CHAPTER 2
"Alasan kenapa kami merahasiakannya adalah ... kami tidak ingin rakyat mengetahui faktanya dan berbalik menyerang kerajaan."
Kalimat itu terus terngiang di dalam kepala Cametra, membuatnya tidak fokus membaca jurnal harian milik Profesor Spellman. Alasan apa sehingga mereka merahasiakannya pada rakyat? Apa yang terjadi pada masa lalu?
Cametra memejamkan matanya sejenak, ia menyandarkan tubuhnya ke ranjang dan buku jurnal milik Profesor Spellman ditutup. Pikirannya dibiarkan tenang, semua pertanyaan keingintahuannya dibiarkan berterbangan bebas di dalam kepalanya. Lama-lama kepalanya jadi pusing memikirkan semua itu, dan menghapus sejenak pertanyaan-pertanyaan itu bisa membuatnya lega. Di dalam pikirannya yang tenang dan kosong tanpa memikirkan apa pun, Cametra terlena olehnya hingga ia terbuai ke alam mimpi.
❄❄❄
Suara ketukan pintu membangunkan Cametra, samar-samar suara seorang gadis juga ikut terdengar oleh telinganya. Cametra membuka matanya perlahan, ia bisa melihat dinding kamar berwarna biru pastel juga cermin besar dengan bingkai berwarna perak yang tertempel di dinding. Ketika Cametra menggerakkan lehernya ke arah jendela kamar yang terbuka dan cahaya yang masuk, lehernya terasa sakit akibat tidur sembarang.
Lagi, suara ketukan dan namanya kembali terdengar dari pintu. Sontak Cametra terkejut, lalu memikirkan berapa lama ia tertidur di atas karpet beledu berwarna cokelat tua dan bukan di atas ranjangnya. Dengan cepat Cametra berlari ke arah pintu, ia sudah menebak siapa yang ada di balik pintu itu. Siapa lagi kalau bukan Emily, gadis itu pasti mengantarkan sarapan ke kamarnya dan menyiapkan air dengan sabun lavendel untuk mandi. Dan setiap paginya mereka akan mengobrol, memulai harinya dengan bahagia. Ia tersenyum girang, bersiap ingin menyambut Emily dan menceritakan tentang apa yang dibacanya dari jurnal Profesor Spellman kemarin.
Ketika pintu dibuka, senyum Cametra memudar. Emily tidak datang membawa sarapannya, gadis itu hanya membawa sebuah gaun berwarna putih dengan hiasan merah. "Apa ini? Mana sarapannya?"
"Sarapan apa?" Emily menatap Cametra kebingungan, padahal beberapa jam yang lalu ia mengantarkan sarapan ke kamar Cametra.
"Sarapan yang biasa kau bawa. Oh, apa aku sarapan di ruang makan?" Sekali lagi Emily dibuat kebingungan oleh perkataan Cametra. Tak ada respon apa pun dari Emily selain menaikan alisnya, sedangkan Cametra yang juga malah ikut kebingungan segera menoleh ke belakang. "Jam berapa sekarang?"
"Ini sudah tengah hari," ucap Emily. Cametra terbelalak, tak percaya bahwa ternyata ia hanya tidur beberapa jam saja. "Oh, Yang Mulia Ratu meminta saya untuk mengantarkan gaun ini. Anda ditunggu di ruang makan."
Cametra tertawa pelan, merutuki apa yang terjadi barusan. "Maaf, soal yang tadi. Aku ambil ini, terima kasih."
Emily mengangguk, ia menunduk hormat dan berjalan meninggalkan Cametra. Langkahnya terhenti ketika Cametra memanggilnya, Emily menoleh saat Cametra mulai berbicara.
"Setelah makan siang, temui aku di kamar. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."
❄❄❄
Cametra memperhatikan dirinya di cermin, gaun putih dengan hiasan merah melekat di tubuhnya yang ramping. Kedua tangan Cametra bergerak perlahan mengepang rambutnya, tatapan matanya yang terpantul di cermin menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu. Masih dengan alasan mengapa ia dan kerajaannya dikutuk oleh seorang penyihir, dan jawaban yang ia dapatkan dari jurnal milik Profesor Spellman malah membuatnya semakin penasaran.
Cametra bergerak mengambil pita dari dalam laci meja rias, pita berwarna hijau yang tidak serasi dengan warna gaunnya. Ia tidak peduli soal keserasian warna, ia menyukai warna hijau dan warna hijau ada di lambang kerajaannya sebagai warna dasar.
Kepalanya menoleh ke arah lukisan dirinya saat masih berusia dua belas tahun, di mana dirinya dilukis oleh seniman terbaik. Di dalam lukisan itu, Cametra mengenakan sebuah gaun hijau zamrud dan mahkota dengan berlian putih. Senyumannya di lukisan itu palsu, saat itu ia hanya ingin bermain bukan untuk duduk dan berpose anggun. Di dada Cametra dalam lukisan itu terdapat pin kerajaan dengan simbol burung emas yang tengah melebarkan sayapnya dan warna latar hijau zamrud. Kaki burung itu mencengkram sebuah panah berwarna emas.
Cametra tersenyum simpul, ia bahkan tidak tahu di mana letak pin itu sekarang. Mungkin disimpan oleh ibunya atau mungkin disimpan di sebuah tempat oleh Cametra sendiri. Untuk pertama kalinya ia memakai pin itu hanya saat usianya dua belas tahun, dan sampai saat ini ia tidak pernah memakainya lagi. Cametra tidak terlalu mempedulikan benda itu, lagipula ia akan mendapatkan kembali benda itu suatu hari nanti. Ia yakin itu.
Cametra berjalan menuju ranjangnya, memungut jurnal Profesor Spellman yang tergeletak di atas karpet beledu. Ia tidak ingin ada orang yang mengetahui soal jurnal itu, maka ia harus menyembunyikannya. Cametra memutar tubuhnya, mencari tempat aman untuk jurnal itu, tempat yang setidaknya jarang terlihat oleh orang lain. Sayangnya, tak ada tempat aman di sana. Mau tak mau Cametra harus menyembunyikan jurnal itu di balik gaunnya, untung saja ia memiliki saku yang lumayan luas untuk menyimpan jurnal itu.
"Jangan khawatir, Profesor, aku tetap merahasiakan jurnal ini. Kecuali pada satu orang, ya hanya satu orang saja." Cametra tersenyum dan segera bergegas meninggalkan kamarnya.
❄❄❄
Ratu Stella menatap putrinya yang berjalan perlahan menuju meja makan, kepalanya bergerak mencari sesuatu. Ratu Stella tidak ingin menanyakan apa yang sedang dicari oleh Cametra, karena ia sendiri sudah mengetahui jawabannya.
Cametra menarik kursi yang berseberangan dengan ibunya, ia duduk dan mengambil sendok di samping piring yang sudah tersedia makanan pembuka. Dengan gerakan pelan, Cametra menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya. Matanya mengarah pada kursi di samping kanan, kursi yang seharusnya ditempati oleh ayahnya.
"Dia sedang sibuk," kata Ratu Stella saat menyadari arah tatapan putrinya.
Cametra tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan. Kembali mengunyah makanannya sampai habis tak tersisa. Ketika pelayan mengangkat piringnya dan menggantinya dengan menu lain, Cametra tampak tidak bersemangat. Ia ingin segera menyudahi makan siang ini dan segera menemui Emily, ia sudah bosan karena nyaris setiap makan siang pasti selalu serupa. Kadang ibunya juga ikut menghilang saat makan siang berlangsung, kadang Cametra tidak makan siang dan memilih memakan beberapa biskuit di kamarnya sambil mengobrol bersama Emily atau berbagi buku bacaan.
"Kalau ada yang ingin kau katakan, katakan saja," ucap Ratu Stella seraya memotong daging di atas piringnya.
Cametra mengedikkan bahu, sama sekali tidak berniat untuk bicara. Lagipula, ia tidak punya topik pembicaraan, di dalam kepalanya hanya ada isi dari jurnal Profesor Spellman. Cametra mengunyah daging perlahan, membiarkan rasa dari bumbu yang membaluri daging menyentuh lidahnya. Cametra menikmati setiap suapannya, menikmati betapa enak makanan hari ini. ia ingin berterimakasih pada siapa pun yang memasak makanan itu, setidaknya mood Cametra kembali.
"Kau sudah selesai?" tanya Ratu Stella saat melihat putrinya menyeka mulutnya dengan serbet. Cametra tidak menjawab, bahkan mengangguk saja tidak. "Aku membuat dessert, pai buah kesukaanmu."
Mata Cametra terbelalak, ia sangat suka pai buah buatan ibunya. Bibirnya bergerak pelan, ragu untuk tersenyum. Namun, hatinya sangat senang, pai buah buatan ibunya adalah makanan terbaik. Apalagi dibuat dengan penuh cinta dan kasih sayang dari sang ibu, bagaikan bahan spesial yang dimasukkan ke dalam pai buah. Cametra selalu ingin memakannya terus sampai kenyang.
Ratu Stella berdiri, ia menghampiri seorang pelayan wanita dengan tubuh gemuk yang membawa nampan berisi dua piring pai buah. Ia meletakan piring pai buah dengan buah kiwi di atasnya ke hadapan Cametra, sedangkan pai buah dengan stroberi diletakan di hadapannya. "Selamat menikmati," ucap Ratu Stella dengan semangat.
"Tidak seperti biasanya," kata Cametra seraya menggigit pinggiran pai yang garing. "Kau tidak sibuk, Mama?"
Ratu Stella tersenyum mendengar perkataan putrinya, tentu saja ia sibuk mempersiapkan segala persiapan untuk pesta besok. "Anggap saja ini sebagai hadiah ulang tahunmu."
Cametra berhenti mengunyah, ia melihat wajah ibunya yang begitu mirip dengannya. Meski Cametra masih memiliki rupa sang ayah. "Mama, kau tidak perlu memaksakan diri. Kasihan adikku—eh calon adikku."
Ratu Stella tersenyum, ia tahu Cametra menantikan adiknya lahir, begitu juga dirinya. Namun, mengingat bahwa beberapa pekerjaan kerajaan harus diurus olehnya, ia terkadang melupakan kondisi kesehatannya. Mungkin urusan pesta Cametra bisa diurus oleh orang lain, tetapi ia tidak mau pesta Cametra tidak sesuai harapannya. Pesta ulang tahun Cametra harus sempurna, karena di hari itulah semua bangsawan akan datang dan menilai pestanya.
"Jangan khawatir, aku dan adikmu baik-baik saja." Kalimat itu membuat Cametra terdiam, ia sebetulnya sangat khawatir pada ibunya sendiri, tetapi ia tidak mampu menunjukkannya. "Lagipula, kapan lagi aku membuatkan pai buah untukmu, Camie."
Satu kalimat, tetapi bagi Cametra kalimat itu membuat perasaannya tidak enak.
❄❄❄
Emily menuangkan teh dari teko ke dalam dua cangkir porselen di hadapannya, ia lalu memasukkan tiga gula batu ke cangkir milik Cametra lalu memasukkan dua gula batu ke dalam cangkirnya sendiri. Setelah itu, Emily duduk menghadap Cametra yang sibuk membaca jurnal milik Profesor Spellman.
Emily mengambil biskuit dari atas piring dan memakannya perlahan, di saat yang bersamaan Cametra menunjukkan sebuah paragraf dari jurnal pada Emily. "Lihat ini."
"Yang ini?" tanya Emily disela-sela kunyahannya.
"Bukan yang itu, tapi yang ini." Telunjuk kanan Cametra menunjuk sebuah paragraf di bagian bawah halaman jurnal sebelah kiri. "Coba kau baca."
"Suara gemuruh terdengar dari langit musim panas, bersamaan jeritan pilu Sang Ratu saat memperjuangkan nyawanya demi pewaris takhta pertama. Langit cerah berganti kelam, dengan warna hijau yang merubah semua awan putih. Aroma pinus menyengat, suara burung merah darah dari Hutan Schroeder yang terdengar seperti suara teriakan. Kilatan hijau menyambar menara, bukan petir. Dan dia bilang, 'Si Penyihir balas dendam.'. Ini tidak seperti jurnal seorang Profesor." Emily mengerutkan keningnya, ia merasa bahwa jurnal itu lebih layak disebut sebagai buku harian.
"Aku juga berpikir seperti itu," kata Cametra sambil mengangguk. "Tapi, aku penasaran siapa yang bilang ini dan siapa penyihir yang mengutukku."
Emily mengambil jurnal itu dari tangan Cametra, ia membaca isinya dan membuka halaman berikutnya. Bola matanya bergerak mengikuti setiap kata demi kata, mencoba mencari tahu jawaban dari pertanyaan Cametra. Ia sendiri juga penasaran karena cerita yang ia dengar dari banyak orang tidak memuaskan dirinya.
Sambil menunggu Emily membaca, Cametra mengambil cangkir dan menyeruput tehnya. Aroma melati yang berasal dari teh membuatnya ingin berlama-lama menghirupnya. Namun, suara Emily membuat Cametra lekas meletakan cangkirnya. "Apa yang kau temukan?"
"Ini dia jawabanmu, Yang Mulia." Emily menunjuk sebuah nama yang tertulis di jurnal itu, nama yang tidak pernah didengar oleh Cametra.
"Medivh? Jadi, dia penyihir yang mengutukku," gumam Cametra.
"Dia juga mengutuk Merenorth, penyihir ini pasti yang terkuat di Daratan Nixoid," ujar Emily membuat Cametra menatapnya dengan ekspresi terkejut.
"Tidak mungkin, dia bahkan tidak ada di sejarah sebagai penyihir terkuat." Cametra kembali membaca jurnal, mencoba mencari tahu bagaimana penyihir itu bisa mengutuk sebuah kerajaan bersamaan dengan seorang bayi manusia di waktu yang sama.
"Dari mana Anda tahu soal itu?" Emily mengerutkan keningnya, ia sendiri bahkan tidak pernah mendengar soal penyihir terkuat, bahkan dari semua buku tentang supranatural.
"Aku baca di buku penyihir," kata Cametra, ia lalu mendekatkan tubuhnya pada Emily. "Di bagian rak kaca yang terkunci," bisiknya pada Emily yang menatapnya horor.
Hening menyelimuti mereka yang kembali membaca jurnal Profesor Spellman bersama-sama, dari setiap kalimat yang mengantarkan mereka pada masa lalu meski hanya berada di dalam pikiran. Kejadian-kejadian yang disaksikan langsung oleh Profesor Spellman, ternyata masih meninggalkan rasa penasaran dua insan itu.
Cametra melirik ke arah Emily. "Menurutmu, dia seperti apa?"
"Medivh?" Cametra mengangguk. "Mungkin dia itu sosok penyihir yang memikat."
"Aku penasaran padanya, Em. Seberapa kuat dia hingga dia mampu mengutuk Merenorth dan aku, lalu ia balas dendam karena apa? Aku penasaran." Cametra membuka halaman berikutnya pada jurnal tersebut, tetapi isinya kosong.
"Sayangnya kita tidak tahu jawaban atas semua itu." Bola mata Emily bergerak ke arah meja, menatap tehnya yang hampir dingin.
"Kita bisa mencari tahu," kata Cametra dengan senyum ceria. "Mungkin kita bisa bertanya pada penyihir lain. Itu juga kalau dia penyihir terkuat yang pernah ada."
Gerakan tangan Emily yang hendak mengambil cangkir tehnya terhenti, ia mengerjap sebelum menoleh pada Cametra. "Tapi, Yang Mulia, tak ada penyihir hidup yang bisa ditemui."
Cametra mengembuskan napas keras, pundaknya merosot saat mendengar perkataan Emily. Ia lupa kalau bangsa penyihir sudah tidak ada di Merenorth, potongan koran yang ia temukan di perpustakaan sehari sebelum pertemuannya dengan Profesor Spellman memberinya informasi tentang penyihir-penyihir malang di Merenorth. Sekarang sumber jawabannya sudah lenyap, ia nyaris putus asa untuk mengungkap teka-teki ini.
"Mungkin alasan kenapa semua penyihir di Merenorth tak ada yang hidup ka—"
"Karena apa?" potong Cametra cepat.
"Karena salah satu penyihirnya mengutuk Merenorth, dan Anda. Itu hanya dugaanku," ujar Emily sambil menggerakan tangannya.
"Jangan terlalu formal, Em. Aku belum jadi ratu, sebut saja namaku." Cametra terlihat kesal, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresinya. "Masuk akal juga, tapi aku masih ragu kalau ia penyihir terkuat yang pernah ada."
"Kenapa?" Emily menatap Cametra dengan serius, terlihat sekali bahwa ia sangat tertarik pada teka-teki ini.
"Dari yang aku baca soal penyihir, tak ada penyihir yang mampu mengutuk dua hal sekaligus. Energi sihir mereka terbatas, penyihir yang sudah mengutuk satu objek pasti akan melemah dan butuh pemulihan. Dugaanku, Medivh bisa saja dibantu penyihir lain untuk melakukan dua kutukan." Cametra mengubah posisi duduknya, ia mengangkat kedua kakinya dan menyilangkannya. Lalu memutar tubuhnya menghadap Emily. "Atau ia meminjam kekuatan lain yang bukan berasal dari penyihir."
"Kekuatan yang lebih kuat," sambar Emily dengan nada pelan. Cametra mengangguk setuju. "Tapi, Your High—Cametra." Emily mendapat tatapan tajam dari Cametra ketika ia lagi-lagi mengucapkan gelar Cametra. "Kekuatan apa yang lebih kuat dari penyihir selain Kristal Nixie?"
"Aristokrat," jawab Cametra dengan nada pelan, pikirannya berusaha mencari makhluk lain yang memiliki kekuatan di atas penyihir.
"Apa?" tanya Emily karena ia tidak tahu seperti apa Aristokrat.
"Myst, kami menyebutnya Aristokrat. Apa kau tidak pernah tahu sebutan lain dari Myst?" Cametra mengerutkan dahinya saat Emily menggeleng, rupanya sebutan Aristokrat tidak diketahui oleh banyak orang. "Menurutmu, makhluk apa lagi yang memiliki kekuatan di atas penyihir?"
Emily terdiam sejenak, memikirkan makhluk-makhluk ajaib yang ada di Daratan Nixoid. "Fairy? Sirenia?"
"Kurasa kekuatan mereka seimbang dengan penyihir," kata Cametra. salah satu tangannya menopang dagu. Pikirannya sedang berkelana mencari jawaban, tetapi sebuah ide gila muncul di kepalanya. "Mungkin kita bisa mencari tahu melalui hantu penyihir."
Emily yang terkejut lekas menggeleng. "Tak ada yang bisa berbicara dengan hantu, mereka bahkan tidak terlihat."
"Aku pernah melihat hantu nenek di lorong," celetuk Cametra.
Emily mendengkus pelan. "Tapi hantu penyihir berbeda, mereka harus dipanggil dulu dengan melakukan sebuah ritual sihir. Barulah kau bisa berbicara dengan mereka."
"Aku bisa melakukannya, Em. Ingat, aku setengah supranatural. Aku punya sihir," kata Cametra meyakinkan Emily. Ide Emily patut dicoba, setidaknya untuk mencari jawaban pasti dan ia akan menemukan jalan keluar dari kutukan ini.
Emily merapatkan bibirnya, terlihat tidak setuju dengan keputusan Cametra. Pasalnya, ia tidak pernah melihat sihir Cametra yang lain selain mengubah es menjadi cair atau sebaliknya. "Entahlah, aku ragu soal itu."
"Apa yang membuatmu ragu akan kekuatan sihirku, Em?" Cametra menaikan sebelah alisnya.
"Aku tidak pernah melihatmu menggunakan kekuatan sihir selain untuk memainkan es," ucap Emily. Ia bisa melihat Cametra tersenyum geli padanya. "Kecuali, kau sering melakukan secara diam-diam."
Sebuah tawa kecil keluar dari bibir Cametra, meyakinkan Emily bahwa Cametra sering melakukan sihir secara diam-diam. "Hanya sihir ringan yang aku pelajari dari buku penyihir."
"Yang dikunci itu? bagaimana cara kau membukanya?" tanya Emily, setahunya tak ada yang bisa membuka rak kaca di perpustakaan kecuali oleh Raja dan Ratu.
Cametra tersenyum, matanya mengedip jahil. "Aku punya banyak cara untuk membukanya. Jadi, kau ikut denganku untuk menemui hantu penyihir?"
Emily ragu, ia tidak yakin bahwa ide menemui hantu penyihir akan berjalan sesuai ekspetasi Cametra. Tak ada yang pernah berhasil menemui hantu penyihir kecuali oleh bangsa penyihir itu sendiri. Lagipula, Cametra bukan seorang penyihir, dia hanya seorang manusia setengah burung yang terkena kutukan. Kekuatan sihirnya berasal dari wujudnya sebagai burung merah darah, dan akan hilang setelah kutukannya berakhir. Emily bisa menolak atau menyanggah keputusan Cametra, tetapi ia tahu seperti apa dia jika tidak ada yang mendukungnya. Cametra akan berbuat nekat, dan Emily tidak bisa membiarkan Cametra berbuat seperti itu.
"Baiklah, aku akan membantu. Tapi cara-cara ritual pemanggilan penyihir hanya ada di Grimoires," kata Emily dengan ekspresi yang tampak tidak yakin. Cametra yang mendengarnya terlihat senang dan sangat antusias, mata emerald-nya berbinar.
"Itu bagus," seru Cametra girang. "Eh, apa itu Grimoires?"
Emily mendengkus pelan. "Buku mantera penyihir, semua mantera dan ritual ada di dalamnya. Dari yang paling mudah sampai yang paling sulit."
"Sepertinya aku pernah lihat buku seperti itu." Mata Cametra bergerak ke atas, terlihat bahwa ia sedang memikirkan sesuatu. "Apa buku catatan yang aku ambil di rak kaca juga termasuk Grimoires?"
"Apa di dalamnya ada berbagai macam ritual penyihir?" tanya Emily balik. Cametra menggeleng karena seingatnya tak ada cara-cara ritual penyihir, di dalam buku itu hanya berisi tentang mantera yang mudah dilakukan. "Berarti itu bukan Grimoires."
"Kita harus temukan Grimoires, Em. Lebih cepat lebih baik," ucap Cametra seraya tersenyum lebar.
"Ehm ... aku akan coba cari tahu. Mungkin, nenekku tahu soal itu." Ucapan Emily membuat Cametra menaikan alisnya, senyuman di wajahnya juga ikut hilang.
"Nenekmu penyihir?" Cametra mengerutkan dahinya.
"Ya Tuhan, tentu saja bukan. Tapi dia seperti perpustakaan berjalan," ucap Emily.
Cametra mengangguk. "Jika kau sudah mengetahuinya, beritahu aku lusa."
"Kenapa lusa?" Emily penasaran, biasanya Cametra selalu ingin lebih cepat jika informasi itu sudah tersedia.
"Besok ulang tahunku, akan lebih baik jika tak ada pembicaraan soal ini. Aku tak ingin ada yang mendengarnya, mereka sangat sensitif terhadap kata 'penyihir'."
❄❄❄
Thank you for reading this chapter. See you in the next chapter :)
Sukabumi, 8 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top