(30)
Delapan skor lagi untuk menyamakan kedudukan. Tambahan satu skor lagi supaya New England lebih unggul daripada Colorado. Setelah itu Max bersama timnya akan maju ke babak final. Max akan membawa timnya pada kemenangan seperti yang tahun mereka lakukan. Ia harus bisa. Kekalahan di pertandingan grup seharusnya menjadi pelajaran untuknya. Max harus fokus, memusatkan pikirannya ke lapangan dan meninggalkan seluruhnya di belakang.
Termasuk Jesse.
Pikiran itu membuat Max menengok ke tribun penonton sekali lagi. Bagian VVIP dipenuhi keluarga para pemain yang datang untuk memberi dukungan. Mereka datang jauh dari Boston ke Colorado untuk pertandingan ini. Tidak seorang pun yang datang untuk Max. Tentu saja tidak ada Jesse. Tidak ayahnya atau Kevin, tapi Max yakin mereka ada pasti sedang berada di bar untuk menonton bersama warga kota.
Max tidak ingin mengecewakan mereka semua.
Itu sebabnya ia harus menyingkirkan Jesse.
Jadi kenapa Max masih terus menengok ke bangku tribun dan berharap Jesse ada di sana seperti pertandingan yang lalu? Itu hanya membuat segalanya berantakan.
"Oke, anak-anak," kata Bill. "Waktu kita sedikit. Aku ingin satu touchdown sempurna. Lalu kalian akan beri aku hadiah satu touchdown lagi. Satu langkah lagi. Hanya satu untuk bisa ke final. Kita bisa kalahkan mereka, sama seperti sebelumnya. Mark, aku ingin lemparan sempurna―sangat sempurna untuk Max. Dan Max, aku ingin kau berlari dan menjatuhkan siapapun yang menghentikanmu. Kau dengar itu?"
Max mengangkat dagu. "Ya, Sir."
"Dan sampai siapapun menjagalmu," bisik Johnson.
"Mungkin kau bisa mengatasinya untukku." Max meninju pelan temannya itu lalu mereka terkekeh.
Peluit kembali dibunyikan menandakan waktu jeda telah habis. Max harus bisa memenangkan pertandingan ini meski kemungkinannya kecil, mengingat ia harus menempuh tujuh puluh yard untuk tiba di ujung dan menjatuhkan lawan-lawannya.
"Ini kesempatan kita," kata Hendrick, yang sudah lima tahun lebih dulu daripada Max. "Dua touchdown itu gila dalam waktu sesingkat ini. Tapi kita akan buat keajaiban."
"Aku tidak bisa berlari sejauh itu. Tidak dengan membawa bola dan menghadapi lawan. Aku bisa jatuh di garis mana saja." Max membenarkan Hendrick bahwa taktik itu gila. Bill juga tahu itu, tapi ia ingin tahu reaksi Max. "Aku butuh bantuanmu."
"Aku akan mengawasimu." Kemudian ia berlari ke posisinya di sayap kiri, sementara Max ke sisi yang lain.
Peluit dibunyikan dan bola dilemparkan. Mark menerima bola itu dengan satu tangkapan mulus dan cepat. Ia berlari secepat mungkin menghindari lawan-lawan yang menghadang di sekitarnya, seolah sudah mengetahui setiap posisi lawan-lawannya. Mark mengincar Max. Ketika seseorang hampir berhasil menjagal Mark, ia telah melemparkan bola pada Max dan Max harus melompat untuk mendapatkan lemparan tinggi itu seraya menghindari seseorang yang telah siap menghadang di depannya.
Max sudah siap mengambil lompatan jauh dan berlari secepat yang ia bisa. Mencari Hendrick dan membiarkan seniornya membawa bola ke garis akhir. Namun yang tak diduga Max, lawannya menghalangi dengan menangkap tubuh Max dengan satu tangan hingga Max kehilangan keseimbangan dan terguling. Max mendengar peluit dibunyikan tanda kegagalan Max membawa bola ke ujung. Belum cukup perbuatan curang itu dilakukan, lawan mainnya menjatuhkan diri di atas tubuh Max yang sedang berusaha bangkit. Seorang lagi berlari terlalu cepat ke arahnya hingga tak bisa menghentikan diri sebelum terjungkal di atas dua tubuh yang saling bertindihan. Max mengerang keras merasakan nyeri di lengannya.
Brengsek, sepertinya orang terakhir tadi dua puluh kilogram lebih berat daripada Max.
Max tidak siap terjatuh saat melakukan lompatan menerima bola, hingga ia tidak punya waktu untuk jatuh dalam posisi telentang. Max membiarkan lengan kanannya tertindih tubuhnya sendiri dengan dua orang lain di atasnya.
Ketika dua orang di atasnya sudah beranjak dari tubuhnya, Max membalikkan tubuh dan mengambil udara sebanyak-banyaknya. Wasit menghampiri mereka untuk memberikan peringatan, namun Max tidak merasakan apapun selain kesakitan di lengannya.
"Kau oke?" tanya Johnson yang menghampirinya seraya mengulurkan tangan.
"Yeah." Max berusaha mengulurkan lengan kanannya, namun rasa sakit semakin menderu menyerang tulangnya. "Sialan." Max akhirnya mengulurkan lengan kirinya dan menerima bantuan Johnson yang mengangkat tubuhnya.
"Kau terlihat kurang baik," ujar Johnson.
"Aku baik-baik saja."
"Tadi itu terlalu jelas untuk jadi pelanggaran. Meski kupikir orang tadi hanya reflek berusaha menangkapmu."
"Dia berusaha membuatku jatuh," gerutu Max. Siapapun yang menjagalnya tadi jelas-jelas tidak menangkapnya. Ia menjatuhkan Max, lantas menubruk Max dengan tubuhnya yang sebesar Max.
"Ayo lakukan lagi," kata Johnson. "Kali ini hanya enam puluh yard." Kemudian ia mendahului Max dan kembali ke posisinya.
Bagus. Max sudah mengurangi jatah larinya. Setidaknya itu imbalan dari rasa berdenyut di lengannya. Max berusaha meluruskan lengan kanannya, namun yang ia dapatkan hanya rasa nyeri yang luar biasa hingga ia tidak tahan untuk meringis.
Peluit kembali dibunyikan dan bola dilemparkan. Max terlalu sibuk dengan lengannya hingga kehilangan fokus. Johnson yang berlari di belakang Mark, mengecoh lawan dan menangkap bolanya. Ia berlari dan pandangannya terjatuh pada Max.
Sial, kenapa orang itu melempar padanya?
Max berlari ketika mendapatkan isyarat itu. Johnson melempar bola sementara Max berusaha menangkap bolanya. Tidak yang salah dengan kecepatan larinya. Max yakin bisa menangkap bola semudah biasanya. Lemparan ini sempurna. Max hanya perlu mengulurkan tangan dan menangkapnya. Tetapi lengannya memang sepertinya cidera hingga Max mengumpat keras saat berusaha mengulurkan dan hanya mendapati rasa sakit. Membuat bola terjatuh di luar garis dan hilanglah kesempatan kedua mereka.
"Hei, Max!" seru Bill. "Apa yang terjadi padamu?!"
Max hanya menggeleng dan memberi isyarat untuk pergantian pemain. Bill memanggil Hendrick untuk menempati posisi Max dan memanggil gelandang lainnya untuk menggantikan posisi Hendrick.
"Keluar dari sana!" teriak Bill.
Max sudah sering mengabaikan cidera dan membiarkan tubuhnya untuk terus bermain. Tapi tidak kali dengan yang ini. Tidak yang sesakit ini hingga Max meminta pergantian pemain.
"Kau baik-baik saja?" tanya Bill ketika Max membuka helm dan menjatuhkan diri di kursi pemain.
"Lenganku." Max kembali meringis ketika berusaha menggerakkan lengannya. "Keparat, ini sakit sekali. Bajingan itu membuatku terkilir."
"Medis!" teriak Bill sebelum kembali memeriksa lengan Max. "Keluar dari sini. Aku akan menyusulmu begitu giliran kita habis."
Max menurut saja ketika petugas medis membawanya ke tenda medis dan menyuruhnya berbaring di brangkar kesehatan. Mereka memberi Max pereda nyeri, namun tetap saja rasa sakit itu menyerangnya.
"Bagaimana sekarang?" tanya petugas medis itu.
"Pernah lebih baik," desis Max.
"Bisa mengangkat lenganmu?"
Max kembali berusaha meski tahu usaha sebelumnya gagal. Dan benar saja, alih-alih lengannya yang terangkat, Max mengerang dan mengumpat ketika rasa sakit meenjalari lengannya. "Mungkin... ini terkilir."
"Atau patah," tambah petugas itu. Kemudian ia pergi membiarkan Max meredakan rasa sakitnya.
"Patah?" gumam Max pada diri sendiri. "Sialan."
Bill masuk sesaat kemudian hingga Max mendengar seruan penonton dan suasana pertandingan di luar sana saat pintu tenda dibuka. "Apa yang terjadi padamu? Mereka bilang lenganmu cidera parah."
"Aku pernah cidera parah. Ini pasti akan cepat sembuh."
Bill menjatuhkan tubuhnya di kursi dan menatap Max. "Angkat lenganmu."
"Aku tidak bisa."
"Kalau begitu kau keluar dari pertandingan."
Max ingin mendebat kalimat itu, tapi tidak bisa. Cidera di lengannya lebih parah daripada yang sanggup ia atasi. Saat ini Max hanya ingin berbaring dan tidak membiarkan lengannya melakukan apapun. "Aku berharap kita masuk putaran final."
Bill menggeleng pelan. "Aku juga. Tapi itu hampir mustahil. Kita kalah."
Max mendesah. "Kita masih punya satu pertandingan lagi. Kalau kita menang, tim kita akan berada satu tingkat lebih baik tahun ini."
"Bukannya aku menyinggungmu, tapi kita di sini bukan termasuk kau."
Max menatap bingung pada Bill. "Aku akan lebih baik minggu depan. Aku bisa bertanding."
"Kau tidak bisa. Itu yang mereka katakan padaku."
"Bill, ini hanya cidera biasa. Aku akan pulih." Max tidak mau keluar dari pertandingan. Satu kekalahan di pertandingan babak adalah kesalahannya. Dua kesempatan yang ia sia-siakan hari ini juga salahnya. Max ingin membayar semua itu.
"Ya, itu hanya cidera. Kau akan pulih segera, tapi tidak dengan cara bermain."
"Tidak, Bill. Kau tidak mengerti―"
"Demi Tuhan, Max," sela Bill. "Kau bahkan tidak bisa mengangkat lengan. Kau tidak bisa menangkap atau melempar bola. Kau tak akan berdebat denganku, anak muda. Kau akan main lagi―musim depan. Dan aku ingin lenganmu baik-baik saja pada saat itu. Jadi kau harus memulihkan lenganmu lebih cepat―yang kumaksud adalah sekarang. Kau pulanglah ke Boston, temui ahli fisioterapi yang kurekomendasikan, dan fokus pada kesembuhanmu."
"Aku belum melakukan apapun untuk tim," kata Max pelan.
Bill menepuk pelan pundak Max. "Kau sudah melakukannya. Kau membuat kita maju sepuluh yard." Kemudian ia pergi meninggalkan Max yang hanya terpekur seperti setiap kali ia baru saja merasa kalah.
# # # #
Setelah pertandingan, Bill dan seluruh anggota tim memaksa Max untuk meninggalkan Colorado supaya mendapatkan perawatan yang lebih baik. Max tidak perlu menunggu beberapa minggu lagi untuk pertandingan terakhir dan penutupan liga. Bill sudah mengurus segalanya dari tiket penerbangan pulangnya hingga ke ahli fisioterapi yang biasa menangani tim mereka. Tetapi Max menolak kembali ke Boston dan memilih pulang ke rumah supaya bisa bergabung bersama keluarganya dan menikmati pertandingan futbol yang tersisa. Max terlalu lemah secara fisik dan mental jika harus bertahan di Boston.
Hasil rontgen Max menunjukkan tidak ada yang patah pada tulangnya, tetapi cidera yang dialaminya memang cukup parah hingga Max harus rela lengan atasnya digips untuk beberapa waktu lamanya. Max tidak ingin membuat ayahnya cemas dengan memberitahu keadaannya. Jadi Max hanya bisa menelepon Kevin supaya bisa menjemputnya di bandara Providence, karena Max tidak mungkin menelepon Cara atau Rick yang sibuk dengan bayi mereka.
Mengingat Starr, keponakannya, membuat Max berpikir bahwa keputusan pulang ke Westerly adalah langkah yang tepat. Ia belum menghabiskan cukup banyak waktu saat kelahiran keponakannya. Sekarang bayi itu pasti sudah berumur dua bulan dan sudah melihat dunianya.
Max melihat Kevin yang sedang memainkan ponsel di ruang tunggu gerbang kedatangan. Khas Kevin Beverly yang selalu berpikir taktis khas manajer hotel, dengan menunggu di tempat yang paling mudah terlihat dari gerbang kedatangan.
"Kev!" panggil Max.
Kevin mengangkat wajah dan menyeringai. Ia meringis melihat gips yang terpasang di lengan atas Max. "Bung? Dikeluarkan dan mendapat gips? Aku tidak bertaruh untuk itu."
"Kau kalah taruhan. Timku kalah."
"Aku kalah," Kevin membenarkan. "Seperti ribuan orang lainnya." Ia mengambil alih koper kecil Max dan mendahului menuju pintu keluar. "Apa sesakit itu? Tidak mungkin separah itu jika kau harus keluar dan kembali lebih cepat, kan?"
Max mendesah. "Aku punya sederet daftar temu dengan terapis. Semoga fisioterapis di kota masih bisa memasukkanku ke janji temu. Jadi, ya, memang separah itu. Aku bahkan harus minum pereda rasa sakit kalau ingin tidur nyenyak."
Max tidak menyangka Kevin membuka pintu untuknya, mengingat adiknya itu tidak pernah melakukan hal itu. "Mungkin kau butuh perawat. Yang cidera lengan kananmu. Seingatku, kau bukan kidal."
"Aku hanya cidera," kata Max. "Bukan cacat permanen. Aku akan pulih. Dan aku masih bisa mengurus diri."
"Ya. Katakan itu pada ayah yang mungkin akan tetap mengurusmu seperti bayi."
Kevin menutup pintu setelah Max masuk ke bagian penumpang. Kemudian menyusul Max dan menjalankan mobilnya pulang ke rumah. Benar, Max mungkin bisa berusaha mengurus diri. Tetapi ayahnya pasti mengurusnya tanpa diminta. Meski umur Max hampir dua puluh sembilan. Mungkin Max harus mempertimbangkan apakah ia akan tinggal di rumah bersama ayahnya atau menyewa suatu tempat yang dekat rumah sakit, meski rumah sakit kota hanya sepuluh menit dari rumahnya. Hanya untuk hidup lebih mandiri dan tidak merepotkan siapapun selama lengannya cidera.
Max tidak mengingat sisa perjalanan itu karena ternyata ia tertidur tanpa disadari. Mungkin pereda rasa sakit masih bekerja di tubuhnya. Ketika Max mengerjapkan mata, Kevin sudah memarkirkan mobil di jalan masuk rumah tempat mereka tumbuh besar.
"Kau tidur nyenyak sekali," kata Kevin setelah mematikan mesin. Ia tidak menunggu Max menjawab, lalu keluar dan mengambil koper Max di bagian belakang penumpang.
Max melompat turun dari SUV adiknya dan meregangkan tubuh sebisa mungkin. Ia sudah berusaha membuat gipsnya terlupakan, tetapi ketika kelelahan menderanya, gipsnya memang agak menyiksa. Tunggu saja sampai Max merasa gatal pada lengannya.
Max tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik rumah keluarga McGraw. Ia berharap Jesse di sana dan tahu bahwa Max datang. Mungkin Max ingin merasakan sedikit perhatian dari Jesse ketika tahu lengannya cidera.
Sial, pikiran dari mana itu? Max sudah bertekad melupakan wanita itu dan berhenti mengejarnya. Ia harus mengubur Jesse dalam-dalam atau hanya sakit hati yang ia dapatkan kembali.
"Kau masuk tidak?" tanya Kevin ketika Max hanya terpekur di teras.
Max mengikuti Kevin yang masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamar Max untuk meletakkan koper. Kemudian Max teringat sesuatu. "Tunggu. Apa Jesse pulang?"
Kevin menyipit. "Apa maksudmu?"
"Aku tidak mau tidur di kamar itu kalau Jesse pulang. Aku mau tidur di kamar lamamu saja, kalau kau tidak keberatan."
"Memangnya kenapa?"
"Aku hanya..." Max mencoba mencari alasan yang lebih logis alih-alih dramatis, karena ia memang sudah berniat menjauhi Jesse sebisa mungkin. Jika wanita itu bisa melakukannya selama lebih dari sebelas tahun, Max yakin ia juga bisa. "Bosan dengan kamarku."
"Aku pernah ingat satu waktu kau bahkan tidak mau keluar kamar karena menatap jendela di seberang kamarmu."
Max merengut ketika Kevin mengingatkan betapa konyolnya Max saat remaja. "Sebenarnya aku boleh menempati kamarmu atau tidak?"
"Tentu saja boleh. Calvin tidak di rumah. Aku punya rumah sendiri." Kevin mengendik. "Bukan berarti Jesse ada di rumahnya."
"Jadi dia tidak pulang?"
"Aku tidak tahu apa hubungannya Jesse dengan kau yang sedang bosan dengan kamarmu."
"Aku tidak punya hubungan apapun dengan Jesse," bantah Max.
"Memangnya siapa yang menanyakan itu?" Kevin terlihat geli ketika mendapati wajah kesal Max. "Dad mungkin di garasi."
"Mari kita lihat, bagaimana responnya ketika melihat lenganku."
Ternyata benar, Gerald berada di garasi sedang memperbaiki sesuatu di meja kerja kayunya. Apakah semua orang yang sudah pensiun selalu melakukan hal-hal aneh di waktu luangnya yang berlimpah? Ayahnya selalu membeli barang-barang bekas dan berusaha memperbaikinya, meski tidak pernah punya pengalaman soal mesin. James McGraw hampir setiap hari mengatur pot tanamannya, jika tidak sedang mengurus sayurannya. Max bahkan yakin James punya lima puluh susunan tanaman yang berbeda.
Max melirik ke kebun keluarga McGraw, berharap Jesse sedang di sana membantu ayahnya merawat sayuran―
Hentikan! Max memerintah pikirannya sendiri. Lupakan dia.
Tunggu dulu. Ke mana sayuran dan seluruh tanaman keluarga McGraw? Kenapa hanya lahan tandus seolah seluruh tanaman baru saja diserang hama? Keluarga McGraw selalu punya tanaman yang akan tetap tumbuh bahkan saat musim dingin sekalipun.
"Dad, putramu datang!" seru Kevin.
Gerald mendongak dan melepas kacamatanya. Matanya membulat sementara senyumnya merekah ketika melihat Max. "Maxime! Kau pulang lebih cepat? Ya Tuhan, ada apa dengan lenganmu?"
Max meringis ketika membiarkan bahunya mengendik. Ternyata gerakan kecil itu terlalu sulit dilakukan. "Cidera. Seperti biasanya."
"Sepertinya buruk," komentar Gerald. "Kau sudah menemui dokter?"
"Ya. Menurutmu siapa yang memasang gips sialan ini? Aku akan berusaha mendapatkan janji temu dengan fisioterapis di kota."
"Aku harus kembali ke hotel," sela Kevin. "Aku akan ke sini lagi untuk makan malam. Mau kubawakan sesuatu?"
"Bagaimana dengan makan di luar?" usul Gerald. "Max pasti butuh hiburan di saat seperti ini. Kita bisa ajak Cara dan Rick."
"Setuju," sahut Max. "Aku yang bayar."
"Aku bisa mampir ke tempat Cara dan Rick sebentar," kata Kevin. "Masih tengah hari. Mereka pasti di rumah. Kita bertemu lagi pukul tujuh?"
Max dan Gerald setuju. Lalu Kevin menuju ke depan rumah melewati jalan samping untuk mencapai mobilnya. Gerald kembali menekuri pekerjaannya. Ternyata ia sedang memperbaiki radio kotak lama yang bahkan tidak punya pemutar kaset. Max tidak mengerti mengapa ayahnya melakukan itu padahal mereka punya satu set yang lebih modern di ruang keluarga.
"Kau mungkin butuh istirahat," kata Gerald ketika merasa Max mengamatinya. "Perjalananmu pasti panjang. Baru semalam kulihat kau bertanding di Colorado, sekarang kau ada di sini dengan lengan digips."
"Aku baik-baik saja." Max mungkin butuh beberapa jam terjaga sebelum menelan pereda rasa sakit dan kembali tertidur karena pengaruh obatnya. "Jadi... apa yang terjadi dengan kebun James?"
Gerald mengangkat pandangan ke kebun mati itu dan mendesah. "Kebun mana yang tidak mati setelah tidak terawat dua bulan lamanya? Aku mencoba mempertahankannya, tapi aku tidak bisa tanpa James atau Janice."
"Kenapa kau yang mencoba mempertahankannya?"
"Itu mungkin akan menghibur mereka. Tapi mereka... terlalu frustasi. Entahlah. Aku sudah berusaha. Jujur saja, aku kehilangan mereka. James tidak mengijinkanku berlama-lama di rumahnya. Dia selalu punya banyak alasan untuk beristirahat."
Max menatap rumah itu dan baru menyadari betapa menyedihkannya tempat itu. Daun-daun berserakan. Rumput liar tumbuh di segala tempat. Ada lumut tipis di dinding yang sebelumnya belum pernah sekalipun Max lihat selama menjadi tetangga keluarga McGraw. "Apa yang terjadi?"
"Ini mungkin aib, meski seharusnya tidak. Menurutku, ini berkat. Tapi James terlalu marah untuk berpikir begitu."
Max pernah mendapati James marah, tetapi ia yakin bukan jenis kemarahan yang ayahnya maksud. James yang Max kenal adalah orang brilian yang selalu berpikir rasional. Ia tidak akan semarah itu jika alasannya memang tidak separah yang Max pikirkan.
"Jadi... Jesse kembali," lanjut Gerald.
Max berjengit. "Jesse di sini?" Bukankah Kevin bilang Jesse tidak ada?
"Di Westerly, ya. Di rumahnya, tidak. Jesse pulang. Meninggalkan Manhattan, pekerjaannya, segalanya―dalam keadaan hamil."
"Apa?!" Brengsek, Max tidak pernah lebih terkejut daripada sekarang. "K-kenapa?" Atau Max lebih tertarik dengan pertanyaan, dengan siapa? Ingatan Max kembali berputar saat malam terakhir mereka ketika kesalahan terjadi pada pengamannya.
Jesslyn. Hamil.
"Tidak ada yang tahu. Kau bisa bayangkan betapa terkejutnya James? Jesse tidak pernah membawa atau mengenalkan siapapun pada orang tuanya, pada Cara, atau pada Vivian. Kemudian dia pulang dengan perut membesar, dengan bukti bahwa ia punya bayi kembar―"
Kembar.
"―Jesse tidak mau mengatakan siapa ayahnya. Dia bilang, tidak tahu. James berpikir Jesse diperkosa atau sesuatu. Itu membuat Janice dan James begitu terpukul hingga mereka menutup diri pada dunia. Tapi semua tentu saja semua orang tahu. Jesse ada di kota dan tidak selamanya bisa menyembunyikannya. Jesse yang malang. Dia akan membesarkan bayi kembar sendirian."
Pikiran itu menghantam Max. Apa yang telah ia lakukan? Bayi kembar itu bisa jadi anak Max. Anak-anak Max! Demi Tuhan, kenapa Jesse tidak memberitahunya? Jesse tahu mereka pernah berhubungan seksual dan bisa menghasilkan keturunan. Max harus menemui Jesse.
"Lalu di mana dia? Kau bilang dia kota."
"Dia menyewa apartemen dekat rumah sakit. Gedung tiga lantai milik Charles Murphy, ingat? Dia menyewakan propertinya setelah memutuskan untuk berlayar keliling dunia."
Max tidak menunggu apapun setelah tahu di mana Jesse berada. Ia segera keluar dari garasi dan mengambil langkah panjang untuk menuju tempat Jesse.
"Maxime! Kau mau ke mana?"
"Ke tempat Jesse. Aku mau melihatnya!" Memastikan bahwa bayi itu milik Max, bukan orang lain.
"Kau tidak terlibat masalah, bukan?!"
Max berharap ini bukan masalah. Ia sudah sering menghadapi masalah selama berhubungan dengan Jesse. Ia akan membereskannya kali ini. Benar-benar menjadikan wanita itu sebagai miliknya yang utuh. Tapi sebelum itu, Max harus memastikan sesuatu. "Kita bisa berharap begitu, Dad!"
"Kau ke sana dengan apa?"
"Yang cidera lenganku, bukan kakiku. Aku akan lari. Catatanku musim ini cukup bagus." Jika ia tidak bisa memenangkan pertandingan futbol, setidaknya ada sesuatu yang ia menangkan musim ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top