#Redup11. Ibu dan Anak Kucing
Pastikan sudah tekan vote sebelum membaca.
Jangan lupa follow instagramku @bintangsarla untuk konten-konten menarik dan update-an cerita-ceritaku di sana.
Hari Sabtu Ara masih harus menyibukkan diri untuk mendatangi tempat kerjanya. Di mana lagi kalau bukan menuju rumah Bapak Sena yang terhormat. Pagi tadi, dia baru saja dikabari bahwa lelaki itu akan ada di rumah menemani si kesayangan Jingga. Ara mau tidak mau merasa gelisah. Mendadak panik entah sebab apa.
Dia bahkan dengan sulit memilih baju yang hendak ia kenakan. Padahal pekerjaannya hanya mengasuh anak kecil. Dan biasanya hanya sebatas kaos dan celana kain saja itu sudah lebih dari cukup. Namun kali ini, manakala informasi Sena akan tetap di rumah, mendadak ia menjadi orang tolol yang memilih baju saja tidak bisa.
"Pakai baju warna pink itu, Ra. Habis itu bawahnya pakai rok. Terus rambutmu dilerai. Jangan lupa pakai make up tipis-tipis."
Ara merotasikan matanya. Ia memandang ganas Juniar yang kini tengah menempati pinggir ranjang, berkata asal tanpa melepas pandang dari game di ponselnya.
"Aku mau kerja, Jun. Bukan malam mingguan."
"Tapi rupa-rupamu sudah macam cewek yang mau diajak malam mingguan." Juniar berkata acuh. Mendadak ia mengumpat yang Ara bisa menyimpulkan bahwa lelaki itu sudah kalah.
Melempar asal ponselnya, Juniar merebahkan diri di ranjang milik Ara. Tampak luar biasa bosan, "Lagipula, kenapa aku harus ikut-ikutan, sih? Kalau bukan atas dasar titah Bapak Andri yang terhormat, aku ogah mau antar-jemput kamu."
"Ya mau gimana lagi, Jun? Kita sudah terikat. Ini takdir, dan kita harus menerimanya." Ara berucap dramatis yang mengundang lagak geli Juniar yang menatap Ara jijik.
"Ikatan kita cuma teman yang nggak sengaja merangkap jadi keluarga."
"Keluarga jauh, Jun," koreksi Ara. Ya, Ara sendiri sampai sekarang tidak begitu menyangka bahwa teman yang dulu ia ajak bermain semenjak SMP ternyata keluarga jauh yang diperkenalkan Papanya dulu saat acara kumpul keluarga besar.
Ia tentu tidak akan lupa dengan Juniar Nabastala yang hadir bersama orang tua dan satu adik perempuannya. Seseorang yang teramat jarang hadir di acara keluarga lantaran menghabiskan waktu cukup lama di ibukota. Tak memiliki kesempatan pulang, sehingga manakala ia pindah ke Yogyakarta, barulah Ara berhasil mengenalnya.
Singkatnya, mereka terhitung sepupu dua atau tiga? Atau barangkali hubungan paman dan keponakan? Entahlah, Ara tidak ingat betul. Intinya mereka tergolong keluarga jauh.
Jadi itulah sebabnya kenapa orang tua Ara sangat mempercayakan putri semata wayang mereka di tangan Juniar.
Pada akhirnya gadis tersebut meraih asal jaket berwarna biru navy untuk dipadukan dengan celana hitamnya. Mengumpulkan setiap helai rambutnya untuk dia kucir kuda dan membubuhi riasan tipis di wajah. Ara tak lupa meraih tas selempangnya dan lekas memberikan tanda pada Juniar bahwa ia telah selesai.
"Ujung-ujungnya pakai gaya kayak biasa," cibir Juniar.
"Nggak mau di julid-in sama kamu soalnya. Awal tahun biasanya udaranya dingin. Makanya aku pakai jaket. Sudah ayo, berangkat."
***
Di beranda rumahnya, Sena tidak bisa untuk tidak mengulas senyum manakala melihat si putri kesayangan sejak tadi bermain di halaman. Sore itu cuaca sedang cerah-cerahnya. Dan Jingga menghabiskan waktu bersama Ara. Katanya bosan karena sejak tadi bermain dengan Papa.
Gadis kecil tersebut berjongkok di hadapan Ara dengan sebuah kardus yang berada di antara mereka. Kardus yang Jingga minta buru-buru tadi. Melangkah cepat dengan tungkai pendeknya menghampiri Sena yang tengah sibuk membuat kudapan ringan di dapur. Ia menarik ujung baju Sena dengan napas terengah dan ekspresi luar biasa panik.
"Papa! Carikan kardus! Untuk tempat mommy kucing lahiran!"
Dan setelah membongkar gudangnya, Sena menemukan satu kardus bekas air mineral yang awalnya tempat ia menaruh buku-buku lama. Demi si semata wayang agar ia tidak merajuk. Setidaknya, itu lebih baik daripada Jingga kembali meminta memelihara kucing.
Jadi Sena hanya bisa melihat raut penasaran anaknya yang memerhatikan setiap tindakan Ara yang kelewat hati-hati. Mata bulat itu mengerjap polos dengan sorot kaingintahuan yang cukup tinggi. Pipi gembilnya membuat Sena gemas dalam hati. Dan reflek si pria mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen anaknya di sana.
"Mba Ra kenapa ditutup?" Jingga protes tidak terima saat Ara menutup kardus tersebut setelah menempatkan kucing berperut besar di dalamnya. Alisnya menukik tajam dengan suara yang dinaikkan.
"Harus ditutup dong, Jingga. Nanti mommy kucingnya malu soalnya dilihatin."
"Tapi Jingga mau lihat mommy lahiran."
"Jingga doakan saja supaya mommy kucingnya bisa lahiran terus bayinya sehat-sehat." Sena yang penasaran mulai datang menghampiri keduanya. Turut duduk di tangga teras bersama Jingga dan Ara.
Manakala Jingga hendak melayangkan protes sekali lagi, gadis itu terpaksa harus menjeda sejenak saat suara erangan dan pekikan kucing di dalam kardus terdengar cukup jelas. Si kecil melotot dengan mata membulat sempurna. Terkesiap dan menghampiri Sena untuk langsung memeluk dan duduk di pangkuannya.
"Tuh, kan. Mommy kucing lagi berjuang. Sakit sekali. Jingga doakan supaya bayi-bayi kucingnya sehat," Ara menasehati. Dia duduk teramat tenang di samping Sena seraya menjawil hidung Jingga meledek.
"Mba Ara, memang melahirkan sakit, ya? Kucingnya sampai teriak-teriak."
"Jelas. Sakit sekali, lho. Memangnya Jingga tega melihat kucingnya kesakitan begitu."
Jingga tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk, "Nggak tega, Mba Ara. Pasti kelihatan sakit sekali."
"Kasihan, tidak?"
Jingga mengangguk polos.
"Nah, kucingnya juga malu nanti kalau dilihat sedang menangis. Kan kasihan."
"Mba Ara pernah melahirkan?"
Sena tak bisa menahan tawanya yang spontan menyembur begitu saja. Sedang Ara melongo mendapati pertanyaan polos dari buntalan menggemaskan di hadapannya. Si kecil yang tidak paham apa-apa hanya menatap polos dua orang dewasa di dekatnya bergantian. Bingung karena mendapati dua ekspresi yang saling berbanding terbalik.
"Belum, lah."
"Terus kenapa Mba Ara bisa tau kalau melahirkan itu sakit?"
"Mba kan perempuan."
"Jingga kan juga perempuan."
"Makanya Mba kasih tau, biar Jingga bisa tau."
"Kenapa nggak melahirkan?"
"Karena Mba belum menikah, Jingga."
"Oh, jadi harus menikah dulu, ya?"
"Iya, anak pintar."
"Kalau gitu, nikah sama Papa saja biar bisa melahirkan."
Ara spontan menghentikan perdebatan mereka sore itu dan mendadak dua bibirnya terkatup rapat. Kehabisan pasokan kata sedangkan di dekatnya, Sena berdeham melepas kecanggungan. Buru-buru tidak mau membuat suasana semakin tidak karuan, kendati mereka tidak benar-benar hening karena masih ada suara rengekan kucing yang tengah melahirkan bayi-bayinya, Ara lekas menyahut asal.
"Memangnya kenapa sih mau Mba Ara cepat-cepat melahirkan?"
Jingga nampak berpikir, "Supaya bisa lihat bayi-bayi lucu. Jingga pengin punya adik!"
Memangnya buat adik semudah itu apa?
Menyadari ekspresi Ara yang cukup menggelikan bagi Sena, ia akhirnya membantu gadis tersebut berbicara. Sekalipun menertawakan ekspresi Ara agaknya hal yang cukup menghibur untuknya. Belum lagi melihat ekspresi salah tingkah dan malu-malu gadis tersebut.
"Kan sebentar lagi mau punya adik kecil dari tante Mika. Jingga mau jadi kakak, lho. Bisa main sama adik kalau tante Mika sudah lahiran," katanya sabar.
"Oh, iya. Jingga lupa sebentar lagi mau punya adik. Kira-kira bayinya tante Mika bisa dibawa pulang nggak, Pa."
"Nggak boleh," Sena menjawab santai.
Jingga tidak terima, "Kenapa?"
"Karena itu artinya Jingga culik adik bayi dari om Aksa sama tante Mika."
"Yah, nggak seru." Si kecil kembali merajuk dengan bahu yang merosot.
Namun beberapa saat setelahnya, Jingga kembali membawa senyum di wajahnya. Ekspresinya kelewat girang manakala Ara yang tengah mengecek keadaan si ibu kucing berkata bahwa bayi-bayinya telah lahir.
"Wah! Papa! Kucingnya untuk Jingga, boleh?"
Dan sekali lagi Sena menggeleng, "Jangan, Jingga. Nanti ibu kucingnya marah kalau diambil anaknya."
"Satu saja. Ya? Ya?"
Sena masih berusaha sabar. Ia menatap putrinya hangat, "Begini, kalau misalnya Jingga dipisahkan dari Papa. Sedih, nggak? Misalnya Jingga dibawa sama tante Aksa dan om Mika dari Papa dan Jingga nggak boleh ketemu Papa lagi."
Si kecil nampak berpikir seraya memilin jemarinya, "Sedih," katanya lirih.
Sena tersenyum, "Nah, begitu juga sama kucing-kucingnya. Meskipun Jingga ambil satu, tapi dia tetap anaknya ibu kucing. Ibu kucingnya kan pasti sayang sama anak-anaknya. Nanti dia pasti sedih karena anaknya harus pergi."
"Kalau Papa?"
"Hm?" Sena menggumam tak paham.
Ara yang sedang melihat kucing-kucing yang baru lahir tersebut hanya bisa mendengarkan percakapan ayah dan anak di hadapannya. Dia tidak berani ikut campur terlalu jauh. Lagipula, ini adalah saat-saat krusial di mana Sena tengah menasehati buah hatinya.
"Papa sedih juga nggak kalau Jingga di bawa pergi?"
Tanpa pikir panjang, Sena menjawab lugas, "Tentu saja sedih dong! Jingga kan anak Papa."
Namun di sisi lain, jawaban dari Sena bukannya membuat senang justru membawa ekspresi keruh di wajah putrinya. Jingga mendadak menunduk dengan bibir bawahnya yang ia gigit. Manakala Sena hendak bertanya, si kecil tiba-tiba saja berucap lirih. Melayangkan protes dan isi hatinya yang jarang ia perlihatkan.
"Mommy kucing saja sedih anak-anaknya diambil pergi. Lalu ... kira-kira Bunda sedih nggak ya, Pa? Karena pisah sama Jingga?"
Di detik itu, Ara spontan bungkam. Ia lantas menunduk, berpura-pura mencari kegiatan lain yang tentu saja itu terlihat sangat amat payah dan tak ada gunanya. Setidaknya itu lebih baik daripada ia harus melihat ekspresi wajah Sena yang langsung menegang sepersekian sekon yang langsung diubahnya seketika dengan sepasang senyum hangat di wajahnya.
Keluarga ini, sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka?
Atau ... mungkin saja-
-sehancur apa keluarga mereka?
Dan belum sempat reda rasa terkejut dalam diri Ara. Sena mendadak menambahi dengan kalimat yang tidak kalah membingungkannya.
"Dibandingkan Bunda, gimana kalau besok kita jenguk ayah?"
Baiklah, Ara. Kamu hanya harus duduk diam tanpa boleh tahu apapun. Jangan bertanya dan jangan penasaran. Mengingat betapa rumitnya silsilah keluarga di hadapannya, Ara bisa menyimpulkan bahwa masalah yang mereka hadapi, atau barangkali Sena hadapi tidak kalah rumitnya. Dan Ara tidak mau mengambil resiko dengan ikut campur itu semua. Ini di luar ranahnya.
Menyadari suasana yang semakin canggung. Gadis tersebut bangkit mengibas celananya dari debu. Ia berdeham sejenak, "Saya mau buat minuman dingin dulu, Mas."
Namun belum sempat ia beranjak dari sana. Bahkan belum selangkah menjauh, sebuah tangan mencekalnya, "Mas?"
Sena melirik sebentar Jingga di dekatnya, menyadari bahwa si kecil sudah tidak lagi merajuk dan asyik dengan kucing-kucing yang ia ajak bicara sejak tadi, Sena pun akhirnya lega karena bisa berbincang sejenak dengan Ara di hadapannya.
"Kamu pasti penasaran sekali ya sama keluarga kita?"
Ara tidak mengerti, "Kenapa tiba-tiba bahas ke sana."
Menuntun Ara untuk duduk di kursi berandanya, si pria Jumantara tersebut kembali menyahut, "Maaf kalau saya tiba-tiba buat kamu nggak nyaman. Bahkan kamu harus dengar percakapan kami barusan.
"Ah, itu," Ara tersenyum lirih. Menunduk sesaat guna melepas satu tarikan napasnya, ia memasang senyum seraya melanjut tenang, "Nggak perlu dipikirkan. Lagipula itu bukan urusan saya. Hubungan kita sebatas bos dan karyawannya, Mas. Jadi, saya nggak punya hak apapun untuk ikut campur urusan pribadinya Mas Sena."
Alih-alih mendapati ekspresi serius, Ara justru mengernyit heran manakala Sena yang mendadak tersenyum. Satu sudut bibirnya tertarik dan ia menatap Ara seksama, "Sudah saya duga. Kamu berbeda, Araya."
Tolong, bisa tidak sih Sena memanggil Ara biasa saja? Karena sejujurnya, Ara semakin merasa gugup dan berdebar hanya karena dipanggil berbeda seperti ini.
"Beda seperti apa?"
Sena menyeruput sebentar kopinya sebelum melanjut kelewat santai, "Sebelum kamu, banyak perempuan yang mendekati saya. Repot-repot mereka sampai berusaha menarik hati Jingga hanya untuk dekat dengan saya. Nggak jarang satu-dua kali mereka berusaha ikut campur dan berusaha nyari tau urusan pribadi saya. Alasan klise, mau mengenal saya lebih dalam."
Sebenarnya itu tidak mengejutkan. Mengingat bagaimana Sena yang terlihat gagah dan rupawan. Belum lagi jika mengingat nominal uang di rekening miliknya yang sudah pasti tidak sedikit dilihat dari kehidupan lelaki tersebut. Dan jangan lupakan auranya yang dewasa dengan pemikiran cerdas. Wanita mana yang tidak jatuh hati dengan pesona Senarai Jumantara?
"Tapi, Ra," Sena mendadak menyondongkan badan untuk melihat Ara lebih dekat. Yang di sana, Ara semakin sulit bernapas dan secara otomatis menahan napasnya.
Si Jumantara tersenyum penuh arti, "Saya perhatikan, kamu justru satu-satunya perempuan yang menghindar dengan apapun yang menjadi urusan saya ataupun Jingga. Wah kamu semakin buat saya penasaran."
"Pe-penasaran?"
Sena mengangguk, "Iya. Kayaknya sekarang saya sedang kena karma, deh."
Baiklah pembicaraan ini semakin tidak karuan.
"Karma?"
"Iya," melepas satu tawa kecilnya seraya menatap Ara dengan sorot hangatnya. Sena semakin membuat jantung si gadis berdetak tak karuan manakala ia melanjutkan ucapannya.
"Kalau dulu, perempuan-perempuan itu yang mau mengenal saya lebih dalam. Tapi sekarang, justru saya yang ingin mengenal kamu lebih jauh."
Tuhan, tolong selamatkan Ara dari situasi seperti ini.
Jangan pergi dulu!
Sebelumnya aku mau bilang maaf lahir batin dan minal aidin wal faidzin. Barangkali ada salah kata dan perbuatanku yang buat kalian marah atau tersinggung mohon dimaafkan yaa.
Aku mau bilang makasih karena kalian sudah menemani REDUP sampai saat ini dan vote komen kalian benar2 jadi penyemangat buat aku. Meskipun nggak seberapa karena yaa, sudah 6 tahun semenjak aku pergi dari wattpad sebelum kembali lagi dan aku tentunya sadar ada banyak pembacaku yg pergi.
Untuk kalian yg masih menetap ataupun baru membaca kembali karya2ku, untuk itu aku mau ucapin banyak banget makasihh 💜💜 semoga kalian sehat selalu dan tetap diberi kemudahan untuk segala urusannya.
"Maaf lahir dan batin"
— Sena dan Jingga
ANYWAYY!! SPOILER UNTUK PART SELANJUTNYA
Bab 12: Ruang Temu Rasa
Udah itu aja nggak usah banyak-banyak spoiler. Ada yang bisa tebak dia siapa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top