#Redup25. Merakit Perasaan

Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol bintangnya.

Selamat Membaca dan Selamat Bersemesta 🌌

Dulu sekali, Navarendra pernah berkata dengan suara berat nan lembut miliknya, "Ara, aku merasa belum menjadi manusia serutuhnya."

Ara yakin saat itu dia bisa mendengar satu bait kalimat yang disampaikan Nava secara jelas. Diterima cukup baik rungunya sampai dia yang saat itu sedang berkutat dengan soal-soal yang tersaji di buku berhalaman tebal harus mengambil jeda sesaat untuk memandang si penyampai topik.

"Memangnya kamu setan?" balas Ara sekenanya. Dia sedang cukup dipusingkan dengan deretan soal-soal integral yang terlihat seperti cacing meliuk-liuk karena kepanasan di matanya. Tidak mengambil pusing atas ucapan Navarendra yang menyimpan sirat keseriusan di dalam sana.

Lantas menerima respon candaan dari Ara, Nava pada akhirnya menyimpul senyum sebelum mengudarakan tawa renyah dari suara bariton miliknya. Pemuda tersebut memilih melipat tangan dipinggiran meja, lantas menjadikan itu sebagai tumpuan dagu dengan kepala yang mendongak. Menikmati keseriusan yang tercetak jelas di wajah kekasihnya.

"Aku kayaknya lagi nggak bisa ngomong serius, ya? Habisnya kamu nggak kalah seriusnya."

Ara berdecak kesal seraya menatap lurus Navarendra yang tengah menatapnya lamat-lamat, "Belajar, Nava. Besok kita mau ujian."

"Kan sudah ada kamu yang belajar." Nava mengubah posisi. Bertopang dagu dan tetap menjadikan Ara seolah menjadi hal paling menarik untuk terus dilihatnya.

Melihat senyum Nava yang tak juga menghilang, Ara mati-matian menyembunyikan rona merah yang tampak di belah pipinya. Mencoba tetap fokus dan tidak jatuh pada rayuan Navarendra. Ia lantas mendaratkan pulpen ke dahi Nava yang ditutupi poni. Mengundang pekikan kecil dari pemuda tersebut dan mengaduh dramatis.

"Sudah dibilangin belajar. Kalau tau pinter ya tetap belajar juga. Seenggaknya, ajarin aku. Kan aku niat undang kalian ke sini biar ajarin aku." Ara merengek tidak terima. Protes lantaran sejak tadi Nava sulit sekali diajak serius.

"Nanti saja tunggu Juniar datang," dengan sangat tidak tahu dirinya, Nava mendadak meraih jemari Ara untuk disatukan. Di genggamnya dengan satu-dua cerita yang mereka bagikan seraya menunggu Juniar untuk bergabung.

Setidaknya, hal tersebut masih ada di dalam ingatan Ara. Sekalipun sedikit terdistorsi, namun si Nayanika masih mengingat sedikit-banyaknya apa yang terjadi. Bergabung bersama dengan kenangan-kenangan lainnya yang akan selalu abadi di dalam kepalanya. Pun perasaan gadis tersebut masihlah sama. Menyimpan besar sekali cinta yang dengan sukarela ia berikan pada Nava, si Nayanika tidak merasa tersinggung saat beberapa orang mengomentari kehidupannya yang terlihat seperti diperbudak cinta. Lagipula, Ara mendapatkan balasan yang setimpal. Dicintai tidak kalah besar dan dihargai sebagaimana mestinya sebagai seorang perempuan.

Jadi jangan memaksa Ara untuk menghilangkan eksistensi Nava di dalam kenangannya ataupun perasaan yang masih sama kuatnya seperti dulu.

Namun di saat yang sama. Ara tentu masih menyimpan dengan baik satu kenangan lainnya. Yang masih tersimpan di dalam kotak memori dengan tajuk "Kenangan Indah milik Nava" di sana. Ketika pendar harapan masih tersimpan di dua netra sang kekasih. Ketika sepercik bahagia masih bisa dirasakan. Ketika asa masih menjadi sebuah pegangan. Dan suara tawa yang seolah tersimpan sebagai rekaman.

Ara selalu senang mendengarkan cerita milik Nava. Bagaimana suara baritonnya yang terdengar lembut itu mengalun indah bak lagu kesukaan yang kerap diputaranya lagi dan lagi. Tidak pernah bosan entah atas sebab apa. Atau barangkali, karena itu Navarendra Dirgantara. Cukup karena satu alasan itu dan Ara sudah merasa menemukan alasannya bertahan atas setiap kisah yang tak habisnya dibagikan Nava padanya.

Pun ketika sifat dewasa Nava yang memberikan arahan agar Ara tidak seharusnya melakukan hal yang tidak semestinya. Serta pelajaran-pelajaran hidup lainnya yang bisa Ara dapatkan secara cuma-cuma.

Navarendra tidak hanya hidup sebagai lelaki yang inginnya dicintai dan diperhatikan. Namun ia juga memberikan porsi yang sepadan. Mengingat bagaimana baiknya Ara memperlakukannya selama ini, mendengar kisah-kisahnya, menerapkan pesan-pesan positif yang ia sampaikan, pun menjadi gadis penurut yang tidak banyak membuat Nava jengkel setengah mati. Sebuah kepercayaan yang mereka jadikan sebagai pondasi dalam suatu hubungan itu dijunjung dengan tinggi oleh keduanya. Permasalahan normal dalam suatu hubungan, kesalahan-kesalahan kecil yang mereka akui dan saling meminta maaf setelahnya, serta memaafkan satu sama lain. Sedikit-banyaknya, hubungan yang sehat itu mengantarkan Ara ke dalam kehidupannya yang membaik untuk sesaat.

Namun digulir kembali pada memori pelik manakala hujan turun dengan derasnya dan sejak siang tadi Ara tidak juga keluar dari kamar. Masih dengan pakaian serba hitam sepulangnya dari pemakaman. Pintu yang terkunci rapat dengan suara ketukan yang diabaikan. Si Nayanika memilih untuk menenggelamkan diri ke dalam kubangan lara beserta sisa-sisa ingatan jatuhnya Nava dari lantai tiga sekolah mereka. Ia menyandarkan badan di pinggiran ranjang. Mengabaikan dinginnya marmer bersama sapuan angin dari balik jendela. Pun suara gemuruh guntur dan kilatan petir yang enggan mereda.

Nava, bahkan langit merasa sedih saat kehilangan salah satu penduduk bumi yang menjadi kesayangan kami.

Dengan tangan gemetarnya, Ara membuka tombol kunci pada gawai miliknya. Membuka whatsapp dan menggulir sebuah pesan suara yang sejak tadi pagi tidak berani dibukanya.

Namun Ara sadar, sampai kapanpun dia tidak akan pernah siap mendengarkan apa yang dikirimkan Nava pagi tadi padanya. Setidaknya beberapa saat sebelum pemuda tersebut memilih terjun bebas. Jadi, tidak mau semakin dirudung perasaan bersalah, dengan jemari yang masih bergetar hebat. Di bukanya pesan milik Nava sebelum menekan tombol 'play' di sana.

Teruntuk kamu si cahaya kesayanganku. Ara, ini adalah sebuah pesan yang aku harap kamu bisa untuk mendengarkannya dengan baik.

Aku tahu, ketika kamu mendengarkan suara ini. Mungkin kita sudah tidak lagi bersua di semesta yang sama. Cerita yang kita mulai ini harus aku akhiri cukup sampai di sini. Benar, kamu boleh menangis, Ara. Kamu boleh memarahi atau memaki aku. Benci aku sebesar rasa cinta yang selama ini kamu berikan. Maki aku dengan seluruh angkara yang kamu simpan. Karena aku akan lebih baik untuk menerima itu semua. Aku memang pantas untuk mendapatkannya karena menjadi si pemeran egois yang mengakhiri ini secara sepihak.

Ara, aku pamit. Aku harus pergi. Maaf jika cerita kita berakhir sampai di sini. Maaf karena kamu tidak bisa mendapatkan akhir seperti yang kamu harapkan. Maaf karena telah mengabaikan segala pinta dan mimpi yang seringkali kita langitkan. Maaf karena tidak bisa membawa kembali bahagia dan rasa nyaman di semesta yang kita ciptakan. Maaf karena kita harus berpisah dengan ucapan selamat tinggal yang tidak sempat dilayangkan. Maaf karena aku ... hanya bisa mencintaimu di waktu yang terlalu singkat untuk dihabiskan.

Ara, terimakasih karena telah membawakan pendar dan cahaya yang kamu sandingkan selaras dengan namamu itu padaku. Terimakasih telah memberikanku kenangan-kenangan terbaik di sisa-sisa waktu terakhirku di dunia ini. Terimakasih telah memberikanku harapan yang aku pikir tidak akan pernah ada untuk seseorang sepertiku. Merasakan itu semua kendati dalam jangka waktu yang tidak lama, aku tidak hentinya melangitkan rasa syukur karena Tuhan telah mempertemukan kita.

Dulu aku pernah mengucapkan janji. Bahwa aku akan mencintaimu sampai akhir. Bahwa perasaan yang pernah aku berikan sebesar itu akan terus ada sampai terakhir aku menghembuskan napasku di dunia ini. Saat yang pada waktu itu kamu tanggapi dengan kekehan dan menganggap itu hanyalah rayuanku saja. Namun, Ara. Aku bersungguh-sungguh. Bahwa akan aku pastikan, kamu perempuan satu-satunya yang mendapatkan cinta dariku sebesar ini.

Dan di sisa-sisa waktu yang kumiliki. Di sisa-sisa asa yang menjadikanku penompang untuk berdiri. Di sisa-sisa kewarasan yang ku pertahankan sendiri. Aku bersyukur karena aku tidak mengingkari janjiku yang satu ini.

Semua janji, harapan, impian, dan akhir yang pernah kita bagikan bersama. Maaf karena aku tidak bisa mengabulkan itu semua. Terimakasih sudah menemaniku sampai akhir dan maaf karena tidak bisa melakukan sebaliknya.

Sedih sekali ketika menyadari bahwa aku tidak bisa melihatmu tumbuh bersamaku. Melihat sosokmu sebagai wanita dewasa yang pastinya akan memikatku dengan sejuta pesonanya. Ara, sesungguhnya aku tidak akan pernah rela untuk melewatkan itu semua. Bersama denganmu. Tumbuh dan sukses bersama-sama. Bersanding di pelaminan dengan kamu yang menjadi wanitaku satu-satunya. Membayangkan betapa cantiknya kamu kala itu. Aku ingin sekali melalui semuanya denganmu. Bersamamu.

Maaf karena aku menjadi pengecut, Ra. Maaf menjadi pemberontak yang tidak mendengar nasehatmu dengan semestinya. Maaf karena mengambil keputusan secara sepihak. Maaf karena berakhir menyerah dan mengusaikan hidupku secara menyedihkan begini. Namun aku benar-benar tidak mempunyai apapun lagi yang bisa aku pertahankan. Hidupku terlalu kacau dan pikiranku terus menggila setiap harinya. Aku hanya tidak ingin dengan kewarasanku yang kerap kali pergi, aku akan berakhir dengan menyakitimu dan aku tidak mau itu terjadi.

Kamu berhak mendapatkan lelaki yang lebih baik dan sudah pasti bukan aku orangnya.

Kelak, kamu akan bertemu dengan seseorang yang bisa menerimamu apa adanya. Seseorang yang memahamimu melebihi aku. Seseorang yang mencintaimu, yang tulus dan mampu untuk bersanding denganmu sampai kalian tua nanti. Seseorang yang baik dan sudah pasti seseorang yang sanggup menemanimu untuk waktu yang lama.

Seseorang yang sudah pasti bukan aku.

Ara, sahabatku, cahayaku, kekasihku. Terimakasih untuk perasaan yang kamu labuhkan untukku. Terimakasih telah mempercayakanku sebagai rumahmu selama ini. Terimakasih telah memberikan aku kesempatan untuk menghabiskan hari-hari terakhirku dengan hal-hal indah yang tidak akan aku dapatkan selain darimu. Untuk semua janji yang ku ingkari. Biarkan aku tidak mengecewakanmu dengan mematahkan janji yang satu ini.

Mencintaimu sampai akhir.

Selamat tinggal, Ara. Semoga kamu selalu bahagia. Aku sayang dan akan selalu mencintaimu.

Detik setelahnya, yang Ara ingat adalah kekacauan di setiap sudut kamarnya. Teriakan melengking, rasa sesak yang mendera teramat sangat di dadanya, isak tangis yang memenuhi setiap sudut ruangan, serta kasur yang berantakan dan sarung bantal yang habis basah di sana.

Itu adalah hari terburuk yang diingat Ara sepanjang hidupnya.

Menyadari sudah banyak sekali waktu-waktu yang terlewatkan. Sudah banyak sekali hal-hal indah yang berdatangan. Pun kembali mengingat bahwa ada satu eksistensi manusia lain yang ingin diakui keberadaan dan perasaannya.

Setelah melepas earphone dan mendengarkan kembali sebuah rekaman Navarendra sejak sekian lama. Pada akhirnya si Nayanika menyadari bahwa perlahan kehidupan yang dia alami semakin membaik. Seolah dengan menghilangnya dan perginya Nava dari muka bumi ini, ada banyak hal lain yang tidak kalah indah disajikan semesta sebagai kado atas segala perjuangannya.

"Ara, kamu ditunggu sama Mas Sena di depan."

Ara mengangguk saat panggilan dari Riani, teman satu kontrakannya, memanggil dari balik pintu. Lekas kembali merapikan penampilannya di depan kaca. Pun menjejalkan ponsel dan earphone ke dalam tas selempangnya. Si Nayanika menyempatkan diri untuk mengambil empat langkah menuju jendela. Melihat presensi tegap si Jumantara yang tengah sabar menunggu di balik pagar.

Menghembuskan napas dengan mata yang menutup dan isi kepala yang membawa memori lama. Ara membatin dalam hati. Kamu tidak akan lupa, bahwa kamu yang memintaku untuk bahagia kan, Nava? Jadi, tentu ini bukan sebuah kesalahan jika aku kembali merakit sebuah perasaan baru meskipun kali ini bukan untukmu. 

Sudah ya, pamit dulu sama Nava. Nanti ketemu lagi sama dia di ceritaku yang lainnya.

Sebelum pergi, jangan lupa berikan feedback berupa vote dan komentarnya. Also share cerita ini ke Teman-teman kaliann 💜💜

Mari kita berteman di instagram dengan follow instagramku @bintangsarla

Sampai jumpa di bab selanjutnyaa

Love
Bintang

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top