#Redup14. Rumah Untuk Dua Jingga

Pastikan sudah tekan vote sebelum membaca.

Jangan lupa follow instagramku @bintangsarla untuk konten-konten menarik dan update-an cerita-ceritaku di sana.



Bunyi perputaran kunci menemani sepi Sena malam itu. Suara kenop pintu dan deritan pintu menyambangi setelahnya. Dua tungkai jenjangnya melangkah masuk. Menyalakan penerang dan mengambil tempat di pinggir ranjang seraya meluaskan pandangan memenuhi penjuru ruangan.

Dua netra cokelat itu memaku pada lemari kayu yang tak jauh berada darinya. Dengan berat hati, langkah gontai itu memangkas jarak demi jarak sampai pada akhirnya bunyi derit pintu lemari terbuka dan Sena bisa melihat lipatan-lipatan baju rapi di dalamnya.

Aroma khas pewangi pakaian langsung merebak dan seketika mengingatkan Sena pada seseorang yang kerap ia rindukan sewaktu-waktu. Narajengga, si bungsu yang sejak lama pergi membumi. Meninggalkan sisa-sisa kenangan tentang dirinya yang sesekali menyiksa batin Sena.

Satu kaos kebesaran berwarna hitam ditariknya. Salah satu baju kesukaan Jengga yang seringkali digunakan lelaki tersebut. Di dekap erat pakaian itu oleh Sena dan dihirup dalam-dalam aromanya. Seluruh rindunya tertumpah di sana dan Sena hanya membayangkan ia sedang merengkuh si bungsu yang sejak dulu sering kali bergantung padanya.

Ingatan Sena mendadak berputar kepada waktu-waktu lalu. Tidak bisa ditampik bahwa kejadian beberapa jam lalu sanggup membuat seluruh pertahanan Sena runtuh seketika hanya karena memandangi wajah si wanita. Bohong jika sebuah rindu itu tidak singgah sesaat. Bohong jika rasa cinta yang pernah ada itu sudah sepenuhnya pergi. Bohong jika rasa sesal itu tidak hadir manakala melihat seseorang yang dulu ia kasihi menangis karenanya. Bohong jika Sena tidak juga merasa sakit saat di detik yang sama ia juga menyakiti gadis tersebut. Belum lagi melihat bagaimana cincin yang tersemat di jari lentiknya dan tangan yang merengkuh si kekasih membuat Sena kembali patah hati untuk yang kedua kalinya.

Dada Sena masih berdetak kencang. Semakin lama terasa semakin sakit sampai-sampai ia melenguh dan menekan keras di sana.

Tidak boleh, Sena. Tidak boleh menangis lagi. Cukup ditahan saja semua sakitnya. Kamu anak pertama. Kamu punya tanggung jawab yang paling besar dan kamu tidak boleh lemah. Kamu harus kuat.

Sena terus merapal kata yang serupa. Berharap rasa seperti ditusuk itu enyah dari sana. Keadaannya sudah membaik satu tahun belakangan ini. Susah payah Sena bangun hatinya agar lekas sembuh dan meminimalisir tangis lantaran ia harus menjadi seorang pribadi yang kuat, pikirnya. Bagaimana pun Sena adalah anak pertama dan sejak awal selalu diberikan asupan nasehat semacam; "Anak pertama harus kuat dan melindungi adik-adiknya" dan "Anak lelaki tidak boleh lemah dan cengeng". Dia adalah tulang punggung keluarga dan bagi Sena haram baginya mencecap air mata di saat keluarganya yang lain merasa hancur di saat yang sama.

Pun manakala si bungsu mendadak hadir dengan air mata tumpah ruah membasahi wajahnya. Bersujud di kaki Ibu dan Bapak dengan rapalan maaf yang berulang. Wajahnya babak belur dengan darah mengalir dari hidung dan luka lecet di sudut bibirnya. Lebam biru di sekitar mata dan tulang pipi. Serta rasa nyeri dan sesak akibat tendangan di perutnya. Namun, masih dengan sisa-sia tenaganya, Narajengga tetap memosisikan diri bersujud di hadapan orang tua mereka. Berucap penuh penyesalan dengan bahu bergetar hebat dan isakan semakin parah.

Belum lagi saat melihat tatapan kosong sang ibu yang terduduk tak jauh dari mereka. Membiarkan bapak menghajar Jengga membabi buta tanpa memedulikan ribuan kata maaf dan tangisan bayi yang menggema memenuhi rumah.

"Maafin Jengga, Pak. Jengga khilaf. Ini semua salah Jengga. Jengga nggak bisa nahan diri. Jengga salah."

Bapak terlihat lelah lantaran napasnya yang memburu. Matanya masih menampakkan kilat amarah dengan teramat jelas meninggalkan gurat-gurat merah di sana. Ia menatap lurus kepala anaknya yang masih menyatu dengan marmer dingin rumah mereka. Berkata kelewat dingin setelah bentakan, teriakan, dan cacian yang sejak tadi ditelan bulat-bulat oleh Narajengga.

"Kalau kamu mau merusak hidup, Narajengga. Setidaknya rusak saja hidupmu sendiri. Jangan bawa-bawa orang lain. Kamu sudah rusak hidup gadis itu."

"Iya, Jengga tau. Ini semua salah Jengga. Jengga juga yang sudah hancurkan hidup Kaluna."

"Menikahlah kalian."

Jengga menggeleng cepat. Sangat teramat cepat langsung menolak mentah-mentah, "Tidak bisa, Pak. Jengga sudah hancurkan hidupnya. Jengga ... hanya tidak bisa kembali hancurkan mimpi-mimpinya. Tidak apa-apa jika Jengga yang harus menanggung semuanya. Ini semua salah Jengga. Kaluna dan Jingga tidak ada hubungannya di sini."

"Laki-laki macam apa kamu tidak mau tanggung jawab, Narajengga! Bapak tidak pernah ajarkan kamu menjadi lelaki bajingan dan tidak bertanggung jawab!"

"Justru itu!" Narajengga berteriak setengah frustasi, ia bangkit masih dengan posisi berlutut. Mendongak dan menatap wajah sang ayah penuh harap, "Biarkan Jengga bertanggung jawab dengan merawat Jingga dan memenuhi semua kebutuhannya. Biarkan Jengga merawat Jingga dengan baik, Pak. Dia ... putriku." Tangan Narajengga terkepal kuat dengan suara tercekat dan nada mirisnya.

"Otakmu dimana Jengga!" Bapak kembali berseru marah, "Lalu kamu kemanakan gadis itu? Kamu mau telantarkan dia? Kamu mau buang dia setelah kamu nikmati? Apa kata orang lain jika tau anak itu sudah hamil diluar nikah tanpa suami?"

Tangan Jengga semakin mengepal erat. Dilihatnya anak semata wayang yang kini tengah di dekap erat dan ditenangkan kakak sulungnya, Senarai, dan kini fokusnya kembali pada sang ayah. Menatap lelaki yang sangat ia hormati dengan sorot penuh pengharapan.

"Sampai kapan pun ... Jengga akan cinta sama Kaluna, Pak," Jengga menelan ludah susah payah, "dan ... keluarga Kaluna memutuskan untuk menyerahkan Jingga sepenuhnya pada Jengga. Mereka melakukan segala macam cara untuk menutupi fakta ini. Bahwa Kaluna pernah melahirkan seorang anak di luar pernikahan."

Bapak mengerang frustasi. Menjambak rambutnya sendiri dan setelah itu suara berisik terdengar dan sebuah vas besar tiba-tiba pecah dan berserakan.

Jengga cepat-cepat mengejar ayahnya. Kembali menempatkan posisi di hadapan sang ayah dan kembali bersujud. Memohon dengan teramat sangat di sisa-sisa harapan terakhirnya.

"Tolong, Pak," pintanya menahan tangis, "Jengga tidak mau semakin merusak dan menghancurkan mimpi-mimpinya. Biarlah dia terbang setinggi mungkin dengan semua mimpi-mimpi yang ia perjuangkan. Tidak apa-apa jika Jengga yang harus menanggung semuanya seorang diri. Bapak dan Ibu tidak perlu memberikan bantuan sepeser pun. Jengga akan berusaha sendiri. Hany aini bentuk tanggung jawab yang bisa Jengga berikan. Jengga hanya berharap ... tolong anggap Jingga sebagai cucu kalian dan jangan buang putriku. Demi Tuhan, Pak. Jengga tidak sanggup jika melihat Jingga yang harus di buang untuk kedua kalinya."

Di tatapnya lurus sebuah kepala yang tengah menunduk tepat di depan kakinya. Narajengga masih menahan posisinya. Berharap untuk diberikan satu saja kesempatan terakhir bagi sang putri agar setidaknya bisa merasakan sebuah keluarga seperti anak-anak normal kebanyakan. Narajengga akan tetap mempertahankan itu semua, untuk kebahagiaan putri kecilnya.

Namun mendadak, sebuah sepatu rumah berwarna putih yang diketahui milik sang ibu mendadak berada di hadapannya. Narajengga spontan mendongak perlahan dan melihat raut dingin ibunya menunduk menatapnya. Setelah sejak tadi tak bersuara dan hanya membiarkan ia dihajar sampai babak belur, mendadak wanita paruh baya tersebut berkata dengan nada datarnya.

"Pergi. Di rumah ini, kami hanya punya satu anak, Senarai Jumantara."

Narajengga total membeku. Mendadak seluruh badannya seolah malfungsi dan mata rusa itu membulat sempurna.

"I-ibu-"

Namun belum saja selesai ucapannya. Mendadak si wanita melangkah lebar menuju tempat Sena berdiri sembari menggendong putri kecil Narajengga. Direbutnya kasar bayi tersebut dalam pelukan Sena dan diberikannya tidak kalah kasar kepada Jengga. Mengabaikan suara tangisan yang sekali lagi terdengar memenuhi setiap sudut rumah.

"Ibu, tapi-"

"Pergi, Jengga. Jangan pernah berpikir untuk kembali ke sini. Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita. Kamu sudah merusak semua harapan kita. Kamu ... benar-benar membuat Ibu dan Bapakmu kecewa."

Narajengga menggeleng heboh. Dia secara otomatis mengeratkan pelukannya pada sang putri, "Setidaknya beri kami kesempatan, Bu, Pak. Jengga janji akan merawat Jingga dengan baik. Dia tidak akan jadi anak yang nakal dan menyusahkan kalian. Kalian tidak perlu membiayai kami. Hanya cukup akui Jingga sebagai cucu-"

"Kami hanya punya seorang anak," Ibu memotong dan mengambil alih pembicaraan. Membuat Jengga tak berani melawan dari suara dingin ibunya, "Dan cucu yang nantinya akan kami akui, hanyalah anak hasil dari pernikahan Sena dengan istrinya."

Narajengga merasa dadanya sakit di detik itu juga. Paru-paru yang mendadak kosong tanpa pasokan udara yang mengisi. Hatinya yang seolah digilas dan diinjak-injak sampai hancur lebur. Cengkramannya pada selimut putih yang kini membungkus tubuh putrinya mengerat. Dua netra cokelatnya menatap bergantian dua pasang mata yang tengah menghakimi dirinya. Mendadak ia meringis dan menertawakan hidup menyedihkannya di dalam hati. Mengetahui dari makna tatapan mata kedua orang tuanya, dia tidak punya kesempatan lagi.

Ditatapnya wajah mungil Jingga yang tengah mengeliat tak nyaman dengan tangis yang juga tak kunjung redam. Ia menoleh ke kanan, tempat di mana Sena berdiri tanpa bisa melakukan apapun. Kakak sulungnya juga menatapnya dengan sorot kecewa yang sangat kentara di selingi sebuah rasa kasihan di dalamnya. Untuk sekali lagi, Narajengga meringis pilu.

Benarkah ia sudah tidak benar-benar mempunyai tempat untuk kembali pulang?

Lantas melihat wajah putrinya sekali lagi, ia mengangguk. Bangkit dari duduknya dan menahan seluruh sakit di sekujur tubuh. Ia mengambil juga sebuah tas jinjing berisi beberapa pasang pakaian dan susu milik putrinya di dalam sana. Lantas setelahnya, dengan susah payah dan Jingga yang tengah di dekapannya. Narajengga menunduk penuh penghormatan dengan tangis yang mati-matian ia tahan.

"Terimakasih sudah merawat Jengga selama ini. Maafkan semua kesalahan Jengga yang sudah buat Bapak dan Ibu kecewa besar. Jengga janji akan hidup lebih baik. Jengga akan selalu doakan Bapak dan Ibu untuk selalu sehat. Jengga pamit. Selamat ... tinggal."

Dengan punggung Jengga yang semakin mengecil sebelum menghilang ditelan pintu. Sena bisa menyimpulkan bahwa adiknya tersebut sudah benar-benar pergi. Maniknya bergulir melihat ibu yang kini menjerit keras dan bersimpuh, tak sanggup menahan diri untuk berdiri terlalu lama. Menangis dengan heboh dan terus menyalahkan dirinya karena tidak bisa merawat Jengga menjadi laki-laki yang baik. Merasa gagal sampai-sampai tak hentinya memukul dan menjambak rambutnya sendiri. Bapak yang berada di sisinya, segera menahan Ibu dan mendekap wanitanya tersebut seerat mungkin. Mengelus punggung ibu dengan penuh sabar sesekali mengecup puncak kepalanya. Menenangkannya.

Sena menahan getir dalam dirinya dan ia masih mematung tanpa melakukan apapun. Mendadak, ia menatap dua lengannya bergantian. Seolah kembali merasakan betapa hangatnya bayi kecil yang tadi ia gendong dan tampak nyaman di pelukannya.

"Pergi, Jengga. Jangan pernah berpikir untuk kembali ke sini."

Mendadak jantung Senarai berdetak cepat. Pergi? Dia mencerna dengan cepat seluruh kejadian tadi di dalam kepalanya. Menyadari sebuah fakta bahwa satu anggota telah benar-benar meninggalkan keluarga ini dan fakta lain yang tak kalah menyakitkan-

-Narajengga yang sudah tidak lagi memiliki rumah untuknya pulang.

Tidak. Jengga bukanlah Sena yang kuat dan bisa bertahan seorang diri. Sekalipun ia lelaki, Sena tahu sekali tabiat adiknya yang masih sering meminta pertolongan dan bergantung pada semua orang di rumah. Biar bagaimana pun, dia si bungsu kesayangan ibu dan bapak. Seseorang yang dimanja dan dilimpahi kasih sayang. Narajengga biar bagaimana pun keras kepalanya berkata akan berusaha seorang diri, dia tetap saja akan sangat kesulitan dalam menghadapi semua itu dengan keadaan benar-benar sendirian.

Maka mengabaikan sejenak jeritan tangis ibu dan kalimat bapak yang menenangkan. Sena melangkahkan kakinya dengan cepat. Berlari kesetanan tanpa memedulikan tatapan heran orang tuanya. Kepalanya menoleh ke segala penjuru arah, dan mendadak ia bisa bernapas lega saat presensi Narajengga belum pergi jauh dari rumah mereka.

Lekas berlari menghampiri si bungsu. Dengan napas terengah dan menghalangi jalannya. Narajengga yang total dibuat bingung akan kehadiran kakaknya secara tiba-tiba itu kembali membulatkan matanya. Namun, belum sempat ia mengudarakan sebuah tanya, Sena lebih dulu berbicara.

"Ibu dan Bapak mungkin bisa saja mengusir kamu dari rumah," ia berkata putus-putus di sela napasnya yang memburu, "tapi di sini aku nggak kelakuin hal yang sama."

Si sulung tersenyum, meraih tas jinjing yang tengah di bawa adiknya dengan susah payah itu. Satu jemari Sena mengelus pipi halus keponakannya sebelum ia memberi tepukan singkat di punggung Narajengga.

"Jangan keluyuran lagi, Jengga. Nanti putrimu bisa sakit. Ayo ... kita pulang."

Jangan lupa tinggalin feedback berupa vote dan komentar kalian di cerita ini.  Follow wattpad dan instagramku dengan nama akun yang sama dan share cerita ini ke teman-teman kalian yang lain ☺☺

Sampai jumpa dengan dua bersaudara ini di bab-bab berikutnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top