Red Tulip

"Hei, Mikleo. Kau tahu apa arti Tulip merah?"

. . .

Aku membuka mata. Suara nyaring jangkrik menusuk telinga. Tersadar sesaat ketika tahu aku jatuh tertidur di lantai yang banjir karena keringat setelah selesai membuat semua PR musim panas.

Keringat mengucur di seluruh tubuh hingga membasahi setengah kaos. Sengatan sinar matahari yang masuk dari luar melalui jendela membuat kamarku terasa panas dan bibirku kering. Aku dehidrasi, tapi malah memilih diam di tempat. Menatap lama langit-langit kamar berwarna coklat kayu dengan sorot kosong, memikirkan kata-kata yang terbesit di dalam mimpiku barusan.

. . . Sorey pernah menanyakan hal itu?

Aku bangkit perlahan. Mencari botol minum di atas meja dan meneguk habis isinya lalu mengelap ujung bibir yang ketetesan air.

"Arti Tulip merah, ya. . . ." gumamku.

@@

Liburan musim panas sudah selesai dan kami kembali menjalani keseharian di sekolah sebagai pelajar. Meski sebentar lagi masuk musim gugur, tapi panasnya hari ini masih membuat kulit putihku perih dan kemerahan.

Aku berdiri dibalik pagar jaring besi, di bawah bayang-bayang pohon di belakangku. Menatap Sorey yang sedang mengoper bola sepak dari kakinya ke pemain lain lalu berlari mengejar bola tersebut agar tak direbut tim lawan dan berusaha mencetak skor. Bola mataku kejar-kejaran dengan sosoknya yang berlari dengan sangat gesit di antara pemain lain.

Suara peluit mengudara, sang pelatih mengumumkan tim Sorey menang dalam latihan tanding hari ini. Ia dan teman-temannya bersorak riang lalu saling merangkul kemudian berhigh five baik timnya dan tim lawan. Mereka bertarung dengan sportif tanpa ada rasa menyesal.

Tanganku menyusup di antara pagar jaring. Fokusku hanya pada satu sosok - berambut coklat dengan manik mata berwarna hijau berkilauannya - yang bak matahari dengan senyum yang selalu membuat silau siapapun di dekatnya dan refleks membuatku harus berkedip beberapa kali karena kering pada mataku yang tak bisa lepas memandangnya.

Aku mendadak membuang muka seraya membenarkan letak kacamata. Pipi merona. Tanpa sadar aku tebuai oleh pesona sosok teman akrabku itu. Sejak kapan aku jadi terlalu memperhatikan Sorey?

"Mikleo. . . maaf membuatmu menunggu. Kau kepanasan?" Suara nyaring Sorey terdengar mendekatiku.

Aku mengangkat kepala. "Aku tidak apa-apa. Sudah selesai?" tanyaku.

Senyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi depannya yang putih menyambutku. "Sudah. Tunggu, ya. Aku ganti baju dulu." Tangannya ikut mencengkram pagar jaring tepat di samping tanganku.

Dia sengaja? Bola mataku bergulir dari tangan kami ke arahnya. Kulihat dengan jelas sorot di mata berwarna hijau seperti batu jamrud itu sedang menatapku dalam. Menilik relif wajahku dari ujung rambut hingga tulang selangka lalu berhenti saling menubrukkan pandangan. Namun entah kenapa aku merasa bola matanya sedang mencoba menyelami riak di dalam dua permata kecubung ungu milikku. Jarak wajah kami sangat dekat dan hanya terhalang pagar besi tipis. Tanpa sengaja sekilas aku berpikir, bagaimana kalau kami berciuman disini?

Deg

Aku menelan ludah. Mendadak gugup hingga hampir salah tingkah. "Jangan lama." kataku dan segera mengalihkan pandangan.

"Oke." Ia tersenyum lagi. "Tunggu aku di tempat biasa, ya." Sorey mundur beberapa langkah dengan masih menatapku lalu berbalik sambil berlari cepat menuju ruang klub. Lapangan sudah setengah kosong di saat kami sedang berbicara.

Aku mencengkram kemeja di bagian dada. Kenapa aku berdebar saat memikirkannya? Dan kenapa aku bisa-bisanya berpikiran seperti tadi?

Wajahku merah pekat dan suara jantungku berdetak begitu keras. Untungnya Sorey sudah tidak ada. Bisa saja dia mendengar suara yang sangat intense menghantam dadaku ini lalu dengan polos menempelkan telinganya di tubuhku untuk memastikan.

Mungkin hal yang lebih aneh itu. . . kenapa aku baru menyadari kalau ternyata tatapan Sorey seolah ingin memonopoliku seperti tadi. Bahkan aku tanpa sadar tertarik untuk menatap kedua bola matanya yang terbias sinar kuning matahari dan terlihat sangat cantik sekali. Kuakui, aku pun terpana melihatnya. Tapi apa yang Sorey lihat dariku hingga ia begitu dalam meninggalkan jejak tatapannya di wajahku?

Sejak kapan itu terjadi?

. . . . dan kenapa?

Tap

"Dingin!" Seruku saat sebuah botol minum menempel di pipiku dan menjauhkan wajah. Konsentrasiku buyar. Halaman novel yang sedang kubaca ditanganku hilang.

Sorey tertawa disampingku. "Mikleo terlalu fokus baca sampai tak mendengar panggilanku." katanya seraya memberikan minuman pocari yang dibelinya untukku.

Dari lapangan sepak bola, aku menunggu di dekat rak sepatu Sorey sambil membaca novel yang baru kubeli dua hari lalu. Angin sepoi-sepoi yang masuk terasa sejuk, rasanya nyaman sekali dan situasinya sangat pas dengan isi dari novel yang kubaca sampai aku terlalu fokus.

"Ya. . . . . maaf." Aku mengambil minuman tersebut dengan raut cemberut. Menyesapi sejenak dinginnya botol ditanganku yang membuat panas hari ini terasa lebih ringan. Kubuka penutup di puncak botol dan langsung menghabiskannya setengah.

"Uwah. . . Kau benar-benar dehidrasi, ya, Mikleo. Mau minum punyaku?" tanya Sorey sambil menyodorkan botol yang sama miliknya dan masih bersisa banyak.

Aku terbatuk karena tersedak. Sorey panik.

"Tidak apa-apa?"

"Tidak . . ." Aku mengatur nafas dengan sesekali batuk mengeluarkan air di tenggorokanku sambil mengelap bibir. Pipiku merona karena teringat novel di tanganku yang sedang menceritakan tentang ciuman tidak langsung sang tokoh utama dengan pasangannya.

Bisa-bisanya aku berpikiran sampai sana! Aku mengumpat di dalam hati ke diri sendiri.

"Minumnya jangan terlalu semangat." Sorey tertawa sambil menepuk pelan punggungku. Ia mengambil novel yang hampir lepas dari jepitan jariku. "Mikleo suka sekali sama pengarang ini, ya?" katanya dan membuka halaman-halaman novel dengan cepat.

Aku menoleh. "Aneh kalau cowok baca novel romansa?" tanyaku. Sebenarnya aku tidak peduli dengan genre buku yang kubaca. Asal aku suka, aku akan membacanya. Tapi hampir satu bulan belakangan ini, novel-novel yang sering menarik perhatianku selalu bergenre romasa. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Sorey juga tidak protes, tapi kadang aku takut memikirkan kalau dia ternyata tidak suka aku membaca novel romansa.

"Nggak, kok. Lagipula aku sering meminjam novelmu, kan? Asal Mikleo suka aku pasti juga akan suka." ujar Sorey dengan santainya tanpa mengetahui aku menangkap hal itu dengan maksud lain.

Deg deg deg

Jantungku berdetak dengan tak menentu lagi. Aku menyikut tangannya. "Itu seperti apapun yang aku makan kau pasti akan menyukainya meski awalnya kau tidak suka. Kau tak perlu mengikuti apa pun kesukaanku. Bodoh!" desisku dan memalingkan wajah. Aku mengepal tangan. Rahangku bergetar, berusaha menahan diri agar tak mengumpat hal-hal aneh yang meledak dalam hatiku di depannya.

Sorey hanya akan menganggap kata-kataku sebagai candaan. Setelahnya, dia pasti akan mengulas senyum cerahnya seperti biasa. "Begitu, ya. Tapi memang apa pun yang Mikleo suka aku pasti bakal suka, kok. Gimana kalau kita ke mini market beli es krim soda kesukaan Mikleo?" katanya tenang dan santai sambil menyerahkan buku novelku.

Aku melirik, memperhatikan ekspresinya sekilas dan langsung menyambar barangku. "Kau yang traktir?"

"Iya, deh." Dia mengangguk tanpa melepas senyumnya.

Aku berpikir sejenak, lalu melangkah duluan. "Ayo, nanti keburu sore." Entah apa dia sadar pipiku yang memerah karena kata-katanya barusan itu atau tidak.

Sorey tertawa. "Okey." lalu segera mengisi bagian kosong di sampingku seperti biasa.

.

.

Aku mengelap peluh yang turun menyusuri jenjang leher hingga tulang selangkaku dengan kerah baju. Mengendurkan dasi dan membuka satu kancing atas kemeja. Sinar terik matahari diluar membawa hawa panas masuk ke dalam perpustakaan. Beberapa kali aku harus membuka kacamata yang ketempelan keringat dan membuatku sangat tak nyaman. Seharusnya aku membawa softlense ke sekolah.

Aku yang sedang menunggu Sorey selesai kegiatan klub sambil membaca novel disini berkali-kali menyeka keringat di sekitar wajah dan leher. Kepanasan. Tapi rasanya sayang menutup jendela, karena dari tempatku biasa duduk sekarang ini mengarah langsung ke lapangan sepak bola. Jadi aku bisa menonton Sorey yang sedang latihan dari jauh. Memperhatikan gerakan demi gerakan lincahnya menggiring bola lalu memasukkan gol dari tendangan cantiknya, kemudian melihat setiap perubahan ekspresi di wajahnya yang selalu tanpa sadar ikut membuat bibirku tertarik mengulas sebuah senyum, dan yang paling kunantikan adalah saat dia menyadari aku yang diam-diam memperhatikannya.

Aku berakting. Seolah-olah tidak melihat ke arah lapangan dan sibuk membaca novel dengan gaya sok seriusku. Duduk di kursi pojokan samping jendela yang terbuka, memangku dagu di atas meja, mata fokus ke tulisan yang kubaca dengan kepala menunduk, jari bergerak membalik halaman mengikuti irama detak jam dinding, dan memasang ekspresi cuek pada sekeliling - seolah memberi kesan tidak ada siapa pun yang boleh menggangguku saat ini. Lalu di antara jeda rima aku membalik kertas, kulirikkan mataku ke arah sana.

Saat mata kami tanpa sengaja saling bertemu, dia menyapaku dengan melambaikan tangan dan melempar senyum lebar, aku pun balik menatap sambil tersenyum ke arahnya. Selama dua detik tatapan kami saling bertautan. Sorey memberi gestur menyuruhku mengait kembali kancing atas kemeja, aku menggeleng seraya mengipas-ngipas wajahku dengan tangan. Pemuda itu kemudian memberi pilihan supaya aku mengencangkan dasiku. Aku pun mendumel sambil melakukannya, Sorey tertawa melihat responku.

Kami kembali bertatapan. Sedetik berikutnya Sorey menarik wajah duluan karena dipanggil pelatih klub sepak bola. Tak lupa dia pamit padaku dan ku balas dengan lambaian ringan. Bola mata unguku terus mengikuti pergerakannya dari kaca pada bingkai berwarna hitam yang bertengger di batang hidungku.

Telapak tanganku berkeringat dan menempel di ujung halaman novel yang kupegang. Bibirku kering. Aku butuh air. Tapi aku diam di tempat. Termenung. Mood membaca hilang, berganti dengan isi kepala yang penuh dengan sosok seseorang.

Sorey. Sorey. Sorey. Sorey. Sorey.

Boom!

Aku menggeleng kuat. Tanpa sadar kucengkram keras novel yang belum selesai kubaca itu karena mesin dalam otakku meledak tiba-tiba sampai mengepulkan asap imajiner yang keluar di puncak kepala dan lubang telinga. Membuat ujung-ujung syarafku menyeburatkan warna kemerahan pekat di wajah dan pacuan kencang pada detak jantung. Overloading membaca satu data yang terus di cetak tanpa henti hingga kapasitasnya melebihi batas penampungan seharusnya. Tubuhku memanas. Entah karena bawaan hawa dari luar atau karena respon berlebihan dari isi otakku yang gosong.

"Tunggu. . . . Kenapa aku jadi memikirkan Sorey sampai lebay kayak gini?" Gumamku yang kebingungan sambil menangkup pipi kenyalku yang hangat. Hampir tidak peduli dengan barangku yang rusak gara-gara ini.

Sejak kemarin aku merasakan aneh pada diriku sendiri.

Entah apa yang menarikku, tapi aku selalu mengharapkan ketika aku menatapnya, dia balik menatapku. Kemarin saja aku bisa kepikiran dia akan menciumku. Aku refleks menyentuh bibir.

Sorey menciumku?

Tidak. Tidak. Tidak.

Sadarlah Mikleo! Kau dan Sorey hanyalah teman! Apalagi kami berdua laki-laki.

Entah apa yang membuat firasatku terus curiga sekaligus berharap dengan setiap gerakan pemuda bermata jamrud itu dari kemarin. Padahal yang kami lakukan hanyalah kegiatan biasa selayaknya teman dekat yang sangat akrab. Sahabat sejak sekolah dasar. Tidak aneh bukan kalau kami sangat dekat?

Tunggu sebentar. . . . Sungguhkah baru kemarin keanehan ini mulai terjadi? Padahal sebenarnya sejak awal masuk selepas libur panjang aku sudah secara refleks menatap dalam sosok Sorey. . .

. . .jangan bilang aku baru menyadarinya sekarang?

Aku membatu beberapa detik. Lalu merebahkan kepala ke atas meja dengan pundak lemas dan menghela nafas panjang.

"Aaaaaaahhhhh. . . . ." Helaku tak ada tenaga. "Kenapa aku jadi begini, sih?"

Beruntung saat ini perpustakaan sedang sepi. Persetan dengan penjaga perpus yang cuek bebek dengan pengunjung dan duduk tenang di tempatnya. Dia pasti tidak akan protes padaku yang satu-satunya pengunjung disini.

Jariku mengusap cover novel seraya meraba bagian dari desainnya yang dilapisi spot UV.

"Mungkin aku saja yang berlebihan menanggapinya. Sorey mana mungkin punya maksud aneh-aneh. Dia ya dia, seperti biasa." Kataku dengan pipi kanan menekan meja hingga membuatnya semakin kenyal dan cubit-able.

Aku langsung setuju dengan kata-kataku barusan. Bukankah aneh kalau tiba-tiba saja memperhatikan seseorang tanpa ada alasan kuat? Apalagi sahabat sendiri.

Aku pun memilih untuk menyimpan masalah ini sendiri karena tak ingin Sorey sampai khawatir kalau tahu. Dia itu bisa jadi super protektif bila ada sesuatu aja terjadi padaku. Contohnya saja saat ini, aku diminta menunggunya selesai latihan klub supaya kami bisa pulang bareng karena cuaca masih panas dan dia tak ingin aku yang dehidrasi kenapa-kenapa di tengah jalan. Padahal kami sudah kelas dua SMA dan sudah paham dengan diri masing-masing. Lalu anehnya aku malah menurut padanya hingga jadi lah aku disini, menunggu Sorey.

Soalnya dulu aku sering merepotkan dia tentang kekuranganku ini, sehingga cukup sulit juga kalau ingin membantah.

"Sorey. . . . ." Lidahku menggetarkan namanya.

Sejenak mataku mengarah ke luar jendela. Melihat matahari yang tak sanggup kutatap meski aku menceburkan diri ke dalam air dan menatapnya dari dasar kolam. Aku tanpa sadar melindungi kedua mataku dari sinarnya yang menyilaukan yang secara tak langsung masuk kemari.

Silau. . . . .

"Mirip dengan Sorey." Bak matahari, menyilaukan siapa pun yang berada di dekatnya sampai aku harus berlindung dibalik bayang-bayang hanya untuk melihatnya. Apalagi Sorey sangat suka berada di bawah sinar matahari dan senyumnya selalu bisa memengaruhi orang-orang disekitarnya.

Berbeda denganku. Tenang saja aku sudah lama tahu soal itu.

Tetapi, meski begitu, aku sudah menganggap dia sebagai matahari keduaku. Kalau tak ada senyum lebarnya setiap hari, mungkin aku sudah layu dan tenggelam tak terurus seperti-

"Tulip merah. . . " di tengah aku melamunkan Sorey, kata-kata itu muncul dan mengagetkanku.

"E-eehh. . . ." Aku mengerjap beberapa kali. Mengangkat wajah dengan alis berkerut sambil menutup mulut. "Tadi aku ngomong apa?" Kataku terheran karena kata-kata itu langsung melesat lenyap dalam otakku.

Aku ingat. Tapi samar-samar hingga tak begitu yakin.

Aku tak puas sebelum menemukan jawabannya dan terus menggali memoriku. "Tadi itu. . . Tulip, kan? Tulip merah. Tadi aku bilang itu, kan?" Seruku kebingungan kenapa tiba-tiba mengucapkan nama sebuah bunga.

"Kau tahu apa arti Tulip merah?"

Ah! Kalau tidak salah belakangan aku sering sekali memimpikan seseorang menanyakan hal ini padaku. Berkali-kali sejak liburan musim panas. Dan seseorang yang kurasa menanyakan hal itu adalah Sorey.

"Sorey dan Tulip merah. . . .tak mungkin ada hubungan." Aku menyimpulkan setelah berpikir sangat keras. Memutar otak pintarku dan mengancamnya berpikir cepat untuk membuktikan kualitasnya sebagai pemegang peringkat satu seangkatan setiap ujian.

"Ya, tak mungkin ada hubungan." Kataku lagi dengan wajah yang tampak lega dan yakin sambil mengadu kepalan ke telapak tangan. Aku merasa sangat pintar saat ini.

Kulihat ke arah jam. Sebentar lagi latihan klub Sorey selesai dan perpustakaan akan segera ditutup. Berarti ini saatnya aku pergi menjemputnya ke lapangan atau menunggu dia selesai ganti pakaian di depan loker sepatunya. Aku menoleh ke arah luar, Sorey dan anggota klubnya masih melakukan briefing sebelum bubar.

Kemarin aku sudah menjemputnya jadi hari ini aku akan menunggunya di depan loker.

Aku melangkah riang meninggalkan perpustakaan sambil membawa novelku. Tenggorokanku kering dan aku butuh minum secepatnya. Seiring dengan hentakan langkahku, pikiran soal tadi perlahan menghilang dari kepalaku.

Lebih baik aku tidak terlalu memikirkannya.

.

.

"Katanya, meski dari jenis yang sama tapi berbeda warna, bunga tersebut juga akan memiliki arti yang beda."

"Hei, Mikleo. Kau tahu apa arti Tulip merah?"

.

.

Kata-kata di dalam mimpiku bertambah satu baris.

Aku memandang lama langit-langit kamar dengan sorot tatapan kosong. Begitu bangun tidur aku langsung terbeku di atas tempat tidur seraya mengingat mimpiku barusan.

"Kenapa mimpinya terulang terus. . . ." gumamku. Aku menutup mata dengan punggung tangan.

Kenapa aku harus tahu arti tulip merah? Ada apa dengan tulip merah? Lalu kenapa harus Sorey yang kupikirkan mengatakannya padaku?

Berbagai macam pertanyaan terbesit di pikiranku dan semuanya memiliki jawaban yang terus bercabang hingga menjadi pra duga yang tak masuk akal. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan yang aneh-aneh.

Seperti Sorey menyukaiku.

"Tidak mungkin. . . ." Aku terkekeh sendiri. Diam-diam sudut hatiku takut membayangkan kemungkinan itu.

Bagaimana kalau itu benar?

Kalau sampai itu benar-benar terjadi, apa yang harus kulakukan? Pengalaman cintaku hampir nol. Aku pernah menyukai seseorang tapi bertepuk sebelah tangan tanpa sempat menyatakannya pada dia. Pemuda itu pun berkali-kali di tembak dan pernah sekali dua kali pacaran meski tidak berlangsung lama saat SMP.

Sudah sejak sekolah dasar kami berteman. Hari-hariku selalu di isi penuh dengan keberadaan Sorey. Aku pun sudah terbiasa dengan dirinya di dekatku. Berbagai macam pengalaman seru kami lalui. Kami sering bercerita masalah satu sama lain, bahkan bertengkar sampai saling menghantam tinju pun pernah.

Tapi kalau soal ini rasanya aneh sekali. . . . Sorey tidak pernah menceritakannya jadi aku tidak curiga.

Mungkin memang benar, aku yang terlalu jauh memikirkannya sendiri. Belum tentu Sorey melakukannya karena memang punya niat seperti itu.

Aku bangkit. Menurunkan kaki ke lantai dan duduk sebentar di ujung kasur. Sebaiknya aku tak memikirkannya terlalu sering. Aku tak ingin membuat suasana canggung di antara kami apalagi sampai membuat dinding pemisah.

Aku tak ingin melihat raut sedih di wajah Sorey yang terluka karena sifat keras kepalaku.

.

.

Aku merasa sedikit pusing selama pelajaran dan hampir tidak bisa konsentrasi memperhatikan guru di depan. Untungnya materi hari ini sudah kupelajari tadi malam, jadi aku tinggal menambah pemahaman saja.

Di selang pergantian jam, aku memutuskan pergi ke UKS sebentar.

"Mau kemana, Mikleo?" tanya Sorey yang langsung menghampiriku ketika aku bangkit dari kursi.

Aku menoleh. "UKS. Aku nggak bisa fokus selama pelajaran tadi, jadi mau minta vitamin ke Lailah-sensei." jawabku.

"Heum. . ." Sorey spontan menempelkan punggung tangannya di keningku. "Hangat. Kau tidak demam, kan?" katanya seolah mengecek panas tubuhku dengan nada cemas.

Aku cepat-cepat menepis tangannya. "Aku tidak apa-apa." sahutku dan membuang muka. Jantungku berdebar tidak tenang saat kehangatannya menyentuh bagian tubuhku. Aku memastikan orang di sekitar tidak melempari kami dengan tatapan aneh.

Sorey menarik tangannya."Mau kutemani ke sana? Aku khawa-"

"Oi, Sorey! Jadi nggak kita rapat buat nonton besok?" di sudut lain kelas beberapa anak cowok dan cewek berkumpul sambil mendiskusikan acara mereka hari minggu nanti. Salah satu dari mereka memanggil Sorey dengan suara nyaring.

"Sebentar." Sahutnya seraya menoleh sedikit.

Aku bergantian menatap Sorey dan mereka. "Sana. Kau dipanggil mereka, kan? Aku tidak apa-apa, kok." usirku halus sambil mendorong pelan dadanya.

Aku senang Sorey perhatian padaku, tapi aku tak ingin mengekang dia dari orang-orang di sekitarnya. Sang matahari akan lebih terlihat berkilauan kalau dia bisa membagi sinarnya dengan yang lain. Aku yang bak bulan yang selalu bersembunyi di balik bayangan malam bumi dan memiliki kesempatan memonopoli sinarnya saat gerhana tidak boleh egois apalagi keras kepala saat yang lain protes meminta sinar darinya.

Sorey menangkap tanganku. Bola matanya menatapku tajam. "Mikleo ikut nonton Minggu besok, ya." katanya tiba-tiba.

Aku terdiam sesaat dan membulatkan mata. "Ha-haah?! Aku kan sudah bilang tidak mau."

"Mikleo harus ikut! Aku yang bayar semuanya selama kita di bioskop." paksanya. Tatapannya serius. Ia pun mencengkram tangan kurusku dengan kuat.

Keringat dingin mengucur di pelipis. Kalau sudah seperti ini, Sorey pasti akan terus memaksaku sampai aku mengiyakan ajakannya. Kalau aku tidak cepat-cepat menjawab, bisa mengundang kecurigaan sekelas. Beberapa pasang mata sudah melihat ke arah kami.

"Akh. . .! Oke. oke. Aku ikut. Tapi janji kau yang bayar tiket, popcorn, dan juga cola untukku." Dengan terpaksa aku pun menurut. Kutarik tanganku dari cengkramannya. "Pokoknya semuanya kau yang atur, aku tinggal terima beres hari Minggu besok. Aku mau buru-buru ke UKS sebelum guru datang." kataku dengan nada tegas dan langsung membalikkan badan. Melangkah cepat keluar kelas tanpa menoleh ke belakang.

Sorey terus menatapku sampai aku menghilang. Ia mengepal kuat telapak tangannya yang tadi mencengkram tanganku. Sekilas rautnya menunjukkan penyesalan.

Ia menutup rapat matanya sejenak. Menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya keras seraya menghempas pukulan ke udara lalu memutar badan, menghampiri teman-teman sekelas dengan mengulas senyum lebar seperti biasa.

"Ayo, lanjutkan."

.

Aku berhenti dan terdiam di koridor menuju UKS dengan wajah memerah. Ku raba keningku. Hangat sentuhan Sorey masih membekas disana dan membuat detak jantungku terus tak karuan. Begitu pula dengan tanganku yang tadi digenggamnya.

Deg deg deg deg deg

"Aku. . . Kenapa, sih. . . . ." Buncahku tak mengerti pada diri sendiri.

Kesulitan menenangkan detak jantung membuatku panik dan kakiku lemas. Aku masih berusaha menyeimbangkan kedua tungkai kakiku yang agak gemetar sambil berpegangan pada sisi jendela.

Tenanglah, Mikleo. Tenanglah, Mikleo. Tenanglah, Mikleo.

Fokus!

Aku tidak boleh berpikiran aneh-aneh. Aku tidak boleh berpikiran terlalu jauh. Sorey tidak ada maksud apa-apa. Semua akan baik-baik saja.

Tenang. Tenang.

Plak!

Aku menampar keras kedua pipiku hingga sedikit membekas. Menatap ke depan dengan sorot penuh keyakinan dan melanjutkan langkah ke UKS dengan derap tegas. Kurelakskan bahuku, membusungkan dada, dan menegapkan tubuh.

Jangan terpedaya. Fokus dan tetap tenang. Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.

Jangan pernah kau mengharapkan sesuatu tentang Sorey yang sampai memabukkanmu, Mikleo.

.

.

"Arti Tulip merah? Kalau nggak salah seingatku . . . ."

.

.

Hari Minggu.

Aku sama sekali tak mengharapkan hari ini datang. Bukan tentang Sorey, tapi karena - bisa dibilang - aku sosok yang pendiam dan jarang berbaur dengan teman-teman satu kelas. Berbeda dengan Sorey yang bisa masuk ke kelompok mana pun dengan santai dan diterima oleh mereka. Aku sangat memilih orang yang berbicara denganku, apalagi sampai menyentuhku. Bukan karena aku tak bisa berkomunikasi, hanya saja sejak dulu aku memang suka membuat dinding pemisah pada sekelilingku. Sorey satu-satunya orang asing yang berhasil masuk, selain keluargaku.

"Jangan cemberut, dong, Mikleo. Aku serius bakal mentraktirmu, kok." Goda Sorey saat datang menjemputku seraya terkekeh. Dia datang menggunakan pakaian kasual dengan kesan sporty dan sling bag ukuran sedang di punggung.

Aku berdiri di depan pintu dengan ekspresi tidak bersahabat. Menyilangkan kedua tangan di depan dada dan memalingkan wajah. Kalau tidak karena dipaksa Sorey, aku tidak akan ikut.

"Bukan begitu. . . ." Aku ingin bilang kalau lebih baik kita berdua saja yang pergi, tapi malu. Aku juga gugup karena takut dianggap aneh dengan teman-teman yang lain. Bukan karena penampilan tapi karena sikapku.

Sorey menyadari kekhawatiranku. "Tidak apa-apa. Ada aku. Mikleo boleh bersandar padaku kapan pun kau mau. Aku tidak akan keberatan." Ia mengulurkan tangan padaku dan mengulas senyum tulus. "Ayo. Teman-teman yang lain sudah menunggu kita." Ajaknya dengan nada suara yang membuatku luluh seperti es krim rasa vanilla yang meleleh di bawah sinar matahari.

Aku menoleh. Menatapnya yang terlihat santai saja menghadapi hari ini tanpa ada beban apa pun. Aku merasakan ketidakadilan karena hanya aku saja yang gugup. "Kau harus bertanggung jawab penuh padaku hari ini, Sorey." Kataku. Aku seperti ingin menangis tapi menahan diri. Kubalas uluran tangannya dengan menggenggam erat.

"Tentu saja." Sorey tersenyum senang. Ia balik membalas genggaman tanganku dan menarik tubuhku sambil kami berlari kecil keluar dari perkarangan rumah.

Ditengah jalan aku melepas tangan kami karena malu dilihat orang-orang. Sorey tidak keberatan. Dia malah bilang, kalau aku merasa tak sanggup tarik saja lengan jaketnya, sambil mengedipkan sebelah mata. Pipiku merona dan membalas dia dengan sok tidak peduli. Dia tertawa. Kami pun melanjutkan jalan dengan saling bersebelahan seperti saat pulang sekolah. Mengobrol hal remeh sambil tertawa lalu tanpa sadar sudah berada di dekat tempat tujuan.

Sampai di depan gedung bioskop yang dijanjikan, teman-teman yang lain sudah menunggu disana. Mereka antusias menyambut kami, Sorey maksudku.

Aku sedikit gugup. Setelah tadi mulai tenang saat perjalanan kemari, sikap apatisku keluar lagi ketika pemuda itu sibuk dengan yang lain. Aku berdiri selangkah lebih luar dari lingkaran mereka.

Tiket sudah dipesan secara online dan kami mengantri membeli popcorn juga cola untuk di dalam.

Aku meminta popcorn dan cola ukuran besar. Sorey membeli tanpa banyak protes. Dia tidak membeli bagiannya, entah sengaja atau tidak. Saat di dalam, aku memilih duduk di kursi terujung. Sorey juga langsung mengambil tempat di sampingku. Mereka asyik mengobrolkan trailer film yang akan ditonton, hanya aku yang diam menyudut. Bukannya aku tidak suka film, hanya tidak segirang mereka saja.

Aku menyeruput cola dan mengambil senggenggam popcorn yang langsung ku masukkan semuanya ke dalam mulut dengan lahap. Mengunyahnya dengan khidmat seraya pelan-pelan menipiskan keberadaan.

Lima menit kemudian, lampu bioskop meredup. Layar besar di depan kami menampilkan peraturan menonton disini serta cuplikan iklan pendek sponsor. Setelahnya pembuka film pun ditayangkan. Suasana para penonton senyap dan semuanya seketika fokus.

Pandanganku langsung fokus pada film sambil terus melahap popcorn. Tiba-tiba tangan Sorey datang mengambil segenggam besar popcorn di baskom yang kupegang. Aku melirik tajam, matanya sibuk ke arah layar sambil mengambil satu persatu popcorn yang ia tampung di telapak tangan. Kutahan komentarku dan kembali menonton.

Ada tiga kali Sorey mencuri popcornku tapi aku memilih mencuekinya. Biarlah. Ini kan dibeli pakai uangnya.

Di tengah pemutaran film, scene antara pertarungan tokoh utama dan lawannya semakin memanas ditambah dengan konflik yang datang dari tokoh lain semakin memberi tekanan suasana para penonton di ruangan ini. Aku beberapa kali menahan nafas karena terbawa arus suasana sampai tidak nafsu mengunyah popcorn lagi.

Pluk

Mendadak kurasakan sesuatu yang lembut bersandar di bahu kiriku. Fokusku buyar dan Mataku refleks melirik. Sorey menaruh kepalanya di bahuku, dia bahkan bersikap biasa saja sambil terus terpaku pada film.

Aku mencoba tetap tenang dan bersikap biasa saja. Biarkan. Lanjut menonton. Mungkin dia hanya numpang bersandar sebentar.

Masuk ke bagian klimaks. Beberapa penonton sampai berteriak karena adegan pertarungan kedua tokoh yang memacu lonjakan intense adrenalin kami. Sang tokoh utama dikejar-kejar makhluk yang sangat besar sementara dia juga harus bertarung sengit dengan musuhnya sambil berkali-kali harus menghindari tusukan pedang yang melayang membabi buta. Pergerakan kamera yang naik turun seolah membawa kami masuk ke dalam film sebagai sang tokoh utama. Dentuman keras volume suara di bioskop yang terdengar nyata, menambah ketegangan adegan film.

Aku beberapa kali hampir berteriak juga. Mengetuk kaki karena gemas dengan tindakan ceroboh sang tokoh utama serta mulut yang tak bisa ditutup dan sesekali komat kamit pelan saking konsentrasinya menonton. Cuek total dengan Sorey yang masih menyandarkan kepala di bahuku.

Tiba-tiba sebuah tangan yang besar dan hangat membungkus jemariku yang dingin di pegangan kursi. Aku tidak sadar karena fokus pada film, bahkan refleks menggenggamnya balik mengikuti pacuan emosiku yang ikut naik turun seperti roller coaster. Jari-jari tangan itu tanpa ragu menyusup masuk diantara ruas jemariku. Kami saling mengeratkan genggaman.

Klimaks yang menegangkan pun akhirnya lewat dan masuk bagian pra ending.

Aku mengatur nafasku yang memburu. Mengerjap beberapa kali dan mengusap mataku yang kering. Barulah aku menyadari tangan Sorey yang menggenggam tanganku.

"Sor-"

Saat kutolehkan kepala, bibir Sorey datang tanpa sempat kuwaspadai dan mengecup sekilas bibirku.

Cup

Aku membulatkan mata. Waktu di dalam duniaku seketika berhenti berputar. Suara di sekelilingku pun langsung senyap tak bersisa. Aku membeku di ruang hampa kosong imajiner berwarna putih ciptaanku sendiri dengan wajah terbengong kaku.

Tadi. . . . Sorey menciumku?!

Hanya satu detik bibir kami saling bersentuhan, tapi butuh hampir sepuluh menit aku mencerna habis semua yangu terjadi tadi.

Film berakhir. Aku tidak tahu apa itu happy ending atau bad ending karena mataku sudah tak lagi fokus. Tapi biasanya, kalau film bergenre action pasti akan memilih penutup happy ending supaya tidak mengecewakan penontonnya.

Lampu bioskop dinyalakan lagi. Layar film menampilkan daftar nama-nama crew yang tergabung selama proses pembuatan film dengan background lagu soundtrack dari penyanyi terkenal. Para penonton satu persatu bangkit dari tempat duduk dan keluar ruangan sambil membahas adegan-adegan seru dari film tersebut.

Sorey melepas tanganku sesaat sebelum lampu kembali dinyalakan. Ia pun langsung sibuk mengobrol seru dengan teman-teman sekelas yang merespon film dengan antusias. Sementara aku terdiam di tempat dengan ekspresi abstrak.

Terbengong tapi juga antusias sekaligus panik karena memikirkan ciuman tadi. Aku menyentuh bibirku. Tempat yang tadi masih terasa dengan jelas ada sentuhan lembut dari bibir lain sekilas disana. . . .bibir milik Sorey.

Keadaan saat film masih diputar tadi memang remang-remang dengan hanya bermodalkan pencahayaan dari proyektor yang berfokus pada film di depan. Aku yakin sekali tadi itu Sorey mendekatkan wajahnya padaku karena hanya dia satu-satunya yang duduk di sebelahku. Dia bersandar padaku, menggenggam tanganku, dan kemudian. . . . . menciumku?!

Aku tidak tenang. Panik bukan main dan hampir salah tingkah di tempat duduk. Aku pun bangkit duluan. Meninggalkan cola dan baskom popcorn di kursi. Berjalan dengan buru-buru, melewati Sorey serta teman-teman sekelas kami tanpa melihat mereka lalu berlari kencang keluar dari ruangan. Aku bisa mendengar lontaran kalimat kebingungan salah satu dari mereka yang melihatku seperti tak ingin lama-lama bersama mereka.

"Ah, bukan, kok. Mikleo dari tadi sudah tidak tahan mau ke toilet. Makanya dia buru-buru kayak gitu." Sorey menyelamatkanku dari kesalahpahaman. Beruntung kata-katanya langsung menetralkan image-ku lagi.

Sementara itu, aku tergesa-gesa menuju toilet. Membasuh wajah beberapa kali di wastefel dan mengusap bibirku dengan ujung lengan baju. Wajahku merah pekat hingga telinga. Kututup rapat-rapat kelopak mata seraya menggenggam kuat bingkai kacamata. Berusaha melupakan kejadian tadi dengan keras hingga tak kuasa airmataku jatuh meleleh di pipi. Aku terisak. Masuk ke salah satu bilik dan menangis dalam diam untuk beberapa saat.

Kenapa? Kenapa? Kenapa?!

Sorey. . . . . Kenapa kau menciumku?

Kau ingin membuatku semakin salah paham dengan hubungan kita? Kau ingin aku membencimu atau kau sebenarnya ingin mempermalukanku di depan teman-teman sekelas kita?

Kenapa, Sorey?

Secepat mungkin kuseka airmata dan menghapus bekasnya di pipi. Memakai kembali kacamata. Keluar dari bilik toilet dan langsung celingak celinguk mencari rombonganku.

Tidak terlihat. Bagus!

Aku pun melesat kabur dari gedung bioskop secepat mungkin sebelum mereka muncul. Sayangnya, ternyata saat itu Sorey dan rombongan teman-teman sekelasku baru keluar dari ruang bioskop, pemuda tersebutlah yang pertama kali langsung melihatku yang berjalan secepat mungkin di antara kerumunan banyak orang yang berjalan ke arah pintu keluar.

"Maaf, teman-teman. Aku sepertinya harus pulang duluan." Ia buru-buru pamit dengan pandangan tak melepas sosokku. Melambaikan tangan sekali ke mereka dan langsung berlari seperti orang kesurupan menerjang kerumunan di pintu keluar yang dipenuhi pengunjung lain tanpa berbalik ataupun mendengar reaksi mereka.

Sama dengan aku yang terus melangkah cepat menjauhi gedung bioskop. Hatiku tak tenang karena merasa tak enak menghilang tanpa pamit, mereka pasti mengiraku kabur dan besok pasti akan beredar gosip tidak enak tentangku.

Biarlah. Biarkan.

Ada yang lebih penting dibandingkan gosip yang masih bisa kutahan. Ada yang lebih menyesakkan dibandingkan kata-kata tidak suka teman satu kelas kepadaku. Ada yang lebih membuatku sakit hingga rasanya perih sekali dibandingkan semua ejekkan tidak jelas mereka. Hatiku lebih hancur saat ini bila dibandingkan perlakuan kasar dari mereka nanti.

Biarkan aku sendiri.

Jangan menyapaku. Tidak perlu kalian acuhkan aku.

Biarkan aku berada di dalam kubah duniaku. Biarkan aku menangis sekeras-kerasnya untuk berusaha melupakan satu sosok yang sudah membuatku jatuh ke dasar jurang sangat dalam.

Sorey. . . .

GRAB

Seseorang menarik lenganku keras. Langkahku berhenti tiba-tiba tanpa ada antisipasi dan membuatku kehilangan keseimbangan. Bingkai kacamata meluncur jatuh ke tanah dari batang hidung saat tubuhku melayang jatuh ke dalam degapan kuat tangan yang sangat familiar. Desahan keras nafas Sorey menyentuh ujung-ujung rambutku.

"Jangan lari. . . Mikleo. . . ." desah Sorey di tengah mengatur tarikan nafas.

Aku berusaha melepaskan diri darinya. "Lepaskan aku." Kutarik lenganku yang ia cengkram sekuat tenaga.

Sorey mengencangkan genggamannya. Aku merintih kesakitan. "Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, Mikleo. Ikut aku. Akan kujelaskan semuanya padamu." Suaranya rendah menyusup ke lubang telinga dan membuat bulu kudukku meremang.

Aku gemetar, tapi ego tinggiku membuatku sok kuat dan tetap terus tegar menghadapinya meski tak berani melihat secara langsung. Genggamannya turun ke pergelangan tangan. Ia berlutut sebentar mengambil kacamata yang jatuh dan menarikku.

Isi hatiku kacau. Aku tak bisa berpikir. Kalau orang lain yang melakukan ini padaku, aku pasti sudah memukulnya tanpa segan. Tapi. . . . ini Sorey. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat menghadapinya. Aku hanya terdiam. Patuh mengikutinya tanpa banyak bicara.

Dulu kami pernah bertengkar karena Sorey merusak buku kesukaanku dan dia langsung mencari buku yang sama dan sudah langka itu hingga ke prefektur sebelah. Dulu aku pernah memukulnya karena membuat adik kelas yang menyukainya menangis. Dulu Sorey pernah sekali ngambek padaku hanya karena aku tidak memberitahunya kalau aku pergi ke rumah keluarga selama seminggu saat liburan musim dingin. Aku sering mengomelinya karena sering teledor menyimpan barang sendiri dan dia sering berlebihan mencemaskanku saat musim panas.

Dari beragam pertengkaran dan adu mulut yang telah kami lalui, kami selalu bisa melaluinya dengan saling memaafkan. Walau masih dengan mood yang belum membaik dan jauh-jauhan melempar wajah, kami duduk bersebelahan sambil mengatakan kekurangan masing-masing. Lalu salah satu dari kami akan melempar candaan garing yang anehnya malah membuat kami tertawa keras dan lanjut membahas hal yang melenceng jauh dari permasalahan sebenarnya. Setelahnya, kami pun kembali seperti biasa. Terus seperti itu sejak kami SD.

Lalu apa yang membuat kasus kali berbeda?

Karena dia menciumku? Atau karena dia sudah mengaduk-adukkan perasaanku?

"Hei, Mikleo. Kau tahu apa arti Tulip merah?"

Ah! Benar juga. . . Sejak memimpikan itu aku jadi kacau setiap kali Sorey berada di sampingku.

Tapi, ada apa gerangan Sorey dan Tulip merah?

.

Pemuda dengan bola mata berwarna hijau bak batu jamrud yang indah itu membawaku ke apatemennya. Kami terus berlari tanpa henti dari sejak dia menangkapku. Tangannya tak melepasku sedetik pun sampai kami masuk ke dalam dan aku menemukan sesuatu yang langsung membuatku terperangah tak percaya saat melempar pandangan ke bagian dalam apartemennya. Pandanganku sesekali samar karena tak memakai kacamata, tapi ketika aku mengerjap mata dan memfokuskan tatapan, aku bisa tahu satu benda yang sama berserakan hampir di semua sisi tempat ini.

Bunga Tulip merah memenuhi ruangan dari lantai hingga sofa dan meja!

Padahal aku terakhir kali kemari saat hari terakhir libur musim panas dan keberadaan bunga tersebut masih bersih dari apartemennya.

. . . . . Ini kebetulan? Batinku ragu.

Aku menahannya di ambang pintu. "Kenapa ada Tulip merah di sini?" Tanyaku dengan wajah pucat.

Dia menatapku dengan sorot dingin. Aku refleks mengalihkan pandangan.

"Duduklah dulu." Ia menarikku ke arah sofa. Membersihkan bagian yang tidak terlalu kotor dan menyuruhku duduk di sana. Lalu menaruh kacamataku di atas meja.

Aku mengikuti perintahnya. Setelah itu, dia melepas tanganku. Kulihat bekas genggaman kuat tangannya yang memerah di pergelangan tanganku yang kurus. Rasanya sakit tapi tak seperih hatiku yang hancur. Kupendarkan pandangan kesekeliling.

Tangkai bunga Tulip merah serta kelopaknya berserakan di sekitarku. Di sampingku tergeletak setangkai bunga Tulip merah yang sudah mulai layu dan kelopak-kelopaknya yang tak lagi segar. Sebenarnya apa yang terjadi pada Sorey?

Mataku diam-diam bergulir meliriknya.

Sorey membuka jaket dan melempar sembarang sling bag. Menuju dapur, ia siapkan dua mug. Yang satu diisi susu yang segera dihangatkan dalam microwave dan yang satu lagi diisi kopi instan hitam pekat. Sorey mengambil teko dan memanaskan air.

Selang tiga menit.

Ting!

Suara dentingan microwave mengudara di antara kesunyian kami yang memilih saling menutup mulut. Di saat itu pula air di dalam teko mengepulkan uap panas. Jemari Sorey bergerak lihai menyeduh kedua jenis minuman yang berbeda tersebut. Setelah itu, Ia pun menghampiriku dengan menyajikan susu vanilla hangat kesukaanku. Sorey duduk di samping sambil pelan-pelan meminum kopinya.

Aku diam memandang susu hangat yang samar-samar masih mengepulkan uap di permukaannya.

"Aku ingin Mikleo menenangkan diri dulu, baru setelahnya akan kujelaskan." Ucapnya dengan vokal berat namun sudah lebih tenang dari sebelumnya. Seolah - secara tak langsung - menyuruhku tidak perlu sungkan meminumnya.

Aku menggigit bibir dan mengepal telapak tangan.

"Kau pikir aku bisa tenang. . . . Setelah semua yang kau lakukan padaku, Sorey?" Gumamku dengan suara bergetar.

Sorey menaruh gelasnya di atas meja. "Aku tahu salahku. Kau pasti merasa jijik aku menciummu."

Plak!

Aku menampar keras pipinya. Dia menerima itu tanpa ada perlawanan.

Airmata yang sudah kutahan sejak tadi jatuh di pipi. Rahangku gemetar. "Iya. Aku jijik dengan ciuman tiba-tiba itu. Tapi bukan itu yang membuat hatiku sakit." Kutarik kasar kaosnya hingga terdengar suara robekan sekilas. "Katakan. . . Apa semua ini hanya main-main, Sorey? Apa kau sedang mempermainkan perasaanku dan membuatnya semakin kacau dengan keberadaan bunga ini disini, hah?" Bentakku tepat di depan wajahnya.

"Aku tidak ada niat mempermainkan perasaan Mikleo." Jawab Sorey tenang.

Aku tergagap. Sedikit lagi kehilangan kata-kata. Gigiku saling bergemeletuk. "Kalau begitu kenapa. . . ?" Suaraku bergetar seiring airmata yang jatuh dengan deras. Tanganku yang mencengkram bajunya lepas dan merosot jatuh.

Grab

Sorey menangkap tanganku. Aku terlalu lemah untuk menepisnya, jadi kubiarkan saja.

Disela-sela menangis. Aku terbayang lagi kata-kata di dalam mimpiku. Satu baris kalimat yang aku yakin Sorey lah yang menanyakan hal itu. Awal dari semua kegundahan ini. Kata-kata yang sudah membuatku kacau tak karuan. Dan itu adalah-

"Hei, Mikleo. Kau tahu apa arti Tulip merah?" Suara Sorey di telinga dan dalam pikiranku saling tumpang tindih.

Aku mengangkat kepala dan membulatkan mata. "Eh?"

Sorey menatapku dengan sorot serius. "Mikleo pasti lupa saat aku menanyakan ini libur musim panas kemarin." Katanya.

Aku tak mengerti. Apa maksudnya aku lupa?

Pemuda itu menghela nafas panjang. "Aku sudah menduganya, sih. Apa boleh buat. . . waktu itu Mikleo tiba-tiba pingsan karena heat stroke." Ia mengulas senyum yang membuat hatiku berdenyut. "Kalau begitu kenapa Mikleo kaget saat melihat bunga Tulip merah di apartemenku?" Ia bertanya. Mendekatkan wajah dan mempersempit jarak pandang kami.

Aku menelan ludah. Gugup saat bola mata dengan sorot mata intense yang ingin menguasai setiap jengkal tubuhku itu mengunci pandanganku padanya seorang. "Aku. . . .aku memimpikannya. . . " Jawabku dengan nada pelan. ". . . kau bertanya padaku apa arti bunga itu." kalimatku putus-putus. Jantung berdetak cepat, berusaha mengalihkan tatapan namun sulit.

Aku seperti di kuasai oleh Sorey luar dan dalam.

Sorey menempelkan keningnya di keningku. Kulit kami bersentuhan. Jamrud hijau itu tepat di depan kecubung unguku. "Mikleo tahu arti bunga ini?" tanyanya dengan nada bisik yang lembut.

Serrrr. . . .

Darah dalam urat nadiku mengalir deras ke tubuh bagian atas. Pipiku memerah pekat dan lidahku dibuatnya kelu. "Artinya. . . ." Sejak pertama kali memimpikan kalimat itu, aku langsung mencari arti bunga tersebut di internet. Tapi karena aku tak ingin mempercayainya, aku memilih untuk menguburnya di dalam hati. Saat ini pun aku begitu malu untuk mengatakannya. Itu kata yang sangat romantis dan hanya diucapkan kepada orang yang disukai. Kata-kata ajaib yang mengikat banyak insan. Seperti alur pada umumnya di cerita novel-novel romantis yang kubaca. Kalau kujawab pertanyaan Sorey, apakah itu akan mengubah hubungan kami saat ini?

Aku membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Hatiku berteriak untuk mengatakannya, tapi egoku berusaha menahanku. Perasaanku bimbang antara malu dan ingin bersikap berani. Walau begitu, Sorey terus menunggu sambil terus menautkan tatapan kami. "Artinya . . . . Aku mencintaimu. . ." kataku, akhirnya, setelah menguatkan keyakinan di dalam hati.

Sorot sang jamrud hijau melemah. Dia menutup mata dan tangannya memeluk tubuhku. Sorey menyembunyikan wajah di pundakku. Kehangatannya membuat jantungku tenang, malah sebaliknya aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak keras.

"Sorey. . . "Panggilku karena Sorey tidak berkata apa-apa.

Ia mengeratkan pelukan. Kurasakan nafasnya menyentuh kulit daun telingaku. "Aku juga menyukai Mikleo." bisiknya lirih.

Bulu kudukku merinding. Pandangan dalam mataku terasa berputar dan tubuhku seperti mendidih mendengar kata-kata romantis itu dibisikkan dengan sangat romantis pula. Aku pun mulai memahami perasaan sang tokoh utama wanita saat laki-laki yang ia sukai membisikkan kata cinta padanya. Rasanya memalukan, tapi juga membuat bahagia.

"Tu-tunggu, Sorey. . . tadi itu aku hanya menjawab pertanyaanmu. Aku bukan menyatakan perasaan padamu." Aku meronta. Bingung harus kuapakan tanganku yang bebas dan malah berusaha mendorong tubuh Sorey. Reaksi tubuhku tak sesuati dengan isi hatiku.

Sorey melonggarkan pelukannya. Ia menatapku lagi. Senyum bahagia terulas di wajahnya. "Aku menyukai Mikleo." ucapnya di depan wajahku. "Kalau Mikleo?"

Dia berhasil membuatku terdiam membatu tak bisa membalas kata-katanya. "Aku. . ." rasanya malu sekali mengatakannya langsung tepat di depan muka. Aku menunduk dalam dan menyilangkan telapak tangan di atas kepala. ". . . .juga. . . ." kata-kataku keluar tak sampai habis. Rasanya malu dan bahagia bukan main bercampur aduk. Beginikah rasanya memiliki perasaan yang sama dengan orang yang selalu kita pikirkan?

Bibir Sorey mencium telapak tanganku lalu turun ke pergelangan tangan yang bekas cengkramannya mulai menghilang.

Aku bergidik karena tak siap dengan perlakuan lembut tersebut.

"Maaf, ya. . . sudah membuatmu salah paham. Maaf juga karena sudah membuatmu kesakitan di sini. Lalu, aku juga minta maaf soal ciuman di bioskop saat kita menonton tadi." ucapnya. Ia mengusap kepalaku, jemarinya menelusiri tulang di kening lalu turun ke pipi dan ia mendorong naik daguku. "Maaf, kalau keegoisanku membuat Mikleo sakit hati." Sorot di dalam matanya penuh dengan kilat penyesalan saat meminta maaf padaku, ia tersenyum pahit.

Setelah melihat kesungguhan hatinya langsung, hatiku dibuat tak bisa lagi menolaknya. Aku luluh dengan semua kejujuran dan sentuhan lembut yang tulus darinya. Ku sentuh tangannya yang menangkup wajahku. "Sorey bodoh. Kalau memang ini yang ingin kau katakan padaku harusnya kau tinggal katakan saja. Gara-gara tingkahmu yang setengah-setengah tanpa ada kejelasan itu, kita sampai salah paham." kataku dengan mengomel.

Sorey tertawa. "Maaf, Maaf. Tapi sekarang semua sudah jelas, kan?"

Aku cemberut sambil menggembungkan sebelah pipi. Perasaan kesal muncul sesaat ketika teringat kejadian sebelumnya. "Huh."

Sorey tertawa lagi melihat ekspresi lucuku. Senyum tak lepas dari wajahnya dan matanya terus terarah padaku.

kesal di rautku memudar, kini yang memenuhi rongga hatiku adalah kelegaan dan rasa bahagia yang terus bergetar dan meluap-luap hingga tak bisa dibendung. Bibirku tak tenang saat wajah Sorey mendekat. Tak bisa menolak, tak ingin ini berhenti.

Aku ingin menciumnya.

Perasaanku bergejolak. Kurasakan detak jantung Sorey yang tak tenang dan tubuhnya yang menghangat. Kegugupan yang ia rasakan malah membuatku semakin ingin menautkan bibir kami dan berkata padanya kalau aku juga tak bisa menenangkan detak jantung yang terus berdetak cepat seiring isi kepalaku yang penuh dengan perasaan bahagia ini.

.

.

.

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top