#Redup10. Kotak Ingatan Sena
Pastikan sudah tekan vote sebelum membaca.
Jangan lupa follow instagramku @bintangsarla untuk konten-konten menarik dan update-an cerita-ceritaku di sana.
Sepanjang 31 tahun hidupnya, Senarai Jumantara berpikir bahwa dia tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu bersenang-senang. Mungkin saja pernah, itu pun dulu. Dulu sekali sampai Sena harus kembali mengorek ingatannya saat dia masih usia belasan. Pun teramat jarang. Si pria bersurai hitam itu sudah hidup lurus sejak dulu. Menjadi anak baik nan penurut kebanggaan orang tuanya. Belajar dan belajar menjadi makanan sehari-hari, hari libur digunakan untuk mengasah hobi dan kegiatan ekstrakurikuler.
Singkatnya, hidup pria itu cukup kaku dan memang terdengar membosankan.
Namun manakala malaikat kecilnya hadir, sosok bermata bambi dengan senyum menawannya. Sena menampik segala steriotip mengenai hidupnya yang teramat datar dan cenderung membosankan. Kendati di balik itu semua si pria Jumantara tersebut agaknya jarang merasa kekurangan lantaran nominal uang di tabungannya yang tidak sedikit.
Semua orang menyukai senja, bukan?
Ah, tentu saja. Si oranye melankolis yang kerap disandingkan dengan segala hal-hal sendu terkait cinta, perpisahan, atau hanya sekadar menikmati indahnya ia kala pergi menuju peraduannya dan menyisakan luasnya magenta di bumantara sana.
Sama seperti orang lain kebanyakan. Sena begitu menyukai senja. Namun makna dari senja yang sedikit berbeda.
Ya, si senja semata wayang yang sejak kecil selalu ditimangnya tanpa mengeluh dan tanpa sesal. Jingga kesayangan Sena yang sudah sejak kecil ia berikan limpahan kasih sayang.
Hadirnya Jingga sanggup mengubah hidup Sena. Pria yang sejak lama merasa kosong. Tanpa ada sebuah semangat untuk dan hidup dan hanya membiarkan semuanya berjalan dengan semestinya. Mendadak merasa menjadi seorang pria dengan tanggung jawab dan sebuah mimpi yang langsung terbentuk saat pertama kalinya ia menyandang gelar 'Papa' untuk putri kesayangannya itu.
Apalagi? Kalau bukan kebahagiaan Jingga sebagai mimpi terbesarnya.
Senyum Jingga adalah kebahagiaan sekaligus ketenangan dalam hidup Sena, dan sebaliknya. Tangis sekaligus luka gadis kecilnya juga merupakan siksaan terbesar yang dipikul oleh Senarai.
Jadi, manakala dua netranya menangkap jelas bagaimana Jingga tengah berada di pangkuan Ara, duduk di beranda selagi tangan kecilnya melambai dan senyumnya yang merekah, Sena yang baru saja pulang kerja tidak bisa untuk tidak membalas senyum putri kecilnya. Seolah segala lelah yang ia rasa pergi begitu saja dan hanya dengan senyum sederhana itu, Jingga berhasil membagi banyak kebahagiaan dari tubuh kecilnya.
Di belakang Jingga, Ara turut memasang senyum yang serupa. Gadis itu sesekali mengecup pipi gembil Jingga mengundang kegelian dari putri kecilnya yang lalu terkikik.
"Princess!" Sena sigap mengangkat Jingga yang kini tengah berada di gendongannya. Dua tangan kecil gadis itu melingkar di leher Sena dengan kaki yang melingkar di pinggang Papanya.
"Papa, Jingga kangen!" rengeknya merajuk. Jingga menenggelamkan wajahnya di pundak Sena yang mengundang kekehan dari pria tersebut.
"Lho kan sudah ketemu Papa. Kita ketemu setiap hari, lho. Masa sudah kangen, sih."
Sena memasuki rumahnya diikuti Ara yang mengekor di belakang. Lelaki tersebut berjalan menuju ruang makan untuk mengambil air. Dan pandangannya disuguhkan dengan meja makan yang sudah penuh makanan di sana.
"Jingga nggak mau tidur dari tadi, Mas. Katanya mau nungguin Mas pulang. Jadi, saya ajak main di depan." Ara menyerahkan satu gelas air mineral saat tahu pria dihadapannya tengah kepayahan dengan Jingga yang enggan beranjak dari gendongannya.
"Iya? Maafin Papa ya, Jingga. Papa sibuk akhir-akhir ini. Jingga jadi anak baik, kan selama nggak ada Papa?"
Jingga mengangguk. Ia berkata lirih, "Jingga main rumah-rumahan sama Mba Ara tadi sore."
Sena melihat ruang keluarganya yang tampak berantakan dengan tenda mainan dan selimut yang tergelar, belum lagi bantal-bantal yang berserakan dan meja kaca yang disingkirkan.
Menyadari arah pandang Sena, Ara meringis.
"Nanti saya bersihkan, Mas.Tadi belum sempat. Soalnya keburu masak makan malam."
Sena melempar senyum, "Nggak apa-apa," irisnya melirik jam dinding, "lagian waktumu juga masih satu jam lagi."
"Mau makan, Mas?"
Sena melihat lauk pauk yang tersaji di mejanya, "Boleh, deh."
Mendengar majikannya tersebut, Ara sigap membawa piring yang sudah berisi nasi. Ia sudah hafal porsi makan pria tersebut lantaran sesekali memerhatikan Sena. Mengambil gelas dan meletakkan air di sisi piring lantas berniat mengambil Jingga yang masih menempelkan pipi di bahu pria tersebut.
"Ayo, Sayang. Papa mau makan dulu. Sama Mba Ara, ya?"
Jingga melirik Ara. Ia memalingkan wajah pertanda tak mau. Dan Ara lantas kebingungan. Ia tidak bohong jika melihat Sena yang tampak sedikit kepayahan makan sembari memangku Jingga.
"Nggak apa-apa, Araya. Dia lagi kangen saya. Kamu duduk tenang saja. Sudah makan?"
"Su-sudah."
Araya? Astaga, panggilan apalagi ini. Seumur-umur Ara tidak pernah mendapat panggilan selengkap itu. Terkecuali dari ibunya jika dia tidak kunjung menyahut. Normalnya orang hanya akan memanggil Ara atau hanya sekadar Ra untuk mempersingkat.
Ara yang tengah berlutut seraya membujuk Jingga, mendadak merasa luar biasa tolol manakala tidak bisa untuk sekadar mengeluarkan sepatah kata. Badannya seolah membeku dengan tenggorokan yang tercekat. Tolonglah, ini hanyalah Sena yang memanggilnya sedikit berbeda dari yang lain. Jangan membodohi diri sendiri.
Ara menggelengkan kepala pelan menyadarkan dirinya. Ia melihat Sena dari samping tanpa melepas pandangannya. Lelaki itu masih makan dengan teramat tenang, dan di sana Ara bersyukur lantaran itu artinya hanya dia seorang yang bisa merasakan dan mendengar degupan jantung yang memburu.
"Masakanmu enak, Ra. Kamu pintar masak juga."
"M-makasih," berkata dengan nada gugup yang kentara. Ara merutuk diri diam-diam dan segera bangkit. Ia tidak mau mempermalukan dirinya lebih-lebih, lantas bergegas bangkit seraya menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali, "Saya beresin mainnya Jingga dulu kalau begitu."
Di langkah Ara yang terdengar cepat, diam-diam Sena mengulum senyumnya. Laki-laki tersebut berusaha untuk tetap tenang dan menahan lesung pipinya yang terus mendesak untuk terlihat. Jingga masih anteng di pelukannya. Diliriknya Ara yang tengah sibuk menata kembali barang-barang di ruang keluarga.
Dan di sana hati Senarai mendadak merasa hangat. Perut yang menggeli seraya hati yang membatin.
Astaga, Ara menggemaskan sekali jika sedang salah tingkah seperti tadi.
***
Hari Sabtu.
Sena menelepon pegawai kepercayaannya dan berkata ia akan cuti hari ini, menyerahkan seluruh kafe kepada bawahannya sementara dia akan mengecek sesekali. Sudah nyaris dua minggu ia benar-benar sibuk. Selepas mengeluarkan menu baru yang kebetulan langsung menjadi favorit banyak orang, waktunya bersama si kecil tentu saja terkuras. Ia bahkan sampai lembur untuk menyelesaikan urusannya di restoran. Dan kalau sudah begitu, Sena akan meminta Ara untuk mengantarkan Jingga ke rumah Aksa saat jam kerja gadis tersebut usai, yang kemudian si pria Jumantara tersebut menjemput putri kecilnya.
Jadi di akhir pekan ini, Sena hanya ingin menghabiskan waktu dengan anaknya. Menemani Jingga bermain seharian karena ia tentu saja tahu betapa si putri kecilnya itu merindukan papanya. Sejak malam itu, Jingga enggan beranjak dan terus mengikuti Sena kemana pun ia pergi. Tidur minta ditemani, makan minta disuapi, dan meminta bermain bersama. Hal-hal sederhana yang barangkali menjadi spesial untuk semua anak kecil di umur yang sama seperti Jingga. Pun hal sederhana yang jarang Jingga minta darinya. Putri kecilnya itu jarang protes ataupun menuntut banyak hal, jadi manakala Jingga sudah sampai bermanja-manja seperti itu, berarti Sena yang sudah melewatkan banyak waktu bersama anaknya.
"Papa, kita pelihara kucing, ya?"
Sena mengalihkan pandangannya dari tablet yang sejak tadi ia pandangi layarnya. Pria tersebut mengalihkan sejenak fokus dari laporan pekerjaan yang baru saja ia terima. Netranya menangkap si kecil tengah berjongkok di hadapan kucing yang tengah menghabiskan sisa makanan mereka semalam yang sudah diwadahi Sena secara khusus di tempat makan kucing yang ia beli sebulan lalu.
Sepertinya karena terus diberikan makan, kucing tersebut enggan beranjak dari rumah Sena dan selalu berdiam di halaman rumah pria tersebut.
"Boleh asalkan Jingga yang mandikan, bersihkan bulu-bulunya yang ada di sofa, dan bersihkan kalau kucingnya buang air. Terus kalau kucingnya sakit, Jingga yang bawa ke dokter. Apalagi kalau muntah-muntah, Jingga yang bersihkan, ya."
Si kecil merengut. Alisnya bertaut dengan bibir bawah yang maju tidak terima, "Ih! Kok Jingga, sih? Kan Jingga masih kecil. Papa saja."
"Lho itu kan kucingnya Jingga. Masa Papa yang rawat."
"Karena Papa sudah besar. Rawat Jingga sekaligus tamping kucingnya, ya? Kasihan kalau hujan-hujan nggak punya rumah."
"Dia bisa pergi ke tempat lain untuk berteduh, Jingga."
"Tapi Jingga pengin pelihara kucing," gadis itu menunduk seraya menggambar pola acak di atas tanah dengan ranting yang ia ambil sembarang. Tak luput bibir yang maju membuat Sena menyimpulkan bahwa putrinya itu tengah merajuk.
Senarai meletakkan tablet miliknya. Ia menyeruput sejenak kopi hangat yang baru saja diseduh seraya menandakan Jingga untuk lekas mendekatinya.
Gontai. Si kecil melangkah ogah-ogahan menghampiri Sena yang kini menempatkan Jingga di pangkuannya.
Sena mencium gemas pipi anak semata wayangnya. Membuat Jingga bergerak tak betah sedangkan si ayah memilih abai, bedak bayi yang tebal itu pun mendadak luntur karena ciuman Sena yang tak henti.
"Cantik sekali, sih! Anak siapa dulu ini?" Sena berkata ramah seraya membelai rambut Jingga yang sudah sepinggang.
Masih mempertahankan rengutannya. Namun, toh si semata wayang tetap menjawab, "Anak Papa dan anak Ayah."
Sena mengerutkan hidungnya gemas. Kembali membubuhi sebuah kecupan di pipi gembil anaknya, "Pintar sekali, anakku."
Namun mendadak. Sepersekon setelahnya si Jumantara menyadari sesuatu.
Anak ayah, ya?
Jika diingat-ingat lagi, sudah berapa lama sih mereka bertahan seperti ini? Pasalnya, ia bukanlah sosok Papa-papa yang romantis sampai tahu baik perkembangan anaknya dan berapa lama waktu yang mereka habiskan. Senarai adalah lelaki biasa yang hanya bisa mengira. Ingatannya memang cukup baik mengingat hal-hal yang penting, seperti jumlah pemasukan kafe selama sebulan, gaji karyawan, dan hal-hal semacam itu.
Bukan berarti ia abai dengan si kecil kesayangan. Namun, setiap manusia punya batas ingatannya masing-masing, bukan? Kendati di sebuah kotak ingatan yang tetap di simpan baik olehnya, Sena mengaku bahwa sebuah nama dari seseorang yang sudah lama pergi, masih tetap ia simpan dengan baik dan ia tutup rapat-rapat untuk dinikmati seorang diri kenangannya.
"Jingga kangen ayah?" Sena membawa Jingga untuk masuk ke dalam pelukannya. Si kecil seperti biasa menempelkan pipi serta sebagian wajahnya di dada bidang Sena.
"Kangen. Setiap hari," balasnya lirih.
Sena tidak bisa untuk tidak tersenyum getir. Satu sudut hatinya seketika merasa sesak kendati hanya dilawan dengan ucapan lirih gadis tersebut. Tangan lebarnya membelai rambut panjang Jingga yang beraroma stroberi. Agaknya itu adalah sebuah pelampiasan agar ia tak begitu merasa sesak. Mati-matian, Sena menahan air mata yang mulai membendung di dua netra cokelatnya. Ia harus bertahan jika tidak ingin si kecil khawatir akan keadaan Papanya.
Sena anak sulung, ia juga sekarang merangkap menjadi seorang ayah. Luka seperti ini masih bisa ia tahan. Jadi, dengan mata terpejam dan rasa sakit dan sesak di dada yang ditahannya. Pria tersebut masih bisa untuk mematri senyum saat Jingga mendadak menciptakan jarak dan memandangnya dengan sepasang netra rusa dengan polosnya.
Lagi. Senarai menahan diri saat dua iris indah putri kecilnya mengingatkan ia dengan seseorang yang sangat ia kasihi di masa lalu.
"Beberapa minggu yang lalu Papa datang mengunjungi ayah."
"Kenapa Jingga nggak diajak?"
"Jingga harus sekolah. Lagipula, Papa hanya mampir. Kebetulan lewat."
"Tapi Jingga mau ikut," ia kembali merajuk.
Namun Sena justru memasang seulas senyum tipis. Senyum yang bahkan tidak bisa sampai mengenai kedua matanya. Dengan sabar, ia mengecup puncak kepala putrinya. Memberi ketenangan sebelum memeluk Jingga dan menepuk punggung gadis kecilnya seraya menggumam lirih.
"Nanti," katanya, "nanti kalau sudah tepat waktunya. Kita kesana. Papa janji."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top