Bagian 4


Seorang ibu paruh baya bersama anak lelaki berumur sepuluh tahun, tampak terburu-buru menuju stasiun. Begitu tiba, ia dihadang oleh petugas.

"Maaf, tapi untuk saat ini, anak-anak dilarang untuk naik kereta."

"Apa? Aku pernah mendengarnya, tapi kupikir ini sudah tidak berlaku. Bukankah sudah hampir dua bulan sejak saat itu?"

"Benar, tapi peraturan tersebut masih berlaku sampai sekarang."

Si ibu tampak gelisah. "Bagaimana ini? Anakku harus segera ke Jakarta sekarang juga. Dia akan mengikuti olimpiade."

"Anda bisa mencari bis ...."

"Aduh ... mana sempat. Sudahlah izinkan saja. Aku akan membeli tiket dan langsung menunggu di peron. Kami tidak akan ke mana-mana. Kalau Anda khawatir takut terjadi sesuatu, Anda kan bisa menjaga kami. Bukankah itu tugas kalian?"

"Tapi, Bu ...."

"Aduh, sudah deh, Pak. Ini waktunya mepet! Kalau saya ketinggalan kereta, Bapak mau tanggung jawab kalau anak saya sampai tidak bisa ikut lomba dan didiskualifikasi?"

"Ibu ...."

"Lagian siapa yang bilang kalau korban selanjutnya anak-anak? Para polisi gak becus itu? Kalau begitu seharusnya mereka segera menangkap pelakunya. Kenapa malah membuat peraturan seperti ini? Tidak masuk akal!"

Petugas itu tampak lelah menghadapi segala ocehan wanita tersebut. Ia melirik anak lelaki di samping si ibu yang tetap diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Pak! Saya ini sudah mendidik anak saya se-"

"Baik, Bu, baik," Petugas menghentikan wanita itu yang masih belum berhenti nyerocos seperti petasan. Ia menghela napas. "Saya akan mengizinkan, saya sendiri yang akan mengawasi Ibu dan anak ibu."

"Nah, gitu dong dari tadi. Kenapa harus susah-susah begini? Buang-buang waktu aja jadinya. Ayo, Ragil."

Ragil menurut dan mengikuti ibunya. Setelah membeli tiket, mereka menunggu kereta di peron 3. Sang petugas berjaga di dekat mereka dan selalu memantau keadaan sekitar.

Si ibu tiba-tiba bangkit menghampiri petugas. "Pak, saya mau ke toilet. Udah nggak tahan ini. Tolong jaga anak saya, ya, sebentar."

Sebelum merespons, si ibu pergi begitu saja. Petugas itu menghela napas. Ia berniat menghampiri Ragil. Namun, seorang penumpang memanggilnya dan memberitahukan kalau di depan loket ada keributan.

"Memang di sana tidak ada petugas lain?"

"Kalau ada, buat apa saya ke sini? Cepat, Pak, situasinya gawat. Orang itu sampe numpahin minuman ke penjaga loket."

Petugas itu bimbang. Si ibu sudah cukup lama ke toilet. Di sana juga tidak ada orang. Stasiun akhir-akhir ini memang sering sepi.

Ia pikir, mungkin sebentar lagi orang tuanya akan datang. Ia menghampiri Ragil. "Nak, Bapak ada urusan sebentar. Kamu jangan ke mana-mana dan tunggu ibumu, ya. Kalau ada orang aneh, jauhin aja. Ngerti?"

Ragil mengangguk, tanpa kata. Setelah itu, petugas pun pergi. Meninggalkan Ragil sendirian di bangku yang menghadap ke rel kereta. Ia tidak bermain ponsel, tapi memainkan rubik dengan wajah tanpa ekspresi.

Sampai seseorang duduk di sebelahnya. Rubik di tangannya pun sudah selesai disusun. Anak itu berhenti bermain.

"Hei, Nak."

Ragil menoleh dan melihat seorang pria berseragam dengan wajah cukup tampan. Tersenyum padanya.

"Kamu suka main rubik ya?"

"Iya," ucapnya kemudian kembali mengacak-acak rubik untuk kemudian ia susun lagi.

"Kamu suka permen?"

Ragil menoleh kemudian menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah makan permen. Ibu bilang, makan permen tidak baik untuk kesehatan gigi."

"Apa? Bagaimana bisa seorang anak tidak pernah mencoba makan permen? Astaga ... sungguh malang sekali kamu, Nak." Pria itu kemudian mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Ini, cobalah. Permen ini sangat enak. Paman akan merahasiakannya dari ibumu."

Ragil melihat permen dengan bungkus plastik berwarna biru bergambar kepala dengan tulisan hot-hot pop, dan sebelahnya hanya plastik bening. Sehingga ia bisa melihat permen berwarna merah berbentuk kaki.

Dia menggeleng. "Tidak. Warna merahnya pasti akan membekas di lidahku dan ibu akan tahu."

Pria itu tersenyum dan mendengkus. Ia melihat sekeliling dan tidak ada siapa-siapa. Ibunya maupun petugas yang tadi belum kembali.

"Ya ampun, Nak. Sepertinya kamu sangat tidak beruntung. Paman akan membuat kamu merasakan betapa enaknya permen ini."

Ragil bangkit hendak menjauhi orang tersebut. Karena teringat ucapan petugas sebelumnya yang memberitahu dia untuk menjauhi orang aneh. Dan ia pikir, petugas yang ini sangatlah aneh.

Namun, saat menjauh, langkahnya terhenti karena petugas tadi menahan dan membiusnya. Ia mencoba memberontak tapi tak lama, kesadarannya mulai hilang.

Petugas itu kemudian membawa Ragil. Saat ada yang melihat, mereka tidak curiga karena mereka pikir, anak itu kenapa-kenapa dan akan segera diurus oleh petugas.

Petugas muda itu membawanya jauh ke belakang stasiun. Tempat tidak ada orang ataupun CCTV. Ia menurunkan Ragil yang tidak sadar dan mengeluarkan sebilah pisau dari balik seragamnya.

Ia tertawa sambil memainkan pisau di tangan. "Anak yang malang .... Hari ini, Paman akan mengirimmu ke surga agar kau bisa berbahagia. Di sana, kau bisa memakan permen sepuasmu."

Lelaki itu menyeringai, mengangkat pisaunya dan hendak menusuk anak lelaki yang terbaring tidak sadar.

"Buk!" Seseorang menendang tangan si pelaku hingga pisaunya terlempar.

Si pembunuh menoleh dengan raut kesal, tapi kemudian ekspresinya berubah kaget saat melihat wajah orang yang tadi menendang tangannya.

Gista dan timnya segera keluar dari persembunyian. Menunggu hingga si pelaku melakukan aksi agar mereka cukup bukti untuk menangkapnya.

Ia tampak kaget melihat Aeon di sana. Wajah mereka tegang dan serius. Jika saja Aeon tidak segera menendang pisau tadi, mungkin mereka akan sedikit terlambat.

Mereka mengepung dan menodongkan pistol pada si pelaku. Salah satunya adalah ibu si anak yang ternyata adalah Karina yang menyamar.

"Petugas Arion. Anda ditangkap atas kasus pembunuhan berantai. Ikutlah tanpa perlawanan."

Tanpa memedulikan Gista, lelaki berseragam yang diketahui bernama Arion itu menatap pada pria di hadapannya dengan kilatan amarah sekaligus kesenangan yang menyala. "Aeon ...."

Aeon masih memasang wajah dingin. "Sudah saatnya berhenti, Kakak."

Arion. Orang yang Aeon sebut kakak itu, menutup wajah dengan satu tangan, sedikit menunduk. Bahunya bergetar. Orang-orang di sana saking lirik.

"Pe---"

Gista menahan ucapannya begitu terdengar suara tawa tertahan. Hingga kemudian berubah menjadi suara terkikik yang tidak bisa ditahan. Arion tertawa seperti orang gila.

"Ah ... aku tidak menyangka kamu masih hidup, adikku," ucapnya masih dengan seringaian. "Bagaimana bisa kamu masih hidup? Kamu pasti menderita .... Padahal, aku sudah berbaik hati mengirimmu ke surga."

Aeon mengedikkan bahu. Terlihat santai. "Karena Tuhan belum menghendaki aku mati?"

Tatapan Arion berubah tajam. Detik berikutnya, Arion menerjang Aeon hingga jatuh dan mencekiknya.

"Harusnya kamu sudah mati ...!"

Aeon berusaha menyingkirkan tangan kuat Arion yang mencekik lehernya. Sungguh kekuatan yang di luar dugaan.

Gista meletuskan tembakan peringatan.

"Petugas Arion! Hentikan!"

Namun, Arion tampak tak peduli. Tim lain langsung bertindak dan menahan Arion. Pria itu segera diborgol walau terus memberontak sambil tertawa-tawa. Persis orang tidak waras.

Aeon terbatuk.

"Kenapa kamu ada di sini? Kamu tidak apa-apa?" tanya Gista.

"Aku baik-baik saja."

"Tim paramedis, amankan anak lelaki itu dan periksa kondisinya," perintah Gista.

"Baik!"

Gista menatap Aeon. Jika bukan karena pria itu, mungkin ia dan tim masih kesulitan menangkap si pembunuh. Meski begitu, ia tidak menyangka kalau ia dan si pembunuh benar-benar saling kenal. Kembali ke saat Aeon menawarkan sebuah rencana padanya ....

"Apa kau gila?" tukas Gista setelah mendengar rencana Aeon.

Aeon mengusulkan untuk sementara melakukan pelarangan membawa anak kecil ke stasiun. Ia yakin, si pembunuh tidak akan beraksi sebelum menemukan targetnya yang merupakan anak-anak.

Setelah waktu yang cukup, ia menyarankan membuat situasi yang disengaja. Yaitu menyuruh seorang ibu rumah tangga membawa seorang anak ke stasiun untuk dijadikan umpan. Begitu si pembunuh keluar dan beraksi, mereka akan menangkapnya.

"Kenapa? Bukankah rencana ini lumayan? Yang penting kalian tidak terlambat menghentikan si pembunuh."

Gista menggeleng. "Tidak. Aku tidak bisa menjadikan seorang anak sebuah umpan. Kau gila, Aeon."

Aeon tertawa. "Anda harus lebih gila kalau mau menghadapi orang gila, Bu Gistara."

Gista terdiam. Ia berpikir. Sebenarnya, rencana Aeon memang ada kemungkinan berhasil. Tapi, kemungkinan gagal juga ada. Jika mereka gagal menghentikan si pembunuh, anak tersebut akan benar-benar jadi korban. Dan yang pasti, karirnya juga akan berakhir.

"Coba Anda pikirkan. Ini jalan terbaik untuk menangkap basah si pembunuh."

"Seberapa yakin kamu dengan rencana ini?" tanya Gista.

"Hmm ... 90%?"

Gista mengernyit. "Setinggi itu? Bagaimana kau bisa seyakin itu?"

Aeon tersenyum. "Karena aku punya prasangka tentang identitas si pelaku. Jika aku benar, maka keberhasilannya mencapai 99%."

Gista menatapnya. Ia ingin tahu bagaimana dia bisa memiliki prasangka siapa pelakunya. Karena itu, Gista memperlihatkan data orang-orang yang sudah dikumpulkan oleh profiler yang kemungkinan besar jadi tersangka dari ponselnya.

"Apa ada salah satu di antara mereka?"

Setelah melihatnya, Aeon menggeleng. "Tidak ada. Tebakanku adalah seseorang yang kukenal. Aku mengenalnya dengan sangat baik."

Gista kembali menatapnya. Haruskah ia percaya padanya? Atau justru kepercayaannya akan membawa petaka yang lebih besar?

Gista menghela napas. "Baiklah, anggap saja aku menyutujui rencanamu. Lalu, siapa anak yang akan menjadi umpan? Kamu pikir, ada orang tua yang mau mengorbankan anaknya? Dari awal, rencana ini sudah mustahil."

"Untuk itu, Anda tidak perlu khawatir. Aku mengenal seseorang yang akan mau melakukannya. Asal mendapat bayaran yang setimpal."

Gista semakin dibuat keheranan. Benarkah ada anak yang seperti itu? Ia menatap Aeon sengit. "Siapa kamu sebenarnya?"

Aeon tersenyum. "Aku bukan siapa-siapa."

"Baiklah. Tapi, bagaimana aku bisa mempercayaimu? Apa jaminannya kalau kamu tidak berbohong dan mengkhianatiku?"

"Hmm ...." Aeon bergumam kemudian bunyi 'krek' dari permen yang dikunyahnya terdengar. Ia membuang gagang permen sembarang, kemudian tersenyum dan berkata, "Tidak ada. Kalau Anda tidak mau percaya, ya sudah. Aku tidak rugi apa pun." Ia mengedikkan bahu.

Gista mengepal geram. Namun, pada akhirnya ia memutuskan untuk percaya pada Aeon. Seperti yang ia bilang, ini adalah pertaruhan yang besar.

Lalu, setelah mendiskusikan hal tersebut bersama anggota timnya, Gista mengatakan kalau dia yang akan menanggung semuanya. Tetapi, timnya tidak membiarkan Gista sendirian. Mereka mengikuti rencana Gista karena mereka menghormatinya.

Hingga akhirnya, mereka berhasil menjalankan rencana Aeon dan menangkap si pembunuh yang ternyata adalah saudara Aeon.

.
.
.

To be continued ....

Karanganyar, 22 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top