#Redup24. Perihal Luka dan Semesta
Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol bintangnya.
Selamat Membaca dan Selamat Bersemesta 🌌
"Menjadi anak pertama ... se-melelahkan itu ya, Kak Sena?"
Jika ditelisik kembali dengan membawa serta Senarai kepada saat-saat terdahulu. Si Jumantara bisa sedikit-banyaknya mengingat alasan kenapa dulu dia pernah tergila-gila dan menjatuhkan hatinya pada Kaluna Maharani. Atau bagaimana dua netra bulat itu tampak memenjarakan Sena untuk mengambil waktu sedikit lebih banyak hanya menatapnya. Entah. Satu sisi dalam dirinya merasa bahwa itu adalah hal menyenangkan yang bisa ia temukan dari dua iris cokelat yang menjadi kesukaannya sejak lama. Merasakan sebuah kedamaian dan ketenangan saat pandangan mereka saling mengunci dan Sena merasa waktu seolah berhenti di detik itu.
Barangkali, hanya dengan melihat sepasang mata indahnya yang teduh ditambah bonus senyum hangat Kaluna, Sena merasa dia seperti menemukan rumah baru baginya.
Segala perasaannya, segala lelah yang selama ini dia tahan sendiri. Sena tidak tahu bagaimana bisa Kaluna menemukan itu semua dan mengetahui secara gamblang bahkan sebelum Sena memberitahu. Seolah diri Sena sangat amat mudah terbaca begitu saja oleh si Maharani.
Dan Sena tidak bisa menolak bahwa itu cukup menyenangkan. Karena memang, Sena tidak perlu menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk bercerita dengan perasaan harap-harap cemas seseorang tempatnya melabuhkan sepotong kisah itu akan mengerti perasaannya. Atau yang sederhananya saja, tidak menghakimi si Jumantara. Ditambah sebuah tambahan kalimat lainnya sebagai tanggapan yang sebenarnya cukup membuat Sena kesal, layaknya: "Kamu masih mending, Sena. Aku bahkan pernah mengalami hal yang lebih buruk dari itu", "Duh, Sena. Kenapa mesti sedih, sih? Keluargamu kaya raya, kamu nggak pernah kesusahan makan dan minum. Kebutuhanmu terpenuhi. Masalah begini saja kamu sudah sedih", "Begitu saja kamu mau menangis, Sena? Cengeng sekali. Laki-laki itu harus kuat, tau".
Sedikit-banyaknya, itu adalah beberapa kalimat yang Sena jumpai saat ia sedang menyampaikan keluhannya akan sesuatu. Dan karena kalimat-kalimat itu pula, sejak saat itu Sena tidak butuh berpikir dua kali untuk sekadar membagi sedikit kisah hidupnya. Menelan semua lelah dan keluh kesah itu seorang diri kemudian menyembunyikan diri sebaik mungkin jika dia tak tahan untuk mempertahankan air matanya tidak meluncur deras.
Seolah orang-orang yang tampak baik dari segi materi dan hidup itu tidak pantas mencecap sebuah rasa sedih. Seolah mengabaikan dan melupakan bahwa eksistensi Sena juga seorang manusia dan sedih adalah sebuah rasa manusiawi.
Setidaknya sampai Sena menjumpai Kaluna. Si cantik yang meraih atensinya, yang berusaha didekatinya dengan perlahan, yang sering kali membuat Sena bungkam dengan seluruh pernyataan yang keluar dari bibir merah muda itu. Detik yang sama si Jumantara akhirnya tak bisa untuk tidak memekik bahagia dalam hati lantaran ia menemukan yang bisa mengerti persis apa isi hatinya, bagaimana perasaannya, dan merasakan beban yang sama seperti yang ia rasakan.
Bukankah seharusnya mereka bisa saling mengerti, saling mencintai, dan saling memahami? Sama-sama menjadi obat untuk satu sama lain bukanlah hal yang buruk, kan?
Ya, seharusnya memang seperti itu.
"Orang-orang berkata bahwa menjadi anak pertama dengan jenis kelamin perempuan itu sangat melelahkan. Kamu dipaksa untuk menjadi sempurna, menjadi contoh untuk adik-adikmu, menjadi hebat, memegang tanggung jawab yang besar karena kamu adalah investasi dan harapan terbesar keluarga. Kadang juga, kita dituntut untuk mengalah atas keadaaan. Melakukan sesuatu dan menjalani sesuatu diluar apa yang kita inginkan. Mengalah atas siapapun dan apapun yang tentu saja ... itu mengorbankan diri dan perasaan kita sendiri," Kaluna berkata dengan cukup tenang. Kendati tengah berada di suasana yang sedikit serius dengan keluhan atas topik yang dibawa, gadis tersebut mencoba mengatur napasnya agar tetap teratur.
"Namun aku yakin, sekalipun Kak Sena lelaki. Kakak pasti merasakan hal yang sama. Sama-sama lelahnya seperti aku. Bukan begitu, Kak?"
Kaluna tersenyum hangat dengan beberapa helai rambutnya yang beterbangan lembut. Lagi-lagi, Sena merasa dibuat tenggelam jatuh ke dalam sepasang netra cantik di hadapannya. Besar inginnya untuk menyelam lebih jauh dalam diri Kaluna. Mengetahui seperti apa isi kepala gadis tersebut sampai-sampai bisa menyampaikan satu-dua pernyataan yang selalu membuat Sena bungkam. Kehilangan jati dirinya sendiri, bukanlah Sena si jenius yang selalu dielu-elukan setiap orang.
Namun, tidak mau membuat si gadis menunggu terlalu lama. Sena tersenyum tipis. Mengangguk pelan dua kali sebelum menyahut, "Iya. Benar-benar melelahkan."
Kaluna mengerutkan hidungnya. Tersenyum karena tebakannya benar. Ia menunjuk singkat Sena sebelum melanjut, "Kakak selalu melihat sekitar dengan tatapan seperti itu."
"Tatapan seperti apa?"
"Sama seperti bagaimana caraku menatap orang lain. Namun bedanya, aku bisa mengatur waktu kapan harus melihat seseorang dengan tatapan itu dan tidak." Menciptakan jeda sesaat untuk mengamati pemuda di sampingnya, Kaluna melanjutkan dengan penuh kepercayaan diri, "Sorot mata Kak Sena selalu mengartikan dua makna. Sedih dan lelah."
"Benarkah?"
Kaluna mengangguk sekali. Menampakkan cengirannya seolah tuduhannya barusan bukanlah sesuatu besar yang mengganggu. Ia tentu saja tidak sadar bagaimana pernyataan itu menembus ke dalam relung hati Sena yang paling dalam. Merasa terhakimi dan dibuka habis-habisan di saat yang sama.
"Tapi aku maklum, tidak perlu merasa malu. Aku pun lelah sekali menjadi anak pertama. Apalagi Kak Sena tau sendiri keluargaku seperti apa. Otoriter dan penuh ambisi. Kadang aku mikir, Kak. Apa salah ya jadi orang yang biasa-biasa saja? Bukannya kebahagiaan nggak melulu soal materi? Sekalipun segala sesuatu yang bahagia juga membutuhkan uang, tapi tetap saja. Tidak ada salahnya kita merasa cukup dan bersyukur atas apa yang kita punya." Sorot Kaluna kini menatap tanaman-tanaman milik Ibu Sena yang dirawat dengan baik di halaman rumah si pemuda sebelum melanjutkan ucapannya, "Tapi memang pada dasarnya sifat manusia itu tidak akan pernah puas. Iya kan, Kak Sena?"
Sena tentunya tahu mengarah kemana pembicaraan ini. Belum lagi ketika otaknya membawa informasi-informasi yang mendukung tentang sebenarnya bagaimana keadaan keluarga Kaluna yang tidak bisa dikatakan baik. Melepas satu tarikan napasnya, Sena mencoba memberikan nasehat sebisanya.
"Setidaknya mereka keluargamu, Luna."
"Aku harap bisa bilang begitu, Kak. Kadang, aku justru merasa lebih nyaman berada di sini. Senang rasanya punya teman cerita seperti Kakak. Makasih, ya sudah mau jadi kakakku dan anggap aku sebagai adikmu."
Kaluna tersenyum hangat menampilkan deretan giginya yang rapi. Senyum yang selalu disukai Sena sejak awal dia menjatuhkan hatinya pada gadis tersebut. Sorot matanya memancarkan rasa syukur yang cukup besar atas eksistensi Senarai Jumantara di dunia ini dan Sena tahu bahwa Kaluna bersungguh-sungguh atas ucapannya. Kendati ia juga tahu, bahwa perasaannya tidak mendapatkan balasan seperti yang ia harapkan. Ia tidak pernah tega untuk tidak membalas senyum Kaluna yang begitu memikat. Lantas, memaksakan diri untuk mengulas senyum. Sena mengangguk dengan gumaman lembutnya.
"Luna!" seruan terdengar dan dua orang yang tengah berbincang di beranda itu disambut presensi Narajengga yang baru saja memarkirkan mobilnya. Berlari tergopoh menghampiri Kaluna.
"Maaf banget! Tadi tiba-tiba dosenku minta ganti jadwal ngajar. Jadinya pulang telat. Kamu pasti nunggu lama banget, ya? Duh! Aku siap-siap dulu, ya. Kita langsung pergi," Jengga melirik jam tangannya dan melanjut dengan napas yang masih memburu, "kalau nggak dapat tiket yang jam ini, kita pesan yang jam empat saja, gimana? Mudahan masih ada seat kosong."
Kaluna tertawa merdu melihat kehebohan dan kepanikan Narajengga. Ia memberikan usapan lembut di lengan prianya memberikan ketenangan, "Nggak apa-apa, Jengga. Aku kan nunggu di sini. Bukan di luar. Lagian ada Kak Sena yang temenin aku ngobrol dari tadi."
Narajengga buru-buru beralih menatap kakaknya yang menatap sepasang sejoli itu santai sebelum tiba-tiba merengkuh Sena dan berucap berterimakasih dengan penuh dramatisnya.
Setelahnya, Narajengga buru-buru menaruh tas miliknya. Mengganti dengan ukuran yang lebih kecil.
"Ayo, Luna. Nanti malah bioskopnya keburu ramai. Mas, aku pamit yo! Udah izin ke Bapak sama Ibu juga. Bye!"
Kaluna menyusul berpamitan dan Sena hanya mengangguk seraya menggumamkan kata hati-hati. Melepas kepergian Jengga dan Kaluna sampai mobil yang dibawa adiknya itu menghilang. Lagi-lagi, Sena menarik satu sudut bibirnya cukup tipis.
Mengalah atas siapapun dan apapun yang tentu saja ... itu mengorbankan diri dan perasaan kita sendiri
Ucapan Kaluna terulang dibenaknya. Mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Seolah membuang sedikit saja sesak yang menyapa dadanya. Sena bangkit dari duduknya dan merenggangkan otot. Mencoba menetralisir rasa sakit hatinya yang harus ia telan bulat-bulat. Menyibukkan diri dengan urusannya di luar sana. Kendati sebuah fakta lain yang harus kembali dia terima setidaknya cukup untuk membuat si Jumantara berdecak iri dalam hati.
Lagi-lagi dia harus mengalah untuk kebahagiaan Narajengga.
"Lho, Mas Sena?"
Sena menyadarkan kembali dirinya. Sebuah suara tak asing menyentaknya dan membawa dia kembali pada realita. Berada di masa kini yang mana ia tengah mengambil tempat sejenak untuk menghabiskan waktu sendiri. Baginya, memandangi orang-orang yang berlalu-lalang dan kendaraan yang tiada habisnya di balik kafe persimpangan jalan memang cukup memberikan sedikit hiburan.
"Ah, maaf. Kayaknya saya ganggu banget, ya? Maaf kalau Mas kaget."
Gadis tersebut menunduk beberapa kali seraya merapal maaf. Sena yang masih terdiam hanya melihat bagaimana rambut panjang Ara yang dibiarkan tergerai itu menutup sebagian wajahnya. Pun manakala dia mengangkat badannya, terdapat wajah lelah dengan kantung mata yang tercetak jelas di sana.
Dua tangan Ara menggenggam minuman berwarna cokelat. Milkshake chocolate. Salah satu minuman kesukaan Ara dan yang tetap ia konsumsi jika sedang dalam kondisi lelah dan butuh mengonsumsi sesuatu yang manis.
"Sini gabung sama saya. Duduk. Saya juga sendirian."
"Eh?" Ara mengerjap canggung, "saya sebenarnya mau langsung pulang, sih. Ke sini mau mampir nyapa Mas Sena saja."
"Yah, saya ditinggal sendiri, dong?" Sena menatap Ara saksama, dua tangannya menyilang depan dada. Matanya menyipit mencoba meledek.
"Y-ya kan banyak orang. Nggak sendirian juga."
"Sudah sini. Sebentar lagi mau jemput Jingga, kan? Kita jemput sama-sama saja."
"Tapi saya bawa motor."
"Nanti motormu disimpan di rumah saya saja."
"Mas akhir-akhir ini lagi nyantai banget kayaknya. Biasanya nggak pernah tuh punya waktu buat santai-santai begini."
Sena terkekeh. Ara sudah mengambil tempat di hadapannya dan bunyi tusukan sedotan langsung menyapa. Sirat kenikmatan akan manisnya minuman itu tercetak jelas di wajah Ara.
"Saya lagi nggak ada bukaan menu baru. Jadi, kafe juga berjalan kayak biasanya. Lagian saya juga bos. Ngawasin anak buah saja. Syukurnya sekarang punya orang yang bisa gantiin jadi kafe bisa tutup tengah malam kayak biasa."
Ara mengangguk paham, Sena memang pernah bercerita bahwa dia memutuskan untuk mempekerjakan asisten agar bisa menggantikannya bekerja sampai larut malam. Untuk menggantikan Sena karena dia harus pulang lebih awal demi anaknya.
"Kenapa nggak pesan es krim?"
"Hm?" Ara menggumam tak mengerti.
Sena menunjuk minuman Ara dengan sorot matanya, "Itu, biasa kamu kalau lagi stres juga mesannya es krim. Tumben beli yang begitu."
"Oh," Ara menyengir seraya memainkan sedotannya, badannya tercondong seraya berbisik pelan, "Es krimnya mahal. Saya beli ini karena lagi diskonan. Habisnya enak."
Sena tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Ia jadi teringat perjuangan Ara untuk mendapatkan diskon dari kafenya dulu. Jika ditelisik kembali, tampilannya yang dulu juga tidak beda jauh dari yang sekarang.
"Kamu kan sudah punya uang sendiri. Sekali-kali beli yang mahal juga nggak apa-apa."
"Nanti aja kalau saya sudah punya kerjaan tetap. Kalau masih numpang uang ortu mah nggak enak. Gaji yang Mas Sena kasih juga buat kebutuhan saya ke depannya."
"Untuk lanjut kuliah lagi?"
Ara menggeleng.
"Lalu?"
Tersenyum penuh arti, Ara menyondongkan badannya. Dua tangan terlipat di pinggiran meja dan ia berkata penuh harap, "Untuk meraih mimpi saya," katanya. Sebelum sekon setelahnya melanjut, "Saya ingin jadi penulis."
"Oh wow," Sena berdecak kagum. Pria tersebut seketika menegakkan badan. Nampak antusias dengan topik yang dibawa Ara padanya, "Sudah mencoba menulis?"
"Sudah," katanya, "di beberapa platform online. Lumayan. Cerita yang saya buat nggak buruk-buruk sekali."
"Sudah kirim ke penerbit?"
Ara menggeleng, "Saya mau self publish saja. Kalau dilihat dari pembaca yang antusias, mau nyoba peruntungan. Kalau banyak yang beli buku saya kan lumayan, Mas. Untung saya lebih banyak dibandingkan royalty kalau saya nerbitin buku di penerbit."
Sena mengangguk sekalipun dia tidak benar-benar paham. Namun apapun itu, impian Ara memang cukup bagus untuknya. Dia bisa melihat kilatan bahagia dan semangat saat Ara menceritakan impiannya. Besarnya harapan dari kedua netra indah itu yang membuat Sena nyaman dan tak sadar mengunci tatapannya sesaat di sana.
Setelahnya, Ara tidak bisa menahan pekikan bahagianya manakala Sena berhasil menyebutkan salah satu penulis yang ia baca bukunya, yang secara kebetulan termasuk penulis kesukaan Ara. Perbincangan mereka berjalan cukup lama dengan topik-topik ringan tentang buku-buku yang dibaca keduanya. Membahas plot cerita yang mengesalkan dan seru menjadi hiburan sendiri untuk Sena. Dan di sana, dia bisa melihat binar yang tercetak cukup jelas memancar dari netra indah milik Araya.
"Matanya cantik. Mirip seperti mata milik Bunda."
Benar. Benar sekali apa kata putrinya bahwa Ara memiliki mata yang mirip seperti Kaluna. Sepasang mata yang juga menarik atensi Sena dan seperti mengulang kembali masa lalu, membuat Sena cukup nyaman untuk sekadar melabuhkan bayangannya di sana.
Namun sesuatu mengusik Sena. Entah ada dorongan dari mana dia mendadak menyamakan kedua gadis yang menarik perhatiannya selama ini.
Persamaan dan perbedaan dari iris keduanya yang berhasil ditangkap Senarai dari otak cerdasnya.
Kaluna dan Ara, di balik seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan oleh mereka selama ini. Sena tahu bahwa ada banyak sekali rahasia pun luka yang disembunyikan dari balik netra indah keduanya. Ada banyak sekali makna tersirat yang dilemparkan mereka pada dunia.
Dan di sinilah letak uniknya.
Perbedaan yang Sena temukan.
Si Jumantara menarik sudut bibirnya. Mengulum senyum tipis secara sembunyi-sembunyi. Detik itu dia tahu bahwa dia telah menjatuhkan hatinya pada seseorang yang tepat. Bahwa Ara adalah perempuan baik yang diberikan Tuhan pada semesta miliknya. Sosok istimewa yang akan Sena perjuangkan dan dapatkan untuknya. Dan untuk kesempatan yang tidak ingin disia-siakan, Sena tidak mau mengalah atas Ara kepada siapapun.
Mungkin inilah alasan kata 'Binar' tersanding dalam nama milik Ara. Karena di sana, Sena bisa melihat jelas sebuah harapan untuk terus hidup dan bertahan di sana.
Sesuatu yang dulunya ... tidak dia dapatkan dari Kaluna.
Tunggu sebentar lagi saja, Ara. Saya akan memastikan bahwa semesta milikmu tidak akan penuh luka seperti dulu. Sama seperti kamu yang membawa cahaya dalam semesta milik saya. Terimakasih sudah menjadi 'Binar' yang selama ini saya ragukan keberadaannya.
[EPILOG CHAPTER]
(salamnya Sena yang selalu sayang sama Jengga)
Sebelum pergi, jangan lupa berikan feedback berupa vote dan komentarnya. Also share cerita ini ke Teman-teman kaliann 💜💜
Mari kita berteman di instagram dengan follow instagramku @bintangsarla
Sampai jumpa di bab selanjutnyaa
Love
Bintang
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top