05 ♡ Implisit Tersirat

---------------------------------
sekedar rayuan, tanpa adanya suara yang terdengar sebagai balasan hingga berujung kematian yang membeku di udara

-- marentinniagara --
---------------------------------

One Squell of Kasta Cinta and the others
-- happy reading --
🎋🎋
.

.

.

TIDAK ada penjelasan lebih atau melebihkan pengertian atas sebuah prasangka yang sejatinya tanpa harus diucapkan pun telah diketahui artinya. Apalah arti berucap jika pada akhirnya hanya mengambang di udara tanpa adanya balasan dan lebih terkesan mati bersama molekul-molekul tanpa nyawa.

Musim masih sama namun sepertinya hati tak lagi peduli untuk apa bahkan untuk siapa kokohnya kaki ketika berdiri.

Masa depan cerah, kehidupan lebih tenang dan hidup normal tanpa ada gangguan. Siapa yang tidak menginginkan semuanya, menjalani kehidupan dengan baik, tidak mengganggu kepentingan orang lain justru akan lebih baik jika dalam hidup kita membawa kebaikan untuk mereka.

Pekerja kemanusiaan, orang bilang seperti itu. Jadi pantaslah jika memilih bersikap menjadi manusia seutuhnya.

Berjalan di koridor rumah sakit, beberapa kali bersimpangan dengan tenaga kesehatan yang lain membuat wajah bergerak untuk tersenyum kepada mereka. Hingga sekelompok dokter koas terlihat di ujung matanya.

Berjanji di dalam hati, tidak ingin mencari masalah. Wafiq berusaha untuk menekan perasaannya. Hal memalukan baginya adalah berebut perempuan yang memang belum pantas untuk diperebutkan. Rasa ingin melindungi, rasa ingin memiliki, rasanya seperti pecundang yang mengklaim haknya padahal jelas de facto atau pun de jure tidak ada hak yang menempel atas sesuatu pun di sana.

"Nafiza, tuh ada dokter Faiyaz. Keren ya kemarin belain kamu sampai sebegitunya. Dokter Ardi saja sampai kicep loh."

"Eh, katanya nrs Nadia kemarin mereka berdua dapat peringatan keras loh, bahkan manajemen sampai akan mengeluarkan SP tapi direktur RS memberikan abolisi untuk masalah itu."

"Yang benar?" Bisik-bisik suara teman-teman Nafiza membuka pembicaraan tentang dokter internship yang namanya kemarin baru mengguncang jagat perparamedisan di rumah sakit tempat Nafiza menjalani program koasnya. Apalagi kalau bukan triagle masalah Nafiza, Wafiq dan juga Ardiansyah Abubakar.

Harapan, sapaan seperti biasanya akan Nafiza dapatkan dari seorang Faiyaz Mufazzal, sayangnya senyuman sekilas itu hanya sekedar basa-basi untuk menunjukkan keramahan kepada sesama. Sekilas dan tatapan itu bukan lagi milik Nafiza meski hatinya sangat ingin untuk dilihat.

"Selamat pagi Dokter Faiyaz." Tanpa aba-aba serempak bak pengambilan nada dasar pada suatu koor, suara sekelompok teman Nafiza menyapa Wafiq yang berpapasan dengan mereka.

"Pagi," singkat, padat dan sangat jelas. Lalu berlalu begitu saja seolah mengacuhkan persoalan kemarin bersama Nafiza. Padahal Nafiza ingin sekali menghentikan langkahnya, berbicara kepada Wafiq secara langsung untuk meminta maaf.

Nafiza hanya bisa menelan ludahnya. Sementara Wafiq sendiri harus bisa membentengi hati. Tujuannya berada di rumah sakit ini bukan untuk menunjukkan kekuatannya, bukan pula menunjukkan siapa yang akan menjadi pemenang saat tantangan duel yang dilayangkan Ardi kepadanya, bukan. Wafiq hanya ingin bekerja atas dasar kemanusiaan. Masih perlu banyak belajar, masih membutuhkan banyak bimbingan, dan kedua tangannya akan dipergunakan untuk membantu orang lain bukan untuk membuat mereka masuk ke rumah sakit.

Mengenai Nafiza, jelas Wafiq akan berusaha namun bukan tebar pesona saat tugas di rumah sakit menjadi hal yang utama. Intinya, Wafiq ingin menjunjung tinggi nilai profesionalisme sebagai dokter dan juga menunjukkan bahwa dia berintegritas dengan etos kerja yang mumpuni. Bukan hanya lulus dan menyandang gelar sebagai dokter namun tidak memiliki etika dan nol besar tentang pekerjaan karena tidak mampu menyerap ilmu dengan sebaik-baiknya.

"Fiz, kok tumben__"

"Iya benar. Gimana sih Fiz rasanya kemarin jadi rebutan dokter internship?"

"Eh iya, iya, cerita dong__" mendapatkan berondongan pertanyaan seperti itu bukannya membuat bangga namun justru semakin membuat nyali Nafiza semakin ciut. Rasa malunya lebih besar daripada hasrat ingin terkenal. Jangan sampai terkenal hanya karena masalah memalukan seperti kemarin. Yang ada justru tercemar bukan lagi terkenal.

"Sudah kita lakukan tugas dengan baik, banyak laporan yang harus kelar hari ini. Dan sebagai calon dokter yang baik sudah sepatutnya kalau kita lebih mengutamakan kebutuhan pasien bukan malah bergosip ria." Nafiza menengahi. Ya, mungkin saat istirahat dia bisa mengirimkan pesan untuk bisa membuat janji ketemu dengan Wafiq meski waktunya juga tidak sebanyak seperti harapannya.

Sebaiknya memang tidak perlu dibayangkan bagaimana nanti tapi harus dilalui dan diperbaiki salahnya ada dimana.

Benar saja, saat bisa istirahat Wafiq membalas pesan yang yang dikirimkan oleh Nafiza. Mengatakan bahwa banyak sekali pekerjaan yang harus di handle olehnya hari ini untuk itu Wafiq meminta maaf jika masih belum bisa menemuinya.

Ini bukan sebuah penolakan yang jelas, hanya saja modus pengalihan atas banyaknya pekerjaan membuat hati Nafiza seakan teremas. Wafiq tidak pernah bersikap sedingin ini, biasanya kalau pun tidak bisa menemui dia pasti akan menjadwalkan waktu lain sebagai gantinya. Namun sepertinya saat ini terkesan keengganan yang diterimakan oleh Nafiza.

"Faiyaz, melamun saja. Tuh lihat banyak pasien IGD masuk triase merah." Wafiq tergagap dan seketika langsung bergerak menuju ruangan IGD. Internship memang seringkali mendampingi dokter jaga untuk menjadi lini terdepan pertolongan pasien di rumah sakit. Jadi Wafiq pun akan sering berada di IGD.

Sebaik apa pun niat yang ada di dalam hati saat pikiran tak lagi sinkron dengan hati dan perasaan pasti akan ada kesalahan meski terkadang kesalahan itu bisa dianulir. Namun jika tidak, sepertinya wanprestasi itu akan berubah sebagai malpraktek yang berujung pada tuntutan.

Beruntunglah Wafiq selalu melakukan ricek terlebih dahulu sebelum akhirnya memberikan memo, suntikan atau obat kepada pasien. Rasanya memendam itu memang menyulitkan.

"Faiyaz, katakan saja kalau ada yang ingin dibicarakan. Jangan menyimpan seolah-olah tidak ada masalah, menyelesaikan masalah itu tidak hanya bisa dengan cara mendiamkan." Salah satu teman satu level dengan Wafiq dan Ardi mengingatkan.

"Thanks Dil, iya aku bakalan ngomong tapi tidak sekaranglah. Nanti setelah off duty."

Dan semuanya kembali berjalan sebagaimana mestinya hingga waktu yang terus berlalu senantiasa memberikan ruangnya kepada setiap manusia untuk melakukan hal terbaik yang bisa mereka berikan kepada sesamanya. Sesimpel dan semudah itu, hanya saja tidak sedikit dari mereka yang memilih jalan lain untuk merubah penerimaan itu atas pembenaran dirinya sendiri.

Benarkah menunggu itu pekerjaan yang membosankan? Tentu saja benar jika tidak memiliki kesibukan. Nyatanya tidak demikian bagi seorang sesibuk Nafiza saat gawainya berdering dan nama Wafiq terpampang jelas di sana. Lengkungan senyum yang tercipta jelas menandakan bagaimana hati berbicara.

"Assalamu'alaikum Kak."

"Waalaikumsalam, selesai koas jam berapa? Bisa ketemu?" Nafiza melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Ada yang ingin aku bicarakan." Suara Wafiq kembali menggetarkan membran perungunya.

Sudah terlalu larut jika Nafiza hari ini bertemu. Nafiza masih memiliki satu set jadwal kunjungan itu artinya masih dua jam lagi dia bisa melepaskan kepenatan untuk hari ini.

"Dua jam dari sekarang, Kak." Wafiq pun melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Itu artinya mereka akan bertemu pada pukul 23.20 wib. Tidak ingin menundanya terlalu lama Wafiq menyetujui untuk menemui Nafiza malam ini.

"Ok, aku jemput di rumah sakit, kita bicara di kedai depan rumah sakit baru setelahnya aku antarkan kamu pulang ke kost."

"Iya Kak, tapi__"

"Kenapa?"

"Dokter Ardi__" Nafiza mengungkapkan kegelisahannya. Terlebih saat dia mengetahui secara detail Wafiq menerima teguran keras dari RS meski sesungguhnya bukan dia yang memulai kejadian kemarin.

Tidak ada tanggapan dari Wafiq dia hanya mengatakan akan menjemput Nafiza setelah dia menyelesaikan tugasnya hari ini.

Dua jam berlalu, Nafiza telah menyelesaikan semua laporan dan tugasnya. Kini dia melenggang untuk segera menemui Wafiq di tempat dimana yang telah mereka janjikan sebelumnya. Menyusur lorong rumah sakit hingga sampai di selasar rumah sakit yang menghubungkan dengan IGD seorang diri. Berdiri di hadapannya sosok yang satu hari ini berusaha untuk dihindarinya.

Sama seperti Wafiq, Nafiza juga seketika langsung menarik batas untuk membentengi diri.

"Malam Nafiza, baru selesai? Mau pulang?" Sapa Ardi dengan senyum manis yang dia miliki.

"Selamat malam Dokter Ardi, iya sudah selesai. Mari saya duluan." Nafiza menghindar dan itu sangat jelas terlihat. Hingga kedua tangan Ardi mengepal karena kecewa sapaan hangatnya disambut dingin oleh wanita yang ingin dia dekati. Andai saja dirinya tidak sedang bertugas malam ini pasti langsung saat ini juga mensejajarkan langkah untuk mengikuti kemana Nafiza menggerakkan kedua kakinya melangkah.

Hingga Nafiza bisa menghembuskan nafasnya dengan lega, sudut matanya melihat sosok yang ditunggunya turun dari sepeda motor lalu masuk ke kedai. Nafiza menyusulnya segera.

"Kak__" Wafiq menunjuk sebuah meja kosong yang sedikit jauh dari beberapa orang yang sedang menikmati makan atau sekedar ngobrol untuk menantikan hari berganti ditemani secangkir kopi panas yang telah habis kepulan asapnya.

"Maaf menganggu istirahatmu, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan."

"Fiza juga, ada yang harus aku sampaikan pada kak Wafiq."

Menuliskan pesanan makanan ringan dan minuman hangat, Wafiq menyerahkan nota pemesanan kepada pelayan tanpa bertanya kepada Nafiza menginginkan apa. Nafiza sendiri juga tidak terlalu memfokuskan pada apa yang dipesan oleh Wafiq. Tujuannya hanya ingin bertemu dan meminta maaf.

"Kak__"

"Fiz__" suara yang muncul secara bersamaan tanpa aba-aba.

"Kamu dulu saja," Wafiq mempersilakan. Nafiza menarik nafas dalam-dalam lalu menatap Wafiq sekilas sebelum akhirnya dia bersuara kembali. "Maafin aku kemarin Kak. Peristiwa kemarin membuat kak Wafiq harus menerima teguran dari pihak manajemen rumah sakit padahal Fiza yang salah dengar dan salah tidak mengkonfirmasi ulang kepada kakak karena tahu kan hecticnya IGD seperti apa."

Wafiq menganggukkan kepala, "tadi sebelum kemari aku bertemu dengan dokter Ardi. Sebenarnya terlepas dari salahnya siapa, bukankah seharusnya dokter Ardi juga mengetahui kalau kealpaan itu tidak seharusnya dilanjutkan. Fungsi dual control yang semestinya dilakukan mengapa seolah diabaikan dan__"

"Sudah, tidak perlu mengkambinghitamkan orang lain. Tidak perlu juga berprasangka, karena sesungguhnya persangkaan itu adalah salah satu cabangnya dosa. Aku keliru, kamu juga sama, intinya jika orang lain tidak merasa keliru sebaiknya kita yang harus bisa membenahi diri. Aku perlu bicara seperti ini padamu karena aku tahu kamu perempuan dan bukan tidak mungkin di rumah sakit ada banyak laki-laki yang ingin mendekatimu__" Wafiq memberikan jeda. Meminta persetujuan atas ucapannya kepada Nafiza. "Merasa atau tidak, aku sangat tahu akan hal itu, termasuk dengan Ardiansyah."

"Kak__jangan mengada-ada." Nafiza menolak, bukan karena dia tidak mengerti apa maksud Ardi kepadanya hanya saja dalam hatinya berharap Wafiq bisa mengakui perasaan yang tersimpan di dalam hatinya. Atau selama ini Nafiza hanya Ge eR saja, terlalu berharap Wafiq memiliki perasaan yang sama namun sesungguhnya dia hanya bertepuk sebelah tangan, mana mungkin bisa.

"Aku bukan mengada-ada, ini kenyataan kalau aku aku menghubungkan beberapa kali dia meminta informasi tentang kamu padaku ditambah kejadian kemarin."

"Kak Wafiq menceritakan tentangku pada dokter Ardi?" Wafiq menggeleng namun dia menjawabnya singkat. "Aku hanya berkata bahwa SMP dan SMA dulu kamu adik kelasku."

Nafiza terdiam walau ingin menanggapinya karena pelayan datang membawakan pesanan Wafiq. Satu buah beef steak, satu burger, satu french fries large dan teh tawar panas. "Sama halnya denganmu, Fiz." Nafiza memandang Wafiq untuk memintanya menjelaskan lebih. "Aku tidak akan memberitahukan tentang Ardi padamu, kamu cari tahu sendiri saja."

"Kok gitu Kak,"

"Yang jelas, kejadian kemarin pelajaran berharga banget buat aku khususnya. Dan mulai hari ini nggak ingin saja punya masalah dengan orang lain. Kalau ada apa-apa, aku sendiri yang rugi nanti. Baba dan umma telah memberikan kepercayaan itu padaku, aku tidak ingin mengkhianatinya. Jadi__"

Nafiza menunggu, membicarakan tentang orang tua dan rasa bakti seorang anak itu sepertinya akan memupus pelan-pelan sebuah harapan, PPKM dalam arti sesungguhnya, pelan-pelan kau menjauh.

"Kakak ingin aku seperti apa?"

"Bukan aku ingin kamu seperti apa, tapi kita."

"Kita__?" Nafiza seolah mengeja apa yang ada di pikiran Wafiq namun tetap saja tidak dia temukan jawabannya.

"Aku dan kamu, iya kita. Semalaman aku berpikir bahwa sebaiknya kita memang menjauh Fiz."

"Menjauh, maksud kak Wafiq bagaimana sih. Tolong jangan berputar-putar, aku capek jika harus mengartikannya lagi."

"Ok, semua temanku tahu kalau kita berasal dari satu kota. Aku pikir ya karena aku laki-laki dan kamu perempuan, aku mengenal orang tuamu sehingga biasa saja untuk mengajak makan atau sejenisnya tapi mereka yang berusaha untuk mendekatimu seakan tidak merelakannya. Itu sebabnya aku ingin ya kita biasa saja."

"Maaf tapi kalau boleh tahu, kita tidak sebiasa apa?" Ini sebenarnya bukan pertanyaan menjebak. Namun entah karena capek atau alasan yang lain, Wafiq harus terperosok jauh oleh pernyataannya sendiri.

"Tentu kamu tidak buta dan tuli untuk bisa mengerti perhatianku, Fiza. I care of you as a man."

"Tunggu sebentar, you care of me as a man. Apa itu artinya kak Wafiq termasuk dalam mereka yang tadi kak Wafiq bicarakan?" Sebegitu sulitkah untuk memendamnya sendiri hingga kepolosan Nafiza membuat Wafiq tidak berkutik.

Malam semakin larut namun debar jantung yang dirasa Nafiza tak lagi bisa dikontrol dengan baik. Padahal jika melihat waktu, sekarang fungsi jantung sedang melemah sementara hati melakukan aktivitas pembuangan racun hasil metabolisme dan terjadi proses regenerasi sel-sel organ hati. Namun, karena Wafiq jantung Nafiza berdegup lebih cepat daripada sebelumnya.

Wafiq sendiri terlihat meraup mukanya dengan kasar padahal dia baru saja memasukkan potongan steak ke mulutnya.

"Aku tidka perlu menjelaskannya kepadamu, Fiz. Intinya kita bersikap biasa saja, bicara seperlunya, dan maaf kamu harus lebih bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuhmu." Memenuhi nutrisi tubuh, iya, saking hecticnya menjadi seorang dokter koas Nafiza seringkali terlambat bahkan melewatkan jadwal makannya. "Aku hanya tidak ingin kamu sakit, kita itu dokter, lawan kita pasien yang tentu saja dekat dengan penyakit. Syukur kalau penyakit itu termasuk dalam golongan tidak menular, tetapi kalau menular, kondisi kita sebagai penolong tidak baik atau bisa dikatakan buruk karena imun tidak terproduksi dengan baik tersebab kurangnya nutrisi dalam tubuh__"

Nafiza tersenyum, lega rasanya mendengar semua pengakuan Wafiq. Ketua OSIS di depannya ini seolah sedang memimpin sebuah rapat yang mengharuskan seluruh anggotanya untuk bisa memperhatikan dengan baik. Management treat dan leading yang dimiliki Wafiq tidak perlu diragukan lagi.

"Malah senyum-senyum, aku nggak mau ya lihat kamu sakit."

"Iya-iya Pak Dokter, siap." Nafiza menjawab masih dengan senyumnya yang belum menghilang. "Lagian mengapa juga tadi nggak makan dulu setelah pulang dari rumah sakit. Jam segini makan juga tidak baik untuk pencernaan." Nafiza bicara namun juga mencomot french fries yang ada di hadapannya.

"Kamu juga nggak ingetin aku."

"Ok, kita biasa saja. Tapi kalau komunikasi virtual tetap bisa kan?"

"Selama aku atau kamu on hand, kalau sedang bekerja tentu saja tidak memungkinkan."

"Deal," seperti janji yang diucapkan Wafiq, dia mengantarkan Nafiza sampai di depan kostnya. Berhenti sejenak lalu Wafiq bertanya, "kamu setiap hari pulang larut seperti ini?"

Bukan setiap hari tapi rasanya seringkali seperti ini, bahkan terkadang Nafiza menginap di rumah sakit. "Kenapa Kak?"

"Pakai motorku saja deh, meski dekat dengan RS kalau pulangnya larut seperti ini aku khawatir saat kamu jalan sendirian. Apalagi kalau harus ngojek," Wafiq memasang standar sepeda motornya, melepas helm, memainkan gawainya kemudian membuka dompet, mengambil sesuatu dari dalam sana lalu menyerahkan kepada Nafiza.

"Kak__"

"Aku tidak ingin kamu bermasalah, Nafiza. Aku juga tidak ingin bermasalah dengan siapa pun saat ingin memastikan keamananmu, termasuk bermasalah dengan Ardi. Tolong jangan menolaknya, aku telah memesan ojol, dan ini STNK sepeda motorku." Beruntung pada akhirnya dia memilih untuk membawa sepeda motor matic milik ummanya. Dan sementara memberikan pensiun untuk ranger merah kesayangannya di rumah.

Ah, sepertinya tak perlu menunggu hujan turun untuk bisa melihat pelangi setelahnya. Karena saat ini Nafiza telah melihat, pelangi itu tergambar jelas di mata Wafiq.

Setelah pintu gerbang terbuka Nafiza menuruti perintah Wafiq untuk memakai kendaraannya. Lalu kembali menemani Wafiq yang masih menunggu 'kang ojol' sampai. Hingga waktu berpisah tiba Nafiza berkata lirih, "Kak, ada pelangi di matamu."

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️
Jazakhumullah khair

sorry for typo
Blitar, 31 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top