Redup#5. Seseorang yang Dipanggil Papa
Hening sekali.
Sebenarnya, canggung untuk Ara yang sudah terbiasa hidup di tengah suasana ramai yang keluarganya miliki. Saat makan malam biasanya saat-saat di mana dia dan kakaknya berebut jatah makanan, Mama yang memarahi mereka berdua, dan Papa yang menengahi. Pun ketika bersama dengan Juniar, mereka berdua yang memiliki karakter cerewet, kendati Juniar berjenis kelamin lelaki, namun mereka sudah terbiasa untuk saling berbagi cerita. Apalagi kalau sudah jarang bertemu. Jadi kesimpulannya, makan malam yang biasanya dialami oleh Ara tidak pernah sesunyi ini.
Namun Papa dan anak yang ada di hadapannya nampak luar biasa tenang. Jingga yang sudah bisa mandiri dan menyuapkan makanannya seorang diri, Sena yang juga makan dengan teramat tenang. Hanya ada bunyi dentingan antara piring dan sendok pun garpu yang mereka pakai.
Ara mau membuka pembicaraan juga takut salah-salah bicara. Jadinya, gadis tersebut hanya menikmati ayam goreng dan sop yang dihangatkan Sena beberapa saat lalu.
"Jingga, wortelnya dimakan. Wortel itu baik untuk matamu."
Akhirnya ...
Jingga tampak merengut kesal. Mencebikkan bibir, namun toh ia tetap menjejalkan potongan wortel ke dalam suapannya, "Tapi Jingga nggak suka."
"Dibiasakan supaya suka," titah Sena. Final. Dan Jingga seperti tidak memiliki pilihan lain kecuali mengangguk kendati Ara tahu, dalam hatinya pasti si kecil tengah protes keras.
"Ah, Ara, nanti kamu pulang dengan apa? Perlu saya antar?"
Ara mengerjap sesaat. Setelah beberapa detik mencerna, gadis tersebut menggeleng cepat, "Nggak perlu, Mas. Nanti saya di jemput."
Sena mengangguk dan meneruskan kegiatannya memotong daging ayam, "Kamu ngekos? Atau ngontrak?"
"Ngontrak. Tapi ramai-ramai gitu."
Kembali Sena mengangguk.
Dan suasana kembali hening.
Ara menghela napas, padahal gadis itu luar biasa cerewetnya. Namun, ia agaknya harus terbiasa dengan keadaan yang terjadi saat ini. Belum lagi aura Sena yang terlihat luar biasa mendominasi dan Ara tidak berani melakukan apapun.
"Kamu kuliah jurusan apa Ara?" sesaat kemudian, Sena kembali bertanya.
"Sastra Inggris, Mas," jawab Ara, "kalau Mas Sena dulu kuliah jurusan apa?"
"Manajemen bisnis," jawabnya, "sampai setelah lulus, saya beraniin diri untuk buka bisnis sendiri."
Ara akhirnya mengangguk sebagai tanggapan. Makanannya sudah habis dan ia meneguk sampai tandas air minumnya. Baru saja berniat bangkit untuk membantu membersihkan, Sena justru menolak bantuannya cuma-cuma.
"Biar saya saja. Hari ini, statusmu masih tamu di rumah saya."
"Yah, jangan gitu dong, Mas. Saya kan nggak enak."
Sena tersenyum hangat, "Nggak usah sungkan, Ara. Lagipula, kamu akan sering di sini."
Ara mencebik, "Itu sih kalau Mas Sena ngizinin saya lama-lama kerja. Kalau seminggu terus saya nggak diterima, ya berarti cuma sebentar saya di sini."
Sena terkekeh, ia tengah membilas piring-piring kotor bekas makan mereka. Menoleh sejenak kepada Ara, ia lantas membalas jenaka, "Makanya, ambil hatinya Jingga dulu kalau kamu mau kerja lama-lama sama saya. Nasib kerjaanmu, ada di tangan anak saya."
"Kalau Papanya nggak ngizinin, sama saja bohong."
"Beda lah, Ara," Sena mengahut. Ia mengibaskan tangannya dan mengelap sisa-sisa air sembari melanjut, "Anak kecil itu jujur, lho. Kalau mereka suka, ya suka. Tidak suka, ya tidak suka. Berani bohong pas berbicara, tapi mereka nggak bisa sembunyikan ekspresi mereka. Jadi, saya percaya sama Jingga."
Ara menatap kagum, "Wah, Mas Sena sudah paham sekali kayaknya."
"Jelas, Ara. Saya sudah beranak satu," jawab Sena seraya menggeleng pelan. Ia sempat mengelus puncak kepala Jingga yang tengah sibuk menyantap es krim sebagai penutup malam itu.
Perhatian Ara dari dua orang tersebut teralihkan manakala bunyi ponselnya membahana memenuhi ruang makan. Ia lantas menerima telepon yang ternyata berasal dari Juniar.
"Oh, okey." Hanya satu kata tersebut, Ara lekas meraih tas punggung yang tergeletak di kursi tempatnya duduk tadi.
"Mas, saya harus pulang. Jemputan saya ada di depan."
"Oh, iya? Ya sudah kalau begitu. Jingga, berhenti makan dulu, Sayang. Ayo antar Mba Ara-nya pulang."
"Eh, Mas, nggak perlu repot-repot―"
Sena berdecak, "Sudah berapa kali kamu bilang begitu ke saya, Ara. Dan sungguh, saya sama sekali tidak merasa direpotkan." Ia berkata tegas. Dengan Jingga yang kini berada dalam gendongannya tanpa melepas es krim dari kedua tangannya.
Sementara Ara hanya menyengir dan mengangguk canggung. Tak mau memperpanjang perdebatan dan memilih mengikuti langkah Sena sampai mereka benar-benar sampai di teras rumah milik lelaki tersebut. Dan di depan sana, Juniar tengah menunggu di atas motornya.
Ara berbalik sejenak. Tersenyum hangat pada Jingga dan sedikit mencubit pipi gembil si kecil, "Besok sama Mba Ara main lagi, ya. Sekarang Mba mau pulang dulu." Setelah mendapat anggukan dari Jingga lantaran bocah tersebut masih asyik dengan es krimnya, Ara kini mendongak untuk menatap Sena secara langsung, lantaran tinggi badannya hanya sebatas pundak pria tersebut, "Saya pamit, Mas Sena."
Sena tersenyum bersahabat, "Hati-hati, Ara."
Pun setelah kepergian Ara bahkan sampai mereka bertiga saling melambai satu sama lain. Sena masih terdiam di ambang pintu, sembari sesekali mengecup gemas pipi milik anak semata wayangnya tersebut. Namun di sana, tanpa sepengetahuan Jingga karena barangkali si kecil tak paham apapun, Sena menarik salah satu sudut bibirnya sembari menggelengkan kepala pelan.
Lantas ia berujar lirih. Menggumam sendiri, "Sayang sekali, Jingga. Kayaknya, dia sudah lebih dulu punya kekasih."
***
Seperti pinta Sena beberapa saat lalu melalui pesan whatsapp-nya, Ara kini sedang bersama Jingga. Menjemput si bocah tepat waktu bahkan sebelum ia keluar dari gerbang sekolah. Jadi, manakala bel berbunyi nyaring dan segerombolan anak-anak keluar menghampiri orang tua masing-masing, Ara tersenyum lebar dengan tangan yang melambai. Memanggil nama Jingga berkali-kali sampai gadis tersebut sadar dan menghampirinya.
"Lho, bukannya Papa yang harus jemput, ya?"
Ara berjongkok guna menyamakan tinggi mereka. Ia membenarkan tatanan rambut Jingga yang sedikit berantakan sebelum mengamit tangan si kecil untuk menuntunnya ke motor yang dikendarai Ara, "Papa izin dulu, Jingga. Ada urusan di kafe. Nggak apa-apa kan pulang sama Mba Ara?"
Si kecil mengangguk, tersenyum sampai membuat pipi yang kemerahan tersebut merangkak naik, "Biasa juga dijemput sama Bibi. Papa lagi sibuk, Jingga mengerti," ucapnya.
Ara sedikit terkejut tentu saja. Karena biasanya, normalnya anak kecil akan merajuk jika yang datang bukan orang yang sejak awal dinanti. Sekalipun dalam hati ia bersyukur lantaran bocah tersebut tidak benar-benar marah dan berakhir rewel ataupun menyusahkan Ara. Bahkan gadis tersebut sudah menyimpan taktik atau hal yang ia pakai untuk menyogok Jingga jikalau dia benar-benar menangis.
Namun yang didapatinya kini justru Jingga yang melangkah ringan dengan tangan kecilnya yang melambai dan senandung lagu anak-anak yang terus ia lantunkan sampai mereka benar-benar sampai di motor milik Ara.
"Hei, mau duduk di depan atau belakang?"
Jingga tampak berpikir, "Biasa, sih Jingga duduk di belakang. Soalnya, motornya Bibi bukan seperti ini."
Barangkali motor gigi, pikir Ara. Mengingat miliknya sendiri adalah motor matic, jadi gadis tersebut tersenyum. Menunduk dan menumpukan kedua tangannya pada lutut agar wajah keduanya sejajar.
"Mau coba duduk di depan? Seru, lho."
"Boleh?"
"Boleh, lah. Siapa yang larang?"
Jingga menunduk sejenak, memainkan jemarinya, "Takutnya dimarahi Papa."
Ara melihat gadis tersebut bingung, lantas ia berjongkok agar posisinya tidak semakin sulit, "Kenapa takut dimarahi Papa? Jingga kan nggak bikin salah apa-apa."
Si kecil mengangkat dua bahunya, "Nggak tahu, soalnya Jingga nggak pernah duduk di depan. Takutnya salah-salah dan Papa marah."
Ara lantas tersenyum. Astaga, gadis ini manis sekali―dan sangat penurut. Jadi, ia mengarahkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Jingga seraya berucap sabar, "Nggak apa-apa. Tidak akan dimarahi. Nanti Mba Ara yang bilang ke Papa. Sekarang, Jingga senang-senang saja duduk di depan. Lebih bagus, lho. Bisa lihat lebih banyak pemandangan. Seru! Yakin tidak mau?"
"Mau!" Jingga tampak antusias setelah mendengar penjelasan Ara, "Tapi benar lho, ya. Mba Ara yang bilang supaya Jingga tidak dimarahi. Janji?" Bocah berpipi merah tersebut mengacungkan jari kelingkingnya.
Ara mengangguk yakin, "Janji," katanya, membalas tautan kelingking Jingga.
Sehingga, manakala mereka sudah benar-benar berada di atas motor. Dengan Jingga yang tentunya duduk di depan. Selagi tas milik bocah tersebut digantung Ara pada gantungan depan motornya. Ara tidak bisa untuk tidak menahan senyum saat suara Jingga yang sejak tadi mendominasi dan melihat seluruh hal di depannya dengan antusias. Beberapa kali memanggil Ara dan menunjuk hal-hal yang dikiranya menarik. Dan Ara menanggapi itu semua dengan sepenuh hati.
Sampai mereka berada di lampu merah. Pandangan Jingga terhenti pada sebuah mobil. Lebih tepatnya, pada beberapa orang yang berada di dalam mobil yang masih cukup terlihat di balik kaca.
Ara mengikuti arah pandang Jingga. Ia mengernyit bingung, "Kenapa, Jingga?" tanyanya.
Jingga mengerjap sesaat dan sebuah pertanyaan terlontar tiba-tiba dari bibir plum mungilnya, "Jingga sedang melihat anak kecil itu bermain sama neneknya."
Ara mengangguk. Ia tentu tahu itu karena ia juga melihatnya, "Lalu?"
Jingga menunduk sejenak. Tampak malu dengan pipi merona. Namun ia tetap berucap lirih, "Jingga juga ingin seperti dia. Ingin merasakan disayang sama nenek dan kakek."
Bunyi klakson bersahutan dan Ara baru sadar ia masih stagnan saat lampu lalu lintas telah berganti menjadi hijau. Segera ia kembali melaju, kendati tak ingin segera menyudahi pembicaraan mereka.
"Kalau Mba Ara boleh tahu, memangnya Nenek sama Kakeknya Jingga dimana? Di luar kota, ya?" tanya Ara mencoba berpikir positif.
"Tidak tahu," Jingga kembali mengangkat bahu. Kini dua telapak tangannya berada di spidometer dengan dagu yang ia tempatkan pula di sana, "Dulu, sewaktu Jingga tanya Ayah, dia juga tidak mau jawab. Jingga jadi bingung, tapi katanya Jingga masih punya kakek dan nenek. Cuma Jingga diminta sabar, katanya suatu hari nanti Jingga pasti akan bertemu mereka. Tapi sampai sekarang belum sempat bertemu."
Ara mengangguk mencoba paham, "Ya sudah, berarti Jingga harus sabar. Pasti nanti ketemu, kok. Mba Ara juga jarang ketemu sama Nenek dan Kakek. Bahkan, Mba Ara nggak pernah ketemu sama Kakek."
Atensi Jingga beralih. Ia mendongak dengan kepala yang berputar melihat Ara dari posisinya, "Benar? Kenapa nggak pernah ketemu?"
Ara tersenyum dan melirik sebentar sebelum kembali menjawab, "Karena, kakeknya Mba Ara sudah meninggal. Nah, kalau neneknya Mba Ara tinggalnya di beda provinsi. Jadi, cuma ketemu kalau liburan saja."
"Wah, kayaknya Mba Ara jauh lebih sedih, deh. Soalnya kan Mba Ara nggak akan pernah bisa ketemu sama Kakeknya Mba Ara."
Ara terkekeh. Ia menyempatkan untuk menepuk pelan puncak kepala Jingga, "Nggak apa-apa, Jingga. Makanya, Jingga sabar, ya. Ikutin apa kata Ay―maksudnya Papa."
"Ayah, Mba Ara," koreksi Jingga.
"Lho, harusnya Papa. Jingga kan manggilnya Papa."
Jingga menggeleng, "Bukan," protesnya, "Kalau Ayah ya tetap Ayah. Kalau Papa ya Papa."
Ara mengernyit bingung, "Maksudnya mereka beda orang?"
"Iya."
Wow, jawaban Jingga tentu saja membuat Ara bingung bukan main. Ayah? Papa? Apalagi ini? Kendati begitu, si gadis agaknya tidak mau berpikir terlalu panjang. Karena barangkali saja itu hanya panggilan khas anak kecil. Bukankah banyak orang-orang yang memanggil paman mereka dengan sebutan ayah, papa, bapak, dan sebagainya? Jadi, Ara hanya mengangguk mencoba paham apa yang Jingga sampaikan. Karena tentu saja, si bocah kecil tersebut tidak akan paham bagaimana cara menjelaskannya pada Ara.
Sehingga, sesaat setelah perbincangan itu. Hening cukup lama sampai mereka benar-benar sampai di rumah milik Jingga. Ara memarkirkan motornya di halaman depan dan si kecil sudah terlebih dahulu lari serta mengambil kunci rumah di bawah salah satu pot bunga milik Sena.
Ara hanya mengikuti langkah bocah tersebut. Sembari menuntun Jingga untuk menuju kamarnya dan memilih pakaian santai berbahan dingin untuk si bocah pakai siang itu.
Namun tepat saat ia mengambil satu baju kaos dan celana pendek yang tampak nyaman dipakai. Ara menunduk saat Jingga di bawahnya menarik ujung bajunya sembari tersenyum lebar dengan dua gigi seri yang masih belum tumbuh. Di tangannya kini sudah ada buku gambar.
Ara langsung paham apa yang coba disampaikan gadis mungil di hadapannya.
"Kemari, Sayang. Kita ganti baju dulu, ya?"
"Mba Ara, Mba Ara. Tadi Jingga dapat nilai bagus!" Ia melapor tepat saat Ara tengah membuka kancing seragamnya.
"Iya? Dapat berapa?" tanya Ara tak kalah antusiasnya.
Jingga yang kini tengah tersenyum lebar dengan mata bambinya yang membulat sempurna, pada akhirnya menyondorkan buku gambar yang sejak tadi dia bawa. Lantas, turut mendudukkan diri di samping Ara pada pinggiran ranjang.
"Ini gambar apa, Jingga?"
Jingga tersenyum malu-malu. Jemari pendek menggemaskannya menunjuk dan menjelaskan satu-satu, "Tadi Jingga selesai menggambar. Di suruh menggambar keluarga. Ini Papa, ini Jingga, dan ini Ayah."
Ara melihat heran. Otaknya tengah mencoba mencerna perkataan si kecil saat ia menjelaskan. Namun belum selesai sampai di sana, Jingga mendadak menunjuk sebuah gambar bulan di bukunya, "Ah, Jingga tidak bisa menggambar Mama. Jingga tidak tau wajah Mama seperti apa. Tapi, kata Ayah dan kata Papa. Mama itu cantik sekali. Seperti bulan. Cerah dan terang. Namun, terang yang menenangkan, yang enak dilihat. Tidak membuat silau seperti matahari."
Dengan otak yang masih bekerja menangkap maksud, Ara menunjuk sesosok yang digambarkan Jingga memiliki sayap berwarna putih, "Lalu, kenapa Ayah digambarkan begini?"
Jingga tersenyum polos. Namun, dari sorot matanya, Ara bisa melihat jelas bagaimana binar yang sesaat lalu hadir mendadak meredup. Menggantikan sendu, sedih yang terlihat cukup jelas dari ekspresinya, "Karena, Ayah sudah pergi. Kata Papa, Ayah sudah tidak bisa kembali bersama kita. Karena Tuhan jauh lebih sayang dan rindu dengan Ayah. Namun, Jingga tetap menggambar Ayah di samping Jingga dan Papa. Karena, kata Papa juga, Ayah tidak benar-benar pergi. Ayah akan tetap bersama kita."
Berhenti Ara. Berhenti sampai di sini.
Mendadak sesuatu dalam diri Ara spontan memberontak. Memberikan sebuah peringatan keras pada dirinya yang langsung menyadarkan Ara setelah sesaat nampak begitu penasaran cerita sebenarnya di balik gambar sederhana milik Jingga yang tengah ia banggakan.
Jangan ikut campur terlalu dalam. Jangan terlibat lebih jauh.
Ia merapalkan dua kalimat tersebut berkali-kali dalam benaknya. Mengusir jauh-jauh rasa penasaran dan menelan begitu saja seluruh pertanyaan yang hendak disuarakan. Lantas, Ara hanya bisa menampilkan ekspresi bersahabat dan cerahnya seperti biasa menghadapi Jingga. Mengelus puncak kepala gadis tersebut lalu menggantikan pakaiannya sampai seluruhnya terganti sempurna.
"Anak pintar. Mba Ara bangga sama Jingga. Gambarnya Jingga juga bagus sekali. Nanti jangan lupa cerita sama Papa, ya? Papa pasti senang. Kalau perlu,minta Papa pasangkan di dinding supaya bisa bergabung dengan gambar-gambar Jingga yang lain."
Ara bernapas lega lantaran Jingga yang mengangguk dan menurut seperti biasa. Lantas selepasnya, gadis tersebut berceloteh tentang rencananya yang akan menempel di sudut dinding bagian mana gambar bernilai apik tersebut ditempatkan. Mengabaikan atau mungkin melupakan cerita singkat dan bermakna tersirat yang tadi sempat hadir di antara mereka. Sedangkan Ara di sana, menanggapi seperti bagaimana biasanya ia menghadapi Jingga. Sembari dirinya sendiri menyibukkan diri di dapur dan menyiapkan makan siang untuk keduanya, yang tentu saja masih sempat menanggapi cerita-cerita Jingga di sekolah.
Menelan segala kegugupan dan perasaan tak menentu pada dirinya. Ara menarik napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan. Menepuk dadanya berkali-kali dan kembali memenuhi pasokan udara di paru-parunya.
Kerja bagus, Ara. Kamu hanya perlu menjadi pengasuhnya. Jangan terlibat dan ikut campur terlalu jauh. Maka kamu akan baik-baik saja.
Jangan lupa drop vote dulu sebelum beranjak yahh. Komennya jugaaa
Anyway untuk info setiap cerita2ku di wattpad, follow instagramku @bintangsarla 💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top