#Redup17. Hadiah Semesta
Jangan lupa tekan tombol bintang sebelum membaca.
Selamat membaca dan selamat bersemesta 💜
Mengandung 3000+ kata. Bacanya pelan-pelan saja.
Disarankan untuk menonton videonya (boleh sebelum atau setelah membaca bab ini)
Iris si ayu melempar pandang pada hamparan magenta di langit sana. Menghiasi bumantara selayaknya tumpahan warna yang indah di sebuah kanvas, melaksanakan tugas akhirnya yakni mengantarkan sang baskara menuju peraduannya.
Untuk sejenak saja, sepasang mata indah itu menampakkan sebuah kelegaan yang terlihat kentara. Dalam hati tak hentinya bersyukur dan berterimakasih pada Tuhan karena telah memberikan sebuah hiburan indah melalui semesta. Karena nyatanya, hal sederhana semacam menikmati senja agaknya menjadi sebuah hiburan tersendiri bagi setiap individu-individu di bumi dan si gadis salah satunya.
Di sampingnya, seorang lelaki mengulas sebuah senyum tipis. Siapapun yang melihat tentunya bisa menilai, bagaimana arti tatapan yang benar-benar tulus dan memuja yang diberikan lelaki tersebut kepada gadis cantik di sampingnya. Agaknya pemandangan senja pun kalah dengan paras si ayu. Si Dirgantara benar-benar menikmati, bagaimana cahaya oranye tersebut terpantul di lautan sampai turut jatuh di wajah indah kekasihnya. Menambah kesan elok dan semakin memancarkan pesona yang dimiliki sang gadis di sana.
"Es kelapanya nggak diminum?" Sebuah tanya terlempar begitu saja, dan di sana Navarendra melihat arah mata Ara pada gelas minumannya yang masih terlihat penuh. Bahkan es batu yang berada di dalamnya sudah mencair dan bergabung bersama cairan lainnya.
"Eh, iya. Lupa."
Suara decakan itu menjadi penyambut setelahnya. Dan Navarendra yang agaknya selalu patuh dan tampak seperti anak kucing penurut itu tidak siap untuk menerima rentetan omelan dari kekasihnya. Tidak di suasana yang cukup romantis begini. Lekas ia meraih es kelapa tersebut, mengaduk seraya mulai menghabiskan isinya.
"Lapar." Ara mengeluh dengan bibirnya yang tertekuk maju. Dua tangan terlipat di depan perut mengindikasikan kejujuran gadis tersebut.
"Sudah ku bilang pesan ikan bakar saja. Aku pesan sekarang, ya?"
Ara sontak menggeleng, "Mahal," tegasnya, "nanti saja makan pas jalan pulang. Jangan makan di tempat-tempat begini."
Tampak tak senang, si Dirgantara masih berucap sabar, "Cuma makan doang ngapain perlu perhitungan sih, Ra. Lagian aku juga ada uang. Ayo, beli, ya. Biar kamu nggak lapar."
Menggeleng kembali sebagai keputusan final. Nava agaknya harus mencoba maklum lantaran kekasihnya tersebut adalah perempuan paling pelit yang ia temui. Atau memang pada dasarnya semua perempuan seperti itu. Karena terus terang saja, si cantik tersebut tidak segan-segan untuk mengingat harga-harga makanan dari beberapa tempat yang mereka kunjungi. Membandingkan selisihnya sebelum menggeret Nava atau bahkan Juniar menuju tempat yang lebih murah.
Terkecuali jika ia sedang dalam kondisi berdompet tebal.
Lantas tidak mau kembali menimbulkan sebuah perdebatan tak penting, Nava memilih mengalah dan menghabiskan es kelapanya. Kakinya yang berselonjor duduk di atas pasir yang cukup empuk dan Ara melakukan hal serupa. Si gadis tersebut tengah asyik menyantap kripik camilan sembari menyandarkan kepala di pundak prianya.
Jujur saja, pundak Nava adalah tempat ternyaman yang bisa ia nikmati kapan pun dan pemuda tersebut agaknya tidak pernah melempar protes. Dibiarkannya Ara menempatkan kepala dengan nyaman di sana. Bahkan sesekali, dengan lembutnya Navarendra membenarkan duduknya, dengan satu tangan yang menahan kepala Ara hati-hati sebelum menempatkannya kembali. Mengambil posisi lebih nyaman untuk keduanya agar bertahan di posisi tersebut dalam waktu yang sedikit lebih lama.
Mata Nava memejam seraya menikmati desiran angin yang menerpa wajahnya. Telinganya cukup terhibur dengan suara deburan ombak yang mengalun lembut. Hari semakin beranjak namun kehangatan masih berada di antara mereka berdua. Dua tangan insan yang tengah berbagi kasih itu saling bertaut. Mengisi satu sama lain dengan nyaman, dan Nava tidak menampik bahwa ia benar-benar merasa tenang di saat seperti ini. Seolah memang, setiap sela-sela jemari milik Ara hanya ditakdirkan begitu pas untuk dia lengkapi.
Keduanya memilih bungkam dan menikmati indahnya bumantara yang sedang menampilkan senja yang tengah elok-eloknya di sana. Cahaya oranye yang membias di lautan dengan cakrawala yang menjadi pemersatu dua biru yang berjauhan, agaknya menjadi sebuah hiburan semesta yang diberikan secara cuma-cuma untuk mereka. Karena rasa-rasanya, pahatan indah alam semesta yang dipertontonkan secara gratis itu sanggup membuat beberapa tanggungan hidup yang dipikul tersingkir untuk sesaat dengan isi kepala yang menjadi tidak seberisik biasanya.
"Sudah ngerasa baikan?"
Nava membuka perlahan kelopak matanya. Mendengar sebuah pertanyaan retorik yang entah kesekian kali ditanyakan Ara untuknya. Tanpa mengubah posisi, si Dirgantara hanya berdehem sebagai sebuah tanggapan. Sebelum akhirnya kembali menjawab tenang.
"Semesta lagi kasih hadiah baik untuk aku. Nggak baik kalau aku ngerasa buruk dan ngeluh atas hadiah yang dikasih."
Ara mengangguk paham. Helaian rambut panjangnya yang saling berterbangan membawa angin dingin untuknya. Ia merapatkan jaket miliknya sebelum kembali beringsut lebih nyaman.
"Kayak gini terus bisa nggak, ya?"
Yang ditanya memasang senyum setengah miris, "Nggak tau. Jalani saja dulu."
Mendadak Ara merasa lelah. Napas berat yang ia tarik dilepaskan begitu saja dan di sana Nava tentu tahu bahwa kekasihnya tidak cukup puas dengan jawaban yang ia berikan.
Namun tidak mau membuat semuanya semakin runyam. Diangkatnya kepala Ara pelan dengan tangan lebarnya. Sebelum melingkari bahu kecil milik gadis tersebut dengan tangannya dan menyandarkan Ara kembali di pundaknya.
"Aku hanya berharap kamu tetap bisa lihat kamu seperti ini, Nav," kata Ara lirih. Sorotnya menatap senja teramat sendu. Di suasana melankolis macam ini seharusnya mereka berdua menikmati hal-hal romantis selayaknya pasangan kebanyakan. Namun apa yang didapat justru tidak sesuai dengan harapan.
"Seperti apa?"
"Seperti ini," kata Ara sekali lagi, "lega dan tenang. Serta bersyukur atas hadiah yang diberikan semesta. Seperti katamu."
Si Dirgantara mengangguk. Tidak bermaksud mengabaikan ucapan kekasihnya, namun sesungguhnya itu hanya hanya sekadar memberikan sebuah tanggapan agar Ara tenang dan tidak semakin banyak pikiran di masalah hidup Nava yang tidak seharusnya dipikirkan gadis tersebut.
"Ini saja belum cukup untuk kamu, Nava?"
"Apa yang belum cukup?"
"Aku dan Juniar. Keberadaan kita ... apa masih kurang untukmu?" Si gadis mendongak sejenak melihat ekspresi Nava yang masih datar-datar saja sebelum melanjut dengan hati-hati, "Lalu dengan hadiah yang Tuhan kasih. Apa itu masih kurang?"
Navarendra tampak diam untuk beberapa saat. Mengambil jeda untuk berpikir dan memilah kata agar tak menimbulkan sebuah perdebatan di sana, "Cukup. Semuanya sudah cukup."
"Lalu kenapa masih merasa sedih?"
"Entah," si pemuda mengedikkan bahu dengan tatapan kosong masih menatap si oranye yang cantik, "mungkin karena semuanya masih terlalu kacau."
Ara tahu bahwa dia tidak akan pernah mengerti betapa sesaknya ada di dalam posisi Nava. Namun hanya membayangkannya saja, ia barangkali sudah stress terlebih dulu dan kehilangan kontrol atas dirinya. Alih-alih begitu, menemukan Navarendra yang masih duduk nyata di dekatnya, di pelukannya, dengan sisa-sisa kewarasan yang masih dipertahankan dalam kepala. Ara tidak bisa untuk tidak berhenti merapal syukur karena kekasihnya masih bertahan hingga detik ini.
"Aku nggak bohong kalau bilang sama kalian aku bahagia. Aku merasa nyaman dan lebih hidup. Seolah apa yang selama ini aku cari sudah berhasil aku dapatkan. Dengan kalian selalu ada, itu bikin aku merasa lebih baik," Nava mengambil jeda sesaat untuk melepas satu tarikan napas, "Tapi aku juga sesak di saat yang sama. Saat aku tau bahwa bahagia dan nyaman yang aku rasakan sama kalian, itu semua hanya bersifat sementara. Dan pada nyatanya, aku harus terima kenyataan bahwa hidupku nggak sebaik itu. Rumah yang kupikir bisa menjadi tempat pulang ternyaman sudah hancur. Lebur tanpa sisa bahwa aku nggak bisa untuk menyelamatkan apapun, Ra. Orang-orang yang ku pikir bisa sayang sama aku, justru buat aku kecewa. Sementara masa-masa muda yang kalian alami, itu semua serasa mimpi buat aku."
Ara membiarkan Nava bercerita panjang lebar. Memperlihatkan sisi lemahnya hanya di hadapan Ara seorang. Berkeluh kesah dan membagi bebannnya. Seperti janji mereka setelah perdebatan besar beberapa minggu yang lalu, kejujuran adalah hal yang paling penting dalam sebuah hubungan. Dan baik Nava maupun Ara sedang mencoba untuk melakukannya.
"Setidaknya, aku masih bersyukur bahwa aku masih punya kamu dan Juniar sebagai tempat untuk aku pulang."
Setelah itu keheningan terjadi dan keduanya memilih untuk menikmati mentari yang perlahan menghilang sampai meninggalkan sisa-sisa jingga di langitnya. Dengan isi kepala yang masih sama rumitnya, Nava perlahan bangkit dan menuntun Ara melakukan hal serupa. Membersihkan sisa-sisa pasir di pakaian. Kemudian dengan tangan yang masih bertaut, keduanya memutuskan untuk segera pulang.
Namun tak mau membuat suasana hanya hening dengan sayup-sayup suara ombak di belakang mereka, Nava tiba-tiba saja kembali melanjutkan pembicaraan mereka beberapa saat yang lalu.
"Aku harap kamu nggak akan merasakan hal yang sama kayak aku," katanya dengan nada yang paling serius yang pernah Nava tunjukkan untuknya, "kalaupun kamu merasakannya, aku hanya bisa berharap kamu sanggup melalui itu semua."
"Perasaan semacam apa?" tanya Ara. Ia tidak bermaksud menjadi perempuan bodoh yang tak memahami ucapan dari lelaki pintar yang tak lain adalah kekasihnya itu. Hanya saja, Navarendra terlalu rumit dengan semua hal yang berkaitan dengannya. Pun perasaan pemuda tersebut yang Ara yakin tidak hanya satu rasa saja yang ia bawa kemana-kemana. Ada beragam perasaan yang bisa Ara nilai selama ia menjadi kekasih Navarendra dan sejatinya saat ini dia hanya butuh sebuah validasi.
"Perasaan semacam ... merasa bahagia adalah sebuah formalitas dan nggak ada hal lain yang bisa dilakukan selain membuat diri sendiri terlihat baik-baik saja."
Itu miris. Tentu saja. Ara mendadak merasa menjadi orang yang luar biasa payah karena tidak tahu harus bertindak apa mendapati orang yang dia cintai berkata semacam itu padanya. Navarendra tidaklah menjadi lelaki pemaksa yang menuntut ini-itu padanya. Dia tetap menjadi lelaki yang memperlakukan Ara dengan teramat baik. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Ara hanyalah tetap ada di samping pria tersebut, menjadi orang pertama yang hadir saat Nava membutuhkannya, serta orang yang akan selalu cerewet dengan rentetan omelan jika Nava bertindak seenaknya tanpa memikirkan baik-buruknya untuk dirinya sendiri.
"Nava," panggil Ara lirih. Si pemuda menoleh dan berdeham dengan suara berat yang mengalun lembut di telinga Ara.
Ara di sana, memberikan seulas senyum terbaiknya. Mempertontonkan lesung pipi yang hanya satu di pipi kanannya. Dengan tautan tangan yang saling berayun, gadis tersebut berkata cukup lirih. Mengesampingkan sejenak rasa malu yang menjalar dan pipi yang merona sempurna. Tiga kata yang terdengar indah di telinga Nava.
"Aku sayang kamu."
Si pemuda membalas senyuman itu tidak kalah hangat. Satu tangannya yang bebas terangkat guna membelai puncak kepala Ara, satu hal favorit Ara yang kerap Nava lakukan padanya dan membuat perutnya geli dengan jantung yang berdebar menggila.
"Aku juga," katanya yakin, "aku janji akan selalu sayang sama kamu, dan memastikan bahwa kamu satu-satunya perempuan yang nerima perasaan ini."
***
Jika harus dijabarkan perubahan apa yang terjadi pada seseorang yang kini tengah duduk di hadapannya, maka Juniar akan membuat secangkir teh sebelum memulai ceritanya karena sudah pasti akan memakan waktu yang cukup lama. Namun mengesampingkan banyaknya perubahan dalam diri Ara semenjak kehilangannya empat tahun silam. Satu hal yang terlihat cukup jelas adalah bagaimana cara gadis cantik tersebut memandang setiap individu di sekitarnya.
Sudah nyaris sepuluh tahun mereka bersama dan bisa dibilang Juniar adalah sosok yang paling mengenal Ara selain gadis itu sendiri. Menghabiskan masa remaja mereka dan tumbuh bersama. Bahkan masih diingat pemuda tersebut saat Ara menangis di dalam kelas diam-diam dan bersikeras tidak mau bangkit dari tempat duduknya. Dia hanya merengek meminta Juniar memanggil teman perempuan yang lain untuk mengurus Ara, yang membuat Juniar kelimpungan setengah mati dan hampir saja menumpahkan seluruh amarahnya jika dia tidak tahu bahwa saat itu adalah hari di mana Ara mengalami datang bulan pertamanya.
Atau jika ditelisik kembali, ketika Ara tidak sengaja menangkap Juniar yang tengah menonton film dewasa dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Bahkan Ara berani bertaruh bahwa Juniar tidak pernah se-serius itu saat sedang belajar. Detik itu pula Ara berteriak seperti orang kesetanan. Menyiapkan ancang-ancang untuk melarikan diri guna melaporkan tindak kriminal seorang Juniar Nabastala.
Saat itu barangkali Juniar nyaris saja didepak dari rumahnya sendiri oleh orang tuanya jika dia tidak segera menahan Ara. Membungkam mulut gadis tersebut dan menyogok akan mentraktir es krim selama seminggu.
Singkatnya, masa-masa remaja mereka bisa dibilang cukup normal seperti anak lain kebanyakan sampai menduduki bangku SMA di mana Juniar kembali bertemu dengan kawan lamanya saat di Jakarta dan memperkenalkannya kepada Ara.
Navarendra Dirgantara.
Lingkaran pertemanan semakin luas semenjak si pemuda Dirgantara tersebut ikut bergabung dan di sana Juniar bisa merasa bahwa Ara semakin lebih ekspresif dengan sifat-sifat baru yang dilihatnya. Tentu saja dengan sebuah fakta bahwa itu pertama kalinya Ara menjalin sebuah hubungan dengan Nava dan menjadi seseorang yang benar-benar diperbudak oleh cinta. Dan di sana, Juniar setidaknya bersyukur bahwa Ara mendapat balasan berupa perasaan yang serupa.
Namun mengesampingkan kepribadiannya yang beragam, hal yang sangat Juniar ingat dan khas dari sahabatnya adalah Ara yang memandang setiap individu di sekitarnya dengan sorot hangat di sana. Membawa sifat-sifat positif dalam dirinya dan seolah menebarkannya kepada sekitar.
Binar Araya Nayanika bukanlah gadis cerdas peringkat satu atau seseorang yang mewakili sekolah untuk mengikuti lomba sampai ke luar kota dengan piala yang ia bawa sebagai buah tangan. Dia hanyalah gadis biasa seperti anak-anak sekolah kebanyakan. Kecerdasan yang masih tergolong normal, jabatan di organisasi yang hanya sebagai anggota, beberapa guru yang mengenalnya. Dia tidak terlalu mencolok. Kendati dari pada itu, Ara cukup ramah sampai mempunyai banyak cakupan kenalan dan relasi di sekitar.
"Kayaknya Tuhan nggak mau aku untuk jadi perempuan biasa ya, Jun? Di balik aku yang kelihatan normal seperti orang kebanyakan, ternyata kisah hidupku nggak bisa untuk nggak biasa saja. Sejujurnya, kalau bisa aku juga ingin mengalami patah hati yang normal dan biasa seperti pikiran orang.
"Cinta sepihak, friendzone, putus, nggak direstui orang tua. Kayaknya semua penyebab patah hati itu terdengar lebih baik, dari pada orang yang kamu cinta setengah mati pergi untuk selamanya dengan alasan yang nggak kalah pahit, dan penyebab meninggal yang terdengar miris."
Didekapnya Araya di pelukannya. Membiarkan gadis tersebut menangis sesenggukan sampai membasahi jaket yang ia kenakan. Juniar tidak akan menampik bahwa ucapan gadis tersebut terdengar cukup menyedihkan di telinganya. Ia mengepalkan tangan sekuat tenaga. Menahan diri untuk tidak menyemburkan seluruh emosinya di saat Ara di hadapannya, juga terlihat luar biasa kacau.
Juniar tahu semenjak mendengar sebuah fakta bahwa alasan Navarendra pindah dari Jakarta ke Yogyakarta adalah perceraian orang tuanya, semuanya tidak akan kembali sama seperti dulu. Seluruh penjabaran bertajuk kata 'baik-baik saja' mendadak lenyap dari lingkaran persahabatan mereka. Karena setelahnya, layaknya sebuah pembuka, masalah itu seolah mengundang masalah-masalah lainnya untuk berdatangan.
Sekalipun dia tahu benar apa yang sebenarnya terjadi, Juniar sadar diri bahwa sesungguhnya orang yang paling mengenal Navarendra Dirgantara luar-dalam adalah Binar Araya Nayanika. Jadi, melihat gadis tersebut terluka cukup parah dengan trauma yang tak kunjung reda, Juniar maklum.
"Bukannya kamu sudah janji nggak bakalan begini lagi?"
Sorot mata itu kembali terlihat. Setelah sekian lama Juniar berusaha untuk mengembalikan kehangatan dari dua iris indah Ara yang syukurnya membuahkan hasil. Perlahan seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit sosok Ara yang dulu mulai kembali padanya. Sosok Ara remaja yang sangat ia rindu. Gadis yang mudah sekali tertawa hanya karena hal-hal kecil di sekitar dan kehangatan yang kerap ia lemparkan pada dunia melalui netra cokelat miliknya.
Mendadak itu semua lenyap dalam semalam dan Juniar tidak bisa untuk tidak mengutuk Sena dalam hati manakala hanya kekosongan yang ia lihat dari tatapan lurus di sampingnya.
"Maaf aku lagi-lagi melanggar janji, Juniar," Ara berkata lirih dengan nada datarnya. Setelah tadi pagi kembali menangis dalam pelukan sahabat yang merangkap sebagai keluarga jauhnya, hal yang bisa Juniar lakukan hanya membawa Ara menuju sebuah kafe dan membelikannya es krim kesukaan Ara di sana.
Tentunya setelah memaksa gadis tersebut membersihkan diri sekalipun dengan mata bengkak dan memerah karena kulit putihnya masih tampak jelas.
Bukan berarti Juniar enggan memberikan petuah atau nasehat. Karena sejujurnya, jika dikumpulkan seluruh nasehat yang Juniar berikan selama empat tahun ini, sepertinya ia bisa membuat buku yang bisa diperjual belikan untuk menambah uang sakunya.
Dan Juniar yakin Ara sudah teramat hafal setiap rentetan kata yang berjudul "tips move on dan berhenti menangis" ala Juniar Nabastala.
Jadi semakin kesini, hal yang bisa Juniar lakukan hanyalah tetap menjadi seseorang yang ada jika Ara membutuhkannya, sebelum berakhir membelikan makanan kesukaan gadis tersebut agar perasaannya membaik.
"Lagian si Sena itu juga ngapain sih pakai nembak aku segala," tiba-tiba saja Ara melayangkan protesnya. Bibir maju dengan tangan yang menghentak mangkuk es krim di hadapannya, "Belum juga kita dekat selama dua bulan. Sudah main sosor saja. Pedekate dulu, lah. Atau apa gitu. Aku kan kaget."
Ara mencoba membela dirinya dan Juniar hanya mengangguk menimpal. Mengambil satu kentang goreng di hadapan mereka dan terus menjadi pendengar yang baik.
"Tapi nggak salah juga sih Sena. Dia kan cuma cari kesempatan. Daripada kamu diambil orang lain. Sama aku misalnya."
Ara mendelik galak. Suasana terdengar lebih santai dan dalam hati Juniar bernapas lega karena tidak harus direpotkan dengan rengekan sahabatnya itu.
"Itu sih maumu. Nggak puas ya sama satu cewek saja?"
"Ya kan namanya kesempatan. Selagi masih ada jalan," Juniar mengedikkan bahunya berkata kelewat santai.
"Tapi jalani saja dulu, Sena juga kelihatan baik. Om-om kaya banyak duit. Ganteng pula. Dih, hebat banget kamu sudah punya sugar daddy, Ra."
Ara sontak merasa geli. Ia bergidik serasa punggungnya baru saja dilemparkan ulat bulu. Mendadak merasa luar biasa aneh mendengar ungkapan Juniar.
"Kamu buat aku kelihatan jadi cewek genit, padahal nyatanya aku ini setia lho. Tingkat kesetiaan aku ini nggak main-main."
"Iya, sampai hampir lima tahun saja nggak move on. Padahal cowok banyak."
"Nggak bisa," Ara mendesah frustasi, "sekalipun mau nyoba, aku masih merasa kalau hatiku ya punyanya Nava."
"Sadar. Nava sudah nggak ada. Hatimu bukan milik siapa-siapa lagi."
Menggeleng singkat, gadis tersebut melipat tangannya di pinggir meja. Menatap Juniar seksama seraya berkata dengan raut pusingnya, "Aku cuma nggak tau harus bersikap gimana. Maksudku ... aku cuma―"
"Kamu cuma belum siap untuk menjalani hubungan baru saat hatimu masih luar biasa kacau begitu. Belum lagi hal-hal yang buat kamu takut kalau kamu akan ambil langkah yang salah. Aku paham."
Ara bernapas lega saat Juniar bisa menyimpulkan hal yang ia rasakan, namun tak bisa disuarakan. Atau justru barangkali dia saja yang tidak pandai merangkai kata untuk mewakili perasaannya.
Mendadak perbincangan mereka meluas ke topik-topik yang berbeda dan Juniar bersyukur Ara sudah bisa diajak tertawa kendati suara tawanya terdengar sumbang dan tidak ada bagus-bagusnya sama sekali.
Selepas membicarakan sedikit tentang Sena, Juniar membawa pembicaraan itu menuju ranah lainnya. Mengingat ia tidak bisa untuk terus-terusan membiarkan Ara tampak kacau dengan masa lalu yang kembali diingatnya. Biar bagaimana pun, mereka sudah berjanji akan terus melangkah maju dan tidak terus-terusan berlarut dalam kesedihan.
Obrolan panjang itu terpaksa harus berakhir saat Juniar mendadak mendapatkan info dari dosen pembimbingnya, yang berakhir mereka membuat janji temu di kampus untuk melakukan konsultasi terkait skripsi yang tengah digarap si Nabastala. Jadi, mencoba untuk tidak semakin merepotkan, Ara memutuskan untuk segera kembali diantar pulang dan jika dipikir-pikir dia juga harus menyelesaikan power point dari proposalnya.
Membiarkan Juniar membayar di kasir, Ara memutuskan untuk keluar terlebih dahulu dan menunggu seraya bersandar di mobil sembari memainkan ponselnya. Namun, baru saja dia hendak membuka tombol kunci. Tindakan itu terpaksa harus ditunda manakala suara tak asing tiba-tiba menyapanya.
"Ara?"
Mendadak Ara merasa luar biasa malu dan ia ingin sekali segera menyembunyikan diri di lubang terdalam saat mendapati presensi Senarai di hadapannya dengan ekspresi aneh yang ia lihat. Jangan lupakan sekilas sorot khawatir dan iba yang ia tunjukkan pada Ara.
Oh, tentu saja. Dengan wajah yang tanpa make up dan mata bengkak serta memerah. Siapa saja pasti tahu bahwa gadis tersebut baru saja selesai menangis heboh semalaman.
"Ara, kamu baik-baik saja?"
Tersenyum canggung dan tertawa hambar. Ara hanya bisa memberikan itu pada Sena sebelum mengangguk pelan. Diam-diam merutuk di dalam hati, ingin segera enyah dari keadaan ini. Atau mungkin saja dari pria di hadapannya. Setelah berhasil membuat perasaan Ara menjadi kacau semalaman, biar bagaimana pun gadis tersebut butuh istirahat.
Jadi, manakala melihat eksistensi Juniar yang baru saja keluar dari kafe. Ara akhirnya membalas pelan, tidak mau kembali berurusan dengan Sena dan segera mengingatkan dirinya untuk membentuk tembok besar sebagai pembatas bagi mereka seperti yang selalu Ara lakukan pada orang lain sebelumnya.
"Saya baik, Mas," jawab Ara pelan. Belum sempat Sena kembali berkata untuk sekadar basa-basi. Ara seolah tidak memberi kesempatan itu saat dia terang-terangan menggandeng tangan Juniar. Menutup kesempatan siapapun untuk berbicara dan membuka topik di sana saat ia berkata tegas, "Saya pamit duluan kalau begitu."
Karena, sungguh. Ara hanya ingin menghindar dari seseorang bernama Senarai Jumantara dan tidak mau lagi berurusan dengannya.
Gimana kesannya sudah ketemu panjang lebar sama Navarendra? Atau yang kemarin juga sudah kenalan sama si Narajengga? Gimana gimana? Boleh dong drop di sini untuk tulisin perasaan atau pesan kesan kalian untuk mereka.
Mau nulis panjang lagi tapi kasihan si Ara nanti nangis mulu.
Anyway, Sebelum pergi, jangan lupa tinggalkan feedback berupa komentar, vote, dan share cerita ini juga ke teman-teman kalian untuk bisa diajak bersemesta bersama. Follow juga instagramku @bintangsarla untuk konten-konten menarik lainnya💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top