08 โก ๐ฝ๐๐ฅ๐๐๐
---------------------------------
๐๐๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐
๐๐ ๐๐๐
๐๐๐๐๐๐๐๐๐
, ๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐ ๐
๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐
-- marentinniagara --
---------------------------------
One Squell of Kasta Cinta and the others
-- happy reading --
๐๐
.
.
.
BERSIKAP adil, salah satu hal yang sepertinya memang harus dilakukan oleh semua orang, terlebih para pemangku jabatan atau setidaknya mereka yang harusnya bisa memberikan suaka kepada yang lemah. Namun pada kenyataannya, mereka yang terlihat kuat justru seringkali memanfaatkan atau bahkan melakukan penindasan atas kelemahan itu.
Dikatakan adil memang tidaklah harus sama. Semua pas menurut porsinya masing-masing. Dan memverifikasi kebenaran informasi dengan berbagai macam pertanyaan bukanlah sebuah sikap ketidakadilan yang seringkali diucapkan oleh mereka yang berniat untuk playing victim, merasa terdholimi atas perbuatan yang sebenarnya telah mereka lakukan sendiri. Harusnya lebih bisa dimengerti bahwa banyaknya pertanyaan itu merupakan awal dalam tindakan untuk mengambil keputusan dengan cara yang adil.
Apa susahnya menjawab, jika merasa tidak bersalah tentu kita tidka perlu takut untuk menghadapinya. Yah walaupun keadilan itu tetaplah milik dzat penguasa alam semesta namun setidaknya sikap ini diambil supaya tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.
Mengapa harus Wafiq? Jelaslah karena dia ditugaskan sebagai ketua panitia yang harus bertanggung jawab atas kelancaran acara bahkan jika harus terjadi kecelakaan seperti ini. Hingga pertanyaan itu menggiring sebuah jawaban untuk bisa diakui si pelaku.
"Bukan hanya satu yang bersaksi, tapi banyak pasang mata melihat jika kamu berniat untuk mencelakai Nafiza, Harumi. Benar seperti itu bukan?"
"Mengapa jadi saya yang seolah dikorbankan untuk mengakui, bisa jadi mereka berkonfrontasi untuk memojokkan saya karena tidak menyukai saya." Berkelit atau sekedar alibi untuk menghindari sebuah tuduhan yang memang telah nyata di depan mata.
"Tidak perlu harus memutar CCTV untuk mematahkan alibimu itu kan Harumi?" Wafiq yang mulai geram dengan jawaban berkelit yang diberikan Harumi terlihat emosi.
"Anda ini seorang dokter kan, bukan seorang penyidik terlebih seorang provost."
"Rum, jawab saja pertanyaan Faiyaz. Semua orang sudah melihatmu melakukan penjegalan itu." Ardi yang juga berada di tempat interogasi mulai bersuara.
"Kak__" Ardi menggeleng lemah, mengisyaratkan kepada Harumi untuk mengakui semuanya. Yakin bahwa Nafiza itu tipe perempuan yang akan dengan mudah memaafkan namun tidak dengan panitia, semakin berkelit punishment yang akan diterima Harumi bisa fatal. Apalagi dia baru bekerja sebagai dokter koas.
Selayaknya makhluk hidup, perasaan kecewa itu tentu tidak akan pernah jauh dari dalam benak. Jangankan manusia yang memiliki akal pikiran sempurna hewan pun juga mengenal rasa kecewa. Sayangnya tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama. Mereka hidup pun dengan beragam alasan, ada yang bertahan hidup karena memperjuangkan namun ada juga yang diberikan perjuangan tapi abai dengan banyak alasan. Intinya selalu ada alasan untuk berkelit demi mencapai tujuan yang diinginkan.
Padahal masalah itu hadir akan menuntun pada sebuah kedewasaan, memandu pada rasa syukur bagaimana bisa menyelesaikan tanpa harus menyakiti orang lain. Namun sekali lagi kembali kepada rasa kecewa yang terlalu berlebihan dan entah karena sebab apa.
"Apa aku perlu membawa kasus ini kepada Direktur dan akan berimbas dengan program koasmu?" telak, sesungguhnya Wafiq tidak ingin memperumit masalah namun sepertinya Harumi menantangnya untuk berbuat lebih.
"Jangan Dok, saya masih butuh koas untuk bisa ambil sumpah. Baiklah kalau semua memaksa saya untuk mengakui, akan saya lakukan supaya kalian semua terpuaskan."
"Maksudmu apa terpaksa mengakui?"
"Karena saya tidak melakukan yang dokter Faiyaz tuduhkan, Nafiza jatuh sendiri dan kebetulan saja saya ada di dekatnya."
"Baiklah, saya akan banding dengan CCTV sebagai alat bukti kepada direktur."
"Faiyaz__" Ardi mencoba menghalau langkah Wafiq. Namun sepertinya Wafiq sudah sampai pada batas sabar yang dia miliki selain itu juga masih banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan selain mengurus perihal kecelakaan Nafiza. "Maaf, untuk masalah ini sebaiknya sampai di sini saja. Rumi juga sudah mengakui kan? Nafiza juga tidak apa-apa. Pikirkan juga masa depan Rumi jika masalah kecil ini sampai di tangan direktur RS."
"Ini bukan masalah Nafiza tidak apa-apa tapi ini tentang sportivitas, aku melakukan juga karena aku ketua panitia yang harus bertanggung jawab atas kelancaran acara. Wajar kan sebagai laporan pertanggungjawaban aku memberitahukan kepada direktur sebagai penanggung jawabnya."
"Yaz, jangan kaku-kaku napa si. Jangan mentang-mentang lo deket ma Nafiza lalu ngebuat Rumi jadi susah gini dong."
"Lalu karena kamu dekat dengan Rumi seolah buta mata melihat semuanya."
"Ini bukan masalah besar kan?" Wafiq hanya memandang sekilas ke arah Ardi lalu dia berlalu meninggalkan semuanya.
Terkadang percuma berbicara panjang lebar kepada orang yang bahkan tidak memiliki hati untuk peduli. Egois mengejawantahkan keinginan hanya untuk kesenangan dan keuntungan diri sendiri. Meski dengan sedikit hambatan, acara perhelatan hari jadi rumah sakit itu berlangsung cukup meriah.
Manusia memang makhluk sosial yang membuatnya harus berinteraksi dengan orang lain. Atas dasar itulah tidak menutup kemungkinan akan terjalinnya sebuah hubungan pertemanan dimana segala hal termasuk ego harusnya bisa diturunkan. Berusaha untuk mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri. Selalu berusaha bersikap peduli pada lingkungan, membantu orang lain tanpa pamrih bahkan selalu berusaha menunjukkan senyuman meski hati dilanda kegalauan.
Sayangnya tidak semua manusia memiliki rasa yang sama, meski berarti bisa dikatakan bukan suatu keterpaksaan. Terkadang semuanya memang harus dilakukan untuk menghargai sebuah hubungan akrab. Apakah itu sulit? Jelas saja karena pada dasarnya manusia memang memiliki sifat egois. Tidak ingin mengalah apalagi dikalahkan.
"Kak__" Nafiza memohon. "Ini bukan masalah siapa yang benar dan siapa yang salah. Ada banyak hal yang kita tahu tapi tidak perlu kita beritahukan kepada orang lain bahwa kita benar."
"Tapi Fiz__"
"Percayalah, akan banyak imbas yang akan kita terima kita kita terlalu vocal bersuara. Better than that, talk less do more."
Percakapan terakhir Wafiq dan Nafiza membuat Wafiq memutuskan untuk tidak membawa masalah ini kepada orang yang sangat berpengaruh dalam roda perputaran di rumah sakit. Laporan pertanggungjawaban aman dan situasi kembali kondusif tanpa harus membahas masalah reward dan punishment. Semua kembali menjalankan tugas untuk membantu dan melayani masyarakat yang ingin berjuang untuk kembali sehat.
Walau begitu yang terjadi kini seolah ada gap tersendiri, Harumi tidak lagi bersikap hangat kepada Nafiza walau sesungguhnya Nafiza sendiri juga enggan untuk menanggapi apa yang dilakukan Harumi kepadanya. Intinya sesuatu yang tanpa sengaja dilakukan itu bukanlah satu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.
Beberapa teman koas Nafiza juga sedikit menghindar darinya, entahlah. Selama tidak ada yang nempengaruhi kegiatannya selama bertugas Nafiza menganggapnya tidak sedang dalam masalah.
"Fiza, mau balik?"
"Eh, iya Dok." Nafiza yang hendak kembali ke kost bertemu Ardi di lorong rumah sakit.
"Sendirian, Wafiq tidak menjemput? Ini sudah terlalu larut untuk seorang wanita berada di jalan." Memang, waktu menunjukkan hampir tengah malam. Namun Nafiza butuh kembali ke kost dan mencoba untuk membiasakan diri. Toh meski hampir tengah malam, di jalanan menuju kostnya masih cukup ramai mengingat kota besar yang kini dia tinggali seolah hidup selama 24 jam berlangsung. "Aku antar saja bagaimana?"
Sontak Nafiza menggeleng perlahan dan mengucapkan terima kasih. Dari kejadian harlah rumah sakit dan dia pingsan karena kecelakaan dalam sebuah permainan membuat Ardi selalu bersikap manis kepadanya. Katanya selain karena manusia harus bersikap baik kepada sesamanya semua dia lakukan sebagai ucapan terima kasih karena Nafiza urung membawa masalah Harumi ke atasan yang bisa membuat Harumi menerima masalah dengan program koasnya.
"Terima kasih Dokter Ardi, saya membawa sepeda motor sendiri."
"Aku bisa mengawalmu dari belakang kalau kamu mau."
"Tidak, terima kasih. Lagian Dokter juga sedang jaga di IGD. Tidak baik rasanya meninggalkan tugas karena sesuatu hal yang sebenarnya tidak terlalu urgent untuk dilakukan. Terima kasih atas perhatiannya, saya permisi dulu. Assalamu'alaikum." Dengan sangat halus Nafiza menolak niat baik Ardi. Sayangnya percakapan mereka berdua yang sesungguhnya tidak terdengar orang lain namun cukup epik posisinya terlihat dalam rekaman sebuah kamera hengpon jadul ala 'mulut tante' yang memiliki kecepatan melebihi kecepatan cahaya video singkat itu bisa tersebar ke antero perparamedisan di rumah sakit.
Tidak pernah menyangka, pagi hari yang harusnya menjadi sebuah moodbooster untuk memulai aktifitas dan menata kembali lembar kerja harian membuat suasana hati Nafiza terjun bebas ke jurang yang yang paling dalam. Bagaimana tidak saat dia terbangun hendak melaksanakan sholat malam, tangannya dengan terampil membuka telepon pintar yang sedsri tadi lumayan sering berdering karena notifikasi pesan yang masuk ke sana.
Beberapa pesan masuk, lebih banyak dari semuanya adalah mengingatkan untuk tidak munafik. Ada pula yang memintanya untuk bersabar dan istighfar. Dalam hati Nafiza berkata sebenarnya ada apa hingga sebuah pop up pesan dari Wafiq masuk.
Kak Wafiq
Semalam Ardi tidak berbuat macam-macam sama kamu kan?
Nafiza menghela nafas dalam-dalam. Mengingat sekilas kejadian semalam antara mereka. Belum sempat Nafiza membalas pesan dari Wafiq gawainya berdering nama Harumi menjadi empu si penelpon Nafiza.
"Busuk banget sih Fiz hatimu, emang aku pernah salah apa sama kamu sampai malam-malam kamu ngelaba pacar orang. Nggak bisa nyari yang lain sampe pacar teman mau diembat?" Belum juga mengucapkan salam, suara Harumi sudah memenuhi gendang perungu Nafiza.
"Maksudmu apa?"
"Jangan pura-pura bego deh, kamu bisa menghapal ratusan bahkan ribuan jenis obat untuk mengobati pasien tapi bisa dengan gampangnya melupakan sesuatu yang penting untuk orang lain. Dan orang lain yang kamu khianati itu aku."
"Eh, jangan asal bicara ya Rum. Siapa yang mengkhianati siapa. Inshaallah aku tidak pernah mengusik kehidupan siapa pun."
"Demi Tuhan Nafiza, tidak ada maling yang teriak dirinya maling di dunia ini. Susah emang bicara sama orang yang nggak punya etika dan akhlak."
Panggilan berakhir dan Nafiza harus berpikir mengapa dia dituduh berkhianat. Atas dasar apa Harumi memfitnahnya seperti itu. Bukankah perbuatan itu lebih kejam daripada membunuh saudara sesama muslim?
Pada akhirnya Nafiza memilih untuk menelusuri layar gawainya, berharap menemukan jawaban atas pertanyaan di dalam hatinya. Bahkan sampai terlupa apa tujuannya bangun di sepertiga malam akhir menjelang subuh pagi ini.
Sebuah video yang dikirimkan oleh Wafiq sukses membuatnya membuka mulut tanpa sadar. Ya, video percakapannya di lorong rumah sakit semalam dengan Ardi yang tersebar tanpa suara. Bahkan seolah teredit menjadi meme yang memberitahukan kepada penontonnya untuk menggiring pada sebuah opini. Pantas jika Harumi bisa semurka itu, tapi kembali lagi sebelum adanya tuduhan alangkah lebih baiknya apabila dilakukan tabbayun terlebih dahulu sehingga tidak muncul fitnah seperti ini.
Kak Wafiq
Kakak dapat video ini dari mana. Demi Allah itu tidak seperti yang ada di sana. Semalam memang telah larut waktu aku pulang dan dokter Ardi menawarkan diri untuk mengantarku, namun aku tolak. Mengapa seolah video itu di potong-potong dan tidak memperlihatkan bagaimana kami berpisah?
Diam saja seperti biasa seolah tidak ada apa-apa.
Maksud Kak Wafiq?
Pasti ada sabotase dari orang yang tidak menyukaimu, tidak menyukaiku atau mungkin tidak menyukai kita.
Kita? Mengapa harus kita?
Nanti kita bicara Nafiza, ini sudah adzan subuh dan aku harus ke masjid dulu.
Pagi hari di rumah sakit, meski kegiatan selalu hectic seperti biasanya tapi akan selalu ada waktu untuk berbicara dan telinga Nafiza menjadi saksi ajang perghibahan itu.
"Hmm, baru aja jadi DM tapi sudah belagu seperti itu. Tutupnya aja menang, berhijab tapi kelakuan minus. Katanya menjaga pandangan eh tapi ngembat pacar orang dan berduan di lorong RS tengah malam, mau ngapain coba? Naudzubillah, ada ya perempuan seperti itu?"
"Adalah, tuh buktinya video beredar di group sampai buat gempar serumah sakit. Topengnya tebel banget sampai ngerasa seperti nggak terjadi apa-apa, eh busyet itu orang apa pohon pisang?"
"Emang kenapa dengan pohon pisang?"
"Pohon pisang kan punya jantung tapi nggak punya hati." Dan tertawalah mereka berdua. Meski tidak mengetahui bahwa Nafiza mendengar percakapan mereka namun cukuplah untuk diketahui bahwa dirinya pagi ini telah menjadi korban fitnah dari tangan yang tidak bertanggung jawab telah memvideokannya semalam dan menyebarkan tanpa persetujuan ditambah bumbu-bumbu ghibah yang tertulis di video itu menambah lengkap penderitaan Nafiza.
Terkadang orang diam lalu memilih menyerahkan kepada waktu untuk menjawab semua tuduhan atas fitnah yang menimpanya. Karena terlalu sering korban fitnah itu membela diri semakin berkembang dan melebar pula semua yang dituduhkan kepadanya. Dan satu diantara banyak korban fitnah yang memilih diam itu adalah Nafiza. Sebisa mungkin dia tetap melaksanakan tugasnya dengan baik walau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan seperti siang ini saat Ardi kembali datang menemuinya dia memilih untuk menghindar.
"Fiz, aku bisa menjelaskan kepada mereka__" sebanyak apa pun Ardi mengeluarkan kalimatnya. Nafiza tak akan peduli kecuali berurusan dengan pasien dan tugas yang harus dikerjakannya. Menerapkan dalam hati bahwa dokter Ardiansyah Abubakar bukanlah konsulen stase yang harus Nafiza temui guna memberikan laporan setiap harinya.
Tidak ada manfaat yang lebih untuk saat ini berhubungan dengan dokter internship itu.
"Yaz, bilangin ke Nafiza gue mau minta maaf." Wafiq hanya mengangguk dan meninggalkan Ardi yang masih berdiri di tempatnya. "Gue sudah tegur yang mengedarkan video itu."
"Nggak perlu repot-repot, Di. Nafiza bisa mengatasi semua itu sendiri. Terima kasih sudah berniat untuk membantu."
"Dan elo nggak sadar mengapa sampai ada video itu beredar?" Ardi masih memancing Wafiq untuk tetap melihatnya.
"Memangnya mengapa harus sadar, aku tidak sedang pingsan kalau kamu sedang amnesia apa itu artinya sadar dan pingsan."
"Karena dia cemburu dengan kedekatan kalian."
Ada kejut di hati Wafiq dengan kalimat terakhir yang diucapkan Ardi. Dia sangat tahu siapa yang maksudkan oleh rekan seprofesinya ini meski tidak terang-terangan menyebut namanya. Wanita yang beberapa bulan lalu berusaha dekat dengan Wafiq namun dengan halus Wafiq menolaknya. Seiring bersama dengan waktu telah menjawab semua pertanyaannya, mungkin. Bahwa hati Wafiq memang telah menyimpan nama untuk seorang wanita.
Demikianlah hidup, dua sisi yang selalu melengkapi dan heterogenitas yang dikenal semakin membuat dunia semakin berwarna.
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
๐โโ๏ธ๐โโ๏ธ
Jazakhumullah khair
sorry for typo
Blitar, 15 Oktober 2021
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top