#Redup15. Menjemput Sebuah Bahagiaa
Pastikan sudah tekan vote sebelum membaca.
Jangan lupa follow instagramku @bintangsarla untuk konten-konten menarik dan update-an cerita-ceritaku di sana.
Malam semakin beranjak kendati riuhnya Yogyakarta seolah enggan mereda. Ara menatap kosong jalanan luar yang masih dipenuhi kendaraan orang-orang yang tengah berakhir pekan. Di bangku belakang, Jingga sudah terlelap sejak tadi selepas mereka bermain bersama ke taman dan berbelanja kebutuhan bulanan. Sementara Sena tak juga berniat membuka pembicaraan apapun. Bahkan suara radio yang sejak awal dinyalakan, dimatikan begitu saja oleh si Jumantara.
Permasalahan yang kemarin mereka hadapi tidaklah main-main. Ara tentu tahu itu tergolong besar dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Agaknya, diam dan bertindak menjadi pihak yang tidak peduli adalah hal yang paling aman untuk dia lakukan. Ara harus tetap menjaga batas. Lagipula, dia masih mempunyai rencana hidup yang panjang, mimpi-mimpi yang harus ia raih, dan janjinya kepada Navarendra yang harus ia tepati.
Bahwa ia akan hidup baik-baik saja.
"Canggung sekali, ya?"
Ara tidak menggubris itu. Ucapan Sena yang akhirnya terdengar setelah semalam mereka hanya saling mendiamkan. Berakhir Ara yang diantar pulang dan si Jumantara yang mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Singkatnya, mereka terjebak dalam keheningan sampai pagi ini saat tiba-tiba Sena mengajaknya keluar.
"Ara, saya minta maaf sudah melibatkan kamu. Semalam itu spontan dan hanya itu yang ada di pikiran saya."
Ara masih diam dan memandang ke luar jendela.
"Ara ... kamu marah?" menyadari tak ada jawaban, Sena melepas satu napasnya seraya berujar frustasi, "Tentu saja kamu marah. Bodoh sekali saya tanya seperti itu."
"Saya nggak mau hidup saya yang tenang-tenang saja mendadak harus terganggu gara-gara Mas, ya."
Sena menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berwarna merah. Ia gunakan itu untuk melihat Ara dengan seksama, "Kamu nggak perlu khawatir. Kita nggak akan ketemu mereka lagi."
"Siapa yang bisa jamin?" Ara kini menoleh. Menatap Sena sengit dengan kilatan amarah yang ia tunjukkan terang-terangan, "Mas tahu sendiri kalau Mba Luna itu ibunya Jingga. Dia sudah ketemu sama Jingga dan tentu saja ... dia akan sering mengunjungi anaknya."
Belum sempat Sena membalas, Ara membalas secepat kilat, "Dan Mas, justru seenaknya bilang kalau saya kekasihnya Mas Sena. Bah! Bagus sekali! Kenapa nggak sekalian bilang saja kalau saya istrinya?" Ara menahan teriakannya saat ia tahu ada buntalan yang tengah terlelap di belakang.
"Sebenarnya ... saya juga mau bilang begitu awalnya."
"Masih sanggup ngelawan?" Ara mendelik, mobil kini sudah melaju perlahan saat lampu lalu lintas berganti, Sena mengatup bibir rapat. Tidak benar-benar berani melawan ucapan Ara mengetahui gadis itu benar-benar marah saat ini. Pun ia tidak tahu apa yang membuatnya merasa ciut, padahal ia bisa membalikkan keadaan. Namun tak dapat dipungkiri bahwa sisi hatinya yang lain merasa gemas dengan amarah dan wajah memerah gadis di sampingnya itu.
Lantas Sena menghela napasnya, "Kamu tenang saja. Saya nggak bakalan biarin dia ketemu anak saya. Enak saja, dia. Setelah ninggalin Jingga seenaknya, tiba-tiba mau diambil kembali. Dia pikir anak saya itu barang?"
Ara memijat pelipisnya. Pusing, pening, "Tapi tetap saja Mba Luna itu ibunya. Jingga juga berhak tau siapa ibunya. Bukannya beberapa kali Jingga juga singgung ibunya dia?"
Sebentar, kenapa ini rasanya seperti Ara yang tengah ikut campur? Dia yang sadar akan kecerobohannya seketika menutup mulut rapat-rapat. Benar, dia harusnya tidak terlibat terlalu jauh dan tetap membatasi diri terhadap sekitar. Seperti biasanya. Bukannya justru memberikan saran kepada Sena yang kini tengah sibuk melihat jalan di sekitar.
"Sudah saya bilang semalam," si pria berdeham sejenak, "kalaupun ada yang pantas menjadi ibunya, ya kamu orangnya."
"Sinting," Ara mengumpat Sena terang-terangan. Dilipatnya tangan depan dada seraya melihat keluar jendela.
"Kayaknya besok-besok saya harus ajari kamu supaya bisa bicara lebih sopan lagi sama saya, Ara."
"Ya Mas seenaknya, sih," sahut Ara galak, "nanti kalau pacarnya Mas Sena tau, gimana? Makin ribet masalahnya."
"Saya masih single."
"Lalu urusannya sama saya apa?"
"Biar kamu nggak salah paham."
"Nggak mau tau juga."
Sena melepas satu tarikan napas frustasi. Berurusan dengan bocah memang sedikit menyulitkan. Kenapa pula dia harus tertarik dengan seorang gadis yang memiliki selisih umur cukup jauh darinya itu?
"Ya sudah. Supaya kamu nggak cemburu kalau gitu," sahut Sena kelewat santai.
"Mas Sena!" Ara mendelik. Dia sedang marah dan bisa-bisanya Sena menanggapi itu semua dengan kelewat santai. Namun menyadari Jingga tengah beringsut tak nyaman di belakang akibat teriakannya barusan, Ara kembali menutup rapat mulutnya.
Mobil berhenti tepat di halaman rumahnya. Menghentikan sejenak perdebatan mereka berdua dan Sena keluar untuk menggendong serta memindahkan Jingga ke dalam kamarnya. Ara pun mengekor di belakang dengan beberapa barang belanjaan mereka yang diletakkannya di atas meja makan. Sembari menunggu Sena kembali, ia menaruh bahan-bahan makanan dan jajanan ringan di dalam kulkas.
"Buatkan saya kopi, Ra."
Ara mengangguk, lekas menyiapkan kopi sesuai permintaan Sena. Tak butuh waktu lama sampai ia menyuguhkan secangkir kopi di hadapan pria tersebut.
"Duduk dulu," pinta Sena, dan Ara yang awalnya bingung pun segera menurut. Sebelum itu, ia mengeluarkan satu botol teh dingin yang tadi dibelinya bersama Sena di supermarket untuk menyegarkan tenggorokan. Menyadari bahwa si pria hendak menyampaikan sesuatu.
Sena sejenak melihat gadis muda di depannya. Ara tampak luar biasa santai berbanding dengan Senarai yang tengah gugup luar biasa. Ia menyembunyikannya cukup baik di balik sikap tenang yang sejak tadi ditampakkan.
"Soal yang semalam," ucap Sena sebagai pembuka, "nggak usah terlalu dipikirkan. Kalaupun Kaluna datang untuk ambil Jingga kembali, itu akan jadi urusan saya."
Mendadak Ara merutuk dalam hati. Ia tampak iba dengan ekspresi Sena yang memelas itu. Lantas si gadis menghela napasnya pasrah, "Ya sudah. Yang penting saya nggak harus ngelakuin yang macam-macam saja."
Sebagai seseorang yang gemar membaca novel, Ara tentunya tahu sebuah plot cerita di mana seorang gadis berpura-pura menjalin hubungan dengan lelaki, sebelum mereka saling terbiasa dan kemudian jatuh cinta lalu berakhir bersama. Membayangkannya saja membuat Ara merinding sendiri.
Bukan berarti dia merendahkan Sena. Hanya saja, selepas kejadian di masa lalu yang membuat ia harus menata hati bertahun-tahun lamanya, mendadak Ara hanya menginginkan sebuah kisah romansa yang sederhana untuk di hidupnya. Sedangkan Sena? Mengingat betapa peliknya permasalahan lelaki itu, Ara harus berpikir dua kali untuk terlibat lebih jauh.
Ara hanya tidak mau menyulitkan hidupnya.
"Tapi terkait hubungan kita yang saya tegaskan ke Kaluna," Sena mendadak kembali bersuara dan Ara merasa tidak enak di saat yang sama. Firasatnya memburuk. Si Jumantara menatapnya sebelum melanjut lugas, "Saya juga ingin mencari bahagia untuk diri saya sendiri, Araya. Terkait itu, tidak bisa kamu pikirkan?"
Ara mematung dan pegangannya pada botol minumannya seketika mengerat. Ditatapnya Sena dengan pandangan horornya bersamaan dengan sebuah tanya yang meluncur lirih, "A-apa yang harus saya pikirkan?"
"Kamu sebagai kekasih saya," tegas Sena. Ia masih tampak tenang kendati berusaha menutupi kegugupannya sejak tadi.
Melihat ekspresi Ara yang terlihat pucat karena terlalu terkejut itu, Sena terkekeh gemas. Ia menyesap sejenak kopinya, "Saya sudah hidup selama tiga puluh satu tahun, Ara. Dan selama ini saya terlalu fokus sama hidup orang lain. Biar bagaimana pun, saya juga manusia. Sesekali saya merasa harus mencari hal lain yang bisa buat saya bahagia. Dan ... saya juga butuh pendamping."
Sekali lagi, Ara tak sanggup berkata. Jantungnya mendadak menggila dengan napas yang berat.
"Saya tau ini mendadak dan kamu pasti kaget sekali. Kamu tidak harus menjawabnya sekarang. Tapi saya harap, kamu bisa memikirkannya lagi."
Selepas itu, Sena bangkit dari duduknya. Meninggalkan Ara di meja makan yang masih terdiam selayaknya orang tolol dengan seluruh kejadian yang masih ia cerna dengan baik dalam otaknya.
Yang dia dengar barusan, tidak salah, kan? Jadi ... Senarai benar-benar menyukainya?
Melupakan sejenak eksistensi Ara di ruang makan, Sena duduk di pinggir ranjang seraya memegang bingkai foto yang memperlihatkan dia dengan Narajengga di sana. Si bungsu dengan mata bulatnya yang tengah tersenyum lebar sampai membentuk kerutan di sekitar mata, memperlihatkan sepasang gigi kelincinya yang masih tampak menggemaskan hingga ia dewasa.
"Kamu dari dulu selalu mementingkan kebahagiaan orang lain, Mas. Sekali-kali lah senangin diri sendiri dulu," begitu ucap Narajengga yang tengah sok dewasa menasehati Sena. Dirinya kini tengah menimang Jingga dengan satu botol susu formula yang tengah dikonsumsi anak semata wayangnya itu.
"Ya sudah, nanti aku kalau pergi makan-makan nggak usah ajak kamu." Sena menyahut ringan. Ia tengah mengecek beberapa pesan yang masuk di ponselnya sembari menyeruput kopi hangat pagi itu.
"Lho itu beda lagi ceritanya," Narajengga protes tidak terima, dengan badan yang masih mengayun agar si putri yang tengah berada dalam gendongan itu tertidur, dia lekas menyahut kembali, "cari sesuatu yang bisa bikin kamu senang. Yang bisa bikin kamu ketawa lepas. Sumpah, deh, Mas Sena tuh sudah macam robot aja. Hidupnya lurus-lurus saja, gitu. Nggak bosan?"
Sena melirik tajam, "Aku bersyukur hidup lurus-lurus begini, dari pada kamu yang banyak beloknya," sindirnya keras, ditambah dengan ia yang melirik kepada Jingga kecil seolah mempertegas ucapannya barusan.
Narajengga tidak tampak tersinggung. Ia hanya menyengir sebelum meletakkan botol kosong di atas meja dan kembali menepuk bokong Jingga sembari mengayunkan tubuh untuk menidurkan si kecil, "Iya, hidupku memang sudah sampai belokan tajam. Tapi si putri kecil ini bukanlah sebuah kesalahan. Dia bahagiaku," katanya. Dan Sena berani bersumpah bagaimana Narajengga menatap Jingga dengan sorot ketulusan yang kentara jelas sebelum pemuda tersebut membubuhi kecupan singkat di dahi si kecil.
"Makanya, Mas," berkata sekali lagi, Jengga menatap Senarai dengan senyum yang sampai membuat dua matanya menyipit, "Kamu juga harus menemukan alasan bahagiamu. Sama seperti aku."
Sekali lagi, diusapnya wajah tampan si bungsu melalui bingkai tersebut. Setelah sepenggal memori usang terpanggil di benaknya, Sena menggumam lirih bersama dengan senyum tipisnya di sana.
"Mas sudah melakukan hal yang benar kan, Jengga?"
Prinsipnya Narajengga, pokoknya kalau dia bahagia, Sena juga harus bahagia. Kakak-Adek harus sehati yaa.
Gimana kalau kalian sama adik atau kakak kaliann?
Anyway jangan lupa tinggalin feedback berupa vote dan komentar kalian di cerita ini. Follow wattpad dan instagramku dengan nama akun yang sama dan share cerita ini ke teman-teman kalian yang lain ☺☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top