#Redup33. Ikatan Temu
Ingat jangan lupa kasih vote sama komentarnyaaa. Yuk sama-sama biar REDUP bisa capai 1k votes segera.
Selamat bersemesta 🌌🌌


Tepat pukul 1, Sena dan Ara menjemput putri kesayangan mereka. Keduanya berjalan dengan lengan yang saling berkait tepat dimana Kaluna tengah mensejajarkan tingginya dengan Jingga dan memeluknya kelewat erat. Wanita tersebut bahkan membubuhkan ciuman di dahi, pipi, dan hidung anaknya tanpa henti. Enggan melepas Jingga tentu saja.
"Mama, Papa!" Jingga tidak bisa menyembunyikan rona bahagia miliknya mendapati presensi Ara dan Sena yang tidak jauh dari mereka.
Sena yang lega mendapati putri kecilnya baik-baik saja segera merentangkan tangan. Menyambut pelukan Jingga yang tengah berlari menghampiri keduanya. Lekas mengangkat Jingga tinggi-tinggi sebelum dibawa ke dalam gendongannya.
"Putri Papa nggak nakal kan dari tadi?"
Jingga menggeleng, "Nggak, dong! Tadi jalan-jalan ke banyaaaak tempat sama Tante Luna sama On Juna. Jingga dibelikan banyak baju juga! Sama dibelikan es krim!"
Juna memberikan beberapa tas belanjaan mereka pada Ara, sontak mengundang gelengan kepala dari Sena, "Bangkrut nih Tante Luna-nya," Ara bercanda seraya menjawil ujung hidung Jingga, "Bilang apa?"
"Makasih Om Juna, Makasih Tante Luna."
Kaluna mengangguk mengusap pipi gembil Jingga, "Sama-sama, Sayang. Oh, ya!" wanita itu kemudian beralih untuk menatap Sena, "Terimakasih juga, Kak, untuk hari ini."
Mengangguk satu kali sebelum menjawab singkat, "Urusan kita sudah selesai sampai di sini," pria tersebut menghela napas sesaat sebelum melanjut, "Sekarang mari lanjutkan hidup kita masing-masing sampai di sini. Hal yang lalu ... biarkan saja tetap menjadi masa lalu."
Lagipula semarah apapun Sena pada Kaluna, biar bagaimana pun dulu wanita tersebut pernah menempati setiap celah hatinya. Pernah menjadi seorang gadis yang sangat dicintai Sena yang sukarela memberikan seluruh afeksi tanpa batas untuk Kaluna. Pun gadis tersebut pula pernah menjadi salah satu orang terdekatnya, seseorang yang senantiasa mengerti apa isi kepala dan perasaan Sena selama ini. Belum lagi bagaimana dicintainya Kaluna oleh Narajengga bahkan sampai akhir hidupnya.
Cukup sampai di sini saja seluruh drama semesta yang terjadi di antara mereka dan Sena tidak ingin menambah lagi masalah lain di saat hidupnya sudah mulai tertata. Jadi, biarkanlah semuanya tetap menjadi masa lalu dan berdamai serta menerima kenyataan tentu bukan ide buruk untuk dilakukan.
Menganggukkan kepala dan menurut, Kaluna tersenyum tipis, "Iya. Mari lanjutkan hidup kita masing-masing," katanya. Namun selepas itu, Kaluna mendadak buru-buru mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dan segera menempatkan itu di kantung gaun Jingga, "Buat beli es krim."
"Luna, nggak perlu repot-repot. Ini saja sudah banyak." Sena seketika menolak, mencegah Kaluna yang tengah memasukkan kembali uang yang sudah dikeluarkan Sena.
"Nggak perlu, Kak. Buat sangu Jingga."
"Nggak usah repot-repot."
"Siapa yang direpotkan? Aku serius. Nggak masalah. Uangku masih banyak."
Sena berdecak, "Kaluna,"
"Sudah nggak apa-apa."
"Tapi―"
Brak
Perdebatan mereka terjeda sesaat manakala dompet milik Kaluna jatuh dan terbuka lebar. Barangkali itu bukanlah sebuah perkara besar, atau setidaknya sesuatu yang mengundang atensi menghebohkan bagi orang di sekitar. Karena selepas dompet tersebut jatuh tepat di kaki Ara. Kaluna nyaris saja mengambil dompet tersebut jika saja tangan Ara tidak dulu mengambilnya.
Sena bisa melihat bagaimana ekspresi ramah yang sejak tadi dibawa Ara mendadak lenyap begitu saja. Bagaimana sorot penuh kehangatan itu tiba-tiba saja diselimuti teror dengan tangan bergetar hebat saat penglihatannya tertuju pada sebuah foto kecil yang terselip di dompet Kaluna. Foto dua orang di sana, Kaluna yang tengah merangkul seorang pemuda dengan poni lurus dan mempertontonkan senyuman lebar kepada kamera.
"Ara?"
Ara spontan tersentak. Menyadari bahwa ia menjadi sebagai pusat atensi, kendati di sana dengan senyum canggungnya Kaluna berusaha menarik kembali dompet ungu miliknya.
"Kalau begitu aku pamit pulang dulu."
Detik setelahnya Ara bisa merasakan jemari Sena mengisi miliknya. Pun ibu jari milik si pria yang sedang membelikan usapan lembut di punggung tangan Ara. Menyadari bahwa kondisi saat ini sedang tidak begitu baik, pun bagaimana wajah Ara yang memucat di sebelahnya. Sena mencoba berbisik pelan untuk menenangkan kekasihnya.
"Araya. Sayang, sebaiknya kita―"
"Mba Luna," Ara yang sedang tidak bisa berpikir jernih menghentikan Kaluna yang baru saja mengambil satu langkah hendak pergi bersama Juna.
Masih dengan napas yang coba ia atur agar lebih tenang. Si Nayanika mengambil napas dalam-dalam dan membalas tatapan Kaluna yang tengah kebingungan menatapnya.
"Maaf sebelumnya, tapi kalau boleh tau," Ara menggigit bibir bawahnya ragu. Mengambil banyak-banyak rasa tenang yang sedang mati-matian ia pupuk dalam diri, ia lantas melanjut, "Apa hubungan Mba Luna sama Navarendra?"
Pertanyaan Ara lantas mengambil total atensi Kaluna. Mengingat bagaimana dahi wanita itu mengerut dengan kepala yang dimiringkan. Mencoba menerka apa isi kepala Ara dibalik ekspresi tegang yang dia pertontonkan kelewat jelas.
"Luna, ayo cepat. Aku ada panggilan darurat dari rumah sakit." Juna berbisik lirih.
Menunduk sejenak sebelum membuang napasnya perlahan. Barangkali Kaluna tidak perlu berpikir terlalu banyak. Mungkin Ara hanyalah salah satu teman Nava dahulu. Sesuatu semacam itu agaknya yang paling masuk akal untuk dipikirkannya saat ini.
Jadi tidak mau menunggu terlalu lama. Membalas tatapan Ara dan mengulas senyum tipis di sana, Kaluna berkata, "Adikku," katanya, dan di detik setelahnya, seolah mempertegas pun si wanita melanjut, "Navarendra Dirgantara ... dia adikku." Tidak mau memperpanjang konversasi, Kaluna menunduk singkat sebelum pamit dan meninggalkan mereka.
Sena melihat bagaimana ekspresi Ara tidak berubah sejak tadi. Bahkan salam perpisahan Kaluna yang tidak digubris dan di sana cengkramannya mengetat kuat melalui jemarinya. Tas-tas belanjaan Jingga yang terjatuh beberapa saat setelah itu dan bulir-bulir keringat yang mulai membasahi dahinya. Tubuh gadis tersebut meremang hebat. Sena lekas menurunkan Jingga. Memegang kedua bahu Ara dengan erat dan menggoncangkan pelan seraya mensejajarkan tinggi mereka.
"Araya. Sayang," panggilnya mencoba menggoncangkan bahu milik Ara. Sedang gadis tersebut masih berdiri dengan tatapan kosong.
Dengan sisa-sisa kewarasan yang masih terus dipertahankan mati-matian. Ara menarik dua sudut bibirnya. Tersenyum selayaknya orang gila dengan bulir-bulir air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya. Gadis tersebut mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Dua tangannya terkepal erat dan di sana Sena bisa melihat bagaimana tatapan penuh luka dan pilu milik Ara untuk pertama kalinya. Mempertegas betapa berantakannya hidup gadis tersebut bertahun-tahun ini.
Sekon setelahnya, bisikan lirih terdengar, "Dunia itu sempit sekali, Mas Sena."
Tanpa pikir panjang segera direngkuhnya Ara ke dalam pelukannya. Tidak peduli beberapa pasang mata yang tengah menatap aneh kepada mereka karena bagi Sena, Ara adalah prioritas utama untuknya saat ini. Pun pelukan lain dari lengan kecil milik Jingga yang juga melingkar di pinggang gadis tersebut. Kedua ayah dan anak itu seolah memberitahu Ara secara tersirat, bahwa di balik setiap rasa sakit yang diterimanya, Ara pun masih memiliki dan akan terus menerima banyak cinta dari orang-orang di sekitarnya.
Dan di saat yang sama, Sena membenarkan dalam hati. Itu sebabnya kenapa dia tidak merasa asing dengan foto Nava yang diperlihatkan Juniar. Karena sesungguhnya sebelum semua ini terjadi, jauh sebelum Sena bertemu dengan Ara. Di pertengahan bulan Juli empat tahun yang lalu, Jengga membawa seorang pemuda ke rumah mereka. Namun tidak dengan nama Navarendra yang bersanding di sana.
Sialan sekali. Narajengga pasti sudah tahu lebih dahulu bahwa pemuda itu adalah adik dari Kaluna.
"Mas, kenalkan ini Dirgantara, panggil sana Dirga. Dia aku ajak makan malam sama kita. Boleh, kan?"
Masih dengan tangan lebarnya yang digunakan untuk menepuk punggung Ara memberikan ketenangan dan afeksi di sana. Menunggu dengan sabar sampai bahu Ara tak lagi gemetar hebat. Si Jumantara mendadak tersenyum miris. Meringis dalam hati.
Semesta memang sesempit itu ya, Ara? Sampai kami semua memiliki sebuah ikatan temu dan selalu memiliki cara untuk tetap terhubung.
***
Kafetarian cukup ramai di waktu-waktu makan siang seperti ini. Wajah-wajah lelah setiap orang ataupun ekspresi lega nan mendamba kudapan untuk segera mengisi kembali energi serta memberikan waktu luang untuk diri sendiri. Di cuaca yang sudah menjadi sedikit lebih dingin seperti ini, mayoritas mengenakan pakaian lengan panjang. Atau paling tidak menggunakan pakaian berlapis untuk menghangatkan diri. Kendati terus terang saja di waktu siang seperti ini memang lebih baik memesan minuman dingin di cuaca yang terik dan lebih hangat dibandingkan tadi pagi.
Ara pun melakukan hal serupa. Selepas melaksanakan bimbingan dengan dosennya dan menerima beberapa wejangan yang memanaskan isi kepalanya, tidak perlu pikir panjang untuknya segera menuju kantin dan memesan satu gelas porsi besar es jeruk dengan ayam geprek level menengah hanya agar merasa lebih segar (sekalipun itu terdengar menyiksa diri).
"Lagi di kantin, makan siang dulu. Nggak usah jemput, aku bisa pulang sendiri, Mas." Ara mengapitkan ponselnya di antara bahu dan telinga sembari mengucapkan terimakasih dan beberapa lembar uang di kasir membayar pesanannya. Gadis tersebut menggulir pandangan ke seluruh ruangan dan berujung menempati bangku tengah yang kosong.
"Iya, sendiri saja," katanya lagi membalas perkataan Sena di ujung sana, "nggak perlu ke sini. Aku tau kafe lagi ramai-ramainya kalau siang. Santai saja. Lagian―Lho? Kok sudah di sini saja?" ucapan Ara terpotong, sepihak tentu saja saat seseorang tanpa izin dan aba-aba menarik kursi di hadapannya dan tersenyum tanpa dosa.
"Sekali-kali kasih kejutan buat kamu. Nggak boleh?" Sena memasukkan ponselnya, bertopang dagu dan tertawa renyah melihat ekspresi terkejut Ara.
"Ya nggak gini juga konsepnya. Nggak kesasar di jalan?"
"Nggak, lah. Kan udah dua kali ke sini sama kamu. Juniar mana? Nggak kelihatan."
"Dia lagi stress penelitian. Jangan diganggu. Kalah-kalah ibu hamil kalau marah-marah. Untungnya punya Brianna."
"Semacam support-system gitu,ya?"
Ara mengangguk, "Yep," balasnya singkat, es jeruknya baru saja datang dan Ara memilih untuk menikmati itu lebih dahulu, "nggak mau pesan makan?"
Sena menggeleng, "Nanti saja nunggu kamu yang masak," melirik sekilas jam di tangan kirinya, lantas melanjut, "sekalian jemput Jingga juga, kan? Biar satu kali jalan. Bahan makanan masih ada di kulkas? Atau mau belanja dulu."
"Masih ada, kemarin aku beli di tukang sayur lumayan banyak buat dua hari. Soalnya hari ini jadwalku agak padat. Btw, Mas tumben banget ninggalin kafe begini. Nggak biasanya."
"Mumpung ada bawahan yang bisa disuruh-suruh. Sekali-kali fleksibel manfaatin jabatan. Lagian kamu juga ngomongin Juniar tapi nggak beda jauh sama cowok itu. Memangnya kamu pikir nggak pernah marah-marah sama aku?"
Menatap Sena tanpa dosa, Ara mengerjap polos, "Eh? Iya, kah? Masa aku sering marah-marah."
Mengibaskan kedua tangannya dan menghempaskan diri di sandaran kursi. Sena akhirnya berdecak dengan kepala yang menggeleng tak percaya, "Kan, kan. Nggak tau diri. Giliran sama Jingga saja kamu baik-baik, ketawa, main bareng. Sama aku mana pernah. Akhir-akhir ini kamu sadar nggak sih suka emosian?"
"Hehe, maaf. Ya maklumi saja saya sudah masuk tahap semester depresi. Ini syukur-syukur nggak kena ghosting sama dosen sendiri."
"Dan syukur-syukur punya pacar pengertian."
"Iya, deh. Itu bonus," sahut Ara ringan. Dilihatnya Sena yang tengah menatapnya lamat-lamat, tampak ragu hendak mengatakan sesuatu. Lantas Ara menyilangkan tangannya depan dada, menghela napas, "Khawatir?" tanyanya.
"Ya?"
"Mas khawatir sama aku? Gara-gara kemarin?"
Maka Sena mengangguk, "Kamu benar nggak apa-apa?"
"Bohong kalau aku bilang baik-baik saja. Mas tau sendiri gimana aku nangis semalaman," Ara mengalihkan pandangan sejenak melihat ramainya kantin sebelum melanjut, "tapi aku nggak apa-apa. Sudah lebih baik. Lagipula, aku sudah janji sama semua orang kalau harus melangkah maju. Terus menerus ingat Nava bukan hal yang baik tentu saja. Gimana pun, aku harus bahagia. Aku harus tetap melanjutkan hidup."
Melihat bagaimana iris yang kini penuh dengan tekad dan harapan itu, Sena bisa setidaknya bernapas lega kali ini. Ia tentu tidak akan senang jika melihat sorot penuh pendar yang akhir-akhir ini ada meredup seperti kemarin.
"Ngomong-ngomong perkara itu," Ara tiba-tiba menimpal, "Kita nggak pernah benar-benar ngomongin mereka, kan? Nava dan Jengga. Sekalipun tentu saja, Juniar nggak bisa untuk jaga rahasia sampai ceritain Mas perkara Nava. Tapi ku pikir ada baiknya kita berdua sama-sama bicarakan ini. Hanya antara kita. Bukannya itu lebih baik?"
Sena bersidekap, "Dan kenapa pula kita harus bicarakan ini? Bukannya sudah janji mau melanjutkan hidup?"
"Nggak apa-apa," Ara mengedikkan bahu, "Cuman mau lebih mengenal Mas saja. Begitu pula sebaliknya. Masing-masing dari kita punya cerita, kan? Dan aku yakin, dari Nava dan Jengga kita bisa sedekat ini. Saling memahami perasaan satu sama lain, bertemu, sampai akhirnya bisa sama-sama."
Sena tidak tampak keberatan, sebelum itu ia menyempatkan diri untuk meraih satu sedotan lain dan menyeruput es jeruk milik Ara. Membasahi kerongkongan sebelum memulai cerita, "Kamu mungkin sudah bisa tau apa yang terjadi antara aku, Jengga, Jingga, dan Kaluna. Sudah bisa menebak seperti apa cerita kami. Tapi, singkatnya dulu aku, Jengga, dan Kaluna bersahabat sejak lama. Kaluna dan Jengga sudah satu kelas sejak SMA, aku dua tahun di atas mereka."
Ara melipat tangannya di pinggir meja. Menatap Sena seksama dan mendengarkan cerita prianya dengan baik, "Terus?"
Memasang senyum setengah menggoda, Sena menyondongkan badannya, "Kaluna itu cinta pertamaku."
"Ha?" Ara melotot, berseru tak percaya, "Kenapa bisa? Plot twist macam apa ini?"
Sena tergelak melihat ekspresi Ara, "Ya, gitu," katanya kemudian, "tapi aku keduluan Jengga. Belum sempat cerita, dia lebih dulu heboh datang. Ada cewek cantik sekali, katanya. Teman kelasnya dan dia perempuan yang pintar. Pas aku tau kalau cewek itu Kaluna, ya sudah. Ngalah sama adik sendiri."
Ara berdecak bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng ke kiri dan kanan, "Miris."
Sena mengedikkan bahu dengan dua sudut bibirnya yang menurun, "Habisnya Kaluna cantik sekali. Jengga saja sampai kewalahan dulu ngurus cowok-cowok yang ngejar Kaluna."
Mata Ara memincing, dia menyondongkan badan lantas berkata, "Sama aku cantikan mana?"
"Cantikan kamu."
"Bohong."
Satu alis Sena terangkat naik, "Loh sudah dijawab malah ngambek begitu."
"Ya habisnya jawabnya nggak ikhlas, 'cantikan kamu'. Nggak pakai mikir segala, terus datar banget lagi nadanya. Nggak tulus," cibirnya.
"Mau lanjut nggak nih ceritanya?" Sena mencoba mengalihkan topik. Membahas masalah itu tentunya tidak ada habisnya.
"Kenapa rasa-rasanya aku dicuekin, ya?" sindir Ara.
Dan Sena tidak mau kalah, "Ya sudah nggak jadi cerita."
"Nggak gitu juga konsepnya," protes Ara, menggebrak pelan meja lantas melanjut, "ya sudah lanjut."
Sena terkekeh. Hiburan juga lihat sisi cemburu Ara yang satu ini. Namun tidak mau semakin memperpanjang perkara, ia pun melanjut, "Saking bucinnya dua orang itu, ya sudah tuh. Keterusan sampai bablas gitu saja. Jengga diusir soalnya tiba-tiba pulang bawa bayi. Aku juga ikutan diusir karena nampung dia," Sena menghela napas sesaat sebelum melanjut, "intinya kita hidup bareng selama tujuh tahun. Sampai setahun yang lalu ... Jengga meninggal. Kecelakaan sewaktu jemput Jingga."
Jeda sebentar di sana untuk Ara mengangguk mencerna keseluruhan cerita. Dan Sena melanjut, "Yang aku tau, hari itu aku dapat telefon dari wali kelasnya Jingga, kalau Jingga belum dijemput siang itu dan nggak lama ada telefon dari rumah sakit. Kacau sekali keadaan saat itu. Tapi syukurnya, kami bisa lalui itu semua."
"Jingga tumbuh jadi anak yang dewasa. Narajengga sudah berhasil didik dia untuk jadi anak yang baik. Dan kamu," Ara mengamit tangan Sena, menepuk punggung tangan prianya dan lekas menyambung tenang, "nggak kalah hebatnya, Mas. Tanpamu, Jingga nggak mungkin bisa jadi sedewasa itu setelah ditinggal ayahnya. Kamu sudah bekerja keras selama ini. Kamu sudah bertahan dan itu hebat sekali."
Sedikit klise tentu saja jika Sena tidak terharu dengan momen seperti ini yang sangat amat jarang didapatnya. Eksistensinya yang pada akhirnya diakui dan kerja kerasnya yang dinilai baik oleh orang terdekatnya. Benar. Agaknya Sena tidak membutuhkan banyak orang hanya untuk dinilai berharga selagi masih ada Ara di sisinya dan itu sudah lebih dari cukup.
Momen itu harus diakhiri ketika ayam geprek pesanan Ara datang dan Sena mulai berbalik tanya, "Kamu sendiri bagaimana?"
Ara mengalihkan pandangannya sejenak membiarkan ayam pesanannya lebih dingin, "Gimana apanya?"
"Setelah kemarin sama Kaluna. Perasaanmu? Kamu marah sama dia?"
"Sedikit," Ara mengedikkan bahu, "dulu Nava sering cerita bahwa dia dapat perlakuan nggak adil dari orang tuanya. Kakaknya selalu yang diutamakan dan dibanggakan. Lambat laun, dia akhirnya nemuin satu fakta kalau," Ara mengambil napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya kelewat berat. Dan di sana Sena masih menunggu dengan sabar pun harap-harap cemas.
Mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis seraya meringis dalam batin, "Nava bukanlah anak kandung dari ibunya."
Mata Sena membola, "Apa?"
"Ayah Nava ... selingkuh sama sekretarisnya di kantor. Ibu kandung Nava meninggal saat melahirkan Nava. Dan dia dirawat bersama keluarganya dan tentu saja bersama Kaluna. Semacam itu." Ara memainkan sedotannya mencipta jeda, "Sampai orang tuanya cerai dan Nava pindah dari Jakarta ke Yogya semasa SMA."
"Cerai? Tapi sejak dulu Kaluna sudah sekolah di sini. Gimana bisa cerai?"
"Aku nggak tau cerita spesifiknya," Ara berujar setelah menelan sesaat makan siangnya, "tapi kurang lebihnya, karena keberadaan Nava tidak begitu diinginkan dalam keluarga itu, dia dibawa ke Jakarta. Sama orang-orang khusus dan satu minggu sekali, ayahnya datang untuk jenguk. Sejak SD sampai SMP. Tapi mungkin karena sudah terlalu kacau. Selepas cerai, Nava dikirim lagi ke Yogya. Ikut Papanya."
"Dan Kaluna pergi ikut Mamanya," Sena melanjut dengan desahan napas. Ia mengudarakan tawa remehnya, "Bersamaan saat dimana dia ninggalin Jengga dan Jingga. Barangkali, itu juga alasan kenapa orang tua mereka cerai. Astaga, kacau sekali keluarga itu." asumsi Sena.
"Bisa jadi," Ara setuju membenarkan, "jadi kayaknya nggak adil sekali kalau aku juga ikut menyalahkan Mba Luna di saat hidupnya jauh lebih berantakan daripada hidupku. Terlepas dari seluruh kesalahan yang dia perbuat sama Jingga dan Jengga. Kaluna juga termasuk sosok yang sedikit banyaknya peduli sama kehidupan Nava. Beberapa kali Nava cerita kalau kakaknya saja satu-satunya orang yang peduli sama dia di rumah. Sampai, ya, mungkin sampai Kaluna punya masalahnya sendiri karena kehamilannya saat itu dan Nava jadi nggak keurus."
Ara menyisihkan sebentar waktu makan siangnya untuk kembali melanjutkan pendapatnya, "Sebagai perempuan, aku memang nggak membenarkan tindakan Mba Luna atas Jingga dan Jengga," katanya, "Tapi sebagai perempuan juga ... aku berusaha paham kondisinya. Mungkin memang alasan terbesarnya adalah untuk mempertahankan nama baik keluarga mereka. Bayangkan, ketahuan mempunyai anak hasil selingkuhan, pun kesalahan yang sama terjadi di keluarga itu. Gimana kacaunya mereka dulu, Mas. Berada di posisi Kaluna cukup berat. Belum lagi dari segala tekanan Mama dan Papanya. Aku mengalami sendiri gimana harus hadapin Nava dulu. Kurang lebihnya, Mba Luna pasti mengalami hal yang sama.
"Dia tidak bisa berpikir jernih saat itu. Cukup masuk akal diusianya yang masih sangat muda. Meninggalkan dua orang yang harusnya tetap dia bersamai sampai kini. Namun, balik lagi. Jengga adalah orang yang sangat tau siapa Kaluna yang sebenarnya. Lihat? Perkiraan Narajengga nggak sepenuhnya salah."
"Kupikir," Ara menghela napasnya berat, "sudah cukup kejadian antara Mas, Jingga, dan Narajengga saja yang buat dia merasa bersalah sampai detik ini. Aku nggak akan menyalahkan Mba Luna atas kematian Nava meskipun dia adalah salah satu dari alasan kenapa Nava memilih pergi. Gimana pun, sebelum aku menyalahkan dia dan bilang yang sebenarnya, Mba Luna pasti sudah tau apa alasan Nava bunuh diri. Dia kakaknya. Aku nggak perlu repot-repot salahin dia.
"Hidupnya sudah cukup berantakan. Dan selepas perginya Nava pun aku nggak pernah dengar hal lain tentang keluarganya. Ya, karena aku juga nggak mau tau dan berurusan lagi sama mereka," Ara mengedikkan bahu, membasahi bibirnya seraya melanjut, "hidupnya sudah cukup berantakan. Rumah miliknya sudah hancur lebur tanpa sisa dan nggak bisa diselamatkan lagi. Dia nggak punya siapapun yang bisa diandalkan selain suaminya."
"Sedangkan aku?" Ara menunjuk dirinya sendiri, dia memasang senyum manis dengan sorot mata menghangat dari sebelumnya. Menatap Sena seksama, "Aku punya Mama, Papa, Juniar, Kak Jay, dan Kak Lamia yang selalu dukung dan temani aku dari dulu. Lukaku memang besar, tapi aku masih punya orang lain untuk jadi penompang dan aku nggak sendirian. Bahkan sekarang, aku punya kamu dan Jingga. Sedangkan Mba Luna," Ara tersenyum miris, menggeleng pelan, "dia nggak punya itu semua."
"Lagipula," Ara masih melanjutkan kalimat terakhirnya, "Navarendra Dirgantara nggak akan pernah biarin aku ikut campur sama urusan keluarganya. Jadi ... lebih baik Mba Luna nggak tau. Aku nggak mau semakin menyakiti perasaannya."
Sena tersenyum bangga. Melihat bagaimana kekasihnya tumbuh dengan baik di atas semua hal-hal yang dia alami. Sena barangkali tidak seperti Juniar yang mengenal Ara sejak lama. Tahu persis bagaimana gadis itu dulunya dan telah tumbuh dewasa dengan isi kepala yang membuat Sena membisu dan diam-diam membenarkan apa yang gadisnya tersebut ucapkan.
Ara dan segala tentangnya memang sudah membuat Sena cukup gila selama ini. Buncahan dalam dadanya yang semakin menjadi ketika netranya menangkap bagaimana kekasihnya tampak cantik bahkan hanya dengan kemeja kotak-kotak berlengan panjang dan rok hitam selutut. Belum lagi mengingat bagaimana perkataan dan besarnya hati yang dimiliki Ara yang tentu saja―membuat Sena terharu di saat yang sama.
"Makasih, ya," kata Sena teramat tulus, "Sudah jadi perempuan baik dan mau menjadi miliknya Sena Jumantara."
Ara tersenyum geli, namun toh ia tetap melanjut, "Sama-sama. Makasih juga sudah mau sabar dan perjuangin aku sejauh ini."
"Aku sayang kamu, Ara."
"Dan aku juga sayang kamu, Mas."
B
aiklah sampai sejauh ini, apakah ada yang sudah berhasil menebak kalo Nava memang adiknya Luna?
Chapter ini sedikit menguras energiku waktu nulis dibanding chapter-chapter sebelumnya. Harus nyambungin antar satu tokoh sama yang lain. Hahaha, tapi akhirnya kesambung juga dan sampai di chapter ini.
Gimana? Ada yang mau disampaikan?
Jangan lupa, mari berteman di instagram dengan follow @bintangsarla
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top