(8)
Jangan lupa dukung cerita ini dengan vote dan komentar :D :D
"Jadi bagaimana?" tanya Cara berumur lima belas yang tiba-tiba menjajari langkahnya di koridor sekolah.
Jesse mengamati sekitar, heran mengapa Cara sendirian dan tidak ada Rick di sampingnya. Cara dan Rick adalah pasangan yang tidak peduli pada sekitar. Mereka hanya menghabiskan waktu berdua sepanjang hari, kecuali jika mereka terpisah di jadwal yang berlainan kelas. Mereka seperti tidak bisa memisahkan diri satu sama lain. Satu hal yang membuat Jesse heran, bagaimana mungkin mereka tidak bosan terhadap satu sama lain?
"Rick, harus menyusul ujian berbicara," desah Cara kemudian seolah bisa membaca kepala Jesse.
"Jadi begitu caranya lolos banyak ujian di depan kelas? Kenapa aku tidak menggunakan taktik itu? Aku juga punya kecemasan berlebih saat berada di depan umum."
"Jadi... bagaimana?" ulang Cara, mengacuhkan tanggapan Jesse.
Jesse menaikkan kacamatanya. "Apanya yang bagaimana?"
"Tentu saja kencanmu dengan Max kemarin. Memangnya apa lagi?"
Dengan cepat Jesse membungkam mulut Cara hingga gadis itu melotot, lalu Jesse mundur ke sudut dinding yang tersembunyi adanya loker. "Sst!" tegur Jesse pelan. "Jangan keras-keras!"
"Aku bahkan tidak bicara keras!" desis Cara. Ia merapikan rambutnya dan menatap sahabatnya sekali lagi dengan penuh arti. "Jadi bagaimana? Kau merasakan getarannya?"
"Getaran apa?"
"Getaran―entahlah... . Aku merasakan getaran itu sejak bicara dengan Rick untuk pertama kalinya. Kau tahu, seperti reaksi kimia, seperti sengatan listrik."
Jesse tidak yakin begitulah sebutan untuk kencannya dengan Max. Ketika Jesse meminta ijin akan pergi berdua dengan Max, ayahnya menolak mentah-mentah tanpa kompromi apapun. Jadi Jesse tidak yakin ia sudah berkencan dengan Max mengingat mereka tidak pergi pada malam hari, ke bioskop, dan makan malam di B&B. Max menjemput Jesse pukul tiga dan memulangkan Jesse sebelum matahari terbenam. Mereka hanya berjalan-jalan di taman, membeli milkshake dan meminumnya sambil jalan. Duduk di taman dan menceritakan banyak hal. Itu bukan kencan, kan?
Tapi mau tidak mau Jesse mengakui bahwa ia menikmati waktu yang ia habiskan bersama Max. Cowok itu, selain keren, juga menyenangkan untuk dijadikan teman ngobrol. Ia tidak terlihat muak meski Jesse menceritakan ensiklopedia yang ia baca. Max pandai menggoda dan pandai menanggapi Jesse.
Perkara getaran...
Yah, Jesse sudah merasakan getaran sejak Cara menyuruhnya menjadi pasangan kencan Max. Bahkan ketika terpisah jendela berjarak lima kaki sekalipun, Jesse bisa merasakan getaran itu.
"Sebenarnya, aku penasaran bagaimana pendapat Max. Tapi dia menyuruhku untuk jangan mengganggunya," ujar Cara. "Menurutku, dia balas dendam karena aku selalu melakukan itu padanya ketika ia mulai mencampuri urusanku dan Rick."
"Jangan," balas Jesse cepat-cepat. Ia tidak sanggup mendengar Max mengungkapkan betapa mengecewakannya Jesse yang hanya memakai kaus dan celana jins untuk kencan mereka. Max memang tertawa-tawa saat bersamanya, tapi Jesse tidak akan terkejut jika Max tidak menghubunginya lagi atau bahkan mengajaknya kencan lagi. "Maksudku, seperti kau dan Rick. Ini juga urusanku dan Max."
Alis Cara naik dan bibirnya mengerucut. "Kenapa aku tidak boleh tahu hubungan kalian? Aku sahabatmu. Aku adik Max." Ia mengendik. "Harusnya aku orang pertama yang tahu. Lagipula, aku setuju jika kalian bersama. Jadi, kau merasakan getaran itu?"
"Um... kupikir, mungkin... ya?"
"Ya?!" pekik Cara hingga Jesse perlu membungkamnya. Tapi Cara masih terkikik riang. "Sudah kuperkirakan, kalian cocok."
Jesse menaikkan kacamatanya dengan gelisah. Ia tidak mengira bagaimana Max bisa dibilang cocok untuknya. Max itu bintang sekolah, sementara Jesse hanya kutu buku yang bahkan tidak diketahui namanya. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"
"Kuberitahu. Ini rahasia," bisik Cara. "Karena Max mulai gila. Dia tersenyum di depan jendela sepanjang hari. Memangnya alasan apa lagi yang lebih masuk akal daripada itu?"
Jesse bisa merasakan pipinya panas dan sudah bisa dipastikan ia sangat merah mengingat kulitnya yang pucat. Ia membayangkan Max yang sedang di depan jendela dan mengirim pesan padanya. Sambil tersenyum. Untuk catatan: senyum Maxime Beverly itu manis. Ia punya lesung pipi yang dalam, sementara matanya berkilat jahil ketika tersenyum. Jesse selalu berdesir setiap kali Max tersenyum menampakkan giginya dengan cara menawan.
Cara mendorong Jesse dengan bahunya. "O-oh. Apa yang kulihat itu? Jesslyn McGraw merona?"
Jesse balas mendorong Cara. "Hentikan."
Cara melangkah melalui Jesse dan berjalan menyusuri koridor diikuti Jesse. "Akui saja, kau suka abangku."
"Seperti belum banyak saja yang menyukai abangmu, C."
Cara berhenti dan menatap Jesse. "Maksudku, Max juga menyukaimu. Kalian cocok."
Itu omong kosong, pikir Jesse. Tapi ia memendam pikiran itu karena ia tahu Cara tak akan mau kalah―satu-satunya sikap Cara yang mirip Max, mengingat Cara lebih mirip saudara-saudaranya yang kembar ketimbang Max yang mirip ayah mereka.
"Aku dan Rick taruhan lima dolar soal kau dan Max. Meski aku tahu Rick membiarkanku menang, tapi dia juga tahu bahwa aku memang akan menang. Dugaanku tidak mungkin salah. Aku sudah membayangkan kita akan menjadi keluarga sejak lama sekali. Senang kau akan jadi kakak iparku."
Jesse meringis. "Itu menjijikkan." Umur Jesse masih lima belas tahun dan ia belum bisa membayangkan dirinya punya bayi yang akan mengejar bola ke sana ke mari seperti ayahnya. Dalam jangka pendek ini, Jesse hanya ingin merawat dan membesarkan pohon jeruk hingga berbuah. Tapi Jesse tidak bisa mengelak bahwa Max telah mengalihkan perhatiannya.
"Apanya yang menjijikkan? Aku dan Max itu baru menjijikkan. Kau dan Max cocok saja―oh, tidak. Itu dia."
Jesse belum sempat menengok untuk memastikan maksud Cara, ketika lengan besar Max sudah di bahunya dan bahu Cara. Dia bahkan bisa meraup dua gadis sekaligus. Ia berjalan bersama Cara dan Jesse menuju ke kelasnya.
"Hai, gadis-gadis. Jam pertama kalian di mana?" tanya Max dengan senyum lebarnya. Ia menyapa banyak orang―bahkan setiap orang yang ada di koridor hingga Jesse dan Cara yang tadinya tidak terlalu mencolok, sekarang jadi pusat perhatian.
Jesse tidak menyukai kegugupan yang melandanya.
Untungnya, Cara yang menjawab karena ia lebih mampu menguasai diri di tengah keramaian. "Sastra Inggris," jawab Cara seraya memutar mata. Ia sama sekali tidak terganggu dengan lengan Max yang menenggelamkannya.
Jesse melirik sekitar yang masih memperhatikannya. Apakah mereka mengamatinya? Apakah mereka menilai Jesse yang tidak-tidak? Ataukah Jesse tidak terlihat karena mereka hanya tertuju pada Max?
"Kau berada di kelas yang sama dengan Cara, Baby J?" tanya Max.
"Baby J," tiru Cara. "Yang benar saja."
"Kenapa?" sahut Max skeptis. "Kau ingin seseorang memanggilmu Baby C? Yah, aku menyesal Rick begitu pendiam dan tidak romantis."
"Dia romantis," tukas Cara. "Kau saja yang tidak tahu."
Sebenarnya Jesse setuju dengan Max. Ia tidak bisa melihat bagaimana Si Bisu Rick bisa jadi romantis. Jesse mengembalikan pikirannya ketika Max mengeratkan pelukannya dan telah melepas tangannya dari bahu Cara. Jesse tidak mungkin bisa lebih gugup dari ini, ketika orang-orang di sepanjang lorong mengamatinya.
"Jadi?" tanya Max.
Jesse mengerjap bingung. "Jadi... a-apa?"
"Kau sekelas dengan Cara?"
"Halo? Aku di sini," sahut Cara. "Apakah setelah berkencan kalian jadi bersekongkol? Apakah pendapatku tak lagi penting?"
"Pengganggu kesenangan," cibir Max. Namun seketika cibiran itu menghilang ketika menatap Jesse. "Kau cantik hari ini."
Jesse merasa pipinya panas. Ia tersenyum akibat malu. "Trims. Dan... ya, Maxime. Aku sekelas dengan Cara hari ini. Satu jadwal penuh."
"Maxime," tiru Cara lagi. "Yang benar saja."
"C, kau hari ini pulang dengan siapa?" tanya Max.
"Tentu saja dengan Rick," jawab Cara cepat. "Aku suka pulang jalan kaki dengannya."
Max tersenyum sangat lebar hingga menampakkan lesung pipinya saat menatap Jesse. "Jesselyn, mau pulang denganku? Aku akan menunggumu selesai. Jam berapa pun itu. Kau bisa telepon ayahmu supaya tidak perlu menjemputmu."
Ya Ampun! Max mengajaknya pulang bersama. Jesse yakin matanya melebar di balik kacamatanya. Kulitnya menggelenyar dan baru Jesse sadari bahwa telunjuk Max membuat gerakan melingkar di bahunya. Apakah Max memang seserius itu? Apakah ini artinya Max memang mengajaknya berkencan? Jesse tidak tahu harus berbuat apa.
"Bagus," ujar Cara. "Kalian memang bersekongkol. Yah, silakan saja. Aku akan baik-baik saja. Rick menjagaku."
"Jadi? Jesse?" Max menatapnya penuh harap saat mereka berhenti di depan kelas Jesse dan Cara untuk jam pertama. Cara sudah masuk lebih dulu. Bel terdengar kemudian. Tetapi lengan Max masih memenjarakannya di dinding. "Aku ingin menghabiskan banyak waktu bersamamu. Bisa? Kita mungkin akan makan piza, atau membeli es krim, atau berjalan-jalan di pantai sepulang sekolah. Atau... kau hanya ingin pulang. Apapun, aku tidak apa-apa."
Apakah ini kencan? Jesse bertanya-tanya dalam hati. Apakah ini kencan sungguhan?
Jesse tidak menyadari bahwa ia menyuarakan pikirannya dengan lirih hingga mengundang senyum menawan Max. "Tentu saja. Aku ingin mengajakmu kencan, Baby J. Jadi kau mau pulang bersamaku?"
Kencan sungguhan! Hati Jesse melambung. Tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakannya. Perasaan meluap-luap ini. Apakah Max memang menyukainya hingga mengajaknya untuk kedua kali? Apakah Max memang tertarik dengan gadis seperti Jesse?
Max begitu tampan dan menawan. Ia juga menyenangkan. Jesse menyukai Max. Itulah kenyataannya. Bagaimana mungkin Jesse bisa menolak pemuda ini? Jesse tidak punya jawaban selain anggukan. Max tersenyum lebar, lantas melakukan hal yang tidak Jesse duga―Max mengecup singkat pelipisnya hingga seluruh darah di tubuh Jesse berdesir dan jantungnya jungkir balik. Max mengacak rambutnya sebelum mengambil langkah mundur melalui koridor yang telah sepi. Tersenyum lebar dan melambaikan tangan pada Jesse. Jesse membalasnya. Setelah itu Max berlari dan menghilang ketika berbelok ke koridor lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top