(31)
Karena yang minta nambah banyak :D
Coba minta lagi, siapa tahu terkabul wkwk
Jesse mendesah memandangi halaman depan bangunan sewaannya yang tak terawat. Gedung ini punya enam ruang yang disewakan, tetapi hanya empat orang yang menempati dan Jesse tidak mengenal semua orang itu. Jesse dengar mereka hanya pendatang yang menjadi pekerja kontrak di Westerly. Satu orang yang Jesse tahu adalah Ned Holston yang seingat Jesse adalah temannya saat sekolah dasar, tetapi kini berubah menjadi pemabuk penyendiri yang menyedihkan. Ned ternyata adalah orang yang Mr. Murphy bayar untuk menjaga tempat ini. Tetapi mengurusnya jelas tidak termasuk. Jesse hanya beberapa kali bertemu dengan Ned sejak ia menempati apartemennya selama dua bulan terakhir. Pertemuan mereka sopan dan singkat. Ned sepertinya mengingat Jesse, tetapi ia terlalu mabuk untuk melakukan obrolan basa-basi dengan Jesse.
Jesse berharap ada orang yang peduli dengan keindahan tempat ini. Bangunan ini luas dan berada di lahan terbuka. Sayang sekali jika tak seorangpun peduli betapa rumput liar mulai meninggi hingga membuat tempat ini terkesan seperti rumah hantu. Bahkan itulah yang Jesse pikirkan ketika melihat tempat ini. Namun Jesse tak punya pilihan. Menanggung biaya sewa properti seorang diri membuat pilihannya terbatas, apalagi di kota kecil seperti Westerly. Jesse tidak mungkin membayar kamar seharga kamar hotel terus-menerus, itu akan menguras tabungannya padahal Jesse punya kebutuhan yang lain sementara ia tidak bekerja.
Unit sewaannya pun tidak jauh berbeda dengan apa yang ia pikirkan tentang bagian luar rumah itu, meski perabotan sudah tersedia di dalamnya. Jesse perlu membayar tiga orang remaja untuk membantunya pindah dan membersihkan tempatnya. Menerima bantuan dari Davis yang menggerutu sepanjang hari karena mengeluh tentang pilihan tempat tinggal Jesse yang baru.
Jesse sudah sebisa mungkin membuat tempat itu sedikit lebih hidup. Ia menanam bunga mengelilingi rumah yang sekarang sudah mulai menghasilkan kuncup kecil. Ia menanam tanaman gantung di depan rumah. Andai Jesse punya tenaga lebih banyak, ia pasti bisa mencangkul dan menanam pohon supaya tempat itu lebih teduh. Tapi dengan bayi kembar berumur empat bulan dan tidak adanya orang lain yang membantu, Jesse berusaha menanam yang kecil-kecil saja. Ia juga berusaha menanam sayuran untuk ia konsumsi sendiri.
Ruang gerak Jesse terbatas. Jesse merasa perutnya membesar berkali-kali lipat. Rasanya perut Cara tidak sebesar ini saat usia kandungannya empat bulan.
Jesse ingin menanam seperti setiap hari yang ia lakukan di kantor atau di kebun ayahnya. Ia bosan berdiam diri setelah memutuskan mengambil cuti panjang sampai bayi-bayinya lahir, meski ia tidak mengeluh soal tidur siang yang menyenangkan.
Ponsel Jesse berbunyi di kantongnya ketika ia sedang menyekop tanah untuk bunga-bunga musim dinginnya. Panggilan itu mengingatkan Jesse bahwa ia sudah berkebun cukup lama hingga sekarang sudah tengah hari. Jesse perlu membersihkan tangan dari tanah untuk mengangkat panggilan. Itu Vivian yang setiap harinya selalu menelepon Jesse dari Manhattan. "Hai, Viv."
"Hai, Mommy Jesse. Apa kabar kau dan bayi-bayimu?"
"Baik. Tapi aku muntah tadi malam. Tak kupercaya aku ingin makan makanan India meski aku tahu aku tidak suka makanan berempah. Aku perlu menyetir setengah jam untuk mendapatkan makanan itu, lalu ketika sampai di rumah dan memakannya, aku muntah parah pada suapan pertama. Tapi jangan khawatir. Sekarang aku sudah lebih baik dan sedang berkebun. Bagaimana denganmu?"
"Aku punya jadwal kencan saat malam, tapi aku sangat bosan saat bukan malam. Aku ingin berendam di siang hari di bulan Januari. Menurutmu Cara akan marah kalau aku memberi banyak busa ke kolamnya?" Vivian menempati properti mewah keluarga Storm yang ada di Manhattan. Vivian menawarkan diri mengurus properti itu mengingat ia asisten pribadi Cara, setelah Jesse dan Vivian mengakhiri masa sewa apartemen yang mereka sewa bersama. Jesse pulang ke Westerly, sementara Vivian bersikeras menetap di kota besar. Rick setuju-setuju saja. Lagipula Vivian memang mengurus hasil penjualan buku Cara yang sekarang mulai diterbitkan dalam puluhan bahasa.
"Entahlah. Kenapa tanya padaku? Apakah bak berendam tidak cukup untukmu sampai kau membuat kolamnya dipenuhi busa?"
"Aku hanya penasaran."
"Bayangkan berapa banyak botol yang kau butuhkan untuk membuat kolam berbusa."
"Hmm... kau benar."
"Pakai bak saja," saran Jesse. Ia senang menasehati Vivian. Tidak yakin mengapa mereka tidak lebih sering melakukan pembicaraan semacam ini dulunya―membicarakan hal-hal sepele yang mereka lakukan sehari-hari. Rasanya Jesse memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. "Kau tidak akan mau membuat Rick dalam masalah karena saluran air kolamnya."
"Ya kupikir begitu. Jadi... ada berita apa soal ayah si kembar?"
Jesse terdiam sesaat. Vivian sepertinya tidak akan menyerah sampai Jesse mengaku. Jesse memang tidak memberitahu siapapun siapa ayah bayi-bayinya―atau siapa yang mungkin menjadi ayah mereka. Memang hanya dua orang, tapi Jesse tidak mau mengatakannya. Vivian yakin itu anak Max. Cara terlihat terkejut dengan pikiran itu. Tapi Jesse membantah keras.
"Memangnya siapa yang mungkin punya gen kembar kalau bukan Max?" kata Vivian waktu itu.
"Pembuahan kembar bisa terjadi karena banyak faktor. Bukan hanya karena si ayah punya saudara kembar."
"Lalu sebutkan saja faktor-faktor yang mungkin terjadi padamu. Karena setahuku, tidak banyak yang berkencan denganmu. Dan orang terakhir yang kuingat bersamamu adalah Max."
"Yah, kau 'kan tidak tahu."
"Bagus. Sekarang aku tidak tahu banyak hal," gerutu Vivian.
Jesse akhirnya menghindari pertanyaan Vivian sejak itu. Bukan tanpa alasan pula ia menyewa apartemen tak terawat itu. Ia ingin menghindari semua orang termasuk ayah dan ibunya yang berkeras ingin tahu siapa ayah bayi-bayinya. Jesse hanya butuh waktu untuk dirinya sendiri dan fokus pada kehamilannya. Jesse tidak ingin terbebani hal yang lain.
"Tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu siapa yang kau maksud," balas Jesse akhirnya.
Jesse mendengar desahan Vivian di seberang sana. "Siapa yang tahu kau sudah punya sedikit petunjuk soal siapa ayahnya? Tapi aku masih berpikir itu Max. Kau tahu mereka butuh seorang ayah, kan?"
"Bukan Max," bantah Jesse. Ia tidak tahu apakah itu benar Max. Ia bahkan tak ingin mencari tahu. "Dan, ya, aku tahu mereka membutuhkannya. Tapi aku bisa mengatasi semuanya sendiri. Banyak ibu tunggal yang berhasil."
Vivian tidak menyangkal hal itu. Jesse sendiri tahu Vivian tidak pernah mengenal ayahnya. Ibunya bahkan tak pernah memedulikannya. Jesse belum pernah bertemu keluarga Vivian sekalipun saat kelulusan. "Oke. Tapi jaga dirimu."
Jesse mengatakan selamat tinggal, lalu menutup teleponnya. Jesse perlu berpegangan pada dinding untuk mengangkat tubuh dan berdiri. Sekarang ia bahkan butuh segenap usaha supaya tubuhnya tetap seimbang dengan beban di perut. Jesse akan membuat makan siang yang lezat untuk bayi-bayinya setelah membersihkan diri. Lalu Jesse akan tidur siang sebentar supaya tubuhnya kembali segar. Tapi sebelum itu, Jesse perlu membersihkan peralatan berkebunnya meski membungkuk terasa menyulitkan.
"Kenapa kau tidak memberitahuku?"
Jesse tersentak ketika mendengar suara berat di belakangnya. Ia tahu itu bukan Ned, karena Jesse begitu mengenal suara itu meski suaranya agak terengah. "Max? A-apa yang... kau lakukan di sini?" Jesse berusaha menarik cardigannya, namun sia-sia saja ketika perutnya sebesar itu.
Max mengabaikan pertanyaannya. "Kenapa kau tidak memberitahuku?" ulangnya. Ketika Jesse hanya menunduk dan mengalihkan perhatian pada peralatan tanamannya, Max tidak senang. "Aku berlari lebih dari empat kilometer jauhnya. Kau tahu kenapa? Karena aku tidak bisa menyetir dengan gips keparat ini! Jadi aku harus berlari hanya untuk bertemu denganmu! Dan aku tak percaya aku harus berlari ke kota hanya untuk tahu kebenarannya, karena kau tidak memberitahuku meski ada jutaan cara. Aku bahkan tahu dari ayahku."
"Memberitahumu apa?!" hardik Jesse. Ia tidak merasa harus memberitahu apapun. Ini bebannya dan Jesse sudah sebisa mungkin melakukan yang Max suruh padanya terakhir kali. Jesse berusaha menyingkir dari Max. Itu salah satu sebab lain mengapa ia pindah. "Aku menyesal soal lenganmu. Tapi aku tidak memintamu berlari ke sini meski aku tahu catatan larimu cukup bagus. Jadi pergi saja, Max."
Max tertawa datar. "Fantastis. Kau bahkan mengusirku."
"Seingatku kau yang melakukan itu terakhir kali." Jesse menghela napas untuk mengusir kenangan Max yang menyuruhnya menjauh. Ia benci mengulang momen itu. Bukan sesuatu yang patut dikenang. Itu hanya membuat Jesse emosional dan menangis seharian. "Aku sedang melakukannya sekarang. Aku pindah supaya kau bisa pulang ke rumah dengan tenang. Kau tak perlu khawatir aku ada di seberang jendelamu. Kau seharusnya tak perlu repot ke sini kalau tidak mau melihatku lagi."
"Dan kau membawa lari bayiku?!"
Jesse menegang. "Kau bahkan tak tahu apakah ini bayimu."
Max menendang petak bunga Jesse yang baru saja tumbuh hingga Jesse berjengit. Jesse seharusnya marah karena Max melakukan itu, tetapi hatinya mendadak menciut akibat tekanan hormonal dan melihat betapa marahnya Max. "Keparat kau, Jesse! Kalau begitu, itu mungkin saja bayiku! Kita pernah melakukannya bersama! Yang tak kumengerti kenapa kau tak bilang padaku bahwa kau hamil anak kembar. Demi Tuhan! Kita bisa cari tahu kebenarannya bersama! Kecuali kalau kau memang yakin kau hamil dari jutaan pria lainnya."
Jesse tersentak bukan hanya karena kemarahan Max tetapi emosi dalam kalimatnya. "Ya. Aku meniduri banyak pria! Aku tidak tahu siapa ayah bayinya! Puas sekarang? Kau bisa pergi dari sini."
Max mengacak rambutnya dan mengumpat. Ia kembali menendang petak bunga Jesse hingga hancur lebur, tanpa merasa sedikitpun. Ketika ia mengangkat wajah, rahangnya menegang. "Pernahkah kau... berpikir bahwa itu mungkin bayiku? Aku punya Kev dan Cal. Harusnya itu menunjukkan sesuatu."
"Aku tak mau membuat ini berat untukmu, oke? Aku sangat mengerti kalimat terakhirmu. Kau menyuruhku meninggalkanmu, aku melakukannya sekarang. Kau tidak ingin melihatku di seberang kamarmu lagi, aku juga melakukannya. Aku mengorbankan segalanya. Aku meninggalkan karirku, proyekku, mimpiku. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk melahirkan mereka di kota yang sama tempat kelahiranku. Kemudian aku akan pergi. Aku tidak akan mengguruimu, Max. Aku berjanji."
Jesse tak bisa menahan air matanya kali ini. Ia ingin berlari ke dalam rumahnya jika bisa. Tapi tentu saja perut membesar menghalanginya. Jadi Jesse menunduk dan menjatuhkan dirinya ke tanah. Memungut pot kayu yang berserakan, mengumpulkan tanah yang masih bagus, dan membuang tanaman yang hampir saja mekar itu.
"Keparat!" umpat Max. "Keparat! Keparat! Kau idiot tolol."
Jesse berusaha tertawa dan menghapus air matanya. "Yah, seharusnya kau tidak perlu memperjelas itu."
Max ikut menjatuhkan tubuhnya di depan Jesse dan menarik tangan Jesse yang kotor karena tanah, tetapi Max sepertinya tak terganggu akan hal itu. "Bukan kau. Itu aku. Aku melakukan perbuatan bodoh, Jesse. Aku tidak seharusnya mengatakan itu di stadion. Hidupku tak lagi benar sejak mengingat ketololanku itu. Itu semua omong kosong. Aku tak pernah mau kehilanganmu. Aku pikir aku bisa, tapi aku hanya pembual keparat yang sekarang lengannya digips. Kenyataannya, aku masih mencintaimu."
Jesse mengangkat wajah dan menemukan ruat penyesalan yang tulus dari Max. Ia berusaha menemukan kata-kata yang tepat, tetapi bibirnya kelu. Jesse tidak bisa mengatakan apapun lagi ketika Max meletakkan tangan di perutnya dan memberi usapan singkat yang terasa menyenangkan. Selama berminggu-minggu Jesse tersiksa meski sudah tidur dengan tumpukan bantal mencari posisi paling nyaman, tapi tidak pernah senyaman ini―ketika Max membelai perutnya dan ketenangan bayi-bayinya menular padanya.
"Aku yakin ini bayiku. Karena aku memang melakukannya."
Jesse tersentak. "Apa maksudmu?"
"Malam terakhir kita bersama... kesalahan terjadi pada pengamannya. Aku..." Max menjilat bibirnya dan berusaha setenang mungkin menatap Jesse.
Jesse mencari-cari jawaban di wajah Max. "Apa yang terjadi dengan pengamannya?"
"Aku..." Max membuang napas. "Melakukannya tanpa pelindung. Aku tidak tahu, aku bersumpah. Itu kecelakaan. Tapi aku tidak bisa memberitahumu. Aku bahkan tak bisa mengingat kejadian itu ketika aku begitu berantakan sejak kau meninggalkanku."
Harusnya Jesse tahu bahwa itu memang Max. Gen kembar menjadi petunjuk pertama. Jesse sangat percaya dengan kehati-hatian Davis saat melakukan hubungan seksual. Tetapi dengan Max, ia cenderung melupakan segala hal dan kecelakaan bisa terjadi kapan saja tanpa Jesse sadari. Pengakuan Max memperkuat segalanya.
"Katakan sesuatu," bisik Max.
"Aku... tidak tahu, Max."
Max meraih wajah Jesse dan memberi usapan di pipinya. Sentuhan menenangkan yang tak pernah Jesse kira bisa ia dapatkan selama hari-hari ia merindukan pria itu. "Aku akan bertanggung jawab, J. Kita akan membesarkannya bersama. Kau tidak harus melewati ini sendirian."
"Kau tidak harus melakukan itu," kata Jesse pelan. "Belum ada bukti kuat bahwa itu memang bayimu. Aku tidak menuntut apapun darimu. Bisa saja itu anak orang lain."
Max mencari jawaban di mata Jesse. "Dan apakah memang begitu? Kau punya bayangan siapa lagi yang mungkin jadi ayah dari anak kembar kalau bukan pria yang punya saudara kembar?"
Jesse diam saja. Ia tidak akan bisa mengelak kali ini. Kalau saja Max memang harus melakukan uji paternitas, Jesse yakin seratus persen hasilnya positif bayi-bayi ini adalah anak Max. Pria itu pun juga tahu kebenarannya.
"Aku tidak melakukannya karena harus bertanggung jawab, kau tahu. Aku melakukannya karena aku mencintaimu dan aku mencintai bayi-bayi kita. Kau tidak akan bisa menghentikanku untuk terus berada di samping kalian."
Jesse benci lebih sering menangis sejak hamil. Itu membuatnya terlihat seperti wanita menyedihkan yang hamil tanpa suami. "Max―"
"Tidak, J! Keparat. Kalau kau menolakku lagi, aku akan mengurungmu selamanya."
Jesse tertawa dan mengusap air matanya. "Aku mencintaimu. Selalu seperti itu meski aku tak pernah mengatakannya."
Max mengerjap dan wajah gusarnya digantikan senyum merekah di bibir. "Aku juga, Jesslyn. Aku mencintaimu sejak dulu, sekarang, dan selamanya. Meski terkadang aku melakukan hal-hal tolol."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top