06 ♡ Fᴀɪʟᴇᴅ Bᴀᴄᴋsᴛʀᴇᴇᴛ
---------------------------------
𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐢𝐬 𝐬𝐢𝐦𝐩𝐥𝐞, 𝐢𝐟 𝐲𝐨𝐮 𝐜𝐚𝐧❜𝐭 𝐦𝐚𝐤𝐞 𝐢𝐭 𝐥𝐚𝐮𝐠𝐡 𝐚𝐭 𝐥𝐞𝐚𝐬𝐭 𝐝𝐨𝐧❜𝐭 𝐡𝐮𝐫𝐭 𝐢𝐭
-- marentinniagara --
---------------------------------
One Squell of Kasta Cinta and the others
-- happy reading --
🎋🎋
.
.
.
BELAJAR untuk menjadi berguna, tidak mengganggu kepentingan orang lain dan mengutamakan code of conduct sebagai tenaga medis. Dengan etos kerja yang baik, menjunjung tinggi nilai profesionalitas, serta mendorong sportivitas tanpa mengharapkan embel-embel menjadi seorang pahlawan kemanusiaan yang berjuang di garda terdepan untuk menolong sesamanya.
Semua murni karena panggilan hati, terikat sumpah dan janji untuk melakukan yang terbaik semampu yang kita bisa lakukan untuk menolong orang lain.
Hectic IGD, rasanya tetap menjadi bahasan utama dalam keseharian di sebuah rumah sakit rujukan kelas A yang menjadi tempat koas sekaligus internship Nafiza dan juga Wafiq. Jika Wafiq memang sering berada di IGD lain halnya dengan Nafiza yang masih harus berputar sesuai dengan jadwal koas per stase yang harus dia lalui. Kecuali jika memang benar-benar dibutuhkan tenaganya baru akan diperbantukan sementara waktu di lini terdepan rumah mencari sehat ini.
Ini bukan sebuah scene dalam drama apalagi sinetron yang bisa dinikmati setiap hari di layar kaca, bukan. Jika salah bisa di reload atau take ulang sampai aesthetics dan showmanship sesuai dengan kebutuhan syuting serta telah memenuhi harapan dari sutradara sesuai dengan script yang ditulis oleh seorang scriptwriter. Salah memberikan analisis juga hipotesis akan berakibat sangat fatal pada pasien.
Sejak tragedi IGD beberapa waktu lalu, Nafiza memang sudah sangat jarang bertemu Wafiq secara langsung. Mereka hanya berkomunikasi melalui gawai untuk sekedar menanyakan kabar atau hal-hal yang terkait dengan tugas Nafiza. Selain memang untuk membatasi diri juga karena rutinitas mereka yang tidak memungkinkan untuk bisa sering bertemu.
Tidak ada yang mengetahui, bahkan Nafiza dengan sangat rapi menyimpan semuanya sendiri, pun demikian halnya dengan Wafiq. Atas nama profesionalisme pekerjaan, semua terlihat biasa saja meski dalam hati keduanya bermekaran bunga-bunga asmara meski tidak saling berucap dan mengumbar rasa, cukup sekedar tahu.
"Hai koas Nafiza, lagi istirahat kan? Mau beli makan siang? Sekalian yuk, aku juga belum makan." Suara milik Ardi mengikuti gerak langkah Nafiza bersama Harumi, teman seangkatannya.
"Maaf Dok, terima kasih saya dengan Harumi saja. Dokter silakan dulu." Nafiza menolak dengan sangat halus.
"Oh tidak apa-apa, dengan Harumi juga tidak masalah." Nafiza dan Harumi saling memandang. Tidak lagi bisa berkelit bukan karena lorong yang mereka lewati memang jalan menuju kantin. Nafiza menggelengkan kepala namun Harumi menganggukkan kepalanya. Tidak ingin waktu terbuang hanya karena sesuatu yang tidak begitu penting sementara tugas mereka berdua masih mengintai di depan mata.
"Fiz, nggak berdua juga. Sudahlah yuk, tugas di depan mata Cuy, mau dikerjain kapan?"
"Tapi Rum__" Harumi seolah menolak keberatan Nafiza jika masalahnya hanya karena tidak ingin berdua-duaan dengan lawan jenis. Padahal selain itu ada yang lebih utama lagi menurut Nafiza yang harus dihindari dari seorang Ardiansyah Abubakar. "Sudahlah, ayo__" Harumi menarik lengan Nafiza mensejajarkan langkah dengan Ardi.
"Dokter Ardi memang tidak sedang di IGD?" tanya Harumi mencoba mengakrabkan diri.
"Saya juga butuh makan juga, logika butuh logistik juga." Ardi menjawab dengan gaya bicara seperti biasanya. Mungkin saja jika tidak sedang mengingat bagaimana peristiwa di ruang singgah OK, Nafiza juga mengakui bahwa dokter Ardi ini merupakan dokter yang sangat supel, mudah bergaul dan pandangannya selalu terbuka atas banyak hal.
Sayangnya segala sesuatu yang menempel pada Ardi sudah tertutup dengan sebuah sikap arogan yang membawa kesulitan untuk Wafiq, sementara Ardi tahu dimana salahnya, dia bisa membenahinya namun seolah mengabaikan dan melimpahkan semua salah kepada Wafiq walau sebenarnya juga ada andil salah Nafiza atas peristiwa itu. Semua seolah tertutup dan Nafiza enggan untuk mencari pembanding yang membuat Ardi terlihat baik kembali di matanya.
Nafiza hanya menikmati makan siangnya tanpa berniat sedikit pun memperhatikan apa yang kini sedang dibicarakan oleh Harumi juga Ardi. Hingga tangannya sedikit digoyang oleh Harumi dan namanya disebut secara bersama-sama baik dari bibir Ardi maupun bibir Harumi.
"Fiz__"
"Fiza, makan kok melamun sih!" Harumi memprotes saat Nafiza memandangnya sekilas. "Dari tadi dokter Ardi bertanya kepadamu loh. Ini malah diam saja." Tidak ingin mendebat karena akan berbuntut panjang menurut perkiraan Nafiza. Lalu dia meletakkan peralatan makan tanda selesai menikmati hidangan makan siangnya.
"Maaf, sesuai etika kesopan dan kesehatan sebaiknya memang tidak makan sambil bicara. Karena jalur nafas dan pencernaan akan menjadi satu ketika di tenggorokan." Nafiza berdiri dan bersiap untuk membayar makanan yang telah dia habiskan ke kasir.
"Fiz, sudah dibayar dokter Ardi loh tadi sebelum kita makan. Kamu kenapa sih, tadi pagi masih biasa saja kok siang mendadak jadi aneh begini. Lagian mengapa harus buru-buru?" Ini yang membuat bingung pada akhirnya, di awal Harumi mengingatkan untuk bisa menghemat waktu namun setelah sampai di sini justru memilih untuk mengolornya.
"Owgh__" Nafiza memandang Ardi untuk meminta jawaban.
"Sudah kok, nggak perlu dibayar."
"Maaf Dok, tapi sepertinya tidak perlu. Orang tua saya mengirimkan uang saku sekaligus untuk makan saya tiap hari. Terima kasih, saya hanya tidak ingin mengecewakan mereka."
"Nafiza, ini juga tidak lebih dari lima puluh ribu. Sudah simpan saja uangnya untuk keperluan lain." Ardi masih bertahan dengan senyum manisnya meski Nafiza telah memasang wajah jutek tidak bersahabat. Sementara Harumi hanya bengong melihat keduanya, Nafiza yang seolah memberikan batas tak kasat mata sedangkan Ardi berusaha untuk mendekatinya.
Tidak ingin larut dalam debat tak berujung, Nafiza memilih untuk berterima kasih dan menghilangkan basa-basi dengan mohon diri kembali ke stase. Sedangkan Harumi masih juga belum menyelesaikan makan siangnya begitu pula dengan Ardi.
"Kamu selesaikan makanmu saja dulu Rum, aku harus balik ke stase, lagian juga belum laporan karena memilih untuk ke kantin terlebih dulu tadi." Nafiza bermaksud meninggalkan kantin namun suara Ardi harus menghentikan langkahnya.
"Laporan? Ada yang sulit, aku bisa bantu kalau kalian mau." Ardi memutar otak, sepertinya Harumi menjadi kunci untuk bisa mendekatkan dirinya dengan Nafiza.
Mendapat pertanyaan seperti itu Nafiza hanya tersenyum tipis, kemudian berlalu meninggalkan keduanya yang masih berada di tempat. Tugas Harumi yang akhirnya menjelaskan kepada Ardi tentang laporan yang dimaksudkan Nafiza.
"Oh jadi maksudnya sholat," Ardi menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Eh ngomong-ngomong kamu dekat dengan Nafiza ya?"
"Satu angkatan koas, semua juga dekat Dok. Dokter naksir dengan Nafiza ya?" tebak Harumi yang membuat Ardi nampak gelagapan untuk menjawab.
"Aku? Naksir Nafiza?" Ardi terbahak, mencoba mengelabuhi mata Harumi. "Kok kamu bisa bertanya seperti itu?"
"Ya nebak saja Dok, tapi Nafiza kan emang nggak mau pacaran orangnya. Dari dulu juga nggak punya pacar, mungkin karena dia berjilbab jadi ya begitulah."
"Satu kampus dengan Nafiza dulu?" Harumi menggeleng, tapi mengenal Nafiza sudah sejak lama karena mereka dari awal kuliah menempati kost yang sama. "Nafiza itu bukan tipe perempuan yang menye-menye, Dok. Dia aktif, supel, ceriwis, tapi kalau sudah sama laki-laki sikapnya bisa berbalik 180°. Setahu saya yang deket dengan dia itu ya Hawwaiz, Elram, bang Hafizh dan mas Hanif, karena sering datang ke kost dulu."
"Siapa mereka?" tanya Ardi penuh antusias.
"Mas Hanif dan bang Hafizh itu saudaranya, kalau datang selalu ramai-ramai dengan keluarga mereka."
"Lalu Elram dan Hawwaiz?" Harumi menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu.
"Hawwaiz itu mirip sekali dengan mas Hanif tapi Nafiza tidak pernah cerita mereka siapa. Mungkin saudaranya juga." Percakapan dua orang yang baru saja mengakrabkan diri itu harus selesai karena panggilan telepon dari gawai milik Harumi yang memintanya untuk segera kembali ke stase, bergantian dengan yang lainnya mengisi bahan bakar.
"Aku boleh nggak main ke kosmu Rumi?" suara Ardi mencuat saat Harumi hendak meninggalkannya setelah berucap terima kasih untuk makan siang mereka. Menelaah sedikit permintaan Ardi hingga kepala Harumi mengangguk untuk menyetujuinya.
Menyetujui Ardi mendatangi kost Harumi itu artinya Ardi juga bisa dengan leluasa bertemu dengan Nafiza, di dalam benak Ardi telah tercetus satu ide untuk bisa mendekati Nafiza lebih intim lagi. Rasanya tidak menyalahi aturan main bukan? Sekali mendayung dua, tiga pulau bisa terlampaui. Bukankah itu pemikiran yang cukup cerdas?
Nafiza masih dengan tekun mengikuti setiap part kegiatan keseharian yang menjadi tugasnya. Bukan hal yang baru bagaimana rasanya menjadi koas, dari cerita kating juga referensi bacaan yang seringkali menceritakan part terhectic selama menempuh pendidikan sebagai seorang dokter. Dua belas jam berlalu, kini tiba saatnya Nafiza berkencan dengan bantal kembali. Belum terlalu malam, jam dinding masih menunjukkan pukul 20.15. Nafiza menyimpan kembali gawai miliknya ke dalam tas setelah memberikan kabar kepada seseorang. Melenggang menuju tempat parkir dimana dia meletakkan sepeda motor milik Wafiq yang kini dia pergunakan.
"Fiz, mau pulang?" Harumi tergopoh menyusul langkah Nafiza. "Ok, kita pulang bareng." Saat Harumi akan belok kiri Nafiza justru mengambil arah kanan, "nah kamu mau kemana kok malah belok ke sana."
"Aku bawa sepeda motor Rum, ayo kalau mau bareng."
"Motor? Punya siapa?" Setahu Rumi memang Nafiza tidak membawa sepeda motor di kost.
"Punyaku. Ayo__" Harumi mengikuti langkah Nafiza, sedikit terkejut namun melihat plat nomor yang tertera di sepeda motor itu jelas plat luar kota dimana Nafiza berasal.
Tidak lebih dari lima menit, dan sampai kost sudah disambut senyuman manis khas milik Ardiansyah Abubakar. Nafiza memandang Harumi sekilas, namun sepertinya dia tidak membuat janji dengan dokter muda itu hingga memilih untuk melewatinya saja setelah menyapa sekilas.
"Dok__?" bukan hanya Nafiza, Harumi juga kaget melihat Ardi sudah berada di kost mereka. Memilih untuk menyapa dan menanyakan keperluan Ardi.
"Maaf aku tidak memberitahukanmu terlebih dulu. Ada waktu?" Harumi meminta pendapat Nafiza, tapi Nafiza memilih untuk menggelengkan kepala.
"Fiz__?" suara Harumi singkat.
"Maaf Rum, aku harus membersihkan badan dulu. Ada tugas yang harus aku kerjakan setelahnya."
"Aku juga, Fiz." Nafiza mengangkat kedua bahu dan memilih meninggalkan keduanya.
Meski dengan perasaan bingung Harumi akhirnya bertanya kepada Ardi. "Maaf Dok, dokter Ardi ingin bertemu saya atau Nafiza?"
"Kamu, kamu ada waktu?" sesungguhnya Ardi ingin sekali menemui Nafiza namun melihat feedback yang dia lihat dari raut muka Nafiza sepertinya wanita itu masih enggan untuk berbincang dengannya. Lebih baik membaiki Harumi saja terlebih dulu untuk sampai ke tujuan, bukankah memang harus seperti itu, mundur satu atau dua langkah untuk bisa mendapatkan tujuan tepat sasaran?
"Saya belum mandi Dokter."
"Ok, kamu mandi saja dulu. Aku butuh teman untuk keluar. Bisa menemani kan?" Entahlah akan keluar kemana, yang jelas Ardi ingin membuat hubungannya dengan Harumi semakin dekat.
Selama Ardi menunggu Harumi mempersiapkan diri, matanya memperhatikan sepeda motor yang tadi dipakai oleh Harumi dan Nafiza. Serasa tidak asing dengan sepeda tersebut sampai akhirnya sudut matanya menangkap sosok yang cukup dia kenal berjalan menghampirinya.
"Faiyaz__?"
"Ardi__?"
Keduanya sangat terkejut melihat siapa yang berdiri berhadapan dengan mereka saat ini. Wafiq hanya ingin mengantarkan makan malam untuk Nafiza karena dia tahu ada tugas yang harus diselesaikannya malam ini dan sebelum keluar dari rumah sakit Nafiza memberitahukan kepada Wafiq saat dia menikmati makan malam di sebuah kedai.
"Dokter Faiyaz__?" tiba-tiba Harumi datang dan melihat sosok Wafiq di teras kostnya. "Mau bertemu siapa saya panggilkan."
Belum juga dijawab oleh Wafiq, tiba-tiba suara Nafiza terdengar dari dalam rumah. "Sebentar Kak Wafiq, tunggu." Dan di sinilah akhirnya mereka berempat, teras rumah kost Nafiza dan Harumi.
"Loh, dokter Ardi belum balik?" pertanyaan polos Nafiza membuat Wafiq membelalakkan matanya. Ini bukan berarti Nafiza ingin mengusir Ardi kan?
"Tenang Fiz, dokter Ardi mau ngajak aku keluar kok. Jadi kamu bisa tenang belajar dengan dokter Faiyaz di sini. Ntar aku nebeng ya, jelasin kalau sudah jadi tugasnya. Aku keluar dulu." Harumi bicara dengan wajah bersinar. Nafiza hanya tersenyum menanggapi keduanya dan melihat Harumi mengekor langkah Ardi menuju mobilnya.
Wafiq hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sesungguhnya tidak ada sandiwara atas apa yang mereka lakukan sejauh ini, namun mengunjungi Nafiza lalu kepergok Ardiansyah dan teman Nafiza itu seperti seorang pencuri yang ketahuan sedang mencuri meskipun Wafiq tidak melakukan apa pun. Bukannya menyerahkan makanan yang sedari tadi dijinjingnya, Wafiq justru tersenyum sipu memandang Nafiza yang terlihat begitu polos mengiring kepergian Ardi dan teman kostnya.
"Eh kakak ada apa kemari? Aku masih ngerjain tugas."
"Tadi pas kamu kasih kabar kalau pulang dari RS aku sedang makan. Nih, pasti belum makan malam. Makan dulu, atau perlu aku temani ngerjain tugasnya?" Wafiq menawarkan diri.
Mendapat bantuan siapa yang mau menolak, Nafiza menyilakan Wafiq duduk di sofa lalu dia segera melesat ke dalam untuk mengambil peralatan perangnya.
Inikah yang tersebut dalam pepatah, sambil menyelam minum air. Belajar tapi mendapatkan gratis makan malam dan juga tentor privat yang memudahkan mengerjakan tugas tanpa harus bersusah payah buka tutup literasi yang tebalnya melebihi dinding kost yang kadang memiliki telinga.
"Jadi begini, secara teori dan praktik memang harus sinkron__" Wafiq menjelaskan beberapa kasus yang harus dilaporkan dan bagaimana penanganan terhadap pasien sesuai dengan SOP ataupun anomali prosedur saat menghadapi kondisi dimana pasien harus segera ditangani dan mengalami kondisi yang jauh dari analisis dan hipotesis awal.
Beberapa referensi bacaan diutarakan oleh Wafiq untuk kembali dimengerti oleh Nafiza. Tidak jauh seperti halnya dia berdiskusi dengan Hawwaiz atau mas Hanifnya. Wafiq juga memiliki pemikiran terbuka dan sangat mudah menjelaskan teori-teori yang Nafiza butuhkan untuk melengkapi laporan tugasnya.
"Kak, sudah malem. Sepertinya kakak pulang deh, istirahat. Aku juga mau istirahat setelah selesai ini tinggal dikit lagi. Besok pagi harus stand bye di stase lagi, lusa ujian stase."
"Ya sudah, aku pesen ojek online dulu."
"Nggak pake motor aja, Kak?" tanya Nafiza. Wafiq menatap Nafiza lembut lalu menggeleng perlahan. "Pake buat kamu saja, seperti yang aku bilang dulu."
Wafiq membantu Nafiza berkemas sebelum meninggalkannya sebelum akhirnya bunyi klakson sepeda motor yang berhenti di depan kost Nafiza.
"Dengan Faiyaz?" tanya pengemudi sepeda itu kepada Wafiq.
"Iya, tunggu sebentar Mas."
Wafiq pamit untuk kembali ke kostnya, namun Nafiza mencegah langkahnya sejenak. "Kak__"
"Hmmm?"
"Mengenai dokter Ardi? Aku sebenarnya takut, Kak." Nafiza menyampaikan kegelisahannya. Beberapa hari ini dia merasa diikuti oleh Ardi apalagi sekarang Ardi telah mengetahui kostnya dimana. "Bukannya Ge eR, tapi kok sepertinya ada udang dibalik rempeyek ya."
Wafiq menghela nafasnya sesaat. Dia memang tidak begitu mengenal Ardi hanya saja Wafiq sangat tahu apa hobby Ardi yang membuatnya selalu bergidik ngeri. Sang dokter yang begitu dekat dengan dunia malam. "Jangan over thinking, selama dia tidak bersikap tidak sopan terhadapmu abaikan saja."
"Apa terlalu berlebihan kalau aku harus pindah kost, karena aku ngerasa nggak aman aja sekarang."
"Mau pindah kemana? Ke kostku mau?" Wafiq memang sangat jelas bertanya. Kalimat tanyanya cukup sederhana, hanya saja kesederhanaan itu membawa ambiguitas yang membuat otak Nafiza traveling seketika.
Ini bukan yang namanya melamar kan? Tolong beritahu Nafiza yang sesungguhnya.
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
sorry for typo
Blitar, 15 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top