(3)

Sebelumnya Jesse tidak pernah mengira dirinya akan berpacaran dengan Max. Lebih lagi, ia juga tak pernah mengira punya waktu untuk berpacaran. Menurut Jesse, orang-orang berpacaran hanya membuang-buang waktu. Kadang-kadang Jesse tak habis pikir bagaimana orang-orang itu menghadapi drama percintaan yang terelakkan seolah belum cukup banyak saja drama kehidupan mereka.

Jesse punya nilai-nilai yang harus ia pertahankan. Peringkat yang harus ia jaga. Ia ingin pergi ke kota besar seperti New York. Kuliah di Columbia University seperti ayahnya atau memilih universitas yang lebih bagus lagi. Suatu saat nanti ia ingin bergabung dengan tangan-tangan penyelamat pangan dunia di FAO. Karena kau tidak bisa memakan mesin, teknologi, politik, dan hukum. Dunia masih membutuhkan tanaman untuk ditanam, teknologi pangan untuk dikembangkan. Sehingga dunia ini tidak perlu lagi merana karena kelaparan. Semua orang seharusnya bisa menanam, terutama makanan pokok supaya mereka punya cadangan makanan ketika keuangan menipis.

Dan percintaan remaja yang rumit itu tidak akan membuat kentang-kentang hidroponiknya tumbuh subur. Jadi Jesse tidak memerlukannya.

Jesse punya jadwal belajar yang terorganisir. Ia cukup mendapatkan waktu hiburan bersama keluarga, kadang bersama teman-temannya di klub buku sekolah, atau kelompok olimpiade sains, atau bersama Cara yang sejak bayi telah menjadi sahabatnya.

Meski Jesse bersahabat dengan Cara, tapi gadis itu adalah Beverly. Semua orang di kota mengenal keluarga itu. Kakak Cara, Max adalah pemain terbaik di sekolah. Cara adalah gadis riang yang disukai banyak orang. Kembar Calvin dan Kevin adalah biang onar, tapi mampu membuat gadis-gadis menjerit-jerit mengagungkan nama mereka.

Tentu saja Cara dan Jesse mempunyai lingkungan pergaulan yang berbeda saat di sekolah. Tetapi saat di rumah, Cara sering kali mengunjungi kamarnya. Seperti saat ini, Cara mengetuk pintu kamarnya dan meminta bantuan untuk menyelesaikan soal matematika. Bukan soal rumit. Jesse sudah menyelesaikan PR itu lusa lalu. Jadi Jesse bisa menunjukkan caranya pada Cara.

"J, aku akan kencan dengan Rick. Untuk pertama kalinya," kata Cara.

Jesse sudah sering mendengar curahan hati Cara soal pacar-pacarnya. Karena Cara populer, pacar Cara juga selalu berasal dari lingkaran itu. Jesse tidak mengenal pacar-pacar Cara meski pernah sekelas sebelumnya. Orang-orang populer cenderung tidak memperhatikan anak seperti Jesse. Tapi Cara lain, meski rumah mereka yang bersebelahan pasti juga ikut memperjelas keadaannya.

Baru-baru ini Cara dekat dengan Patrick Storm Si Bisu. Yang mana itu aneh karena Rick bukan sepeti Liam Wester, yang tampan, populer, dan banyak membual itu. Bukan tanpa alasan Jesse memanggilnya Si Bisu. Pemuda itu memang tidak pernah bicara pada siapapun. Ternyata bukan hanya Jesse yang menyadari hal itu. Sepertinya teman-temannya di kelompok olimpiade juga berpikir demikian. Kecuali Cara. Menurut Cara, Rick berbicara banyak hal padanya. Diam-diam Jesse masih tidak percaya.

Jesse menaikkan kacamatanya yang melorot setelah mengerjakan soal matematika. "Kau sudah sering bersamanya di taman belakang sekolah. Memangnya itu bukan kencan?"

"Tentu saja bukan," sahut Cara. "Malam ini kami akan nonton film dan makan malam di B&B. Itu baru kencan."

Jadi itu definisi kencan sebenarnya? Jesse mencatat itu dalam kepalanya. Bukan berarti ia membutuhkan info itu untuk dirinya sendiri.

"Masalahnya hanya satu," tambah Cara.

"Apa?"

Cara memelankan suaranya. "Aku butuh mobil."

"Kau tahu kau masih lima belas tahun, kan?"

Cara mengangguk. "Tepat. Itu sebabnya aku membutuhkan bantuanmu."

"Cara, umurku juga lima belas."

"Yeah, tapi Max sudah tujuh belas tahun."

"Lalu?"

Cara menegakkan tubuhnya dan menatap Jesse penuh harap. "Maukah kau ikut bersama kami? Anggap saja ini kencan ganda. Bagaimana menurutmu?"

"Apa? Tidak." Jesse pura-pura kembali pada buku matematikanya tapi Cara menyambar buku itu dan menutupnya.

"Jangan mengalihkan perhatian. PR-mu sudah selesai. Kau akan tetap dapat A besar tanpa harus memelototinya lagi. Ayolah, Jesse, kau harus membantuku."

"Aku tidak berkencan dengan abangmu. Itu menjijikkan." Karena sepanjang pengetahuan Jesse, ia hanya menganggap Max sebagai kakak sahabatnya dan Max menganggapnya sebagai sahabatnya, bahkan nyaris memperlakukan Jesse seperti adiknya.

"Siapa yang tidak mau berkencan dengan Max? Semua gadis menginginkan posisi itu."

"Yah, gadis-gadis idiot di luar sana. Bukan aku, C."

"Baiklah," desah Cara. "Jadi tidak usah berkencan dengan Max. Anggap saja kau ikut kami jalan-jalan. Bagaimana?"

"Kenapa kau tidak menyuruh saja Max atau ayahmu mengantar sampai bioskop? Itu lebih bisa diterima."

"Di mana letak kesenangannya? Aku ingin berada di jok yang sama dengan Rick."

"Kau bisa bersepeda bersama Rick."

"Pada pukul tujuh malam dan entah jam berapa kami selesai? Yang benar saja."

"Kalau begitu atur kencannya jangan sampai terlalu larut."

Cara menghela napas. "Kami ingin ini jadi kencan sungguhan. Kencan biasanya dilakukan saat malam."

"Benarkah?" Jesse bertanya-tanya apakah itu perlu dicatat. "Lalu bagaimana kau melakukan kencan saat bersama Liam?"

"Orang tua Liam mengijinkannya membawa mobil dan dengan senang hati membebaskan anaknya kalau sampai kena tilang. Tapi kau tahu Rick tidak punya mobil, kan? Orang tuaku dan Rick bukan jenis orang tua yang akan mengeluarkan anaknya dari masalah yang diperbuatnya dalam keadaan sadar. Jadi mencuri mobil ayahku bukan pilihan. Tapi kau bisa ikut kami. Aku yang traktir."

Jesse menghela napas. "Kenapa aku harus ikut? Kenapa tidak mengajak temanmu yang lain?"

Cara menatap Jesse seolah gadis itu sudah gila. "Kau serius? Aku sudah cerita padamu bahwa Rick pemalu, kan? Aku tidak mungkin mengajak temanku yang tergila-gila dengan Max. Kemungkinan besar, Max yang akan berubah pikiran. Tapi Max akan baik-baik saja bersamamu. Begitu pula dengan Rick yang sering bertemu denganmu. Masalah teratasi. Lihat? Aku sudah merencanakan kencan ini dengan matang. Lagipula, aku tidak akan membiarkan Max mengawasiku selama menonton film. Jadi aku percaya kau akan menanganinya."

Jesse tidak melihat jalan keluar lain jika sahabatnya yang satu ini sudah bersikeras. "Apa aku punya hak untuk menolak? Bisakah itu dikabulkan?"

"Apakah itu jawaban, ya?" Cara menjerit karena senang dan memeluk Jesse. Jesse jarang mendapatkan perlakuan seperti itu. Hanya anak-anak populer yang saling berpelukan sepanjang waktu padahal orang itu sudah berada di sebelahnya sepanjang hari. "Kau yang terbaik!"

"Apa aku harus memilih baju dan berdandan?" Paling tidak Jesse harus melakukan sesuatu untuk jalan-jalan yang tidak pernah didapatnya ini kan?

"Kalau kau ingin Rick dan Max mengolokmu, lakukan saja."

"Ha ha ha." Jesse mendengus. "Ingat, Cara, kau berutang padaku."

"Oh, tidak perlu kau ingatkan. Aku yang akan membayar tiket dan makananmu. Aku juga membayar Max. Waduh, gawat. Kau tahu seberapa besar perut pemain futbol itu, kan? Sial. Max pasti pesan banyak. Aku yakin dia sudah punya taktik untuk membuatku bangkrut di kencan pertama. Ia akan menguras seluruh tabunganku."

Jesse mengabaikan ocehan Cara selanjutnya. Ia membayangkan Cara berjalan dengan Rick―yang mana dalam beberapa minggu terakhir Cara memang sering melakukannya karena ia membuntuti Rick. Tetapi mereka berdua terlihat cocok. Jesse yakin hubungan kedua orang itu berhasil. Lalu Jesse beralih membayangkan dirinya berjalan di samping Max. Oh, sial. Itu sama sekali tidak cocok. Max terlalu tinggi dan besar untuknya, mengingat ia akan jadi murid senior. Jesse terlalu mungil untuk Max yang punya tubuh khas gelandang. Jesse memejamkan mata di balik kacamatanya untuk mengusir bayangan tersebut, tapi Jesse masih membayangkannya sampai Cara pulang. Jesse bahkan masih memikirkannya saat berusaha untuk tidur. Saat Jesse melirik ke jendela seberangnya, ia mendapati Max sedang bermain ponsel di kamarnya. Jendela itu terbuka dan ia bertemu tatap dengan Max. Entah bagaimana Jesse jadi salah tingkah padahal ia tak yakin Max menemukannya karena ruangannya gelap. Namun pemuda itu tersenyum menampakkan lesung pipi, lalu melambai ke arahnya.

Jesse cepat-cepat menarik selimutnya ke atas untuk menutup diri. Untuk pertama kalinya ia bisa mendengar detak jantungnya yang berdetum begitu keras, padahal selama ini ia hanya melihat Max sebagai abang sahabatnya dan tetangga sebelahnya. Sepertinya pandangan itu akan berubah dan Jesse perlu segera menepisnya.

# # # #

Pada pukul sepuluh, Jesse keluar dari rumah dan mendapati Max yang sudah bersandar di mobil sport merah mengilap yang atapnya terbuka. Max memutar kunci dengan santai, lalu menegakkan tubuh ketika melihat Jesse keluar.

"Hei," sapa Max.

"Kita akan naik itu?" Tentu saja seperti inilah mobil Max. Pria besar dan kesukaannya. Max pasti memilih merah. Kenapa tidak? Harusnya Jesse sudah menduga.

"Kau ingin naik mobilmu saja?"

Tidak. Jesse tidak akan membiarkan mobilnya dipenuhi aroma maskulinitas Maxime Beverly. Jadi ia tidak punya pilihan lain. "Aku yakin kau bisa mengendarainya," kata Jesse seraya membuka pintu, lalu menduduki jok kulit seperti baru itu. Ia memasang sabuk pengaman dengan standar keamanan yang ia tingkatkan. Karena ini mobil konvertibel, Jesse merasa pantas untuk khawatir.

Max mengambil tempat di samping Jesse. Melirik kaca spion dan merapikan rambutnya. Jesse mencoba tidak memperhatikan pria itu saat mematut dirinya, mengacak rambutnya yang sudah acak-acakan. "Sudah tampan?" tanya Max.

Jesse mengernyit menatap Max. "Apa?"

Max menunjuk wajahnya. "Apa aku sudah terlihat bagus? Apa rambutku lebih baik berantakan begini? Atau aku perlu meminyakinya seperti pria kantoran?"

Jesse tidak percaya Max menanyakan itu padanya. Apa perpisahan selama sebelas tahun membuatnya harus terjebak dalam obrolan ini―apakah ia tampan atau tidak? Yang benar saja. Pantulan Max bisa mengatakan itu secara langsung tanpa perlu Jesse mengatakannya. Tapi Jesse tidak akan mengakuinya terang-terangan atau pria itu akan besar kepala. Jadi ia pura-pura memutar matanya. "Yang manapun yang membuatmu senang, Maxie."

"Hei, kau dulu juga memanggilku begitu saat sedang kesal."

Yah, sial. Jesse tidak menyangka Max masih mengingatnya.

"Panggilan itu membuatku jadi feminim. Kau memang senang membuatku kesal."

Jesse menghela napas dan menatap langit biru yang begitu cerah. Tidak ada angin, jadi ia meniup-niup poninya. Ada burung-burung berterbangan. Ada kupu-kupu di perutnya―oh, persetan.

"Kau ingat?" tanya Max.

"Tidak," dusta Jesse.

Tapi Max masih berusaha. "Waktu itu kita masih berpacaran―"

"Apa kita akan berangkat?" potong Jesse, menyadari Max yang mengoceh dan belum menghidupkan mesin. Topik semacam ini tidak ada dalam daftar persiapan Jesse. "Atau aku bisa ke butik sendiri, sebenarnya."

Max hanya mengendik dan menghidupkan mesin. Derum mobil itu begitu lembut, namun mampu membuat kerikil berterbangan ketika Max mundur dari jalan masuk dengan gaya memutar yang disengaja.

Jesse membuang pandangannya ke samping, membiarkan rambutnya tertiup angin karena Max melesat menunjukkan kebolehan mobilnya. Jesse tidak akan protes. Semakin cepat mereka tiba, semakin cepat kebersamaannya dengan Max berakhir.

"Jadi... bagaimana kabarmu?"

Jesse mengangguk tanpa menatap Max. Bagus juga rambutnya menutupi wajah, ia tidak perlu menatap Max. Meskipun ia khawatir rambutnya akan berantakan setibanya di butik. "Bagus. Kau?"

"Yah, aku perlu membujuk pelatihku supaya bisa memberiku libur sejenak dari latihan sebelum bertanding. Aku harus kembali secepatnya. Ada kabar apa di pekerjaanmu?"

Jesse merasakan Max yang melambat ketika toko-toko mulai berjajaran dan mereka memasuki kota. "Masih memikirkan ketahanan pangan Afrika. Mereka berusaha keras supaya Afrika bisa menghasilkan beras."

"Di tempat segersang itu?"

Jesse merasa tersinggung hingga memberanikan dirinya memicing menatap Max. "Kau pikir kami tidak bisa?"

Max mengangkat satu tangan tanda menyerah. "Aku tidak bilang begitu."

Jesse cemberut dan mendengus ketika menatap ke depan. Namun ia salah langkah karena akhirnya ia memperhatikan yang sedaritadi tidak ia perhatikan. Ada boneka bobblehead yang bergoyang-goyang di dasbor. Jesse mengernyit mengamatinya. "Apa itu?"

"Apa?"

Jesse menunjuk boneka manusia dengan seragam futbol merah dan menenteng helm futbol. Max tersekat karena tawa. "Apa itu kau? Mereka membuat dirimu dalam versi ini? Oh, astaga, bisakah kepalamu diam? Hei, Max, kau terus mengangguk padaku."

Tawa Max belum pudar. "Aku bisa apa? Mereka sponsorku. Dari sana aku mendapat uang."

"Dengan menjadikanmu bobblehead?"

"Apa salahnya? Dia terlihat tampan."

"Dia punya jambang."

"Aku pernah punya jambang. Kau saja yang tidak tahu."

"Bukankah seragam tim New England warnanya biru gelap? Bukankah ini disebut pengkhianatan, karena mengganti seragam kebanggaan timmu?"

"Ini edisi eksklusif. Aku minta yang warna merah supaya cocok dengan mobilku. Merah masih warna kesukaanku. Lagipula lambang timku masih di sana. Lihat? Hanya ada sepuluh dan hanya aku yang memiliki. Aku masih punya." Max melirik Jesse dengan hati-hati. "Uh... kau mau satu? Aku bisa menandatangani punggungnya kalau kau mau."

Jesse membayangkan dirinya melihat miniatur Max setiap hari, setiap kali memasuki mobilnya. Astaga, dia mungkin bisa gila. "Melihatmu mengangguk seperti itu padaku? Tidak."

"Kenapa? Dia lucu."

"Pria dengan jambang tidak bisa disebut lucu."

Max memberikan cengiran pada Jesse. "Dia seksi kalau begitu."

Pipi Jesse panas. Ia membuang pandangan lagi. Baguslah, sungai mulai terlihat. Salah satu keindahan Westerly yang membuatnya selalu rindu. Pengalihan yang cukup bagus. "Kau tahu berapa nilai skala narsistikmu, Max?" ujar Jesse tanpa menatap Max.

"Memangnya ada penilaian semacam itu?"

Jesse mengabaikan gurauan Max. "Dari skala satu sampai sepuluh. Nilaimu adalah sebelas."

"Uh..." Max ragu. "Trims?"

Ya. Karena kepercayaan diri Max yang besar itulah alasan Jesse mencintai Max. Jesse selalu mengagumi cara pria itu membawa dirinya, caranya membaur dengan sekitar, caranya terlihat cerdas meski kenyataannya tidak demikian, cara ia selalu membuat dirinya menyenangkan. Hal-hal yang tidak Jesse miliki.

"Kita mendekati perbatasan," kata Jesse ketika melihat papan bertuliskan: Selamat Datang di Westerly. Mereka sudah menyeberangi sungai dan sebentar lagi mereka berada di negara bagian tetangga.

"Aku tahu. Cara memberiku petunjuk tempatnya dengan baik. Tidak sabar melihatmu dengan gaun, Baby J. Jangan lupa minta komentarku sebelum melepasnya. Kau tidak punya pengamat lain yang jujur selain aku."

Jesse menghela napas lagi. Tentu saja. Jesse sudah mempertimbangkannya. Meski Jesse tidak menyukai komentar panjang Vivian yang selalu menyulitkan, Jesse mulai berharap sahabatnya itu ada di sini sekarang. Lebih baik mendengar Vivian mengomel daripada mendengar Max merayunya. Karena Jesse tahu ketahanannya menghadapi pria itu tidak akan berlangsung selamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top