(4)


Max menunggu Cara dan Jesse di dalam mobil tepat pada pukul enam. Adik perempuannya itu bersikeras supaya Max menjemput keduanya di rumah Jesse. Cara bilang, itulah yang dilakukan lelaki ketika mengajak seseorang berkencan.

"Biar kuingatkan padamu, C," balas Max ketika Cara mencetuskan ide itu. "Kau yang mengajakku. Aku juga yakin peraturan itu tidak berlaku jika orang yang kau tunggu ada di sebelah rumahmu."

"Apa kau benar-benar kakakku?" sinis Cara. "Dasar idiot. Mana sikap jantanmu, hah? Jesse akan jadi teman kencanmu malam ini. Jadi kau harus menjemput dia. Aku akan berada di sana. Titik."

Tapi Max hanya menunggu di dalam mobil yang terparkir di jalan masuk rumahnya―bukan rumah keluarga McGraw―selama bermenit-menit. Max membuka jendela mobilnya dan menyalakan radio untuk mengusir kebosanan. Pukul enam lebih lima belas menit, pintu depan rumah keluarga McGraw terbuka. Max bisa melihat adik perempuannya yang keluar karena rumah keluarga Beverly dan McGraw hanya dibatasi semak pendek.

"Apa yang kau lakukan di sana?!" seru Cara. "Jemput kami!"

Max mendengus dan menjulurkan kepala keluar jendela seraya menekan klakson. "Ayo, Cara. Demi Tuhan. Kau senang melihat penderitaanku lebih lama lagi, hah?!"

Max menduga adik perempuannya itu menggerutu sambil menarik sahabatnya keluar. Kedua gadis itu mengenakan jins dan sweter. Max bertanya-tanya apakah Cara tahu caranya kencan. Kenapa adiknya mengenakan jins dan sweter. Tapi mengingat gadis itu adalah adiknya dan Rick Storm yang membuat adiknya tergila-gila belum terlalu ia kenal, Max memutuskan pakaian itu paling cocok digunakan untuk kencan remaja berumur lima belas.

Lima belas, sial. Max tidak mengira adiknya beranjak dewasa begitu cepat. Sekarang ia harus menjadi polisi yang membuntuti gerak-gerik Rick Storm, kalau-kalau pria itu berusaha menyentuh adiknya. Setidaknya Max berusaha sebisa mungkin sebelum ia pergi kuliah.

"Kubilang, jemput kami. Kenapa yang bisa kau lakukan hanya membenturkan tubuhmu untuk mempertahankan bola?" gerutu Cara.

Max mendengus. "Telak sekali, Sis. Trims. Kau lihat nanti, caraku menjatuhkan lawan akan membuatku terkenal."

Cara membuka pintu penumpang bagian belakang. Begitu juga dengan Jesse. "Apa yang kau lakukan di sini, J? Ini tempat Rick. Kau duduk depan bersama Max."

"Rick belum ada di sini," cetus Jesse.

Max melirik kedua gadis itu dari kaca depan dan menyalakan mesin.

"Tunggu!" sahut Cara ketika Max hampir menginjak pedal gas. "Pindah, Jesse. Astaga."

Terdengar dengusan Jesse sebelum pintu belakang dibuka dan ditutup. Pintu samping penumpang dibuka dan seketika aroma lavender menyenangkan yang sedaritadi tidak Max sadari menyeruak. Max melirik Jesse yang mengalihkan tatapan darinya. Gadis itu memainkan serat wol di sweternya dan tidak bersuara sedikitpun. Apakah ia gugup? Padanya?

Bagaimanapun Max tidak ambil pusing karena sudah cukup banyak gadis-gadis yang salah tingkah ketika berada di sekitarnya. Tapi ini Jesse? Yang Max jaga ketika ayah dan ibunya menyuruhnya menjaga sang adik, sementara adiknya meminum teh bersama boneka-boneka dan sahabat sebelah rumahnya. Max berusaha memfokuskan dirinya untuk menyetir ke kompleks perumahan tempat Rick Storm tinggal. Bocah Storm itu tinggal di flat yang berhimpitan. Tidak ada teras atau bahkan taman. Hanya ada jalan beton sempit untuk masuk mobil kecil. Bocah Storm itu ternyata sudah menunggu di depan rumah. Tanpa menunggu Cara keluar ia sudah masuk dan memberikan pelukan pada Cara.

Max menengok ke belakang dan memicing. "Sungguh, Sis? Adegan itu di depan mataku?"

Cara memutar mata. "Apa kami bercumbu di depanmu? Tidak, kan? Ayolah, Max, aku tidak bersikap murahan."

"Tidak," kata bocah Storm itu. "Dia... t-tidak murahan."

"Oh, Tuhan," desah Jesse di sampingnya. Gadis itu cepat-cepat menutup mulutnya dan membuang pandangan ke luar.

Yah, Max senang Rick terintimidasi dengan peringatannya hingga membuat nyalinya ciut dan tergagap. Max kembali melajukan mobilnya ke satu-satunya gedung bioskop yang ada di Westerly. Malam itu lumayan padat dan Max sempat melihat beberapa mobil teman sekolahnya yang terparkir.

"Tiket," ujar Cara seraya membagikan tiket pada masing-masing orang sebelum keluar dari mobil.

Max tidak tahu film macam apa yang akan ia tonton. Cara yang mengatur segalanya, sampai reservasi ke B&B yang sudah dipastikan penuh di Sabtu malam seperti sekarang ini. Max cukup dimudahkan dengan itu. Jadi ia hanya perlu menyetir dan berjalan di samping Jesse.

Ketika mereka masuk ke studio, Max mengambil tempat di samping Cara dan Jesse. "Apa yang kau lakukan?" tukas Cara. "Lihat nomor kursimu, Bro."

Jesse ragu-ragu ketika menatap kursi dan mencocokkan dengan tiketnya. Tapi gadis itu hanya menggigit bibir, menaikkan kacamata, dan masih memainkan serat wol.

"Kita bisa duduk di mana saja, bukan?" kata Max. "Kau memesan empat kursi ini 'kan?"

"Kau pikir aku akan membiarkan kakak laki-lakiku memata-mataiku dan pacarku yang sedang nonton film?"

"Aku memilih kursimu dan Jesse di ujung sana," kata Cara sambil menunjuk sisi kursi terjauh dari tempatnya.

Max melirik tiketnya dan miliknya memang berada di ujung lainnya yang berbeda dengan Cara. Tidak mungkin Cara memperlakukannya seperti ini. "Jika kau menendangku sejauh itu, kenapa tidak kau biarkan saja aku dan Jesse menonton film yang lain? Alih-alih film yang sama dengan pilihanmu. Aku bahkan tidak tahu ini film apa."

"Aku sudah merencanakan ini, oke?" tukas Cara. "Kita akan masuk dan keluar bersama. Kita akan ke B&B bersama-sama. Jadi, Max, Jesse, ambil tempat yang sesuai dengan nomor kalian. Oke? Mengerti? Hus. Sana. Awas, kau menghalangi jalan pemilik kursi ini."

Max menghela napas dan beranjak dari tempatnya. Jesse berjalan lebih dulu untuk menemukan nomor kursi mereka. Ternyata bukan hanya nomor yang berbeda, kursi mereka berada di baris yang berbeda pula. Satu baris di belakang Cara. Max harus ingat kalau adiknya itu sangat licik.

Jesse duduk lebih dulu. Ia merapatkan kaki, isyarat untuk memberi Max jalan.

"Aku duduk di sana? Bukan di sini?" tanya Max.

Mata Jesse melebar dari balik kacamatanya, lalu gadis itu mengangguk.

"Dasar licin. Dia mengatur tempatku begitu jauh." Max menjatuhkan tubuhnya di sebelah Jesse. Ia menguji pandangannya ke arah tempat Cara duduk, tapi mereka begitu jauh dan nyaris tidak terlihat. Kemudian lampu dimatikan dan Max sama sekali tidak bisa mengawasi adiknya.

"Kau tahu ini film apa?" bisik Max pada Jesse.

Jesse hanya menatapnya sekilas. Satu-satunya penerangan hanya dari layar. Cahaya itu memantul di kacamata Jesse. Gadis itu menjawab lirih. "Tidak, Max. Cara yang membeli tiketnya. Aku tidak bertanya."

Max mengangguk dan berusaha memfokuskan diri ke film di depannya. Ia menonton film itu selama sepuluh menit penuh. Film membosankan tentang anak SMA di Florida. Kehidupan klise antar geng dan sebagainya. Sialan Cara yang membelikannya film romantis ala anak SMA. Ini sama sekali tidak menarik. Max nyaris menguap. Max mencoba mencari penghiburan ketika ia mendapati Jesse yang tidak bisa menahan kuapnya pula. Entah bagaimana hal itu jadi lebih menarik daripada yang ada di depannya.

"Hei, Jesse," bisik Max.

Jesse agak tersentak dan menatap Max. Sepertinya itu sebuah langkah salah, karena tiba-tiba Max menyadari begitu besar dan cantiknya mata Jesse di balik kacamata. Ia tidak pernah menyadari itu sebelumnya.

"Apa kau... punya pacar?"

"Hah?"

Max mengendik. "Yah, kau kencan denganku. Aku tidak mau cari masalah dengan siapapun." Meskipun Max yakin, meski pacar Jesse siswa senior sekalipun, pemuda itu tidak akan berani menghadapi Max. Tapi Max yakin pacar Jesse bukan siswa senior. Pasti pemuda yang berada di angkatan yang sama dengannya. Mungkin teman sekelasnya. Tidak mungkin Jesse mengenal siswa SMA lain.

Jesse menggeleng pelan. "Tidak punya, Max."

Itu mengherankan Max. Bukankah Jesse cantik? Gadis ini juga wangi. Matanya indah. Menurut Cara, ia juga cerdas. Max setuju karena Jesse kelihatannya begitu. Cara sudah berganti-ganti pacara sejak umurnya tiga belas. Mulai dari cinta monyet yang menjemukan sampai sekarang ia memacari Storm, yang Max tidak tahu, apa yang Cara lihat dari pemuda itu. Jesse pasti punya seseorang, kan?

Namun Max belum sempat menanyakan hal ini lebih lanjut ketika Jesse menutup mata dan Max mendapati adegan berciuman di film itu.

Serius?

Max mulai terkekeh pelan. Ada suara desisan yang memperingatkannya dari arah belakang. Max menutup mulutnya, tapi ia masih geli. "Kenapa Jesse?"

"Pertukaran liur itu menjijikkan," gerutunya.

Max berbisik mendekati telinga Jesse. Gadis itu masih menutup matanya. "Itu disebut berciuman."

Jesse membuka mata ketika adegan tersebut sudah lewat. Max belum menjauhkan tubuhnya dari Jesse. Gadis itu tersentak mendapati Max yang begitu dekat. Sementara Max lebih terkejut daripada gadis itu sendiri. Ia sepenuhnya menyadari Jesse terlihat menarik di ruangan gelap dengan cahaya seadanya. Bibir gadis itu berkilau dan di dalam kepala Max, ia mulai bertanya-tanya pelembab bibir macam apa yang Jesse gunakan.

Jesse membuang pandangan lebih dulu. Ia bahkan menarik bibirnya ke dalam hingga kesadaran Max mendadak muncul. Ia harus mengingatkan dirinya bahwa ini sahabat adiknya dan ia tidak boleh memperlakukan Jesse seperti gadis lain yang lalu lalang dalam hidupnya. Demi Tuhan, gadis ini bahkan menutup mata saat adegan berciuman. Jesse masih lima belas tahun. Seumuran Cara.

"Aku benci film ini," gumam Max kemudian. Ia benci film ini menayangkan ciuman remaja yang manis. Dan Max berhasrat memberikan itu pada Jesse.

"Aku juga," balas Jesse.

"Apa kesukaanmu?"

"Fiksi ilmiah. Kau?"

Tentu saja. Harusnya Max bisa menduga kesukaan orang jenius seperti Jesse. "Sama. Aku suka melihat akhir dunia. Zombi-zombi yang bodoh itu. Aku pasti jadi yang paling pintar kalau dunia dipenuhi mereka."

Jesse tersekat karena tawa. Max melirik gadis itu lagi. Hatinya meremang mendengar tawa pelan itu. "Kau akan lebih cepat mati kalau dunia sudah sekacau itu. Kau akan sama bodohnya dengan mereka."

"Gadis lain yang menyebutku bodoh. Bisa kau tambah lagi? Biasanya mereka menyebutku badan besar tanpa otak."

"Yah, badan besar membuatmu jadi kapten tim. Itu kesempatan besar yang tidak semua orang dapatkan. Kau bisa mendaftar jalur beasiswa manapun, bukan? Kau hanya tinggal memilih."

Max hampir tersentak mendengar itu dari gadis serasional Jesse. Max senang mendengar seseorang yang bisa membaca dirinya. Menyuarakan rencana-rencana karirnya yang hanya sedikit orang yang mengerti. Max tidak pernah menyangka dirinya berada di tim futbol. Tapi ketika Max berada di lapangan dan menjatuhkan lawan-lawannya, Max merasa seolah seluruh hidupnya berada di sana. Max tidak lagi memperhatikan nilai-nilainya dan hanya fokus pada futbol. Max sudah mencoba sebisa mungkin menulikan telinganya ketika banyak cercaan dari pihak sekolah soal nilainya. Max mendapatkan bantuan dari beberapa orang yang mau mengangkat nilainya, tapi itu artinya Max harus siap diolok soal nilai ini. Max harus siap memasang muka bahwa ia baik-baik saja dengan keadaannya sekarang. Max juga harus siap memperpanjang daftar utang budinya pada teman-teman yang mendongkrak nilainya. Jika Max tidak bisa masuk tim futbol, ia tak tahu lagi apa yang bisa ia lakukan dengan prestasi akademik yang di bawah standar.

Sisa film itu tidak lagi ditonton Max. Ia hanya menatap Jesse yang semakin lama semakin bosan. Max tidak tahu apakah Jesse terganggu ia menatapnya seperti ini. Tapi persetan. Untuk pertama kalinya, Max tidak melihat Jesse sebagai sahabat adiknya atau tetangga sebelah rumahnya yang ia jaga. Ia melihat Jesse sebagai seorang gadis yang ingin ia dapatkan.    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top