#Redup27. Harapan yang Dilangitkan
Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol bintangnya.
Selamat Membaca dan Selamat Bersemesta 🌌
Ara datang!
Sena tidak bisa untuk tidak dikejutkan dengan kedatangan gadis itu tiba-tiba. Pasalnya, tidak ada angin pun hujan dia tiba-tiba saja sudah menunjukkan presensi dengan luar biasa percaya dirinya. Tentu bukan hal yang mengejutkan jika Jingga ikut serta. Namun mengingat kembali Ara yang sedang dalam kondisi cuti karena datangnya keluarganya tersebut, kembali menyadarkan Sena bahwa gadis itu datang atas kemauannya sendiri.
Ditambah lagi, tidak ada hoodie oversized dengan celana jeans yang longgar. Ataupun rambut yang digelung asal dengan kacamata yang bertengger di ujung pangkal.
Ara luar biasa berbeda.
Berdiri dengan percaya dirinya di hadapan Sena dengan seulas senyumnya yang menawan. Dibalut gaun berwarna putih dengan sepatu pita tak kalah cantik. Rambutnya dibiarkan tergerai dan wajah yang dibubuhi riasan tipis. Natural dan khas Ara yang tidak ingin mempersulit diri. Dia lantas tersenyum menyapa.
"Mas? Kenapa bengong?"
Sena tersentak tentu saja. Ara yang melihat pria tersebut salah tingkah mendadak tertawa renyah. Oh, Tuhan bahkan suara tawanya saja sudah semerdu itu. Seusai menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga, si Nayanika mengerling jahil menggoda.
"Kenapa? Saya cantik, ya."
Cantik. Cantik sekali.
Berdeham menghilangkan kecanggungan, Sena menggelengkan pelan kepalanya mengambalikan kesadaran. Ia tentu tidak mau dikalahkan begitu saja oleh bocah yang rentang usianya 10 tahun lebih muda dari dia. Mengembalikan ekspresi tenang seperti biasa, dilihatnya Ara seraya menciptakan kurva indah di wajahnya.
"Tumben sekali ke sini. Nggak ada bonus tambahan lembur lho, ya. Mau pesan apa?"
Dengan tangan kiri di depan perut untuk dijadikan tumpuan tangannya yang lain. Jemari telunjuk Ara mengetuk dagu sambil sepasang mata yang menelisik menu.
"Saya pesan milkshake vanila saja deh. Oh! Tambahin toping es krim ya di atasnya. Terus mau makannya kentang goreng keju."
Sena pun menuliskan pesanan Ara di mesin kasirnya, "Ada tambahan lagi, Ra?"
Tidak perlu menunggu lama sebelum Ara mengangguk yakin satu kali, "Ada. Satu cangkir latte hangat sama cheesecake. Semuanya makan di sini ya, Mas."
Sena mengernyit heran, "Kamu datang sama orang?"
"Nggak. Saya sendiri," jawab Ara menggeleng.
"Lalu?"
"Kan saya makan sama Mas Sena."
"Eh?" Sena semakin bingung, seraya bersyukur karena tidak ada orang lain yang mengantri di belakang Ara, "maksudnya?"
"Saya ngajak Mas nongkrong sore ini. Kalau mau ngajak Mas keluar, nanti ribet. Mas kan orang sibuk. Jadi, nongki di tempat sendiri nggak masalah, kan?"
Sena melepas satu tawanya. Tak percaya dengan tindakan spontan Ara di hadapannya. Sedangkan gadis tersebut hanya cengengesan tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Ara, saya nggak bermaksud percaya diri. Tapi ini kamu serius ngajak saya keluar bareng? Semacam kencan, begitu?"
Ara tampak menimbang sejenak, "Kalau Mas mau anggap begitu. Boleh saja. Saya nggak keberatan."
Sial. Double sial. Gadis ini membuatnya gila. Sena sampai menggigit bibir dalamnya menahan gemas. Lantas tak perlu menunggu lama sampai Sena selesai menuliskan pesanan Ara dan memberitahukan nominal harga. Yang tentu saja, sebelum si Nayanika mengeluarkan beberapa lembar uang, Sena terlebih dahulu mengibaskan tangan. Seolah tidak perlu mempermasalahkan terkait hal yang satu itu karena dia bisa membayar semua pengeluaran si gadis tanpa terkecuali.
"Eiy, nanti kalau ketahuan sama orang lain. Pada iri lho mereka." Ara mencebik tak terima lantaran sudah memaksa berkali-kali namun tetap dikembalikan lembaran uang tersebut.
"Nggak apa-apa. Lagian saya ikut makan juga."
Sena memanggil salah satu pegawainya untuk menjaga kasir, ia lantas keluar dari sana. Menuntun Ara untuk menempati satu meja berukuran lebih mungil dengan sepasang kursi. Tepat berada di dekat kaca bening sampai memungkinkan mereka menikmati pemandangan luar.
"Kamu tumben sekali dandan begini. Sedang ada acara?" Sena bertanya, sekaligus melempar kode. Dia tentunya tidak cukup bodoh untuk memuaskan kuriositasnya dengan rasa percaya diri yang membumbung tinggi ataupun bertanya secara langsung.
Ara tampak menggelengkan kepala, "Lagi pengin saja. Jarang-jarang juga kan Mas Sena lihat saya cantik begini. Biasanya rupa saya sudah macam orang yang nggak tidur satu minggu."
Sena mengulum senyum. Otaknya cukup cerdas untuk menyadari bahwa Ara memang sengaja berdandan untuknya.
"Lain kali jangan dandan seperti ini lagi."
"Lho? Kenapa?"
"Nanti jantung saya bermasalah terus."
"Dih, gombal."
Tanpa menunggu waktu lebih lama sampai pesanan mereka datang. Sena lantas mempersilahkan Ara untuk menikmati makanan dan minumannya. Jika saja tidak Sena temukan sebersit ekspresi lain yang kini mendominasi wajah gadis tersebut.
Melihat ke arah Sena. Sedetik kemudian melihat ke luar kaca. Melihat ke lalu lalang para karyawan yang tengah bekerja. Melihat ke pengunjung kafe yang tengah menikmati makan seraya bertukar tawa. Berakhir dengan melihat ujung sepatunya yang terlihat lebih menarik dengan bibir bagian dalam yang digigit dan jemari yang saling memilin gelisah dari bawah meja.
Sena yang menyadari itu sontak melempar tanya tidak perlu menunggu waktu lama, "Ara, ada masalah? Ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?"
Ara lekas mendongakkan pandangan. Melihat wajah Sena yang menatapnya khawatir membuatnya menelan ludah kepayahan. Sial sekali. Kemana perginya keberanian yang dia teriakkan dan kumpulkan sejak dari rumah? Kenapa mendadak ia terlihat seperti kelinci yang diperangkap seperti ini?
"A-ah, saya mau ... ngomong sesuatu."
"Oke, silahkan." Sempat menunggu beberapa saat. Bahkan Sena sampai menenangkan Ara dengan beberapa kalimat yang mendukung bahwa ia akan mencoba untuk tidak marah ataupun tersinggung. Ara pada akhirnya melepas satu tarikan napas demi meredakan kegugupan.
"Saya sudah memikirkan ajakan Mas Sena tempo lalu."
Alis Sena menaik, "Tentang?"
Astaga, kenapa dia tidak peka juga, sih?
"Te-tentang ... um―hubungan kita. Jawaban yang Mas tunggu selama ini."
Astaga. Bagaimana bisa gadis ini memberitahunya tanpa aba-aba? Sena bahkan sampai tercekat seolah tengah menelan batu yang nahasnya tersangkut di tenggorokannya. Pegangannya pada garpu mungil itu mengerat dan napasnya tertahan otomatis. Kali ini semua rasa kekhawatiran dan ketakutan mendadak menyergap tumpang tindih dalam kepalanya. Semua paranoid yang menghantuinya tak hentinya menyapa. Seolah menertawakan Sena di atas kepanikannya saat ini.
"Tapi sebelum itu, saya mau tanya. Jika kita memang menjalin hubungan yang serius―um, semacam itu. Ada dua pertanyaan yang ingin saya tanyakan. Satu, apa saya masih tetap diizinkan untuk bekerja? Dua, apa saya akan diizinkan jika saya ingin melanjutkan studi?"
Ah, tentu saja seperti ini jadinya. Sena sudah menduga. Karena pada nyatanya, dia tidak bisa menampik fakta usia mereka yang terpaut cukup jauh. Ara, biar bagaimana pun adalah seorang gadis dengan sejuta mimpi yang berada dalam dirinya. Sena bisa melihat dengan jelas pendar harapan yang kerap singgah dalam netra cantik si Nayanika. Sesuatu yang menggelitik dan tidak bisa dilupakan juga, sesuatu yang menarik Sena sejak awal ia bertemu dengan gadis tersebut.
Tentu saja dia masih memiliki ambisi semacam itu. Menyandang posisi sebagai seorang anak, pastinya ada sebuah perasaan ingin membanggakan kedua orang tuanya. Atau hanya sebatas perasaan ingin diakui dengan membuktikan seluruh investasi yang telah diberikan kedua orang tuanya secara cuma-cuma itu tidak merugikan.
Dan detik itu pula Sena terang mengerti.
Setelah apa saja yang Ara alami, semua luka dan kejadian yang tentunya menghancurkan harapan dan mimpi-mimpinya. Sena tidak akan menjadi seseorang yang melakukan kesalahan yang sama. Tidak setelah Ara sudah berhasil bangkit dan menjadi gadis paling berani dengan mencoba memulai lembaran baru dalam hidupnya.
Tidak. Sena tidak akan menghancurkan harapan Ara sekali lagi.
Menyandarkan badan tegapnya pada sandaran kursi. Sena melihat-lihat orang-orang yang berlalu-lalang di luar. Terdiam sejenak untuk berpikir sesaat yang tentu saja mengundang gurat kecemasan pada gadis di hadapannya. Namun sesungguhnya, pria Jumantara tersebut hanya ingin mengambil perasaan tenang agar setiap keputusan yang keluar dari belah bibirnya itu tidak menimbulkan sebuah rasa sesal.
Membasahi sejenak bibir bawahnya dan menghembuskan napas lembut. Sena mengangguk sebelum menegakkan tubuhnya. Dua sikunya bertumpu di pinggir meja dengan jemari yang saling bertautan.
"Pertama, saya akan mengizinkan itu semua. Saya ... biar bagaimana pun mencoba untuk memahami posisimu. Usia kita terpaut jauh. Kamu masih sangat muda dan tentu saja masih banyak mimpi yang ingin kamu raih. Saya tidak bisa untuk egois dan menjadi seseorang yang menghambat kamu raih setiap mimpi itu, bukan begitu, Araya? Biar bagaimana pun, mimpimu adalah bahagiamu. Sebagai seseorang yang mengaku menyukai kamu, tentunya hal yang sangat tidak masuk di akal kalau saya membuat kamu tidak bahagia. Bahagiamu adalah prioritas saya. Jahat sekali jika saya merusak itu semua."
Ara total dibuat bungkam dengan setiap ucapan Sena. Gila sekali. Tolong katakan perbuatan baik apa yang sudah Ara lakukan sampai dia mendapat balasan yang luar biasa seperti ini? Bertemu dengan seseorang seperti Sena dengan segala pesonanya yang sangat memikat ditambah besarnya pengertian pria itu.
Namun seolah tidak dibiarkan untuk puas atas tanggapan barusan. Lagi-lagi Ara dibuat bungkam manakala Sena melanjut yakin.
"Kedua. Jangan mentang-mentang saya memberikan segala kebebasan ini, kamu bisa bersikap seenaknya. Kerja dan sekolah? Kamu bisa mendapatkan izin saya untuk itu semua. Mimpimu menjadi penulis? Silahkan, saya akan memberikan dukungan maksimal untuk itu. Namun semua hal itu tentu ada bayarannya, Ara," menyeruput kopi miliknya demi menciptakan jeda, Sena kembali melanjut, "kamu tidak boleh melupakan statusmu sebagai seorang istri ... dan seorang ibu. Semua ada batasannya dan kamu tidak boleh melewati itu semua. Semua hak dan kewajibanmu baik sebagai ibu maupun istri, saya nggak mau kamu melupakan tugasmu. Paham maksud saya, Ara?"
Ara lantas mengangguk. Dia tentunya sudah sangat yakin lantaran menghabiskan waktu semalaman untuk berpikir. Menyempatkan diri untuk meminta pendapat Lamia, Jay, bahkan Juniar atas semua kesulitan yang membuat pemikirannya lebih terbuka.
"Ah, tambahan satu lagi," Sena menjentikkan jari, "kamu bisa mendapatkan itu semua dengan syarat masih dalam pengawasan saya. Dalam artian, pekerjaan dan sekolah. Hanya bisa dilakukan di sini. Jogja, tidak di tempat lain. Bagaimana pun, Jingga masih membutuhkan sosok ibu."
Melihat bagaimana Senarai tampak serius di hadapannya, Ara menelan ludah gugup lantaran segala pesona yang dikeluarkan Sena tidak main-main. Kelembutan sekaligus ketegasan yang berada di satu sosok yang sama. Sekalipun dia teramat baik, Sena bukan seseorang yang membiarkan orang lain bersikap seenaknya. Sikap tegas yang dia miliki dan tanpa memandang bulu pada siapapun yang berbuat salah, Ara total sadar bahwa dia telah kalah. Dia, entah sejak kapan, sudah jatuh kepada Sena dengan segala sifat dewasa yang berada pada pria tersebut.
"Paham dan saya mengerti," kini Ara yang mengangguk yakin. Malu-malu gadis tersebut menarik dua sudut bibirnya perlahan. Yang dibalas serupa oleh si Jumantara.
Mengubah ekspresinya menjadi sedikit lebih hangat, Sena pada akhirnya bertanya dengan nada lembutnya. Ia memang tidak ingin memaksa, namun jikalau Ara memang tidak berniat menjalin keseriusan dengannya. Maka biarkan Sena berjuang satu kali lagi untuk membuktikan bahwa dia lelaki yang pantas untuk Ara.
"Jadi? Bagaimana?"
Terdiam seraya memandang ujung sepatunya. Ara mengangguk pelan malu-malu. Di mana pada detik yang sama, Sena menarik lebar dua sudut bibirnya. Sebuncah bahagia memenuhi rongga dadanya dan segala kecemasan yang tengah ia rasa raib begitu saja. Dalam hati ia tidak hentinya memanjatkan syukur atas pencapaian yang sudah ia dapatkan barusan. Dua anggukan tadi, cukup untuk menjadi jawaban atas penantiannya selama ini.
"Bisa janji sesuatu untuk saya, Mas?"
"Janji apa, Ra?"
"Nanti―" Ara menjeda sejenak ucapannya dengan napas yang tertahan. Tanpa sadar saling meremas tangan dengan sepenggal kenangan lama yang tertahan di pikirannya, "kalau Mas berniat untuk pergi. Tolong ... jangan lupa ucapkan 'selamat tinggal' dan berpamitan dengan saya."
Sena tentu tahu kemana arah pembicaraan ini membawanya. Atau bagaimana sorot dengan pendar harapan di dua iris cokelat tersebut mendadak meredup dengan pandangan sendu di sana. Menjulurkan tangan dan melepas kaitan tangan Ara di atas meja, mengganti itu dengan genggaman telapak tangan lebar miliknya.
Ara bisa merasakan hangatnya telapak tangan Sena yang kini tengah terkait erat di jemari miliknya. Ia yang awalnya menunduk lantas mengangkat kepala. Melihat sorot teduh yang senantiasa selalu ada di dua netra itu. Senyum Sena yang sehangat matahari pagi itu tampak jelas dengan lesung pipi yang entah sejak kapan menjadi kesukaan Ara tersemat di sana.
"Pasangan mana yang membicarakan perpisahan di hari pertama mereka menjalin hubungan, Araya?" Sena bertanya lembut. Ibu jarinya memberikan usapan di punggung tangan gadisnya menghantarkan sensasi menenangkan di sana.
Gadisnya? Astaga, Sena bahkan harus menahan letupan membahagiakan dalam dadanya. Jangan terlalu antusias, Sena. Jangan terlihat konyol seperti bocah yang baru berpacaran.
"Kita bisa membicarakan hal-hal yang lain," Sena berkata kelewat lembut, seolah hanya dengan sekali sentakan saja Ara bisa retak berujung hancur di detik yang sama, "kita bisa membahas tentang semua mimpi-mimpimu yang masih kamu perjuangkan. Harapan-harapan yang selalu kamu panjatkan. Kesulitan-kesulitan yang selama ini kamu hadapi. Mari kita bicarakan itu supaya saya juga nanti bisa membantu kamu. Entah dari segi finansial ataupun dukungan secara personal sebagai seorang kekasih."
Pipi Ara bersemu merah. Ia bisa gurat keseriusan di sana. Sena yang kini tengah di hadapannya. Seorang pria yang menjanjikannya masa depan, yang tengah meyakinkan atas segala ragu dan takutnya. Bisakah Ara menggantungkan hidupnya pada pria ini?
"Atau kalau menurutmu pembahasan semacam itu cukup berat," Sena mendesah dengan pandangan yang kini melihat lalu-lalang orang di luar sana seraya berpikir sejenak, "Kita bisa memulainya dari hal-hal yang cukup ringan. Kamu bisa menanyakan apa yang saya suka, apa yang saya tidak suka. Begitu pula sebaliknya. Kita bisa saling mengenal satu sama lain."
Sena menyondongkan badannya dengan hidung yang mengerut mencoba menggoda, "Setidaknya, mari saling mengenal sampai semua hal-hal yang sedang saya persiapkan sudah matang sempurna."
"Memangnya apa?"
Tersenyum penuh makna, Sena hanya mengedikkan bahu dengan kopi yang diseruput. Ah, kenapa rasa-rasanya kopi yang ia konsumsi lebih enak dari biasanya?
"Ah, Ara. Saya pikir kamu cukup peka sama maksud saya barusan."
Mengambil waktu sejenak untuk berpikir sampai Ara bisa menyadari apa yang tengah diucapkan Sena. Dia tidak naif ataupun berpura-pura tak tahu apa maksud pria di hadapannya kini.
Menyadari ekspresi Ara yang berubah, Sena terkekeh gemas, ia menunjuk milkshake milik Ara dengan sorot matanya, "Es krimmu mencair, tuh. Nanti sudah nggak enak lagi kalau cair."
Ara yang gugup lantas meraih gelas tinggi miliknya. Menyedot minuman berwarna putih itu secara cepat dan mengambil satu buah kentang goreng untuk disantap dengan arah mata yang meliar kemana-kemana. Benar. Kemana saja asalkan bukan melihat Sena.
Kamu menggemaskan sekali sih, Ra? Menyimpan semua dalam batin. Sena mendadak memanggil si Nayanika. Masih dengan posisi teramat santai dengan garpu berisi potongan cake yang tengah mendarat di mulutnya. Si Jumantara lantas berkata tenang.
"Terkait janjimu yang tadi ... Jangan khawatir, saya bukan tipikal seseorang yang tidak menepati janjinya."
Mau curhat dikit, aku nulis part ini tapi aku yang baper. Kebayang vibesnya Namjoon yang sesabar itu nyikapin sikap Araya dan mau perjuangin Ara. Huft, sudah lah.
Anyways
Kapal kalian sudah berlabuh nih. Udah siap melanjutkan perjalanan cinta mereka? Yuhuu
Sebelum pergi, jangan lupa berikan feedback berupa vote dan komentarnya. Also share cerita ini ke Teman-teman kaliann 💜💜
Mari kita berteman di instagram dengan follow instagramku @bintangsarla
Sampai jumpa di bab selanjutnyaa
Love
Bintang
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top