#Redup23. Menggantungkan Perasaan
Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol bintangnya. Anyway, aku nggak revisi bab ini. Jadi kalau ada kekeliruan, komen saja jangan malu-malu. Akan aku perbaiki.
Selamat Membaca dan Selamat Bersemesta 🌌
Mungkin memang lebih baik membiarkan semua berjalan dengan semestinya. Pada akhirnya, hal tersebut adalah apa yang dilakukan Ara saat dia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika segala keadaan ini mendadak menimpanya.
"Dia memang belum sepenuhnya dapat restuku, tapi setidaknya aku bisa lihat dia serius."
Apa lagi sekarang? Apa Juniar sedang berada di pihak Sena? Melupakan Ara, begitu?
Namun Ara tidak bisa berbohong.
Ketika buntalan kecil itu memanggilnya dengan sebutan "Mama", sesuatu yang menggelitik menyapa hati si Nayanika dan detik itu pula Ara merasa sebuah kehangatan yang sebelumnya belum pernah dia rasakan. Tentunya dengan usia yang sudah menginjak dewasa, Ara sudah mempunyai beberapa keponakan yang diurusnya. Namun, Mama? Ya ampun, entah kenapa Ara merasa superior hanya dengan panggilan tersebut.
Di sudut ruangan, bohong jika Ara tidak menyadari bagaimana sejak semalam Sena tak menghilangkan tarikan lebar dari dua sudut bibirnya yang nyaris mengenai telinga. Dia sepertinya terlihat berbunga saat Jingga dengan tegasnya berkata bahwa dia sudah memiliki ibu, dan Ara orangnya.
"Anakku sudah mendukung lho, Ra. Apa yakin mau membuatku menunggu lebih lama?"
Rasanya Ara benar-benar ingin menggali lubang paling dalam dan segera menyembunyikan dirinya di dalam sana. Belum lagi ekspresi geli Juniar yang berada di sampingnya.
"Mama! Jingga sudah kerjakan latihannya, boleh diperiksa?"
Ara yang tengah berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga mendadak menghentikan kegiatannya. Dia menoleh sejenak pada Jingga yang tengah berdiri di samping dengan jemari yang menarik ujung bajunya.
"Sebentar ya, Jingga. Mama lagi repot," katanya yang memang tengah mencampur tepung adonan dengan sayuran yang baru saja matang. Ara berniat membuat bakwan untuk malam itu.
"Sini, Sayang. Biar Papa saja yang periksa," suara Sena dari sudut ruangan memanggilnya. Pria tersebut meletakkan tablet besar yang sejak tadi dia gunakan untuk memantau pekerjaan anak buahnya di kafe. Menyeruput sejenak kopi hitamnya, jemarinya membuat tanda supaya Jingga mendekat.
Namun si kecil menjeda sesaat langkahnya. Ia kini mendongak menatap Ara dengan kerjapan lucu dan cengiran yang menampakkan gigi seri yang baru tumbuh setengah, "Boleh makan es krim?"
Ara menggeleng tegas, "Nggak boleh, nanti kalau makan es krim, Jingga nggak mau makan nasi."
"Sedikit saja. Boleh? Ya? Ya?"
"Nggak boleh, Sayang. Nanti makan es krimnya setelah makan malam. Sekarang mendingan Jingga makan pisang atau jeruk tuh," Ara menunjuk dengan sorot matanya pada buah-buahan segar yang tersaji di meja makan, "atau mau Mama Ara potongkan apel saja? Mau yang mana?"
Jingga menatap ngeri. Dia memang suka buah-buahan, tapi jika untuk dijadikan camilan, lebih baik tidak, deh. Masih ada es krim atau keripik kentang yang jauh lebih enak. Lantas dengan bahu yang merosot lesu, dia pada akhirnya menyerah. Melangkah dengan kaki mungilnya menuju Sena yang tengah menunggu sejak tadi.
"Papa kenapa nggak kerja, sih? Ganggu saja," kata Jingga. Gadis itu tengah duduk menggerakkan dua kakinya yang menggantung.
"Lho? Nggak suka kalau Papa pulang? Tumben."
"Kalau jam-jam sekarang, iya. Soalnya kalau Papa pulang, biasanya Mba―Mama Ara langsung pergi. Sibuk masak lah, sibuk beres-beres lah. Jadinya malah nggak jadi main. Kan nggak asyik."
Sena mengulum senyum melihat kejujuran putrinya yang tengah merajuk dengan bibir bawah dimajukan itu. Khas tipikal Jingga sekali. Netranya kini menatap punggung Ara yang tengah sibuk dengan bahan masakan di dapurnya. Berjalan ke sana ke mari dan tampak asyik dengan kegiatannya sendiri.
Diam-diam dia menahan tawa. Tentu saja dia tahu apa yang membuat Ara menyibukkan diri seperti itu.
Ah, lucu sekali melihat seseorang salah tingkah karenaku.
Sena lantas kembali memokuskan perhatiannya pada soal-soal latihan yang baru saja diselesaikan Jingga. Mengecek setiap nomor sampai memberikan angka 100 dengan pujian yang membuat Jingga senang begitu.
Mendekap buku tulisnya dengan mencomot satu cookies yang berada di antara mereka, si kecil tiba-tiba saja bercerita, "Pa, kita ketemu tante Luna lho."
"Tante Luna?" Sena bertanya heran, perasaannya memburuk.
"Iya, Tante Kaluna. Yang waktu itu ketemu di tempat beli es krim malam-malam. Ternyata Tante Kaluna juga lagi makan malam di situ."
Perasaan memburuk itu semakin nyata saat ditahu ternyata Kaluna yang ditemui Jingga adalah Kaluna yang sama yang selama ini ingin ia jauhkan kehadirannya dari anaknya itu. Sekalipun wanita tersebut adalah ibu kandungnya. Namun sungguh. Sena hanya tidak mau membiarkan putri semata wayangnya itu bertemu dengan Kaluna. Sena hanya tidak sanggup memberitahukan sebuah fakta bahwa dulu kehadiran Jingga, biar bagaimana pun pernah tidak diinginkan oleh ibunya sendiri.
Dan setelah selama ini bersusah payah mengurus Jingga, seenaknya saja dia merebutnya. Sena tidak akan membiarkan itu terjadi.
"Tapi cuma sebentar. Soalnya setelah itu Tante Luna mau pulang. Jingga juga lagi sama Mama Ara."
Mengabaikan pembahasan mengenai Kaluna, Jingga membiarkan ayahnya menarik pelan dirinya sebelum dijatuhkan pada pangkuan.
"Jingga suka sama Mama Ara?"
"Em," Jingga mengangguk tepat setelah pertanyaan tersebut diberikan untuknya, "senang sekali. Jingga jadi bisa pamer ke teman-teman kalau Jingga punya Mama. Lalu Tania juga bilang kalau Mamanya Jingga itu cantik sekali." Si kecil berceloteh penuh semangat. Seraya memegang dua cookies di kedua tangannya, ia terkekeh senang menampakkan dua gigi seri yang menggemaskan itu.
Tania. Sena mencoba mengingat nama-nama teman Jingga yang sering diceritakan anaknya. Satu tahun mengurus Jingga dengan mengingat apa yang dulu pernah Narajengga lakukan pada anaknya, sedikit-banyaknya membantu Sena. Mendengar nama Tania, Sena seketika menyimpulkan bahwa dia adalah teman sebangku sekaligus teman dekat putrinya di sekolah.
"Jadi, teman-temannya Jingga sudah tau kalau Jingga punya Mama?"
"Belum semua, sih," Jingga menjeda untuk menelan kunyahan cookies-nya, "tapi nanti mereka akan tau kok. Waktu pembagian rapor kenaikan kelas, Mama Ara janji mau temani Jingga."
"Jingga! Buahnya di makan dulu." Cerita Jingga mendadak berhenti manakala Ara berseru dari ruang makan. Kepalanya melongok mencari keberadaan si kecil. Dengan tubuh yang masih berbalut celemek merah muda berwarna usang, satu tangannya melambai meminta Jingga mendekat.
"Jingga makan cookies saja, Ma," tolaknya.
"Lho katanya mau ngemil. Benar nggak mau makan buah? Makan cookies-nya sudah berapa banyak?" Ara mendekat dengan masih dengan alis menyatu sempurna. Bersiap mendeteksi kebohongan yang barangkali akan disahuti si kecil.
"Nggak banyak, kok. Janji nggak banyak. Serius. Baru tiga."
"Baru tiga jangan sampai nambah lho, ya. Ingat siapa yang kemarin sampai nangis gara-gara sakit gigi." Telunjuk Ara turut bekerja. Memperingati Jingga yang di sana, sosok Ara terlihat dua kali lebih mengerikan di netra rusa buntalan tersebut.
Sena hanya bekerja sebagai penonton. Melihat dua manusia ini tengah saling berdebat cukup membuatnya terhibur. Seolah menyingkirkan laporan-laporan karyawannya yang sempat membuatnya pusing sejak tadi. Diam-diam dia membayangkan, barangkali saja, seperti ini kehidupannya jika nanti dia dan Ara-
Astaga, Senarai. Kendalikan dirimu.
Jingga mengangguk setelah menelan satu suapan terakhir cookies-nya dan meraih air mineral gelasan untuk dihabiskan.
"PR-nya sudah diperiksa Papa?"
"Sudah. Dapat seratus."
"Pintarnya." Ara memberikan elusan lembut di puncak kepala yang seperti biasa, menjadi favorit Jingga sejak pertama kali dia menjadi pengasuhnya.
"Mas Sena nggak kembali ke kafe?"
"Maunya," Sena meraih cangkir kopi guna menyeruputnya sejenak, "tapi saya jadi pengin makan malam di sini. Rasanya sudah kayak rumah sendiri."
Ara memandangi pria tersebut keheranan, "Lho, memang rumah sendiri, kan?"
"Ya sudahlah," Sena menghela napas pasrah, sadar sekali kode yang ia lempar tak sampai. Melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah 6, si Jumantara lantas bangkit sebelum menepuk dua pahanya, "Saya balik sekarang. Jingga jangan nakal-nakal lho, ya. Nanti makan tepat waktu. Jangan sampai telat. Nurut apa yang Mama Ara bilangin. Oke?"
Setelah mencium kedua pipi Sena dan mencium punggung tangan Papanya, Jingga mengangguk patuh. Bersama dengan Ara dalam gendongan gadis tersebut, si kecil melambaikan tangan teramat antusias mengantarkan keberangkatan Sena.
Di dalam mobilnya, Sena mengetuk jemari di kemudi. Masih mempertahankan senyumnya lantaran bayang-bayang kejadian beberapa saat lalu masih melekat di ingatannya. Kendari hal lainnya yang sejak beberapa hari terakhir mengganggu benaknya juga turut serta bergabung. Menghilangkan senyum Sena digantikan cemas dalam dadanya.
Ara, sehancur apa sebenarnya semestamu sampai kamu sulit sekali membuka hati untuk saya?
***
Suara jangkrik menemani Araya malam itu. Gadis tersebut duduk di beranda rumah Sena sembari merapatkan jaket yang ia kenakan. Cuaca memang tidak begitu dingin, tetapi daya tahan tubuhnya yang cenderung lemah membuat Ara harus tetap menggunakan jaketnya agar tidak mudah sakit di angin malam yang dingin ini.
Sejak lima belas menit yang lalu, dia sudah meninggalkan Jingga yang telah lelap tertidur seusai Ara membacakan dongeng si kancil dan buaya. Tak butuh waktu lama sampai dongeng usai, dia sudah memasuki alam mimpi lantaran tidak mau tidur siang. Menjadikan ruang tengah sebagai ruang dansa dadakan dengan baju pesta yang ia keluarkan dari lemari. Berakting sebagai seorang Cinderella dengan Ara sebagai ibu perinya.
Deru mobil terdengar di halaman dan tak butuh waktu lama, Ara bisa melihat Sena baru saja keluar dari mobil dengan dua minuman segar yang turut dibawanya serta.
"Jingga sudah tidur?"
Ara mengangguk, "Sudah. Mas mau dibuatkan kopi?"
Melihat Ara yang terlihat cukup lemas dan lelah. Belum lagi ekspresinya yang mendukung itu, Sena memilih menggeleng dengan senyum hangat yang tetap dibawanya serta. Mendaratkan bokong di kursi satunya dan kini mereka berdua hanya menjadikan meja bundar sebagai pembatas―yang kini sebagai tempat sebungkus makanan dan dua minuman di sana.
"Kamu masih suka toast, kan? Aku bawakan. Sama boba juga."
Katakanlah Ara adalah orang yang sangat lemah dengan bujuk rayuan terutama jika itu melibatkan makanan. Ketika Sena menyondorkan dua makanan kesukaannya, dia tidak bisa untuk tak menahan pekikan dengan dua telapak tangan yang kini sedang menutup mulut. Tambahan sepasang mata yang membulat antusias.
Ekspresi itu sebenarnya kelewat dramatis untuk si Jumantara. Namun manakala sisa-sisa lelah yang dia bawa dari kafe dengan berbagai masalah yang menimpa, Sena bisa melihat bahwa ekspresi berlebihan Ara agaknya menjadi sebuah hiburan untuknya malam itu. Melihat ada seseorang yang terlihat senang dengan hal sederhana yang ia berikan, menjadi sebuah kebanggaan lainnya yang mulai menapaki hati milik Sena.
"Makasih banyak lho, Mas Sena. Repot-repot begini," katanya basa-basi. Namun, toh tetap di raihnya toast tersebut dengan kepala yang membayangkan nikmatnya makanan itu jika disandingkan dengan tontonan drama Korea koleksinya di laptop.
Suasana mendadak senyap dan Ara sekalipun Sena agaknya sulit untuk membuka sebuah pembicaraan. Keduanya nampak lelah karena keseharian yang cukup padat dan di satu sisi, Ara hanya berharap Juniar lekas datang menjemputnya agar dia bisa lepas dari situasi canggung semacam ini.
"Saya dengar kamu bertemu Kaluna, Ra." Setelah sekian lama, akhirnya sebuah topik mulai diangkat.
"Iya, waktu makan malam itu."
"Kalau dipikir-pikir kembali, bukannya saat itu ya Jingga memperkenalkan kamu sebagai sosok 'Mama' untuknya. Apa semuanya kamu lakukan karena Kaluna?" Sena masih menemukan Ara membisu, yang mengundangnya untuk kembali berucap, "Kalau hanya karena sandiwara kita, lebih baiknya kamu nggak perlu terlalu mendalami itu, Ra. Saya hanya nggak mau Jingga kecewa kalau suatu saat nanti ... kamu meninggalkan kami."
Ara mengambil napas sejenak. Melepas ikatan rambutnya yang memberatkan kepala. Merapikannya asal dengan jemari sebelum ia berkata tenang, "Bukan karena alasan itu."
"Lalu?"
"Dulu sekali," katanya, menatap lurus kosong halaman Sena yang dipenuhi tanaman, "Saya kenal dekat dengan seseorang. Dia pernah berkata bahwa menyakitkan sekali mengetahui sebuah fakta, kehadirannya tidak diinginkan oleh orang tuanya sendiri. Dan melihat dengan jelas bagaimana kondisinya saat itu, saya bisa menyimpulkan bahwa itu memang sangat menyakitkan. Sekalipun saya nggak pernah benar-benar merasakannya. Tapi saya tau bahwa itu bukanlah rasa menyenangkan yang ingin tetap ia simpan lama dalam hatinya."
Ara lantas menoleh, menatap Sena yang kini tengah memasang atensi penuh padanya, "Dan saya hanya tidak ingin Jingga merasakan hal yang sama."
Gadis tersebut melepas satu tarikan napasnya, "Jingga masih terlalu kecil untuk merasakan sakitnya sebuah penolakan, terlebih itu dari ibunya sendiri. Dia masih punya kesempatan untuk tumbuh dewasa. Saya hanya ingin dia menjadi anak-anak seperti normalnya anak-anak di luar sana. Yang tumbuh sesuai waktunya. Yang merajuk jika ayahnya terlambat menjemput, yang protes jika keinginannya tidak dituruti, yang menangis jika ayahnya melupakan janji. Hal-hal kecil semacam itu, sayangnya tidak bisa saya dapatkan dari Jingga.
"Dia dewasa sebelum waktunya. Dia tau apa yang ia suka dan apa yang dia tidak suka. Namun, dia memilih untuk diam dari pada harus mengutarakannya. Dia memilih menjaga perasaan orang lain dibanding perasaannya sendiri. Dan saya tidak ingin Jingga tumbuh seperti itu. Saya hanya ingin Jingga tumbuh menjadi anak yang baik. Baik kepada orang lain dan tentu saja ... baik kepada dirinya sendiri."
Sena mengambil waktu sejenak untuk melihat bagaimana ekspresi Ara yang tampak menyendu di sana. Makna tatapan yang sudah sangat dihafal oleh si Jumantara lantaran dirinya pun seringkali melakukan hal serupa. Berani bertaruh bahwa isi kepala gadis tersebut sedang ramai-ramainya.
"Kamu hanya takut melihat sesuatu yang sama seperti dulu. Begitu, Ra?"
Ara tidak heran saat Sena dengan mudahnya membaca apa yang ada di pikirannya. Atau bagaimana cepatnya pria tersebut menganalisis keadaan. Mengingat kembali kehidupan Sena yang tidak kalah kacau dari miliknya, Ara cukup paham.
"Ya, karena itu."
"Tapi itu tidak membenarkan alasanmu membawa titel 'Mama' untuk Jingga, Ra. Saya tidak tau setelah lulus kamu akan kemana. Kamu akan menetap bersama kami ... atau pergi. Saya hanya tidak mau Jingga merasa lebih sedih karena ditinggalkan oleh orang yang sudah dia anggap ibunya sendiri."
"Saya juga nggak tau," Ara masih menatap lurus dengan sorot kekosongan di sana. Dia menarik salah satu sudut bibir. Entah menertawakan apa, "Jogja sudah banyak buat saya sakit, Mas. Jogja sudah banyak menyimpan memori pahit dalam hidup saya. Seharusnya sejak dulu saya pergi dari sini. Tapi entah kenapa, saya justru memilih bertahan dan masih menyimpan harapan ... bahwa Jogja bisa juga menjadi obat atas luka saya."
"Jangan buat saya menunggu terlalu lama, Ra. Menggantung perasaan seseorang itu tidak baik, lho."
Perkataan Sena menarik atensi Ara dengan netra si cantik yang kini menatap Sena dan lesung pipi yang masih bereksistensi di sana, "Apa saya begitu?"
"Secara tidak langsung, iya," tegas Sena. "Kalau kamu memang tidak berniat bersama dengan saya, katakan saja. Tolak saja tidak apa-apa. Saya siap menerima apapun itu, termasuk sebuah penolakan. Kamu yang berkata akan menjalani saja semuanya, seolah memberikan harapan saya bahwa masih ada kesempatan untuk saya. Sedangkan di satu sisi, ada juga kemungkinan kamu menolak saja. Terlebih saat tau bagaimana kondisi kaluarga saya yang mungkin membuat kamu tidak nyaman.
"Saya sudah dewasa, Ra. Saya tidak punya waktu lagi untuk menjalin hubungan roman picisan seperti anak-anak seusiamu. Dengan penolakanmu, barangkali saya bisa memiliki lebih banyak waktu untuk mencari orang lain yang bisa cocok dengan saya. Berhubungan dengan saya, sudah pasti saya akan membawa kamu ke tahap yang lebih serius. Oleh karena itu, seperti apa yang saya katakan," Sena mengambil napasnya dalam-dalam. Kali ini pria tersebut mengubah posisi duduknya. Guna melihat Ara lebih leluasa sebelum melanjut.
"Jangan memberikan harapan kepada saya maupun Jingga dengan hal-hal yang sudah kamu lakukan pada kami, saat kamu sendiri tidak yakin akan menetap atau justru pergi. Saya mungkin bisa menerima itu, tapi saya tidak bisa menjamin Jingga akan bisa," badan Sena menyondong. Menatap Ara lekat-lekat dan melanjut penuh harap.
"Saya harap kamu mengerti dan tidak semakin lama membuat kami menunggu. Lekaslah pertegas bahwa kamu ... akan menerima ajakan saya atau tidak."
"M-mas Sena―"
"Saya nggak akan meninggalkan kamu," potong Sena cepat-cepat saat melihat kekhawatiran tercetak jelas dari sirat mata Ara, "jika itu yang kamu takutkan. Saya pastikan tidak akan pergi jika memang bukan takdir saya untuk pergi. Saya akan tetap bersama kamu, di sisimu. Sampai akhir nanti, Araya."
Tangan Sena terjulur, memberikan genggaman pada tangan Ara tanpa melepas pandangan mereka. Memberikan seluruh keseriusan dari setiap perkataannya di sana. Ia melanjut lirih dengan penekanan yang dibawa serta. Dipastikan tersampaikan jelas pada pendengaran Ara.
"Araya, saya berjanji ... tidak akan kembali mengulang luka yang sama."
Sebelum pergi, jangan lupa berikan feedback berupa vote dan komentarnya. Also share cerita ini ke Teman-teman kaliann 💜💜
Mari kita berteman di instagram dengan follow instagramku @bintangsarla
Sampai jumpa di bab selanjutnyaa
Love
Bintang
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top