I

|Untuk saat ini, Orca cuman bisa nulis dikit-dikit. Lagi sibuk puooll~ Jadi mohon maaf kalau semua ceritaku pada mampet🙏|

|Word: 2615|

Dibalik kegelapan langit, sang surya mengintip malu-malu melalui cakrawala. Seolah-olah tengah berdebat dengan awan-awan, haruskah dirinya menampakkan diri dan menerangi dunia?

Ayam-ayam berkokok dan burung-burung bercicit menyambut keberadaan matahari yang berada di ufuk timur. Jam digital berwarna hitam diatas meja juga ikut berdering memulai hari.

Suara dering jam berhasil membangunkan sosok gadis muda yang tertidur didepan laptop dengan posisi duduk. Kursi kayu itu berdenyit saat sang gadis menggerakkan tubuh hendak bangkit, namun kembali menjatuhkan diri keatas meja. Tangan lentik gadis itu terbuka dengan kaku, lalu terulur meraih jam digital dan melemparkannya begitu saja.

Brakk!!!

Jam berwarna merah muda itu menabrak dinding yang tertempel poster Gojo Satoru, sebelum akhirnya masuk kedalam tempat sampah.
Sepasang bulu mata lentiknya bergetar pelan lalu terbuka menampakkan iris berwarna hitam legam. "Berisik," ujarnya pelan.

Tanpa beban, gadis muda itu bangkit dari posisi telungkup lalu meregangkan tubuh dengan mata tertutup. Rambut sewarna bunga sakura itu bergoyang lembut setiap kali ia meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.

Usai dengan kegiatan peregangannya, ia kembali menatap layar laptop yang telah mati. Dua malam penuh dirinya sibuk menulis laporan hasil meliput beberapa saksi korban pembunuhan berantai yang tengah marak akhir-akhir ini. Pembunuhan yang dilakukan lebih dari satu orang dan menyebar di penjuru Nusantara. Bukan hanya terjadi di satu wilayah saja, beberapa wilayah Indonesia telah dikotori oleh tangan para manusia-manusia biadab yang menyebut diri mereka sebagai "Redemption".

Redemption merupakan kelompok teroris yang mulai meneror masyarakat dua bulan yang lalu. Mereka beraksi melalui pembunuhan beberapa rakyat sipil dengan cara yang keji. Korban seringkali ditemukan dengan bagian tubuh yang tidak lengkap atau sudah hancur menjadi bubur daging. Dan selalu ada coretan "R" pada salah satu bagian tubuh korban, yang menandakan mereka adalah korban anggota Redemption.

Gadis bersurai merah muda lembut itu keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Handuk yang melingkar di leher ia gunakan untuk mengelap rambut pendeknya. Tetesan air jatuh ke atas kemeja putih gadis itu, menyebabkan helaian kain menjadi sembab.

Televisi berdesing pelan lalu memunculkan iklan kopi dari salah satu stasiun berita tempat dirinya bekerja. Suara nyanyian aktor didalam iklan mengiringi kegiatan sang nona yang tengah mengeringkan rambut dengan hairdryer. Iklan berganti menjadi siaran langsung acara berita saat gadis itu tengah membuat kopi didepan konbini dapur.

Tangan gadis muda itu bergerak lincah mencampurkan bubuk kopi hitam, gula dan air panas, lalu mengaduk kopi itu pelan. Dentingan sendok beradu dengan cangkir kaca mengiringi suara host yang tengah membawakan berita.

"Mayat berkelamin pria kembali ditemukan pada rabu malam, tanggal 12 Maret 202X. Mayat ditemukan pada pukul 22.00 waktu setempat ...."

Gadis itu menyeruput kopi hitamnya khidmat sambil menyandarkan tubuh pada meja konbini dengan sebelah tangan. Ketukan pelan terdengar tatkala gadis itu mengetuk-ngetukkan jari telunjuk pada keramik konbini.

Manik legam itu fokus pada layar televisi yang tengah menampakkan sebuah karung kecokelatan yang tergeletak diatas tanah. Sinar flash ponsel sang pembuat video menyinari bagian karung yang terkena noda darah yang telah mengering. Huruf "R" yang diukir asal-asalan terpampang jelas. Darah segar mengalir dari lubang ukiran itu menyebabkan sisi karung itu semakin sembab.

Gadis muda mengernyit jijik kala darah dalam karung itu kembali merembes saat salah satu pria didalam video menoel-noel karung tersebut menggunakan kayu. Belum lagi suara teriakan bapak-bapak yang terdengar sangat tidak maskulin, semakin membuat dahi gadis itu mengerut dalam.

"Tolol," komentarnya lalu kembali menyesap teh dalam genggaman.

Sang nona kembali memfokuskan mata pada penjelasan wanita pembawa berita yang cukup dirinya kenal. "Mayat didalam karung tersebut diduga merupakan salah satu korban terorisme yang dilakukan oleh kelompok "Redemption". Untuk saat ini belum diketahui identitas mayat dalam karung tersebut, namun banyak yang menduga bahwa korban adalah Fredy Simbolon, Ketua Divisi III DPR-"

Triingg~

Dering ponsel berhasil membuyarkan fokus sang gadis. Iris sewarna obsidian itu memandang kearah kasur tempat ponselnya berada. Ia meraih benda petak tersebut lalu menggeser tombol hijau setelah mengetahui identitas penelpon.

"Ay, lo dimana?!" sembur suara wanita diseberang sana tepat setelah ia menempelkan ponsel ke telinga.

"Wa'alaikumsalam," jawab gadis yang dipanggil Ay lembut sambil mendudukkan diri diatas kasur.

Wanita diseberang mendecih pelan lalu mengucapkan salam sesuai kepercayaan yang dirinya anut. Serra hanya mengganggukkan kepala sebagai tanggapan, seolah-olah wanita di dalam ponsel dapat melihat anggukkannya.

"Ada apa, Ra?"

"Lo dimana, njirr?? Ini konferensi pers udah mau dimulai, tim daritadi kena sembur Pak Gunawan gara-gara lo gak datang-datang!" ujar Ra dengan kecepatan 250km/jam.

Ay tertawa kecil membuat Ra diseberang sana kembali melontarkan omelan layaknya emak-emak anak 10. "Sorry, gue kesiangan tadi, gara-gara selesain hasil liputan kemarin."

"Eh, bentar, hasil laporan kemarin aman 'kan?"

"Aman."

Hembusan nafas lega terdengar dari seberang sana. "Syukurlah, ya udah lo cepetan ke sini! Lo tahu 'kan pers-nya ada dimana?"

"Polda Metro Jaya?" tanya gadis itu memastikan dibalas dengan deheman dari seberang sana.

"Cepetan datang, nyet! Gue udahan dulu."

"Ya, gue otw."

"Otw-otw, pala bapak kau!"

Ay mendengus pelan lalu mematikan sambungan telepon tersebut. Ia memandang layar ponsel yang menampakkan log panggilan itu cukup lama. Matanya fokus pada kontak dengan nama "Hera Kosasih (iNet)" lalu menghembuskan nafas pelan.

"Gue gak punya bapak," gumamnya pelan lalu bangkit dari duduknya.

Suara sirine mobil polisi terdengar nyaring melintas di tengah jalan raya. Iring-iringan mobil polisi itu terdiri dari beberapa mobil dinas yang membawa perwira polisi, mobil bak polisi, hingga inafis. Iring-iringan tersebut melambatkan lajunya saat memasuki gerbang Polda Metro Jaya lalu berhenti tepat di depan gedung yang hendak dijadikan tempat konferensi pers. Kaki kanan berbalut sepatu PDL melesak keluar dari mobil, hingga menunjukkan sosok pria dengan seragam cokelat khas polisi. Pria itu mengenakan topi cap berwarna cokelat dengan bordiran bintang dua di bagian depannya. Bordiran nama "Indra Sofyan Permana" tampak mentereng diatas saku kiri milik pria tersebut.

Baru mengeluarkan setengah badannya dari mobil, para wartawan dari berbagai agensi jurnalis langsung menyerbu sang irjen agar dapat mendapatkan sumber berita yang lebih faktual. Mulai dari agensi negeri atau swasta, semuanya berkumpul demi mendapatkan sumber berita terbaru abad ini.

Suara teriakan para wartawan itu beradu di udara. Berisi pertanyaan-pertanyaan yang tidak jauh-jauh dari korban pembunuhan Redemption. Banyak spekulasi yang bermunculan bahwa korban mereka kali ini adalah Fredy Simbolon, Ketua Divisi III DPR RI yang dikabarkan hilang selama seminggu terakhir. Bahkan anak lelaki yang dikabarkan tengah menempuh pendidik di Akademi Kepolisian juga memberikan pernyataan yang sama. Belum lagi ditambah dengan konferensi pers saat ini didatangi langsung oleh Kepala Divisi Humas Polri, bukan Kasat Reskrim seperti sebelum-sebelumnya, tentu membuat rumor tersebut semakin kuat.

"Wuihh, yang datang langsung Kadiv, coy! Masalah serius ini!" ujar seorang pria berambut gondrong dengan seragam jurnalis berwarna biru dongker penuh antusias. Tangannya tampak sibuk memotret sang kadiv yang tampak kesulitan berjalan di tengah lautan manusia.

"Mau kasus apapun kalau masuknya ranah pembunuhan, ya pasti serius, Tom!" jawab gadis dengan rambut dicepol. Gadis itu mengenakan seragam biru dongker yang sama dengan Tom.

Tulisan "iNet" terpampang jelas, dibordir diatas saku sebelah kanan. Bukan hanya kedua orang itu yang mengenakan seragam tersebut, melainkan ada 9 orang lain yang mengenakan seragam yang sama. Mereka berdiri tak jauh dari kerumunan wartawan itu berada, tepat didepan mimbar dimana konferensi pers akan dilaksanakan.

"Kita kesana yuk!" ajak pria berkacamata dengan rambut dibelah tengah.

Namun baru dua kali melangkah, tangannya langsung ditarik oleh si gadis bercepol. "Gak usah, Ali! Tunggu disini aja, nanti Pak Indra juga bakalan kesini. Kalau kita maksa kesana juga gak bakal apa-apa juga, selain disuruh mundur sama aparat lain."

"Kalau misalnya Pak Indra keceplosan sesuatu gimana, Her?"

"Gak bakal!" jawab Hera tegas.

Setelah tujuh menit dikerumuni oleh para wartawan, akhirnya sang Kadiv Humas Polri berhasil mencapai mimbar yang telah tersedia. Seketika para wartawan dan kameramen dari setiap agensi berkerumun mendekati mimbar, termasuk tim dari iNet. Ali segera berlari dengan tangan memegang mikrofon yang dihiasi dengan kotak berwarna biru dongker, yang menyatakan kepemilikan iNet atas properti tersebut. Begitupula dengan Hera yang tak mau kalah ikut menyodorkan ponselnya untuk merekam setiap pernyataan yang keluar dari mulut Irjen Indra.

Suara para wartawan itu mulai bersahutan, menanyakan siapakah identitas mayat yang ditemukan beberapa hari yang lalu, adapula yang menanyakan siapakah pelaku pembunuhan tersebut, ada juga yang menyinggung rumor soal Fredy Simbolon yang menghilang, bahkan ada yang terang-terangan bertanya perihal kinerja dan sinergritas kepolisian saat ini. Pak Indra tampak kewalahan saat mendengar banyaknya pertanyaan yang timbul dan mencoba menghindari hantaman mikrofon dan ponsel yang disodorkan terlalu dekat ke wajahnya. Perilaku brutal tersebut akhirnya mulai kondusif saat salah satu bawahan Irjen Indra berteriak kepada para wartawan tersebut. Barulah sang irjen mulai menjawab pertanyaan yang dilontarkan lebih leluasa.

Tom yang ditugaskan untuk memotret situasi pers, langsung keluar dari kerumunan tatkala mendapatkan foto yang bagus. Ia sempat kesulitan untuk keluar karena harus berdempet-dempetan dengan jurnalis lain yang masih fokus meliput setiap ucapan yang keluar dari sang kadiv humas. Sambil menenteng kameranya, dengan santai pemuda itu berjalan menuju seorang gadis bersurai merah muda yang duduk di pembatas jalan hitam-putih yang memisahkan tanah hijau taman dan jalanan beraspal. Gadis itu tampak bolak-balik mencatat dan mendengarkan pernyataan yang keluar dengan seksama.

Tanpa rasa ragu, Tom mengacak rambut gadis itu pelan, hingga menyebabkan rambut gadis itu terlihat acak-acakkan. Si merah muda langsung melayangkan tatapan datar andalannya kepada pria gondrong tersebut dan menghadiahkan tepisan pedas, lalu kembali mencatat.

"Galak amat," celetuk Tom sembari mendudukkan diri di sebelah gadis tersebut. Sambil memeriksa hasil jepretan yang ia yakin telah diambil secara apik, Tom mulai berbasa-basi, "Naya gak ikutan kesana?"

"Ngapain? Dari sini juga kedengeran, kok," jawab Naya tanpa menghentikan pekerjaannya.

"Masih marah?"

"Marah?" beo Naya. Gadis itu memandang kearah Tom, lalu bertanya, "kenapa gue harus marah?"

Tom ikut memalingkan wajahnya dari layar kamera. Ia melihat gadis itu tepat di mata sewarna batu obsidian yang tampak begitu tenang, lalu kembali melihat ke layar kameranya. "Ya, kirain masih marah gara-gara Pak Gun."

Naya ber-oh ria, lalu kembali mencatat. "Gue nggak pernah marah, kok. Cuman memang agak capek aja, soalnya kemarin ngerjain liputan sampe jam dua pagi, itupun gue sampai ketiduran diatas meja kerja. Soal, Pak Gunawan, ya gitulah. Masih agak kesal, sih, cuman 'kan salah gue sendiri juga."

Tom berdeham panjang. Menanggapi jawaban Naya seadanya. Jujur saja, diantara semua rekan kerja wanitanya, hanya Naya-lah yang tidak mempersulit sesuatu. Ia selalu menerima segala komplain dan omelan yang setiap kali tertuju padanya, tanpa merasa tersinggung.

"By the way, ternyata itu beneran mayatnya Pak Fredy, ya?"

"Menurut keterangannya, sih, begitu," jawab Naya singkat.

Sebagai seseorang yang penakut, pundak Tom langsung menggeliat seperti cacing yang terkena garam. Ia bergidik ngeri membayangkan karung goni berisi bubur daging milik Ketua Divisi III DPR itu.

"Serem banget!" Ia kemudian menunjukkan sekujur lengannya kepada Naya sambil berkata, "tuh, liat! Bulu kuduk gue naik semua!"

Gadis bersurai sakura itu memandang reaksi Tom itu datar. "Lebay."

Suara dering telepon khas merek ponsel ternama terdengar nyaring. Melupakan rasa takutnya, Tom langsung kearah Naya. "Siapa, Nay?"

Naya tidak langsung menjawab. Ia memandang skeptis layar ponsel yang menampilkan nomor tanpa nama dan profil yang menampakkan latar abu-abu. Walaupun tanpa nama dan foto profil, ia hapal betul dengan kombinasi nomor ponsel tersebut. Naya menghembuskan nafas berat. Dalam hati ia merutuki kebiasaan orang itu yang senang meneleponnya tanpa pemberitahuan.

"Bokap," jawabnya pelan lalu berjalan agak jauh dari tempat awalnya duduk.

Tombol hijau ia geser lalu meletakkan benda kotak itu disamping kepala. Suara diseberang sana tampak akan berbicara, namun langsung dipotong oleh gadis itu. "Apalagi?" tanyanya tak sabar.

"Papa kira kamu sudah berubah, ternyata tidak, ya?" Bola mata gadis itu memutar saat mendengar sindiran pria yang ada diseberang sana.

"Kalau gak penting, aku matiin," ujar gadis muda tersebut mengabaikan sindiran yang tertuju padanya.

Pria yang diketahui sebagai papa itu terdengar menghembuskan nafas berat, lalu menjawab, "papa cuman ingin tahu keadaanmu saja. Sehat, Serra?"

Naya mendengkus kasar mendengar pertanyaan tersebut. Sejak kapan pak tua itu mulai perhatian kepadanya? Dan Serra? Ha! Kerasukan arwah apa dia sampai mau memanggil nama kecilnya?

Ia menarik ponsel itu dari samping kepala lalu mendekatkan speaker ke dekat bibir, lalu berseru, "kumatiin!"

"Tunggu, Serra! Jangan!!!"

Mendengar suara panik dari seberang membuat kedua ujung bibirnya tertarik keatas. Serra tersenyum puas, sangat puas. Kapan lagi dia bisa membuat seorang Panglima TNI panik?

Ia menaruh kembali ponsel ke samping kepala lalu berucap, "makanya to the poin!"

Sang papa terdengar kembali menghembuskan nafas. Cukup lama pria itu diam hingga Serra berpikir ingin langsung mematikan panggilan itu. Baru saja bibirnya hendak bergerak, pria itu langsung berbicara menghentikan keinginan Serra untuk berbicara.

"Terus waspada, nak." Sebelah alis Serra terangkat, waspada untuk apa?

Jika ini menyangkut identitasnya sebagai seorang agen intelijen, jelas dia selalu waspada. Toh, sejak lulus pendidikan dari sekolah intelijen dua tahun yang lalu, ia langsung ditugaskan sebagai jurnalis dengan nama Kanaya Larasati. Dan semenjak dua tahun itu, dia tidak pernah menyinggung nama aslinya, ataupun kembali ke rumahnya, apalagi menyinggung hubungannya dengan Panglima TNI. Karena sekarang dia adalah Kanaya Larasati seorang jurnalis dari keluarga yang sederhana, bukan Serafina Adesti Atmaja seorang putri angkat Panglima TNI Jend. TNI Rafandy Rahmat Atmaja.

"Karena selama beberapa hari kedepan, papa yakin kamu akan mengalami kesulitan. Kalau bisa pulang kesini! Disana berbahaya!" Dua kalimat terakhir Rafandy justru membuat Serra semakin skeptis.

Justru kembali kesana lebih berbahaya, ucap Serra dalam hati.

"Tidak akan," jawab Serra tegas. Ia langsung mematikan panggilan tersebut tepat saat Rafandy akan berucap dan langsung mematikan total ponsel tersebut agar Rafandy tidak bisa menghubunginya lagi.

"Udah selesai?" tanyanya pada Tom setelah sampai ditempat sebelumnya ia meliput.

Tom tidak langsung menjawab. Ia tampak fokus memotret suasana halaman Polda yang mulai sepi karena konferensi pers telah usai. Para wartawan yang tadinya berjubel di depan mimbar kini berlari mengejar mobil Kadiv Humas Polri yang tengah menuju gerbang. Setelah menjepret beberapa gambar, barulah ia menjawab pertanyaan Serra.

"Udah, Nay. Lo gimana? Udah selesai teleponan sama bokap lo?" Tom bertanya balik yang hanya dijawab dengan anggukkan.

Sebelah alis gadis itu terangkat saat Tom menyerahkan beberapa lembar kertas kearahnya. Ia meraih kertas-kertas tersebut yang rupanya berisi garis besar konferensi pers tadi.

"Gue catatin biar lo gak kerepotan nanyain ke Hera."

"Thanks, Tom."

"Urwell. Kuy, join anak yang lain. Pak Gun juga ngajakin ke rumah makan sehabis ini."

Serra menganggukkan kepala lalu berjalan mengikuti Tom dari belakang. Jujur saja, selama ia menjawab panggilan dari sang papa, Serra merasa ia sedang diawasi oleh orang lain. Ia berhenti melangkah lalu melihat ke belakang, tepat kearah gedung apartemen yang berada di samping masjid Polda.

Mata sewarna obsidian itu memincing tajam kearah jendela-jendela apartemen yang tertutup rapat. Tidak terlihat apa-apa memang, tetapi ia yakin ada orang yang mengawasinya.

"Nay? Ada apa?"

Panggilan dari Tom menyadarkan gadis tersebut. Segera ia kembali berjalan di samping pemuda gondrong yang tampak kebingungan. Serra juga tak menjawab pertanyaan pemuda itu, membuat Tom semakin bingung.

Ini pasti ada sangkut pautnya dengan panggilan Papa tadi. Mungkinkah, utusannya?

Dari dalam salah satu kamar apartemen, seorang pria tampak fokus melihat dari teropong jarak jauhnya. Pria itu mengenakan kaos hijau lumut yang dipadukan dengan jaket parasut hitam. Wajah dan kepalanya juga ditutupi dengan masker hitam dan topi cap berwarna hitam dengan trem putih.

Dari pengamatannya, ia mengarahkan teropong itu pada sosok gadis dengan surai mirip permen kapas yang biasa dijual di pasar malam. Punggung gadis itu tampak berjalan beriringan dengan seorang pemuda berambut gondrong, sebelum akhirnya berhenti dan berbalik melihat kearah jendela yang ia tempati. Sontak pria itu langsung menjatuhkan tubuhnya kebawah.
Ia beringsut ke sisi lain jendela dan berdiri dibalik dinding. Pria itu mencondongkan sedikit badannya kearah jendela untuk melihat apakah gadis bersurai kapas itu masih melihat kearah apartemen. Gadis itu memandangi apartemen selama beberapa menit, sebelum akhirnya mengikuti temannya kembali.

Pria bermasker itu menghela nafas lega. Ia kembali mengarahkan teropong kearah target hingga gadis itu menghilang bersama rombongan kendaraan jurnalis menuju jalan yang mengarah ke taman kota.

"Serigala Hitam masuk, ganti!" seru pria tersebut kearah HT yang ia pegang. "Ijin melaporkan, target kini bergerak menuju taman kota. Laporan selesai, ganti!"


Serafina Adesti Atmaja (Serra)

(Usia: 22 tahun)

Untuk saat ini kita pake AI dulu, soalnya saya belum punya gambar proper-nya Serra. Kebanyakan masih berbentuk panel komik.

Untuk artist yang hak cipta karya-nya tercuri oleh AI ini, saya mohon maaf sekali🙏

Sampai jumpa kapan-kapan lagi, ya!

Kamis, 25 Januari 2023

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top