Epilog


"Aku tidak percaya semua sahabatku melakukan ini padaku," gerutu Vivian. "Aku jadi gila-gilaan. Dua minggu! Memangnya semuanya bisa jadi sempurna dalam dua minggu?"

"Entahlah, Viv. Tapi yang ada di luar itu memang sempurna," sahut Cara.

"Aku bahkan tidak bisa membuat yang seperti itu," kata Jesse yang duduk dengan patuh sementara rambutnya ditata. "Aku berutang padamu."

Vivian mendesah meski dirinya sendiri terlihat bangga dengan pencapaiannya sejauh ini. "Aku masih berpikir bisa mendapatkan bunga dekorasi yang lebih banyak. Seharusnya kita buat terowongan bunga di sepanjang jalan masuk seperti yang ada pesta pernikahan Cara."

"Kau membuat gerbang dari bunga-bunga itu," sahut Jesse. "Ibuku jatuh cinta setengah mati dengan gerbang itu. Lagipula, aku tidak punya uang sebanyak Rick Storm yang bisa menghambur-hamburkan uang."

"Tapi aku yakin Max punya uangnya," kata Cara.

"Apa kalian selalu seperti ini? Kalian sudah berdebat selama satu jam," tegur Laurel yang menjadi penata rias Jesse hari ini. Tidak banyak pilihan penata rias pengantin di kota kecil ini. Jesse bukan Cara yang bisa mencari penata rias mahal untuk pernikahannya. Yang ada hanya Laurel, yang ternyata adalah teman Jesse saat SMP―ralat, dia teman Cara. Jesse hanya mengingat samar-samar seseorang bernama Laurel Mason dan orang ini jelas tidak berada di lingkaran pertemanannya.

"Kau pasti bisa merasakan apa yang kurasakan, Lau," kata Vivian. "Satu sahabatku menikah dan baru memberitahuku beberapa jam sebelum pernikahannya dimulai. Demi Tuhan, aku sedang berada di negara bagian lain. Aku bahkan tidak melihatnya mengucapkan ikrar."

"Hei, aku 'kan membalasnya dengan pesta besar yang membuang-buang uang," sahut Cara.

Tapi Vivian terus bicara. "Satunya lagi menikah dan berkata pernikahannya dua minggu lagi. Memintaku menjadi pendampingnya dan mengurus segala hal. Dua minggu! Kau tidak tahu pekerjaan apa yang kutinggalkan dan daftar pekerjaan apa yang menungguku demi pernikahan sahabatku."

"Kenapa dia mengeluh?" sahut Jesse. Ia tidak yakin bisa mengurus pernikahannya sendiri kalau bukan karena Vivian. Kehamilan yang sudah masuk bulan kelima membatasinya dari segala hal. Vivian adalah malaikat penolongnya. "Kau melakukannya dengan baik. Jangan khawatir. Max tidak peduli dengan karangan bunganya. Sepertinya dia hanya menunggu bagian malam pertamanya saja."

"Malam pertama macam apa?" tukas Cara. "Sepertinya keponakan-keponakanku dalam perutmu itu menjelaskan sesuatu."

"Aku masih berpikir bisa melakukan yang lebih dari ini," kata Vivian. "Kenapa kau tak menyewa gedung seperti pesta Cara?"

Jesse mendengus. "Sudah kubilang tamunya sedikit."

"Itu bukan masalah," kata Vivian. "Berarti ada ruang yang besar untuk dansa yang lainnya. Aku jatuh cinta pada pemandangan bukit itu."

"Mungkin Max ingin sesuatu yang sakral di resor milik keluarganya," balas Laurel yang sedaritadi memperhatikan seraya melingkarkan kepangan rambut Jesse.

"Aku juga tidak mau lama-lama berpesta," kata Jesse. "Aku mudah lelah. Bayi Max sangat manja. Mereka ingin aku berdiam sementara mereka bisa bebas melakukan banyak hal di dalam sana seperti bertengkar untuk bersaing siapa yang bisa lebih dulu keluar."

"Aku tidak yakin jika perut sebesar itu usianya lima bulan," kata Cara.

"Jesse bahkan tidak mengembang," balas Laurel.

"Trims, Lau," sinis Cara. "Kau mengingatkanku betapa mengembangnya aku sekarang padahal aku hanya mengandung satu bayi."

"Kau terlihat mengagumkan dengan payudara itu," kata Laurel.

"Wah, trims. Starr menikmati sekali waktu makannya," kata Cara. "Aku perlu memeras banyak dari gunung ini sebelum menitipkannya ke Janice, sementara aku dan Rick jadi pendamping pengantin."

"Payudaraku tidak kunjung membesar padahal aku punya bayi kembar," kata Jesse. "Bagaimana caraku menyusui?"

"Kau lihat, Lau? Mereka membicarakan bayi padahal sahabatku hanya dua," kata Vivian. "J, kau akan menikah dengan kacamata besar itu? Astaga."

"Aku membawakannya kontak lensa," kata Laurel.

Awalnya Jesse menolak kontak lensa. Max tidak peduli ketika Jesse menanyakan soal ini. Max hanya ingin menjadikan Jesse istrinya yang sah. Titik. Jadi Jesse santai-santai saja. Tetapi jika dipikir-pikir lagi, seharusnya Jesse membuat pernikahan ini sempurna. Akhirnya Jesse berubah pikiran dan meminta Laurel membelikannya satu di kota.

"Itu baru gadisku!" sahut Vivian.

"Sudah selesai," kata Laurel. Ia merogoh sesuatu dari tasnya dan menyodorkannya pada Jesse. "Satu pelengkap terakhir dan kau siap memamerkan diri pada Max."

"Bagaimana penampilanku?" tanya Jesse.

"Jujur saja, kau membuatku ingin jadi pengantin lagi," kata Cara.

Vivian akhirnya tersenyum meski seharian ini sudah terlihat gusar. Tetapi Jesse sendiri tahu, Vivian cukup puas dengan hasil kerjanya hingga berhasil membuat sahabatnya melangsungkan pernikahan. "Kau sempurna, J. Aku sangat bahagia untukmu."

Jesse melepas mencuci tangannya, lalu melepas kacamata dan menggantinya dengan kontak lensa. Laurel memasangkan penutup kepala Jesse dan Jesse memandang dirinya sendiri dalam balutan gaun putih lengan panjang yang cantik. Perutnya menggembung namun itu tidak menutupi betapa sempurnanya Jesse saat ini karena begitu bahagia akhirnya bisa menikahi Max.

Janice datang bersama dengan James dan Starr yang terlelap dalam gendongannya. Janice sudah cantik dengan gaun putih gadingnya yang sederhana namun menawan, sementara James mengenakan tuksedo yang senada dengan gaun istrinya. "Oh! Putriku! Kau cantik sekali!" kata Janice. "Cara, aku tak mengerti mengapa Starr merasa begitu nyaman di lenganku, dia tertidur sepanjang waktu. Tetapi jika berpindah tangan, dia langsung bangun."

"Kau pasti lelah, Janice. Mau aku menggantikan?" ujar Cara.

"Jangan!" bantah Janice mentah-mentah. "Aku suka menggendongnya. Dia seperti malaikat. Mungkin dia akan sekalem ayahnya kelak. Aku tak sabar menanti bayi Jesse lahir."

"Kau dapat dua, Mom. Jangan lupa," balas Jesse. "Starr mungkin kalem seperti ayahnya. Tapi ayah bayi-bayiku adalah Max yang suka berlarian di lapangan futbol. Bersiap-siaplah dengan itu."

"Kau sudah siap, Jesslyn?" tanya James yang menyela percakapan. "Acaranya dimulai sebentar lagi."

"Tentu, Dad."

James berdeham dan menatap semua orang yang ada di ruangan itu. "Eh, aku ingin meminta sedikit waktu bersama putriku. Bisa?"

"Tentu, Mr. McGraw," sahut Vivian. "Ayo, gadis-gadis, kita keluar. Beri waktu pada mereka. Omong-omong, James, kau tampan dengan setelanmu."

"Demi Tuhan, Viv. Ada Janice di sini," kata Cara.

Vivian mengendik. "Aku 'kan hanya jujur."

Kemudian mereka keluar meninggalkan keributan yang semakin lama makin menjauh. Ada teguran Janice di sela perdebatan itu, mengatakan bahwa Starr sedang tidur dan tidak mau kalau bayi itu terusik.

James menatap Jesse dengan canggung. Sejak James tahu tentang kehamilan Jesse, hubungan mereka memang tidak seperti dulu. James tidak selalu menggerutu seperti dulu. Pria paruh baya itu terkesan diam. Jesse sudah sebisa mungkin mengajak bicara ayahnya. Max dan Gerald melakukan hal yang sama, tetapi James selalu saja menghindar.

"Jadi... Dad, aku ingin kita baik-baik saja karena sebentar lagi aku akan menjadi istri Max. Aku mungkin sudah mengatakan ini, tapi aku ingin minta maaf lagi karena menyembunyikan kenyataan darimu. Saat itu, aku hanya butuh waktu, itu saja."

"Kau membuatku ketakutan setengah mati, kau tahu. Aku tidak mempermasalahkan kehamilannya. Aku ngeri memikirkan seseorang telah menyakitimu kemudian meninggalkanmu seperti itu. Jika itu anak Gerald sekalipun, aku tak akan segan-segan memburunya meski Gerald adalah sahabatku."

"Tapi Max tidak menyakitiku." Yah, pernah sekali, tapi Jesse tidak ingin membahasnya. Itu sudah berlalu. "Dia ayah terbaik untuk bayi-bayinya."

James mengangguk. "Aku percaya Max bisa melakukan itu. Menggantikanku. Aku hanya bangga padamu, itu saja. Kalau saja aku belum pernah mengatakan itu sebelumnya."

Jesse mendesah menatap ayahnya. "Jangan buat aku menangis, Dad. Aku pakai kontak lensa yang rasanya tidak nyaman. Kau tak tahu berapa lamanya Laurel meriasku. Bisa kacau kalau aku menangis."

James tersenyum lebar, meraih jemari putrinya dan mengecup di sana. "Pengantin cantik tidak boleh menangis. Ini hari sempurnamu. Ayo kuantar kau pada Max. Kau sudah siap?"

Jesse menerima uluran lengan ayahnya tanpa menjawab, tetapi hatinya sudah lebih dari siap untuk menyandang nama Beverly.


# # # #


"Aku gugup."

"Dua puluh tiga."

"Serius, Kev. Aku benar-benar gugup―"

"Dua puluh empat."

"Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku gugup. Sekarang aku sangat gugup."

"Dua puluh lima. Dua puluh enam."

Max menatap adik bungsunya dan menatap tak percaya. "Kenapa kau berhitung padaku?"

Rick menyahut. "Dia sedang menghitung berapa kali kau berkata, gugup. Kami taruhan. Jujur saja, aku sudah kalah. Kau berkata gugup melebihi ekspetasiku."

Max mendapati Kevin yang menyeringai jail. "Serius? Di hari pernikahanku? Dasar brengsek. Untung lenganku masih digips. Harusnya aku mendengarkan Jesslyn supaya menikah setelah gips dilepas. Aku pasti bisa meninjumu. Rick, berapa kali yang diharapkan Kevin? Aku tak akan membuatnya menang."

Rick menggeleng pelan. "Aku tak bisa bilang."

Max mencibir, "Kau pendamping payah."

"Kau yang payah," kata Kevin. "Rick tidak segugup dirimu saat menikah."

"Aku gugup," koreksi Rick. "Tapi aku tidak mengatakannya sebanyak dua puluh lima kali."

"Sebenarnya, sudah dua puluh enam," kata Kevin.

"Apa kalian sadar sedang berdiri di altar pernikahanku dan menunggu pengantin wanitanya?" tukas Max.

"Ya ampun. Daritadi 'kan kau yang tidak bisa diam karena gugup," kata Kevin.

"Aku yang menikah. Aku pantas gugup," balas Max.

"Dua puluh tujuh, Rick," kata Kevin. "Aku menang. Kau berutang seratus dolar padaku."

"Dasar brengsek," tukas Max. "Aku lebih suka Calvin yang jadi pendampingku."

"Kalian mau bertengkar terus, anak-anak?" tukas Gerald. "Acaranya akan segera dimulai."

Max melirik ayahnya. "Aku gugup, Dad."

"Itu dihitung atau tidak?" tanya Rick.

"Persetan, Rick. Aku sudah menang." Kevin menggerutu.

Musik pernikahan berkumandang, membuat semua orang yang hadir ke upacara sederhana di taman Beverly House itu menatap ke arah gerbang di mana karpet merah muda terbentang. Anak-anak menaburkan bunga. James membawa Jesse dengan langkah anggun. Ada Cara dan Vivian yang mengikuti di belakang. Namun mata Max hanya tertuju pada pengantinnya yang cantik dengan gaun pernikahan dan penutup kepalanya. Jesse menatapnya malu-malu dari balik kain tipis itu. Miliknya. Wanita itu akan menjadi miliknya, ibu dari anak-anaknya.

"Dia begitu cantik," gumam Max. Tak percaya wanita yang ia cintai selama ini akan mengucap sumpah setia padanya. Penantiannya sepadan dengan apapun yang terjadi saat ini. Max tak menyadari keharuan mulai menjalari dirinya. Air matanya menggenang hingga Max perlu menyekanya ketika hampir menetes.

"Max menangis, Bung," kata Kevin.

"Yeah, begitulah rasanya," kata Rick.

Tapi Max tidak mendengarkan saudaranya berbicara. Ketika James datang menyerahkan Jesse pada Max, ternyata bukan hanya Max yang menangis. Jesse juga menangis dengan senyuman lebar di bibirnya.

"Ayo kita lakukan ini," kata Jesse.

"Aku siap untuk ini, Jesslyn. Aku siap memiliki hidup baru bersamamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top