Bagian 2
Sudah satu minggu, Gista menghabiskan waktunya untuk menyelidiki Aeon. Ia bahkan memantaunya hampir 24 jam.
Tebak apa yang ia dapat?
Nihil. Hidup pria itu tampak membosankan seperti orangnya. Jika tidak ke kampus, Aeon hanya keluar saat merasa lapar. Lebih sering makan mie daripada makan nasi. Ia juga terlihat tidak memiliki teman atau bergaul dengan warga sekitar.
Padahal, ia tampak sangat akrab dengan ibu penjual bakso. Selain itu, tidak ada yang spesial. Gista jadi meragukan insting detektifnya selama ini. Apa ia salah?
Namun, di hari ia memutuskan untuk berhenti membuntuti Aeon, ia melihat Aeon keluar di jam yang tidak seperti biasanya. Dengan berpakaian serba hitam dan juga topi hitam. Pria itu berjalan menuju stasiun kereta.
Sigap, Gista mengikutinya. Namun, ia lengah. Aeon tiba-tiba menghilang dari pandangannya.
"Ah … sial. Jalannya cepat sekali." Gista menggerutu pelan. Ia pun memutuskan untuk kembali saja.
Begitu berbalik, Aeon sudah di depan Gista. "Kenapa Anda terus mengikutiku?"
Langkah Gista terhenti. Rupanya ia ketahuan. Berarti Aeon memiliki indra yang tajam.
"Sejak kapan kamu tahu?" Walau cukup terkejut, Gista bisa mengendalikan ekspresinya. Ia sudah cukup terbiasa berada si situasi seperti ini.
"Aku tahu sejak awal," ucap Aeon. "Jawab pertanyaanku."
"Aku hanya penasaran denganmu."
"Seharusnya Anda bertanya, bukan mengikutiku seperti penguntit. Apa itu yang dilakukan penyidik sekarang? Pantas saja. Kerja kalian tidak becus."
Rupanya, Aeon tahu kalau dirinya seorang penyidik. Meski begitu, Gista merasa tersinggung. Cara bicara, tatapan, serta wajah tampan yang tak acuh itu tampak sangat menjengkelkan. Ia ingin membalas, tapi Aeon kembali berbicara, "Apa yang Anda ingin tahu dariku?"
"Aku mengikutimu karena kamu terlihat mencurigakan," ucap Gista. Tidak mungkin, kan, dia langsung mengatakan kalau di matanya, orang yang menyukai permen kaki yang banyak dihindari karena kasus pembunuhan terlihat sangat tidak biasa.
Bibir Aeon tersungging kecil mendengarnya. "Bagian mana yang mencurigakan? Aku yang menyukai permen kaki? Atau aku yang tiba-tiba pergi menuju stasiun?"
Gista terpana dan akhirnya menyerah. Orang ini tampaknya tidak mudah. "Baiklah. Aku akan mengatakan yang sebenarnya. Kau benar. Kedua hal itu mencurigakan. Aku tidak bisa diam saja melihat hal yang ganjil di depan mataku."
Gista menatap pria muda di depannya. "Biasanya, orang menghindari membeli permen kaki karena takut dicurigai. Tapi kamu tidak. Kenapa?"
"Hmm …." Aeon malah bergumam dan bersedekap. Tampak santai dan tidak terintimidasi sama sekali. "Karena aku tidak bersalah? Kenapa aku harus takut? Anda sungguh aneh, Nona. Sebaiknya Anda berhenti mengikutiku. Karena Anda tidak akan mendapat apa-apa dengan melakukan itu. Kalau Anda tidak melakukannya, aku akan melaporkan perbuatan Anda karena aku merasa terganggu. Kalau begitu, permisi."
Aeon kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan Gista yang termangu. Baru kali ini, ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Meski begitu, ia tetap merasa Aeon bukan sembarang orang.
Ia tidak bisa menyerah di sini.
***
Hari-hari berikutnya, Gista mulai mendekati Aeon secara terang-terangan. Ia juga menanyakan berbagai hal padanya tanpa niat tersembunyi lagi. Ia rasa, cara ini lebih efektif dilakukan pada orang seperti Aeon.
"Apa alasanmu sangat menyukai permen kaki?" Entah sudah keberapa puluh kali Gista menanyakan ini, tapi tidak juga mendapat jawaban.
Aeon yang sedang mengerjakan skripsi di kafe terdekat, menghela napas. Tidak di kosan, di warung, kini di kafe pun, Gista masih mengikutinya. "Nyonya, tolong berhenti menggangguku. Kalau Anda terus begini, aku sungguh akan melaporkan Anda."
"Nyonya?" Gista merasa tak terima. Tapi, kemudian mengabaikan panggilan tersebut. "Yah, lakukan saja. Lagipula aku sedang bekerja. Kamu tidak tahu? Kalau ini adalah bagian dari pekerjaanku?" balas Gista enteng.
"Dan selama Anda melakukan ini, pembunuh sebenarnya sedang berkeliaran bebas di luar sana. Apa Anda tidak merasa bersalah?"
"Maka dari itu, tolong kerja samanya. Kamu tinggal menjawab pertanyaanku, kan?"
"Nyonya, berapa umur Anda?"
"Apa? Kau mau membuatku kesal dengan bertanya umurku? Heh," Gista tertawa meremehkan. "Aku tidak mempan dengan pertanyaan pancingan seperti itu."
"Tidak. Hanya saja, Anda terlihat sangat muda. Jadi aku bertanya. Tidak mungkin umur Anda masih kisaran 20, kan?"
Gista termangu. Apa bocah di hadapannya ini sedang menggodanya? Ia memijat pelipis. "Umurku hampir 40 dan aku tidak tertarik pada pria yang lebih muda. Sudah puas?"
Aeon menahan tawa dan mengedikkan bahu. "Apa seharusnya aku memanggil Anda Bibi?"
"Kau–!!"
Aeon menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Ia bersiap pergi. Gista yang menahan amarah kembali memijat pelipis, tidak menghentikan kepergian Aeon. Ia tampak sudah lelah berurusan dengan pemuda itu.
Namun, sebelum pergi, Aeon sempat berkata, "Aku tidak akan menjawab semua pertanyaan Anda. Tapi, aku akan mengatakan ini sekali. Korban selanjutnya kemungkinan besar adalah remaja."
Gista tercenung. Otaknya entah kenapa sedikit lambat memproses perkataan Aeon barusan. Saat tersadar, Aeon sudah membuka pintu kafe dan berjalan menjauh. Ia pun segera berlari mengejar pria itu.
***
Gista kini berada di stasiun. Meski kejadian pembunuhan sudah tiga kali terjadi dalam waktu dua bulan, masih ada beberapa orang yang tetap pergi ke stasiun untuk bepergian. Walau tidak seramai sebelumnya.
Ia teringat ucapan Aeon sebelumnya. Apakah ia harus percaya dengan apa yang dikatakan pemuda itu? Tapi, atas dasar apa? Lagi pula, Aeon mengatakan 'kemungkinan besar' bukan 'pasti'. Ia tidak harus mempercayai omongan pemuda itu. Bisa saja, lelaki itu hanya iseng agar dirinya berhenti mengganggu Aeon.
Namun, bagaimana jika tebakan Aeon benar? Gista merasa makin frustasi dibuatnya. Bertanya pada Aeon pun tidak ada gunanya. Lebih baik ia kembali ke kantor dan memikirkannya secara mendalam. Hari juga semakin gelap.
Di kantor, Gista melihat papan analisis kasus Red Candy.
Korban pertama, ibu rumah tangga, 50 tahun, terjadi pada hari Senin 20 Februari. Korban kedua, pria kantoran 56 tahun, terjadi pada hari Sabtu, 25 Maret. Lalu, korban ketiga, lelaki yang baru naik jabatan, 27 tahun, Rabu, 5 April.
Jejak: permen kaki di mulut dan tangan korban yang berlumuran darah. Tidak ditemukan senjata, tapi hasil autopsi menunjukkan adanya bekas tusukan di perut serta sayatan di leher. Selain itu, kemungkinan korban dibius sebelum dibunuh.
"Kenapa permen kaki?"
Dari korban pertama ke yang kedua berjarak satu bulan, sedangkan dari kedua ke yang ketiga hanya sepuluh hari. Waktu yang acak. Sekarang sudah hampir dua minggu berlalu sejak korban ketiga.
"Apa pelaku akan memulai kembali aksinya? Lalu … kenapa permen kaki?"
Gista fokus berpikir. Kini, yang bisa ia dengar hanya suara detik jarum jam.
Tik … tik ….
Permen kaki … permen kaki … jari … darah ….
Tik … tik ….
Ibu jari … jari ….
"Bu Gista!"
Seseorang menepuk pundaknya. Fokus Gista buyar seketika. Gista menoleh. Mendapati Karina di sana. "Ada apa?"
"Yang lain sudah mau pulang. Ibu tidak pulang?"
Gista menatap Karina sejenak, kemudian melihat rekan-rekannya yang lain. "Ada yang ingin kusampaikan."
Semua langsung fokus pada Gista. "Beri tahu polisi yang berpatroli malam ini untuk lebih fokus, terutama jika ada calon penumpang seorang remaja. Sampaikan sebelum kalian pulang."
"Remaja? Kenapa?"
"Lakukan saja seperti yang kukatakan," ucap Gista tak ingin memberi penjelasan lebih. Karena ia sendiri belum yakin dengan hipotesisnya.
"Baik, Bu!"
Gista pikir, dengan begini, ia bisa sedikit mengantisipasi korban selanjutnya. Walau ia sendiri tidak yakin. Namun, tepat di pukul 11.45, ia mendapat laporan, korban keempat telah ditemukan. Remaja SMA, perempuan berusia 17 tahun.
.
.
To be continued
Karanganyar, 21 Februari 2023
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top