Bagian Akhir


Seluruh berita di stasiun TV nasional dan juga sosial media telah memberitakan tertangkapnya pembunuh berantai di stasiun kereta yang selama ini meresahkan warga.

Ragil, anak lelaki yang menjadi umpan si pembunuh pun menuai banyak pujian dan juga keprihatinan. Kabarnya, Ragil melakukannya atas permintaan Gista dan menurutinya karena ingin mengungkap si pembunuh.

Padahal, aslinya, Ragil hanyalah anak kecil kenalan Aeon yang membutuhkan sejumlah uang untuk membiayai operasi ibunya. Ia tidak peduli meski nyawanya terancam, asalkan bisa menyelamatkan ibunya.

Karena itulah, Gista membayarnya.
Akhirnya, ibunya selamat berkat operasi. Pembunuh pun tertangkap. Ragil berterima kasih dengan tulus pada Aeon dan Gista.

Di sosmed, banyak warganet yang memuji Gista karena keberaniannya. Tetapi, tidak sedikit juga yang mengkritiknya karena menjadikan anak kecil sebagai umpan. Ia juga mendapat teguran dari atasan karena perbuatannya. Karena itu, selain mendapat selamat, ia juga diskors karena membahayakan nyawa warga sipil.

Ya, Gista sama sekali tidak melibatkan Aeon dalam laporannya. Ia mengatakan jika semuanya adalah rencananya. Ini semua dia lakukan untuk melindungi Aeon dari kecurigaan. Seperti yang Aeon minta.

Meski begitu, Aeon tetap terseret karena merupakan satu-satunya keluarga Arion yang masih hidup. Ia sempat diinterogasi karena ada kemungkinan sebagai kaki tangan.

Namun, dari hasil penyelidikan dan interogasi, tidak ditemukan jejak Aeon membantu Aron, kakaknya. Aeon sudah hidup terpisah dan mandiri sejak lima belas tahun lalu.

Aeon juga mengaku, bahwa kakaknya dulu sempat ingin membunuhnya. Tetapi, ia berhasil diselamatkan oleh seseorang. Saat itu, ia tidak melapor karena ia tidak memiliki bukti. Selain itu, ia juga masih terlalu kecil untuk dipercaya orang dewasa.

"Berapa umurmu saat itu?" tanya Gista yang menjadi penanggung jawab kasus tersebut. Menginterogasi Aeon di ruang interogasi.

Karina di sampingnya mencatat semua jawaban Aeon.

"Aku berumur 7 tahun, dan kakaku 11 tahun."

"Bagaimana cara kakakmu mencoba membunuhmu?"

Aeon diam sesaat. "Dia menusukku di perut menggunakan bekas botol bir yang pecah, di malam hari saat hujan, di dekat tumpukan sampah saat sedang mencari makanan." Ia kemudian memperlihatkan bekas luka di perutnya.

"Dia pergi setelah menusukku. Dan aku selamat berkat seorang pemulung," ujar Aeon terlihat sedih karena orang tersebut kini sudah tiada.

"Kenapa saudaramu ingin membunuhmu?" Gista mencoba untuk tidak terlalu bersimpati.

Aeon tampak tersenyum masam. "Kami berebut permen. Ya, hanya karena sebuah permen yang masih utuh dan tergeletak di tempat sampah. Selapar itulah kami saat itu."

Suasana ruang interogasi itu hening untuk sejenak. "Apakah itu permen kaki?"

"Ya."

***

Aeon keluar dari kantor polisi setelah memberitahu segala hal yang mereka inginkan.

Saat keluar, langit sudah gelap. Dan hujan turun cukup deras. Ia mematung menatap hujan. Ia tidak memiliki ingatan atau kenangan bersama orang tua. Tapi kakaknya, Arion punya.

Orang tua mereka meninggal saat Aeon berumur 3 tahun. Aeon tidak begitu mengingat kenangan di umur 3 tahun. Ia hanya ingat menjadi gelandangan bersama sang kakak.

"Kakak, seperti apa orang tua kita?" Aeon bertanya pada Arion di suatu hari, karena sebelumnya ia melihat keluarga kecil yang tampak bahagia.

"Mereka orang tua yang buruk. Mereka sering memukul dan menyiksaku. Karena itu, aku melenyapkan mereka," ucap Arion dengan seringaian di wajahnya.

Ia kemudian mengusap kepala Aeon yang menatapnya polos. Tersenyum, ia berkata, "Karena itu, Aeon juga harus baik. Kalau tidak, aku juga akan melenyapkanmu."

Saat itu, Aeon tidak mengerti apa yang dimaksud dengan melenyapkan. Setelah ia ditusuk dan hampir mati, ia mengerti, kalau Arion yang membunuh kedua orang tuanya.

Setelah ia diselamatkan seorang pemulung saat itu, ia bisa bersekolah dan membantu pria paruh baya yang menyelamatkannya dengan ikut memulung dan terkadang mengamen.

Meski mereka hidup serba kekurangan, tapi pertama kalinya Aeon merasakan memiliki orang tua. Pak Herman, begitu Aeon memanggilnya, adalah orang yang baik dan ramah. Ia menyayangi Aeon dengan tulus.

Meski begitu, Aeon harus berpisah dengan Pak Herman untuk selamanya saat ia kelas 6 SD. Pak Herman meninggal karena penyakit yang dideritanya. Semua itu karena mereka tidak memiliki uang untuk berobat. Aeon yang masih kecil tidak mampu melakukan apa-apa.

"Apa kamu tidak ingin menemui saudaramu?"

Sebuah suara membuyarkan lamunan Aeon. Ia menoleh dan melihat Gista di sampingnya.

"Tidak."

"Kamu tidak penasaran kenapa kakakmu bisa menjadi pembunuh walau dia diadopsi?"

Aeon diam sejenak, kemudian kembali menjawab, "Tidak."

"Lagi pula, dia sudah menjadi pembunuh sejak kecil. Cukup sekali bagi seseorang untuk merasakan kepuasan mendapat apa yang diinginkannya dengan menyingkirkan orang lain. Setelahnya, dia akan melakukannya dengan mudah," Aeon kembali berkata. "Mungkin dia memiliki alasan. Tapi aku tidak ingin tahu apa yang sudah dilaluinya, aku tidak ingin berbelas kasihan padanya."

Gista menepuk bahu Aeon. "Kau juga sudah bertahan sejauh ini," ucapnya tersenyum. Berusaha menyemangati.

Namun, niat tulus Gista malah direspon dengan guraun Aeon, "Apa Anda sedang mencoba menggodaku, Bu Gista?"

Gista memutar bola mata. "Aku lupa kalau kau memang bocah menyebalkan," ujarnya lalu kembali ke dalam.

Aeon melihat payung yang awalnya tidak ada, kini tergeletak di dekat tiang. Ia tersenyum. Mengambil payung dan pulang.

.
.

- End

Alhamdulillah .... Terima kasih banyak untuk semua yang telah mampir untuk sekadar memberi bintang ataupun komentar. Apresiasi kalian sangat berharga 🥰
Barokallohufiikum ... 🤗☺️

Salam,
Tinny Najmi.

Karanganyar, 22 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top