CHAPTER 5


Cinta selalu diawali oleh rasa penasaran. Lalu tertarik dan terjerat. Kemudian tanpa sadar, kau sudah jatuh terlalu jauh, hingga kau berada di titik bernama cinta.
— Miss Marigold —

***

Chase menatap kotak perhiasan di mejanya. Kotak yang disukai oleh para wanita, terutama wanita glamour seperti Rose. Perhiasan itu didesain khusus untuknya. Tentu saja oleh desainer terbaik di New York, dengan harapan, Rose akan luluh setelah diberi hadiah itu. Bukankah selama ini, semua wanita takluk di bawahnya karena ketampanan, kekuasaan, dan uangnya? Maka Rose juga seharusnya begitu.

Chase mendongakkan wajah begitu seseorang mengetuk pintu. Kemudian Rose muncul di sana. Dengan gaun merah sejengkal di atas lutut, dan rambut cokelatnya yang diikat kucir kuda—memperlihatkan lehernya yang jenjang dan mungkin terasa manis saat dicecap.

“Ada perlu apa Anda memanggil saya di saat jam sibuk begini, Mr. Charlbough?” Rose selalu to the point.

Chase tersenyum tipis. Tampak senang dengan sikap Rose yang angkuh tersebut. Berharap bahwa ia akan membuat keangkuhan wanita itu takluk karenanya.

Chase berdiri. Berjalan memutari meja hingga dia berada di sisi Rose. Menyandarkan pinggangnya pada meja, lantas mengambil kotak perhiasan tadi.

“Aku hanya ingin memberikan hadiah kecil untukmu.” Chase membuka kotak perhiasan itu. Memperlihatkan sebuah kalung dengan bandul dari batu ruby berwarna biru safir yang langka. “Kalung yang didesain khusus untukmu. Satu-satunya di dunia.”

Chase berpikir bahwa Rose mungkin akan tercengang melihat kalung itu. Lupa bahwa Rose agak berbeda dengan wanita lain.

“Mr. Charlbough, Anda tahu, apa yang Anda lakukan saat ini, menjijikkan.”

Bagus. Satu kalimat tajam yang dihunuskan tepat ke jantung Chase. Tepat pada titik tengah harga dirinya.

“Apa Anda selalu menggoda bawahan Anda seperti ini? Sungguh memalukan. Bukannya tertarik, aku justru merasa geli.” Rose menggeleng pelan. “Simpan saja perhiasan ini untuk wanita lain yang bisa Anda tipu. Saya tidak tertarik sama sekali. Terima kasih.”

Sial. Chase menarik kasar tangan Rose saat wanita itu hendak berlalu. Menyebabkan keduanya kembali berhadapan, kali ini dengan jarak yang lebih dekat sampai Chase mampu merasakan embusan napas Rose yang hangat.

“Kau benar-benar menolaknya begitu saja, tanpa sedikit pun berpikir terlebih dahulu?” tukas Chase, berusaha menekan amarahnya yang bergemuruh di dalam dada.

“Aku tidak perlu berpikir. Semuanya sudah jelas.”

Rose mendorong bahu Chase, melepaskan cekalan tangannya kemudian berlalu dengan langkah angkuh. Chase mengerang kesal. Mengapa sulit sekali menaklukkan satu wanita itu? Harga diri Chase rasanya telah diinjak-injak karena Rose. Tidak pernah ada yang berani menolaknya. Tapi si penyihir merah itu? Dia menolak mentah-mentah tanpa berpikir terlebih dahulu. Sial, Chase malah semakin menginginkan wanita itu bertekuk lutut di bawah kakinya.

Sementara itu, sepeninggalnya dia dari ruangan Chase, Rose terus saja mengomel. Kesalahan sekecil apa pun yang dia lihat, pasti berujung pada kemarahan yang berlebihan. Contohnya sekarang, hanya karena melihat mantel miliknya tidak tergantung di tempat yang tepat, dia mengomeli habis-habisan asistennya. Ya, hanya karena sebuah mantel.

“Kau selalu memiliki banyak alasan ketika membuat kesalahan, padahal kau tahu aku tidak suka itu, Sienna,” gumam Rose seraya membuka kitab-kitab—majalah yang masih harus ditinjau—dan sesekali menggeleng. “Ah, mengapa semua orang menyebalkan sekali hari ini? Rasanya kepalaku hampir pecah.”

“Maaf, Miss Seymour,” Sienna berucap pelan. Sebisa mungkin tetap memasang wajah yang meyakinkan.

“Sudahlah, tidak ada gunanya permintaan maaf.” Rose mengibaskan tangannya, lantas menutup kitab-kitab di meja dan lekas berdiri. “Panggilkan Frank, ada hal yang harus kutanyakan padanya.”

Namun sebelum Sienna benar-benar pergi memanggil lelaki yang dimaksud, Rose kembali berbicara, “Sienna, aku akan makan siang di luar. Pesankan meja yang tidak begitu bising, tapi juga tidak begitu sepi. Harus yang berada tepat di sisi kaca. Aku akan menemui seseorang dan harus memastikan bahwa aku bisa melihatnya sebelum dia masuk. Tapi jangan di sisi yang mendapatkan sinar matahari terlalu terik.”

“Baik, Miss,” Sienna membalas setelah helaan napasnya yang agak panjang.

***

Akhir pekan yang membosankan. Chase berniat menghibur diri dengan berjalan-jalan menghirup udara segar. Setidaknya, dia harus menemukan mainan baru ketika kembali. Tapi netranya tiba-tiba terfokus pada sebuah pemandangan di depan toko kue.

Rose. Chase melihat sopir wanita itu menenteng begitu banyak paperbag yang sepertinya berisi kue dari toko itu. Memasukkannya ke dalam mobil, lalu wanita itu masuk dan mobil melaju.

Dituntun rasa penasaran, Chase mengikuti laju mobil tersebut. Berharap dia bisa menemukan hal yang mungkin bisa membuatnya mendapatkan Rose. Beberapa saat kemudian, Chase mengedutkan dahi begitu mobil Rose terhenti di sebuah panti asuhan. Selang beberapa detik, wanita itu keluar dari dalam mobil, dan... dia tersenyum, sangat lebar. Ya, Chase tidak salah. Dia melihat Rose tersenyum lebar.

Astaga, untuk sejenak, Chase berusaha menyadarkan dirinya yang mendadak terkesima karena senyuman itu. Senyum yang jarang Rose tunjukkan—nyaris tidak pernah—di kantor.

Chase diam di sana. Memperhatikan setiap interaksi Rose dengan anak-anak di rumah asuh tersebut. Tiba-tiba saja, tanpa sadar, senyum Chase terulas. Ternyata, Rose tidak seperti dugaan orang-orang. Meski dia terlihat keras dan kasar di luar, dia merupakan pribadi yang hangat. Lihat saja bagaimana dia berceloteh riang dan memeluk anak-anak itu. Sungguh, peran antagonis si penyihir merah di kantor mendadak berubah menjadi ibu peri ketika dia di sini.

Chase keluar dari mobilnya ketika Rose sudah selesai membagikan bingkisan yang dia bawa dan bercengkrama dengan anak-anak di sana. Menyandarkan punggung pada kap mobil seraya memasukkan tangan pada kantung celananya.

Ketika Rose akhirnya melihat kehadirannya di sana, Chase tersenyum lebar seraya melambaikan tangan. Tentu saja, Rose tidak balik menyapanya dengan hangat. Alih-alih membalas lambaian tangannya, wanita itu justru berjalan ke hadapan Chase dan memasang tatapan sinis.

“Kau membuntutiku?” tanyanya skeptis.

Chase terkekeh kecil. “Aku tidak berniat seperti itu. Tapi, yeah, pada kenyataannya memang aku mengikutimu ke sini,” balas Chase tanpa dosa.

Dan erangan kesal Rose sungguh menghibur dirinya.

“Ada apa? Kau butuh sesuatu? Atau kau hanya akan merayu seperti biasanya?”

“Bagaimana dengan mengantarmu pulang?” Chase sedikit memaksa.

“Kau tidak lihat aku membawa mobil?”

“Ada sopirmu. Dan kau bersamaku.”

“Ah, aku tidak punya waktu untuk meladenimu, Mrs. Charlbough.”

“Kau punya, dan aku memaksa sebagai atasanmu,” ujar Chase, membuka pintu mobilnya dan mendudukkan Rose di kursi penumpang, lalu sedikit membungkukkan punggung. “Hanya mengantarmu pulang dan sedikit berbincang. Aku janji tidak akan menyita terlalu banyak waktumu,” katanya lagi.

“Ya, terserah. Pada kenyataannya entah aku bilang ya atau tidak, kau akan tetap memaksa.”

Great. Rose tampak lebih lembut dan lunak hari ini.

“Kau sudah biasa datang ke rumah asuh itu?” Chase membuka percakapan setelah beberapa saat mobilnya melaju.

“Hanya sekali setiap bulan, di akhir pekan pertama setiap bulannya,” balas Rose.

“Kau tampak tenang dan nyaman di tengah anak-anak itu. Aku bahkan bisa melihat matamu berbinar hanya karena menyaksikan tawa mereka.”

“Kau... melihatnya?” Rose menoleh, menelisik raut wajah Chase.

“Tentu saja. Aku takjub saat kau bisa mendiamkan anak yang tadi menangis keras.”

“Ah, George. Dia kehilangan mainan kesayangannya. Sebuah boneka dinosaurus yang diberikan ayahnya sebelum meninggal.”

“Bagaimana cara kau membuatnya berhenti menangis?” Chase tanya.

“Dengan meyakinkan George bahwa boneka itu ada di suatu tempat. Kalau boneka itu memang miliknya, dia akan kembali di sisinya lagi. Kalau pun tidak, toh, ayahnya selalu di hatinya. Karena sebuah barang dinilai berarti sebab orang yang memberinya, bukan? Dia menyimpan boneka itu untuk mengingat ayahnya. Tapi dengan atau tanpa boneka itu pun, dia akan selalu mengingat sosok ayahnya itu.”

Chase melirik Rose dengan ekor matanya. Menyaksikan sebuah binar di balik permata bening wanita itu yang tampak membuat hangat. Binar yang membuat sesuatu dalam diri Chase terusik.

“Kau pasti sangat menyukai anak-anak itu,” gumamnya.

“Tentu saja. Mereka tampak polos, mungil, dan menggemaskan. Mereka juga memiliki mata yang bersinar. Mata yang hanya dimiliki oleh anak-anak. Ah, melihat senyum mereka rasanya sangat menyenangkan. Aku merasa bahwa aku—“

Ucapan Rose terhenti begitu saja. Membuat Chase menoleh dan mempertanyakan apa yang terjadi.

“Kurasa aku terlalu banyak bicara,” gumam Rose. Terlihat dengan sangat kentara bahwa wanita itu berusaha menetralkan diri.

Diam-diam Chase tersenyum. “Aku suka kau banyak bicara seperti itu. Kupikir, kau terlihat lebih berkharisma. Cantik.”

Rose tidak lagi menjawab. Dan Chase hanya bisa tersenyum tipis. Setidaknya, Chase senang bisa melihat sisi lain Rose itu. Dan sialnya, Chase semakin tertarik. Ah, tidak. Chase bukan hanya tertarik, tetapi juga sudah jatuh hati padanya.

Bukankah ini gila? Chase bilang dia telah jatuh hati. Terpikat pada sosok Rose. Berawal dari rasa penasaran dan tertarik, kini dia terjebak di perasaan itu.

***

Chase dah jatuh hati nih ma Rose. Sapa nih yang setuju mereka bersatu. Marry setuju 🤭🤭🤭

Nih Marry bagiin fotonya si penyihir merah


Sampai jumpa di chapter berikutnya byee....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top