnya ditarik begitu saja. Jatuh ke dalam pelukan Ibu dan sebuah bisikan yang membuatnya semakin menumpahkan tangis di wanita yang sangat ia sayangi. Semestanya yang selama ini ia rindukan.

"Pasti lelah sekali menahan semua beban dan tanggung jawabmu selama ini, ya? Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik. Menjadi Kakak sekaligus anak yang membanggakan untuk kami. Maafkan Ibu dan Bapak," Ibu melepas pelukannya. Berkata lirih tepat di depan wajah Sena dengan air mata yang meluruh habis di wajah keduanya.

Dengan penuh senyum yang penuh dengan kerinduan itu, Ibu berkata, "Pulanglah, Sena. Kamu sudah terlalu lama pergi," dan belum selesai di sana, Ibu kembali melanjut, "Dan jangan lupa ajak si kecil itu kemari. Ibu sudah rindu sekali dengan cucu Ibu yang satu itu."

Sena tidak perlu waktu lama untuk semakin menangis. Kepalanya jatuh begitu saja di pangkuan Ibu dan tidak memedulikan presensi Ara yang sejak tadi membekap mulut menahan tangisnya, si Jumantara luruh begitu saja. Atas semua perasaan lega yang mulai memasuki relung jiwanya sedikit demi sedikit. Atas semua beban yang berangsur lebur dari pundaknya. Dan atas jiwa lelah serta usahanya yang sudah mendapatkan pengakuan.

Sena tidak butuh pengakuan dari setiap orang. Dia hanya butuh mereka. Orang-orang yang terkasih yang berada di sekitarnya dan itu sudah lebih dari cukup.

Ibu yang melihat putra sulung kesayangannya tersebut luruh dan meraung keras dengan bahu yang naik-turun dengan hebatnya hanya bisa tersenyum. Bersama dengan Bapak, mereka berdua mengusap punggung lebar Sena. Memberikan sebuah perasaan tenang atas isakan yang kini tiada hentinya terdengar. Betapa kuatnya dan dewasanya Sena di hadapan orang lain, tetapi jika dihadapakan di depan orang tuanya, Sena hanyalah putra kecil mereka yang selalu membutuhkan afeksi Ibu dan Bapak sebagai tempat untuk pulang. Salah satu rumahnya atas segala rasa lelah yang selama ini dia pikul.

"Astaga, putra Ibu sudah besar masih menangis begini. Cup, cup. Sshh, Sshh, Sshh. Tenang, Sena. Malu dilihatin begini sama pacarmu."

Mendengar sedikit kalimat ledekan lembut Ibu yang mengalun indah di telinganya. Tangisan Sena pun berangsur mereda dan dia pada akhirnya berlutut dengan posisi tegap. Sebelum dengan dua lengan panjangnya, menarik Ibu dan Bapak untuk direngkuh ke dalam pelukannya.

"Terimakasih, Bu, Pak. Sena sayang sama Ibu dan Bapak."

"Kami juga sayang sama Sena ... dan juga Jengga."

Jengga, kamu kini tidak perlu khawatir lagi. Mimpimu, harapanmu, dan seluruh keinginanmu sudah terkabulkan. Aku dan Jingga, sudah kembali menemukan rumah kami yang telah lama hilang. 

Gimana perasaan kalian setelah membaca chapter ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top