Prolog

Suara dentuman sepatu bergema di sepanjang lorong yang gelap nan pengap. Sesosok pria tambun bertubuh pendek tampak berlari menyusuri lorong dengan terseok-seok. Deru nafas pria itu terdengar putus-putus. Suaranya memantul dari tiap tembok yang ia lewati. Membuat suasana lorong semakin mencekam.

Pria itu tak sengaja menabrak dinding, ia langsung meringis kesakitan akan hantaman yang mengenai luka didadanya. Sontak, pria itu jatuh terbaring menghantam lantai beton. Ia tak menyerah, lantas dengan nafas terputus-putus, ia membalikkan badan hendak bangkit. Seluruh kekuatan ia tumpu pada kedua telapak tangan. Baru akan bangun suara hentakan sepatu hak tinggi menghampiri pendengarannya. Pria tambun itu menoleh kebelakang dengan tatapan horor penuh akan histeria.

Dari kejauhan tampak siluet seorang wanita mengenakan gaun putih tanpa lengan yang dipenuhi bercak darah. Di leher wanita itu tersemat kalung choker berwarna hitam dengan bandul perak berbentuk kepala kucing. Bandul kalung wanita itu tampak berkilau di tengah keremangan lorong. Kepala sang wanita ditutupi dengan topeng kucing berjenis calico, yang hanya menutupi setengah wajahnya, mirip dengan topeng-topeng yang dipakai dewa-dewi Mesir Kuno. Sementara kedua tangan gadis itu membawa senjata yang berbeda—pistol dan celurit. Wanita itu tampak menawan sekaligus mengerikan disaat yang bersamaan.

Tubuh pria tambun tadi bergetar hebat, kematian hanyalah satu-satunya hal yang ada di pikirannya. Wajah pria itu dipenuhi darah yang menampakan kengerian serta ketakutan. Pria itu mencoba untuk kembali bangkit dan berlari sejauh mungkin. Namun naas, hal itu hanya sekedar khayalan semata. Si tambun kembali terjatuh menghantam lantai karena tulang-tulang dikedua kakinya tidak lagi berada dalam posisi yang benar. Kaki-kaki gendut itu tampak penyot dan mengarah pada arah yang salah karena terhantam lantai beton. Tetap tak mau menyerah, pria itu mulai mengesot-ngesot sambil memegangi tangan kirinya yang hampir copot. Apapun ia lakukan demi menjauh dari sosok wanita jahanam itu.

Senyuman miring terbit pada wajah sang wanita. Dengan langkah pelan, ia mendekati sosok pria berkepala botak itu. Suara hak sepatu semakin mendekat membuat pergerakan pria itu kian brutal. "J-jangan! Aku mohon! JANGAN!!!" pekik pria itu histeris.

Senyuman wanita itu kian lebar saat melihat mangsanya menangis ketakutan. Sang Dewi Basthet tetap melangkahkan kaki jenjangnya membuat sosok pria tambun itu semakin histeris. Ingin sekali ia tertawa saat melihat punggung pria tua itu menabrak dinding semen. Sedari tadi pria itu tidak menyadari bahwa ia berada di jalan yang buntu. Lebih tepatnya wanita itu terus mengarahkannya ke jalan menuju kematian.

"KAMU!" Telunjuk bantet pria itu menunjuk tepat pada wajah sang wanita yang setengahnya ditutupi topeng. "BERHENTI DISITU ATAU SAYA LAPOR POLISI!!!"

Tanpa bisa ditahan, wanita itu tertawa keras membuat suara cemprengnya menggaung di dalam lorong. Wanita kucing itu melepaskan celurit dari genggaman tangan, menyebabkan suara besi bergema lantang saat benda itu menghantam lantai. Si tambun menatap horor celurit yang kini tergeletak begitu saja diatas lantai. Muncul keinginan untuk mengambil celurit itu dan menebas kepala sang wanita. Namun, hanya dengan melihat keadaan sekarang, tidak memungkinkan baginya untuk melakukan hal itu.

Si kucing mengelap ujung matanya yang menggenang akibat tertawa dari balik topeng. "Sungguh?" suara wanita dewasa yang elegan mengalun menyebarkan teror. "Kau mau melaporkanku kepada institusi yang tidak kompeten itu? Menyusut kasus kelompokku bahkan mereka tidak bisa, apalagi harus menyusut masalah sepelemu ini."

"ANAK SAYA AKPOL!!!"

"Hah?" Wanita itu membeo lalu kembali tertawa. "Astaga, tidak kusangka Ketua DPR Divisi III adalah orang yang sangat humoris."

Senyum lembut terpatri pada wajah wanita kucing. "Terlalu humoris, sampai-sampai masih bisa bercanda, padahal kematian akan segera menjemput," ujar wanita itu lembut.

Senyum lembut itu hilang berganti dengan ekspresi datar nan dingin. Ia kembali meraih celurit itu lalu memutar-mutar benda itu dengan sebelah tangan. "Kira-kira bagaimana ekspresi anak akpol-mu itu, jika mendapati kabar ayahnya ditemukan di dalam karung dalam keadaan tercincang?"

Wanita itu berhenti memainkan celurit dan menyenderkan sajam itu dipundaknya. Kepala berbalut topeng kucing calico itu meneleng kesamping, tampak berpikir dengan moncong pistol bersandar di dagu. "Akankah ia sedih? Marah? Depresi? Atau ... tidak peduli?" monolog wanita itu sambil melirik si pria tambun yang tengah gemetar ketakutan.

Moncong pistol yang tadinya bersandar pada dagu kini beralih ke sisi kepala wanita kucing, menggaruk sisi kepala wanita itu sebagai pengganti jari. "Ah, terserahlah," ucap wanita itu sambil menggedikkan bahu.

"Yang terpenting saat ini adalah ...," wanita itu menurunkan tubuhnnya hingga wajah kedua orang itu sejajar. Senyum lebar tercetak pada bibir berwarna merah menyala. "... menjadikan hal itu menjadi kenyataan."

Segerombolan pria tampak berdiri mengelilingi sebuah meja bundar. Pria-pria itu mengenakan seragam loreng berwarna hijau, tak lupa pisau komando tersemat pada pinggang. Para tentara itu tampak fokus menyimak penjelasan pria yang memimpin rapat. Pria di depan dengan khidmat menjelaskan misi mereka dengan rinci. Suara pria itu terdengar lantang hingga menggema dalam ruangan. Bagaikan seekor elang, mata pria itu menelisik bawahannya. Muncul perasaan konyol dalam diri pria itu saat mendapati semua bawahannya yang menunjukkan ekspresi tegang. Namun, segera ia tepis perasaan itu jauh-jauh, bahaya jika ia tiba-tiba tertawa ngakak di tengah rapat Kopassus.

Jemari pria ber-nametag 'Lingga' itu menari diatas tombol-tombol yang ada di meja. "Dengar!" ujarnya lantang.

Seberkas cahaya berwarna biru melintang di tengah-tengah meja seperti layar televisi. Hologram itu menayangkan beberapa foto orang yang menjadi korban pembunuhan berantai yang terjadi akhir-akhir ini. Pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok teroris yang menyebut diri mereka sendiri sebagai Redemption. Masih belum diketahui apa tujuan mereka melakukan pembunuhan di berbagai tempat, namun apapun alasannya yang pasti pergerakan kelompok itu harus segera dihentikan.

Sejauh ini sudah delapan korban yang jatuh. Tiga orang dari rakyat sipil, dua dari kepolisian, satu dari militer, dan dua orang pegawai ASN. Kasus terakhir tengah disorot media karena korbannya adalah Fredy Simbolon, Ketua DPR Divisi III. Tidak ada yang menyangka bahwa kelompok ini akan berani menyerang oranng-orang kalangan atas. Karena selama ini yang mereka serang adalah rakyat kecil atau abdi negara yang memiliki pangkat rendah.

Jemari Lingga kembali menekan tombol pada layar sehingga hanya menayangkan foto seorang pria tua yang tambun. Foto karung goni penuh bercak darah, tepat di tengah-tengah karung terdapat lambang 'R' berwarna merah kecokelatan, tampak seperti darah yang mengering. Tanpa diberitahu pun, orang-orang pasti yakin bahwa isi karung itu adalah bagian tubuh si Fredy Simbolon.

"Kalian pasti tahu siapa orang ini," ujar sang kapten. "Beliau adalah Fredy Simbolon, Ketua DPR Divisi III yang baru dilantik dua bulan yang lalu. Jasad beliau ditemukan tiga hari yang lalu dengan keadaan tubuh tercabik-cabik di dalam karung. Dan seperti biasa ...," Lingga menggedikkan kepala sambil men-zoom out lambang 'R' pada karung itu, "... ada lambang jelek ini yang menandakan beliau adalah korban kelompok teroris yang sedang marak akhir-akhir ini."

Mata setajam elang milik Lingga menelisik satu persatu ekspresi anggotanya. Kebanyakan menunjukan tampang datar, namun jika ditelisik lebih dalam ada yang menggerakkan leher ngeri, ada pula yang menahan amarah. Ekspresi terpendam semacam itulah yang Lingga cari, justru ia akan curiga jika salah satu anggotanya tidak menunjukkan afeksi apapun pada kumpulan teroris ini. Kelompok teroris ini muncul dengan menghancurkan kedamaian negeri yang telah mereka jaga selama bertahun-tahun lamanya.

Terjadinya terorisme ini justru menjadi penghinaan bagi mereka yang merupakan senjata keamanan negara. Maka dari itu perlu dicurigai anggotanya yang tidak menunjukkan afeksi apapun terhadap kegiatan terorisme ini. Ditakutkan jika anggota itu merupakan salah satu bagian dari sindikat terorisme 'Redemption'.

Pria berpangkat kapten itu kembali menggeser hologram, menampakan foto secarik kertas yang tertempel pada karung itu. Wajah para pria berseragam loreng hijau itu kian mengeras kala melihat foto kertas itu terpampang didepan wajah. Kertas putih itu tampak belepotan dengan noda darah yang mengering. Terdapat pesan yang ditulis menggunakan darah yang mengering.

"KALIAN PAYAH, TANGKAP KAMI JIKA BISA!

-Basthet"

Kapten Lingga hendak membuka mulut, namun hologram dan lampu ruangan yang padam menghentikan keinginannya untuk berbicara. Semua orang langsung berlarian mengambil senjata yang diletakan di sisi ruangan. Tepat setelah M-16 terpasang di tubuh, para tentara itu mengarahkan moncong senjata pada titik ruangan yang memungkinkan sebagai tempat persembunyian mata-mata. Jendela, pintu, ventilasi udara, bahkan dinding dijadikan tersangka kemungkinan adanya penyusup.

Suara orang berlari terdengar dari luar, orang itu tampaknya menabrak barang-barang karena terdengar banyak suara gebukan atau kaca pecah. Semua serentak mengarahkan moncong senjata kearah pintu. Lingga yang berdiri paling depan juga ikut mengarahkan senjatanya kearah pintu. Suara tapak kaki semakin dekat membuat tentara-tentara itu mengokang M-16 yang mereka bawa.

BRAKK!!!

Daun pintu terbuka kencang, seakan-akan mau terlempar dari engselnya. Lingga yang tadi dalam posisi siaga segera berdiri, setelah melihat siapa yang berdiri didepan pintu. Pria berkepala dua itu mengangkat sebelah telapak tangannya. Memberi isyarat kepada bawahannya untuk menahan tembakan yang diikuti dengan mahfum oleh prajurit-prajurit. Satu persatu dari mereka mulai berdiri dan melepaskan M-16 hingga tergantng di tubuh begitu saja.

Di depan pintu berdiri seorang boc- err ... pria bertubuh pendek yang sedang terengah-engah. Postur tubuh pria itu tampak seperti bocah SMP, bahkan wajahnya juga mendukung tubuh pria itu. Wajah pria itu manis ciri khas pria jawa tulen dengan kulit kuning langsat. Kacamata kotak membingkai mata bulat pria itu.

Seisi ruangan itu tampak menunjukan wajah kesal akan kehadiran si pria SMP. "Bocah ... bocah," celetuk salah satu prajurit yang kemudian oleh prajurit lain, memintanya untuk diam.

Begitupula Lingga yang kesalnya tak tertolong. Perempatan imajiner berwarna merah tercipta di jidat pria itu. Kepalan tangan ia eratkan, mencoba menahan diri untuk membogem sosok cebol yang ada di depan pintu.

"Jadi, ini ulahmu?" tuduh Lingga. "Tidak bisakah kau ... sekali saja. Jangan berulah?" tanya Lingga dengan nada geram.

"Kapten, aku bersumpah kali ini bukan ulahku!" senggah pria itu sambil masuk ke dalam ruangan dengan laptop berwarna hitam di tangan.

Ia berjalan kearah meja hologram, para prajurit langsung membuka jalan saat pria itu melewati mereka. Prajurit terakhir masih diam di tempat, tidak membiarkan ia lewat. Sebelah alis pria SMP itu terangkat tak senang. Ia melirik nametag pria itu yang tertulis nama 'Maulana' lalu melirik pangkat dua balok yang tersemat di leher prajurit itu.

"Minggir, Letnan," ucapnya ketus.

Kedua alis Maulana terangkat terkejut. Sebagai rakyat sipil, sosok cebol dihadapannya terlalu berani. Entah berapa banyak koneksi yang ia miliki dilingkup militer hingga berani memerintah seorang perwira TNI. Maulana melirik Lingga yang kini menganggukkan kepala, menyuruhnya membiarkan pria cebol itu lewat. Pria berpangkat letnan satu segera menepi, sementara si cebol melewatinya begitu saja.

Si cebol meletakan laptop yang ia bawa keatas meja hologram. Kabel VGA yang ia bawa ditancapkan pada meja hologram. Tangan kerdil itu mulai menari diatas keyboard, menekan apa yang perlu ditekan.

"Res, kami sedang rapat, lebih baik hidupkan listriknya kembali," Lingga angkat bicara.

"Sudah kubilang, kali ini bukan ulahku!" jawab Res ketus tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.

"Kalau begitu ulah siapa? Hantu?!" sahut salah satu prajurit yang mulai jengah dengan pria cebol itu.

Res melirik prajurit itu sinis. "Aku tidak berbicara denganmu!"balasnya ketus setelah mendapati pangkat prajurit masih kopda.

Sang prajurit tampak ingin melayangkan bogeman mentah ke wajah Res. Namun, segera ia kubur dalam-dalam keinginannya itu setelah mendapati sang kapten tengah menatap dirinya dengan tatapan tajam.

Lingga menghela nafas kasar ketika melihat anak buahnya tampak tak nyaman dengan keberadaan Res disana. Ia akhirnya mendekati pria berkacamata yang masih fokus menekan tombol-tombol yang ada di laptop.

"Aku serius Res, hidupkan lampunya. Ini masalah genting." Nada Lingga melembut, ia menyadari bahwa membentak Res bukanlah jalan yang efektif.

Namun, reaksi Res tidak sesuai dengan ekspektasinya. "Kau minta ditinju?" beo pria berkacamata itu datar.

"Aku bahkan bisa meninjumu tanpa menyentuh," balas Lingga tak kalah datar yang menyebabkan para prajurit mendengus menahan tawa.

"Omong kosong."

Lidah Lingga rasanya gatal ingin mengajak Res sparing di lapangan latihan. Keinginan untuk membuat wajah Res lebam membahana sungguh memuncak. Sesungguhnya, selama ini ia tengah menahan diri untuk tidak menghajar pria cebol itu di tempat.

Lingga hendak membuka mulutnya namun kembali terkatup saat mendapati bahwa lampu kembali hidup. Bukan hanya lampu, barang-barang elektronik yang memerlukan listrik pun kembali hidup. Kipas didalam ventilasi udara kembali berdesing, air conditioner dipojok ruangan tampak hidup memuntahkan angin dingin, lampu LED berwarna biru disekitar meja juga ikut berpendar lembut. Pemancar ditengah meja tampak berkedip beberapa kali sebelum akhirnya memancarkan cahaya berwarna biru muda.

Seisi ruangan tampak syok saat melihat tulisan yang terpampang pada layar hologram. Di layar transparan terpampang pesan yang bertulis 'WELCOME TO SERRA WORLD'. Kelopak bunga dan bunga-bunga kecil menghiasi tulisan ber-font Vivaldi itu. Kepala dari karakter kartun 'Hello Kitty' juga tampak menyembul dari balik teks penuh feminimitas itu.

"Apa-apaan ini?"

"Ini prank 'kan?"

"Gak lucu, sumpah gak lucu."

"Njirr, ada Hello Kitty."

Kesabaran Lingga telah sampai batas, dinding penghalang amarah akhirnya runtuh. Hanya dengan sekali gerakan, ia meremat kerah Res erat lalu mengangkat pria pendek hingga berada lima senti diatas tanah. Res mulai ketar-ketir, sementara bawahan Lingga mencoba setengah mati memisahkan keduanya. Pria kekar itu tampak tak menunjukkan afeksi apapun terhadap tarikan anak buahnya. Fokusnya saat ini hanya ada satu, yaitu membogem wajah Res hingga mampus.

"Apa maksud dari semua ini cebol?"

Res sudah terlanjur ketakutan, di saat-saat seperti ini ia sama sekali tidak bisa berpikir dengan jernih. Dengan ekspresi bodoh, ia tersenyum lima jari membuat Lingga melongo persis orang linglung.

"Basis data kita diretas, hehe."

Original Story by Orca_Cancii

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top