(6)

Cara : Makan siang di B&B?

Jesse mengernyit ketika mendapati pesan Cara yang baru masuk ke ponselnya. Kemudian sebelum Jesse bisa membalas, pesan Vivian datang.

Vivian : Ada ibu hamil jahat yang mengajakku makan siang di B&B. Dia tahu aku tidak bisa pesan macam-macam di sana pada jam sekarang. Bergabung? Aku tidak mau dia memaksaku makan dengan kedok keinginan bayinya. Dia tahu aku tidak bisa menolak.

Jesse baru mengetik satu kata balasan, namun Vivian sudah mengirim pesan lagi.

Vivian : Aku tidak menerima jawaban tidak. Ini bukan tawaran. Kalau kau tidak datang, aku akan ke rumahmu untuk menjemput.

Jesse mendesah dan melirik Max yang menyetir dengan santai dengan satu tangan sementara tangannya yang lain tertekuk menyangga kepalanya. Kali ini Max tidak terburu-buru untuk pulang. Tidak menunjukkan kehebatan mobilnya seperti saat keberangkatan mereka menuju butik. Jesse berdeham. "Max, katamu hari ini ada gladi resik pesta."

Max melirik Jesse dan menegakkan tubuhnya. Kalau Cara dan Vivian sibuk, mereka tidak mungkin mengajak Jesse santai-santai di B&B. Meskipun, yah, pesta itu tinggal beberapa hari lagi. Bodohnya Jesse karena tidak menanyakan lebih dulu kebenaran jadwal mereka hingga ia percaya-percaya saja dengan kata-kata Max. Jesse mendadak buntu dalam beberapa hari terakhir. Tidak bisa dipercaya.

"Memang ada gladi resik," kata Max.

"Cara dan Vivian mengajakku ke B&B untuk makan siang. Mengingat sifat Vivian yang ingin segala halnya sempurna, tidak mungkin dia santai-santai di B&B sementara gladi resik menjadi persiapan final acara ini."

Max mendesah. "Memang ada gladi resik, Baby J. Aku tidak bohong. Tapi para wanita tidak ikut serta. Terutama Cara dengan perut menggembung berusia enam bulan. Kau dan Vivian 'kan pendamping utamanya. Wajar saja jika kau menemaninya ke B&B."

Jesse merengut kepada Max. Jadi kenapa Max bilang semua orang sibuk sehingga hanya ada dirinya dan Max untuk mengepas pakaian pesta? Jesse kesal dirinya baru saja terjebak pesona Max untuk sekian kalinya.

"Jadi kau mau pulang atau kuantar ke B&B?" tanya Max kemudian. Wajah Max menyiratkan rasa bersalah saat melirik Jesse dan menyadari kekesalannya.

"Langsung ke B&B saja. Aku tidak perlu memutar." Dan supaya kebersamaan ini cepat berakhir.

"Baiklah. Aku akan menjemputmu nanti. Aku hanya datang untuk melihat―"

"Tidak perlu," potong Jesse. "Aku yakin Vivian bisa mengantarku."

"Kau tahu aku bisa menjemputmu, kan?" tegas Max. "Aku hanya akan melihat-lihat di lokasi pesta karena Rick, Kevin, dan ayahku ada di sana. Tapi aku yakin aku tidak terlalu dibutuhkan untuk penataan dan sebagainya. Aulanya tidak terlalu jauh dari sini."

"Sungguh, Max. Terima kasih, tapi tidak." Jesse melepaskan sabuk pengamannya meski B&B baru berada di depannya.

Max melambatkan mobilnya dan berhenti di depan restoran pinggir sungai yang selalu menjadi tempat para turis dan nelayan setempat menghabiskan waktu. Para pemilik kapal juga selalu mampir di sini karena tempat inilah yang paling dekat dengan dermaga yang memiliki kapasitas paling luas di Westerly.

Max memutar tubuhnya dan menarik tangan Jesse ketika wanita itu membuka pintunya. "Jesse... kupikir―maukah kau... makan malam denganku malam ini?" tanya Max tanpa Jesse duga.

Oh, sial.

Apa itu tadi?

Max mengajaknya kencan?

Kencan! Astaga.

Jesse tidak pernah memperhitungkan ini akan terjadi. Ia sudah menduga Max akan menggodanya soal gaun. Merayunya saat berkirim pesan lewat jendela kamar. Tapi ia tak menyangka Max berani mengajaknya berkencan. Jesse belum pernah berkencan dengan Max saat berpacaran dulu. Bukan jenis kencan yang Cara bicarakan dengan nonton atau makan malam, Jesse tidak mendapat ijin sebebas Cara untuk pergi berdua saja bersama seorang pemuda. Dan kalau dipikir-pikir lagi, memangnya Jesse pernah punya pengalaman kencan? Hubungannya dan Davis tidak sampai sejauh itu. Ia hanya makan malam bersama Davis, mengenakan jas lab. Demi Tuhan!

"Bagaimana menurutmu?" tuntut Max.

Ayo, Jesse. Jawab. Bagaimana menurutmu? "A-aku... tidak tahu. Aku punya jadwal―"

"Kau punya jadwal?" sambung Max tak percaya.

"Ya."

"Kupikir kau mengambil cuti dan kau bebas di sini."

"Yah tidak semua pekerjaan seperti yang kau kerjakan."

Rahang Max seketika mengencang dan matanya mengerjap menghindari Jesse. Rautnya terlihat terluka. Sialnya Jesse baru ingat kalau Max selalu merasa rendah karena tidak sepintar orang-orang dan hanya bisa bermain bola. "Oh."

"M-maksudku... aku... tidak punya sponsor. Kau tahu, tidak ada yang mau membeli bobblehead dengan bentuk kepalaku." Bahkan jika dipikir-pikir lagi, wajah Jesse yang berkacamata dan berambut pirang bergelombang kelihatan aneh jika terus mengangguk begitu. "Aku... harus bekerja dengan laptopku. Menanti email dan... sebagainya. Mungkin aku juga harus melakukan beberapa panggilan. Uh, bisa dibilang aku membawa pekerjaanku ke sini untuk mendapatkan cuti." Jesse berdusta soal pekerjaannya, tapi ia tak punya cara lain. Ia belum siap untuk berhadapan dengan Max dalam sebuah kencan. Jesse tidak tahu apa yang mungkin terjadi.

Sepertinya kemarahan Max reda setelah menatap wajah gugup Jesse, atau wajah memelas Jesse karena merasa bersalah. Max tersenyum dan menampakkan lesung pipinya. Ia mencondongkan tubuh dan sedetik yang tak diduga Jesse, pria itu mengecup pipi Jesse hingga Jesse membeku. "Oke. Mungkin besok. Maukah kau membuka jendelamu malam ini?"

"Kau mau ayahku menyirammu besok pagi?"

Max tertawa. "Tidak. Aku hanya berusaha melihatmu lagi. Seperti masa lalu. Saat-saat indah itu."

Jesse tidak sanggup lagi berada di sekitar Max. Tidak ketika Max mengungkit cerita lama di antara mereka. Jadi Jesse keluar dan menutup pintu mobil Max. "Hati-hati, Pria Besar."

"Kau belum menjawab pertanyaanku!" seru Max ketika Jesse berjalan ke pintu masuk B&B, membuat Jesse memutar langkah. "Buka jendelamu?"

"Well..." Jesse baru akan menolak untuk beberapa alasan yang belum hinggap di kepalanya, tapi Max sudah tersenyum lebar dan melajukan mobilnya.

"Sampai ketemu nanti malam, J!"

"Sial," gerutu Jesse seraya membuka pintu restoran. "Terserah. Oh, ya ampun!"

Jesse tidak melihat Cara dan Vivian di manapun, jadi Jesse mencari tempat lebih dulu. Ia memesan milkshake dan mengatakan pada pelayan bahwa akan memesan lagi nanti setelah teman-temannya datang.

Sebelum milkshake pesanannya datang, Cara dan Vivian sudah masuk dan melihat ke arahnya. Cara dengan perutnya yang menggembung terlihat cantik di kehamilannya yang berjalan menuju tujuh bulan. Kini tubuh wanita itu membesar di beberapa bagian yang membuatnya berlekuk dan seksi. Sementara Vivian, sejak SMA dulu sudah berlekuk dan seksi. Tidak jarang cowok-cowok berpura-pura menyukai buku hanya untuk membuat Vivian terkesan. Ironis sekali di sini Jesse baru saja kehilangan berat badannya hingga membuatnya terlihat seperti tongkat berjalan, tapi teman-temannya terlihat makin seksi setiap harinya. Dunia memang tidak selamanya berpihak padamu.

"Hei, kau sudah di sini. Aku tidak melihat mobilmu," kata Vivian.

"Aku ke sini diantar Max," jelas Jesse singkat. Ia tidak akan menjelaskan detail bahwa Max baru saja mengomentari payudaranya.

"Wow," sahut Cara sambil mengelus perut buncitnya. Ia duduk dan mencari posisi paling nyaman. Kemudian melihat-lihat buku menu.

"Kenapa kau bisa bersama Max?" tuntut Vivian. "Max sudah ada di sini?"

Cara mengangguk santai. "Baru tiba pagi ini."

"Perutmu begitu besar, Cara," komentar Jesse. "Sepertinya akan meledak."

Cara tertawa. "Bayi Rick. Terserah. Dia sudah diajak berkompromi dan tidak akan meledak sampai pesta pernikahan."

Vivian melotot pada Jesse. "Jangan mengalihkan pembicaraan, dasar kau yang luluh begitu saja pada playboy."

"Aku bisa apa?" sergah Jesse. Pesanannya datang dan Jesse mengucapkan terima kasih pada pelayan. "Tidak ada yang memberitahuku kalau aku sangat-sangat terlambat untuk mengepas gaun dan tidak ada yang tersisa kecuali aku dan Max."

"Salah besar," kata Cara. "Calvin baru dijadwalkan mendarat sore ini di Providence. Dia juga belum mengepas setelan setelah hampir setahun tidak pulang. Kupikir dia tidak akan berhasil. Yah, kita masih beruntung."

Jesse tidak mungkin merasa lebih bodoh lagi karena mempercayai Max. "Tadi Max bilang kalian sibuk mengurusi gladi resik."

"Aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu," tukas Vivian. "Aku sudah bilang jutaan kali bahwa gladi resiknya dua hari sebelum pesta. Hari ini baru dekoratornya saja yang datang untuk mengirimkan perlatan yang dibutuhkan. Rick mengurus segalanya."

Jesse mengaduk minumannya sambil mengurut keningnya. "Aku merasa idiot. Aku butuh makan secepatnya. Cara, berikan buku menunya."

"Dan kenapa kau pesan milkshake padahal sebentar lagi pesta pernikahan?" tukas Vivian. "Kau harus bertanggungjawab pada gaunmu."

"Aku kehilangan berat badanku dari pengukuran terakhir," dengus Jesse. "Aku bisa minum milkshake sepuasku. Malahan, aku akan menimbun banyak kalori selama lima hari ke depan." Ini mungkin saja bisa menanggulangi rasa frustasinya setelah berhadapan dengan Max.

Vivian meringis dan mengabaikan Jesse. "Aku pesan limun dan sayuran kukus saja." Ia mengangkat tangan untuk memanggil pelayan.

"Apa lezatnya makanan itu?" tukas Cara. "Aku mau kentang tumbuk dengan ekstra keju leleh di atasnya. Iga sapi lada hitam pasti sedap. Dan bisakah kau menambah seiris lemak yang dibumbui serupa? Ya, itu. Terima kasih. Tapi mendadak aku juga mau donat. Kenapa aku jadi memikirkan sarapan Rick yang setiap hari adalah donat? Oke, aku pesan donat. Jesse, apa milkshake itu enak?"

"Mmm-hm," jawab Jesse yang merasakan cokelat dingin di mulutnya. Ini bukan hanya enak. Di hari yang agak terik ini, milkshake adalah minuman terbaik.

"Aku mau milkshake," ujar Cara kemudian. "Dengan dua sekop es krim di atasnya."

"Kau tahu itu tidak akan muat di gelasnya," kata pelayan itu.

Cara memutar mata. "Yah, terserah. Bayi Rick Storm mau dua sekop es krim. Catat saja seperti itu. Aku bayar berapapun tambahannya."

Vivian menggeleng. "Kalian semua keterlaluan. Cara, apa kau akan selalu memakai nama suamimu untuk melakukan itu?"

"Aku mau sosis," kata Jesse. "Dan doritos."

"Oh! Doritos itu juga sedap!" desah Cara yang hampir meneteskan liur mendengar nama makanan itu.

"Kau juga mau doritos?" tanya pelayan itu pada Cara.

Cara menimbang-nimbang. "Aku minta satu untuk kubawa pulang. Aku pasti tidak menghabiskannya karena sudah pesan banyak. Biar aku mencomot punya Jesse kalau sudah tidak tahan."

"Hei!" tukas Jesse.

Pelayan menyebutkan kembali pesanan mereka, lalu kembali ke mejanya. Sementara Cara mengelus punggung dan perutnya bergantian, terlihat tersiksa meski cantik dan bahagia. Kadang-kadang, Jesse iri melihat Cara.

"Menurutmu, aku harus mengincar siapa untuk jadi teman kencanku di pesta nanti?" tanya Vivian. "Finch, pemegang kibor The Five baru saja putus dari pacarnya―"

"Mereka putus nyambung, V," dengus Cara. "Tidak akan berhasil."

"Bukan masalah," kata Vivian. "Lagipula, Finch kadang-kadang terlihat menggelikan. Dingin dan tidak berperasaan. Sama sekali tidak masuk dalam prospekku. Aku masih berharap Jim itu lajang dan belum menikahi Evelyn Case. Lihat, sekarang Cara dan Evelyn saling menelepon membicarakan kehamilan."

"Kenapa kita membicarakan suami orang?" tukas Jesse.

"Aku tidak mau istri kedua," ujar Vivian. "Tapi yang tersisa hanya Finch yang sepertinya diperbudak oleh wanita itu. Dia cinta mati-matian pada―siapa nama wanita itu?"

"Veronica." Cara menjawab Vivian. "Finch sudah melamarnya dan Veronica berkata, ya. Tapi dia terus saja menghindari tanggal."

"Aku bisa menggantikan wanita itu mengatakan, ya," cetus Vivian.

Cara memicingkan mata. "V, kau tahu Finch bahkan mengajak Veronica ke sini."

"Bagaimana dengan satunya lagi?" tanya Jesse.

"Aku alergi playboy," kata Vivian. "West itu playboy. Setiap sebulan sekali, wanita yang digosipkan dengannya selalu berganti."

Cara mengangguk setuju.

"Sama alerginya dengan Maxime Beverly," tambah Vivian.

"Nah, V. Kau salah," sanggah Cara. "Max, tidak pernah berkencan dengan siapapun." Diam-diam ia melirik Jesse dan Jesse tak tahu apa artinya.

"Siapa bilang begitu?" bantah Vivian. "Dia pemain futbol. Semua pemain futbol seperti itu."

Cara memutar mata. "Asal kau tahu saja, banyak pemain futbol yang sudah berkeluarga dan hidup bahagia. Kau mungkin perlu menonton NFL dan kolom gosipnya. Para istri dan anak-anak bahkan mendukung suaminya ketika bertanding. Mereka datang langsung."

Jesse tidak ingin mengikuti pembicaraan itu. Pengalamannya menonton pertandingan Max tidak sehebat itu. Setelahnya, Jesse bahkan menghindari NFL sepanjang tahun. Mudah saja ketika kau mempunyai banyak pekerjaan. Lagipula, Jesse tak pernah menyukai olahraga. Apapun. "Bisakah kita tidak membicarakan Max?" kata Jesse.

"Benar," dukung Vivian. "Aku sulit membicarakan Max bukan playboy. Bagiku, dia playboy. Kau sendiri yang bilang kalau abangmu membuat banyak wanita patah hati, Cara."

"Itu karena Max menolak mereka semua," tukas Cara. "Menurutku, Max masih punya perasaan pada Jesse. Dia tidak punya hati yang tersisa untuk wanita lain."

"Tidak ada Max dan Jesse, oke? Kami sudah selesai. Lama sekali. Kenyataannya tepampang, hubungan kami memang tidak akan berhasil," tegas Jesse sebelum mengalihkan pembicaraan. "Nah, Viv, kau mungkin ingin mengencani Kevin."

"Kevin Beverly?" cibir Vivian. "Yang benar saja. Apa bedanya dia dengan Max? Semua wanita sepantarannya di kota ini sudah pernah bersamanya. Ironinya, mereka semua sudah menapaki kehidupan rumah tangga yang lebih baik dan Kevin masih saja bersenang-senang. Aku bersumpah selalu mendapati Kevin di bar. Setiap malam. Lagipula aku sama sekali tidak tertarik dengan yang lebih muda. Jika Westerly bukan jawaban, aku masih hidup di Manhattan."

"Tapi kau 'kan bekerja untuk Cara. Kau tidak punya lingkungan kerja untuk bertemu orang-orang baru," kata Jesse.

"Jangan buat Vivian mundur sebagai editorku, oke?" kata Cara. "Oh lihat! Pesanan kita! Dua sekop es krim itu sungguh menggiurkan!"

"Bagaimana mungkin dia makan dua sekop tanpa peduli ada lemak yang akan tertimbun?" gerutu Vivian.

Jesse menyingkirkan tangannya ketika meja bundar dan sempit mereka tidak bisa menampung pesanan Cara. "Aku tidak berpikir Cara akan memenuhi meja ketika ia menyebut pesanannya."

"Kau harusnya tahu apa yang kurasakan selama seminggu belakangan," kata Vivian. Ia menambahkan garam dan merica ke sayurannya, lalu melahapnya dengan cepat. "Sisi bagusnya, aku mendapatkan liburan berkualitas di Beverly House, makan dengan layak tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun." Vivian tersenyum. "Rick yang membayar. Sekarang aku satu hotel dengan seluruh personel The Five. Bayangkan ini, hotel tempatku menginap, mengundang polisi kota untuk menjaga pintu depan. Fantastis."

"Dan Jesse... omong-omong bagaimana dengan kencanmu ke pesta?" tanya Cara tiba-tiba. "Kau mungkin ingin mengenalkan seseorang padaku?"

Vivian yang sedaritadi mengambil tempat untuk bicara, sekarang sepenuhnya terdiam. Ia ragu-ragu menatap Jesse dan mulai menghindari pandangan. Jesse melirik Cara yang menguyah kentang, namun matanya memberi isyarat bahwa ia menunggu jawaban Jesse.

Jesse tidak mungkin menceritakan Davis pada Cara. Tidak ketika ia tidak punya hubungan apapun dengan Davis. Vivian tahu tentang Davis, tapi yang ia ketahui adalah Davis merupakan satu-satunya pria yang dekat dengan Jesse. Itu bukan kesalahan dan Jesse tidak menyanggah. Jesse tidak mungkin menceritakan ajakan Max, padahal Jesse tidak menyetujuinya. Ini sama sekali tidak dihitung.

"Kau bawa seseorang, kan?" desak Cara. "Atau aku mungkin harus menyuruh Max―"

"Aku tidak tahu mengapa aku butuh pasangan," potong Jesse cepat. "Maksudku, ini hanya perayaan pernikahan yang digabungkan dengan baby shower. Aku bisa berdansa dengan ayahku kalau memang diperlukan."

"Ayahmu mendampingi ibumu," kata Cara.

Jesse berusaha melarikan diri. "Yah, aku pasti bisa mengatasinya." Akhirnya Cara diam dan berhenti mendesaknya soal pasangan. Jesse sebisa mungkin mengalihkan pembicaraan ke acara pesta. Jangan sampai ada yang mengungkit soal pasangan lagi. Karena selain bentuk tubuh, sepertinya dalam pasangan, Jesse juga agak kurang beruntung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top