#Redup21. Hidup yang Bercerita
Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol bintangnya. Anyway, aku nggak revisi bab ini. Jadi kalau ada kekeliruan, komen saja jangan malu-malu. Akan aku perbaiki.
Selamat Membaca dan Selamat Bersemesta 🌌
Menjatuhkan pandangannya pada sosok pria berbalut kemeja hitam di hadapannya. Juniar tidak bisa menampik bagaimana pesona seorang Jumantara yang sejak tadi tak luput dari perhatian. Pembawaannya yang tenang dan terkesan elegan, sifatnya yang tidak sembrono, tutur katanya yang halus, serta jangan lupakan wajah tampan bak artis-artis ternama dengan status pekerjaan yang tidak main-main.
Singkatnya, Juniar bisa yakin bahwa hanya dengan menjadi pasangan pria tersebut, hidup Ara agaknya akan terjamin secara materi. Namun, bagaimana dengan eksistensi hati yang kerap menjadi penyakit sekaligus obat mental dirinya itu? Menjalin hubungan beberapa kali dengan beberapa perempuan selama empat tahun terakhir ini membuat Juniar sedikit-banyaknya belajar, bahwa bahagia bukan hanya perkara materi. Tetapi bagaimana kamu merasa tenang dan nyaman bersama pasangan hidupmu kendati satu-dua masalah melanda.
Saat netra milik Juniar tanpa sengaja menangkap maksud tatapan Sena pada Ara. Saat itu pula dia sadar bahwa ada banyak hal yang selama ini ia lewatkan. Atau barangkali saja tidak Ara ceritakan. Atau mungkin, sudah semua diceritakan tetapi Juniar sendiri yang tidak terlalu memperhatikan.
Tatapan teduh dan tenang itu pernah dia lihat. Setidaknya lima sampai enam tahun yang lalu. Tatapan dari seseorang di cerita lalu kehidupannya dan Ara. Serta bagaimana sorot memuja itu berlabuh pada seorang Binar Araya Nayanika. Kendati begitu, ada satu hal lain yang juga tidak luput dari perhatian Juniar. Hal kecil yang barangkali saja luput dari pandangan Ara lantaran sudah empat tahun lamanya dia mencoba apatis tentang problematika kehidupan orang lain.
Di balik eksistensi tenang dan sorot teduhnya. Juniar bisa melihat sosok Navarendra yang dahulu kerap membersamai mereka turut ada di dalam diri Sena. Bukan tentang mereka yang terlihat dewasa, karena Juniar berpikir alangkah lebih baiknya jika hal tersebut saja yang ia temukan. Namun justru sebaliknya, sorot mata yang menyiratkan sendu, kesepian, serta kekosongan yang dulu pernah dia lihat sebelumnya. Sosok Nava yang hancur lebur dan disimpan rapat oleh pemuda tersebut dengan topeng tebal miliknya.
Dan Juniar total merasa bahwa kali ini dia menghadapi hal yang sama.
Dia bisa saja merelakan Araya pada lelaki lain, tetapi jika lelaki tersebut seolah menjiplak karakter Navarendra, maka Juniar memilih untuk melepaskan saja Ara dari jeratan siapapun itu.
Dia hanya tidak mau menjumpai Ara hancur untuk yang kedua kalinya.
"Sebelum itu saya mau tanya, apa Mas Sena benar-benar menyukai sahabat saya?"
Tanpa pikir panjang, Sena mengangguk tegas, "Ya, saya sudah lama tertarik dengan Ara."
Tertarik, ya?
Juniar tersenyum bersama dengan anggukan kepala yang ia turut sertakan, "Kalau Mas Sena hanya tertarik dan sebatas itu. Tidak ada satupun niat serius di dalamnya. Lebih baik Mas Sena mundur saja. Jangan melibatkan Ara dalam perasaan Mas yang saya pikir ... dia tidak perlu dipusingkan untuk urusan orang lain."
Sena mengernyit. Benaknya tentu tidak terima dengan steriotip yang Juniar layangkan. Kendati begitu, pemuda di hadapannya ini tampak tidak terganggu dengan sorot tajam yang langsung dijatuhkan Sena padanya.
"Kenapa tiba-tiba berbicara begitu?"
"Saya tau tidak seharusnya ikut campur dalam urusan pribadi kalian. Tapi, sebagai seseorang yang sudah mengenal Ara selama nyaris sepuluh tahun lamanya. Tumbuh dan berkembang bersama-sama, susah dan senang bersama, sampai bagaimana kami pernah hancur dan bangkit pun bersama-sama. Saya hanya ingin yang terbaik untuknya. Saya hanya nggak siap harus lihat Ara kembali jatuh seperti dulu."
Iris Sena menatap lurus Juniar. Menyiratkan kuriositas besar di dalam sana. Seiring dengan kepalanya yang memiring dan pendengaran yang semakin tajam, ia bertanya, "Jatuh seperti dulu?"
"Ya," Juniar mengangguk. Menyesap sejenak milkshake stroberi miliknya sebelum melanjut, "Dulu, Ara pernah mengalami trauma berat. Sebuah kejadian di masa lalu kami membuatnya seperti itu. Sosok Ara yang Mas Sena lihat saat ini, adalah sosok seseorang yang sedang berusaha bangkit secara perlahan. Mengembalikan senyuman Ara yang sekarang bisa dilihat banyak orang, butuh empat tahun lamanya dan saya hanya tidak ingin dia kehilangan itu lagi. Biar bagaimana pun, bahagianya Ara juga tanggung jawab saya."
Perasaan Sena mulai memburuk, "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Singkatnya, dulu kami bersahabat. Total ada tiga orang. Saya, Ara, dan seseorang lagi bernama Navarendra. Ara dan Nava terlibat hubungan, sebut saja sepasang kekasih. Saya pikir mereka akan berjalan membaik. Seperti layaknya hubungan anak remaja pada umumnya. Atau kalaupun putus, ya putus yang seperti orang-orang pada biasanya. Namun, tidak."
Juniar mengambil jeda sejenak untuk mengambil napas. Mengulang kembali sebuah perasaan lalu dan memanggil potongan-potongan kejadian untuk dijadikan satu. Sesungguhnya itu bukanlah hal yang mudah. Tangannya tanpa sadar terkepal dengan buku-buku jari yang memutih. Itu semua tentu saja tidak luput dari perhatian Sena.
Setelah sudah cukup tenang. Ia kembali melihat Sena. Tersenyum tipis dan melanjutkan cerita, "Hubungan mereka jauh lebih rumit," katanya, "Nava adalah lelaki yang penuh dengan rahasia. Ada banyak sekali cerita yang tidak kami tau, dan ada banyak sekali hal yang dia sembunyikan. Semakin lama, sampai kami akhirnya dapat menyimpulkan bahwa hidupnya tidaklah sesederhana itu. Keluarganya tidak baik-baik saja. Orang tuanya cerai, ayahnya menuntut Nava untuk mendapatkan nilai tertinggi di sekolah. Belum lagi masalah-masalah hidup lainnya yang harus dia telan begitu saja.
"Selama itu pula, saya dan Ara berusaha untuk memainkan peran kami dengan baik. Saya sebagai sahabatnya, dan Ara sebagai sahabat sekaligus kekasihnya. Namun tentu saja, peran Ara di sini lebih banyak. Sedikit-banyaknya, dialah saksi atas bagaimana kacaunya kehidupan Nava dan hancurnya lelaki itu.
"Sekaligus," napas Juniar tercekat. Ia menjeda sesaat dengan pandangan yang beralih ke hal-hal lain. Meraup udara sebanyak-banyaknya sebelum melanjut dengan nada getir, "Menjadi satu-satunya saksi saat Nava mengakhiri hidupnya."
Rasa-rasanya Sena merasa ia seperti tengah diguyur oleh air dingin secara tiba-tiba dan membuat tubuhnya beku tak berkutik. Riuh ramainya restoran tidak lagi menjadi perhatian saat mendadak ia seperti berada di dimensi lain. Dengan segala pemikiran yang bercongkol dalam kepala dan sebersit rasa tak sangka yang mengikut serta.
Juniar di hadapannya terdiam seolah memberikan jeda bagi Sena untuk mencerna segalanya. Paham sekali reaksi pria tersebut yang memucat secara tiba-tiba tanpa sebuah kata pun frasa yang terlontar.
Pikirannya tertuju pada Ara. Gadis cantik dengan senyum menawannya yang tengah menjerat atensi Sena dua bulan terakhir. Topik ringan yang sering mereka bagi, ocehannya manakala sedang memarahi Jingga yang berbuat salah, sisi dewasanya yang tampak kala menasehati Jingga, serta bagaimana binar indah dari dua mata indahnya itu seolah merepresentasikan arti dari suku kata pertama nama panjangnya, Binar Araya Nayanika.
Sena menggeleng dengan satu sudut bibirnya yang menaik. Menertawakan kebodohannya selama ini. Tahu apa dia tentang Ara? Tahu apa dia tentang kehidupan gadis itu? Benar kata Aksa, mereka belum benar-benar mengenal dan Sena seenaknya meminta gadis tersebut menjadi kekasihnya.
Berani-beraninya Sena meminta status kepemilikan saat dia tidak tahu apapun tentang gadis itu. Ara, sebenarnya sebesar apa luka yang selama ini ditanggungnya?
"Saat itu sedang jam pelajaran," Juniar kembali bersuara saat dilihatnya Sena sudah lebih tenang, "dan Ara meminta izin untuk pergi ke toilet. Di saat yang sama mendadak Nava tidak hadir. Tidak lama selepas itu, suara jeritan terdengar disusul debukan keras setelahnya."
Mata Sena membola tak percaya dan Juniar justru mengangguk, "Iya, Mas Sena," yakinnya, "Nava bunuh diri. Melompat dari lantai tiga sekolah kami. Dan Ara melihat itu semua secara langsung."
Sena mematung. Total terkejut dan energinya seolah menguap begitu saja. Badannya tersandar di kursi dengan pikiran melalang buana. Seluruh sel otaknya bekerja aktif untuk menyusun rentetan cerita menjadi sebuah kesimpulan yang bisa dimengerti dan dipahami si Jumantara. Sampai ketika Juniar melanjutkan ucapannya.
"Ara memang tampak baik," ucapnya, tersenyum miris seraya melanjut pedih, "tapi sesungguhnya dia tidak pernah sebaik itu. Dan ... mengenai alasannya menawarkan diri untuk menjadi pekerja Mas Sena dan mengasuh Jingga. Adalah untuk menyibukkan dirinya. Menjaga dirinya tetap waras dan tak mengulang kesalahan yang sama seperti yang Nava perbuat.
"Sahabat saya, bukan orang yang suka menyulitkan dirinya. Dia seperti halnya perempuan lain yang gemar menghabiskan waktu dengan hal sia-sia seperti menonton drama Korea atau sekadar menggosipkan laki-laki dengan teman-temannya. Tapi kayaknya semesta memang punya cara sendiri untuk membuat Ara menjadi orang yang kuat.
"Hari-harinya selalu sibuk. Bekerja dan belajar seperti orang gila. Ara tau dirinya tidak pintar. Jadi, dia menghabiskan waktu untuk berteman dengan orang-orang pintar dan mengambil ilmu sebanyak-banyaknya dari mereka. Pagi kuliah, sore sampai malam bekerja. Dan sepulang kerja, dia melakukan mencoba mengobati lukanya."
"Dengan cara?"
"Ara suka menulis dan membaca," Juniar tersenyum, ia sudah mulai menguasai keadaan dan tidak lagi larut dalam suasana, "Dia memilih menumpahkan semua perasaannya pada tulisan. Membuat novel, cerita pendek, ataupun sekadar kata-kata yang ingin ia tulis. Pembacanya cukup banyak. Barangkali dia melakukan itu semua karena dia tau, bahwa sekalipun dia mempunyai teman cerita. Tidak ada seorang pun yang akan pernah mengerti lukanya selain dirinya sendiri.
"Mungkin dia hanya takut dikhianati, ditinggal, atau justru lebih parahnya ... dihakimi. Sampai akhir, dia tau bahwa satu-satunya yang bersamanya hanyalah dirinya sendiri. Satu-satunya yang dia miliki hanyalah dirinya sendiri. Selagi sahabat dan keluarganya membantu, Ara juga turut andil dalam mengobati luka yang dia tanggung. Dan tentu saja itu tidak pernah mudah.
"Pagi sampai malam, dia habiskan untuk kegiatannya. Sampai dia merasa harus benar-benar lelah, baru dia bisa tertidur nyenyak semalaman. Semua itu, tentu saja dia lakukan hanya untuk mengabaikan presensi Nava yang sering ada di pikirannya."
Juniar mengeluarkan ponselnya. Membuka sejenak mencari sesuatu. Setelah dapat, di sondorkan itu tepat ke hadapan Sena. Si Jumantara melihat dua manusia yang tengah tersenyum lebar pada kamera. Ada Ara di sana yang tengah tertawa lepas sembari memegang tangan pemuda yang melingkar di bahunya.
Oh, jadi ini yang namanya Nava.
Sena barangkali saja hendak kembali mengembalikan ponsel tersebut pada si Nabastala. Sebelum sekali lagi, diperhatikannya sosok tersebut dengan seksama sampai sebuah perasaan tidak nyaman tiba-tiba hadir dalam benaknya.
Sebentar, kenapa sepertinya wajah milik Navarendra ini tampak tidak asing?
Baru saja dia hendak kembali berpikir, ponsel itu tiba-tiba sudah ditarik. Di hadapannya, Juniar agaknya hendak kembali bersuara.
"Saya bilang begini karena saya tau, dari sekian banyaknya cowok yang berusaha mendekati Ara. Mas Sena adalah orang yang cukup serius untuk menjalin hubungan. Sekarang, Mas sudah tau bagaimana Ara dan apa yang terjadi sama dia. Sisanya, silahkan coba dipikirkan kembali. Apa Mas benar-benar pantas dan siap menerima resiko ketika memiliki Ara, atau tidak.
"Jika tidak," Juniar memberikan jeda dengan penekanan yang ia berikan di dalam sana. Menyiratkan sebuah peringatan keras untuk Sena, "Lebih baik mundur saja dan jangan menyakiti sahabat saya. Jangan kembali membuat kekacauan dan merepotkan banyak orang."
Juniar mengakhiri ceritanya saat dua gadis yang ditunggu mereka sudah terlihat saling bergandengan tangan dari kejauhan. Namun, saat dikiranya semua sudah usai, Sena mendadak tersenyum miring. Menatap Juniar terang-terangan dengan aura mendominasi yang cukup kentara.
"Sepertinya, hidup Araya tidak kalah kacau dengan hidup saya," katanya selagi memerhatikan gadis itu, dari kejauhan. Sena menepuk pundak Juniar sebelum melanjut tegas, "Tenang saja. Ara tidak akan kehilangan apapun lagi. Saya pikir, nggak ada seseorang yang bisa memahami lukanya selain kamu ... dan saya."
Juniar yang tak paham mengernyit heran, namun Sena justru abai dan menarik salah satu sudut bibirnya. Tersenyum penuh makna, "Untuk seseorang yang pernah merasakan kehilangan juga, saya tahu bagaimana terlukanya itu. Dan saya bisa memastikan, bahwa saya dan Ara tidak akan kembali merasakan rasa sakit yang sama. Karena orang-orang seperti kita, sangat paham betapa menyakitkannya sebuah kehilangan."
Sekon setelahnya, Juniar bisa melihat pancaran keyakinan disertai seulas senyum Sena yang mempertegas segalanya, "Juniar, kamu bisa mempercayakan Ara kepada saya."
Detik itu, Juniar mengangguk paham. Langsung mengerti dan di sana, manakala Ara sudah kembali dan tersenyum hangat serta mengambil duduk di antara mereka, Juniar hanya bisa membatin.
Semoga, semestamu kali ini berjalan sesuai dengan ekspektasiku, Ara.
Sebelum pergi, jangan lupa berikan feedback berupa vote dan komentarnya. Also share cerita ini ke Teman-teman kaliann 💜💜
Mari kita berteman di instagram dengan follow instagramku @bintangsarla
Sampai jumpa di bab selanjutnyaa
Love
Bintang
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top