(29)

Begitu Jesse bangun dan menyadari ia sedang berada di tempat asing, Jesse beranjak dari ranjangnya dan mengambil posisi duduk. Ini bukan kamarnya di Manhattan, ini juga bukan kamarnya di Westerly. Melihat dari aroma ethanol dan betapa sterilnya seluruh perabot, tempat ini seperti rumah sakit. Jesse melirik pergelangan tangannya yang dililiti selang infus. Jesse merasa tubuhnya terasa lemah dan ia tidak bisa mengingat apa yang terjadi sebelumnya.

"Kau sudah bangun, Ma'am?" Seorang perawat muda masuk ke biliknya, membenarkan perkiraan Jesse bahwa ia memang berada di rumah sakit.

"Aku kenapa?"

"Kau pingsan kemarin. Apa kau sudah merasa lebih baik?"

Jesse berusaha menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak merasakan apapun yang sakit. Sepertinya ia tidak cidera. Jesse memberi gelengan singkat seraya mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya terakhir kali. Jesse ingat ia membeli tiket pertandingan futbol. Ia menonton Max, kemudian bicara pada Max―obrolan yang tidak berlangsung cukup baik. Max meninggalkannya sendirian, lalu... apa lagi?

"Kau pingsan di stadion. Petugas medis membawamu ke tenda darurat tapi kau tak sadarkan diri selama berjam-jam hingga mereka terpaksa membawamu ke rumah sakit. Kau mengalami dehidrasi parah sehingga kami harus memberimu cairan pengganti. Aku ingin tahu jika ada nomor keluarga yang bisa dihubungi."

Dehidrasi? Yang benar saja. Jesse tidak pernah terserang dehidrasi. Yang kemarin itu memang melelahkan karena ia menyetir empat jam perjalanan dan masih harus menghadapi tekanan emosional. Tetapi memangnya itu bisa membuatnya berakhir di ranjang rumah sakit?

"Aku... tidak berasal dari sini," jelas Jesse. "Aku datang sendiri untuk menonton pertandingan."

Perawat itu menunjukkan raut prihatin padanya. Jesse bertanya-tanya apakah tampangnya seburuk itu. "Kau pasti punya seseorang yang harus kau kabari bahwa kau di sini. Ada urusan administrasi dan yang lainnya."

"Aku bisa mengurusnya," balas Jesse. "Beri saja aku formulir dan yang lainnya. Aku punya uang."

"Aku pribadi tidak ingin kau menjalani ini sendiri. Tubuhmu lemah dan kondisimu sangat rentan. Kalau kau memang harus keluar dari rumah sakit, seharusnya ada seseorang yang menjagamu."

Jesse tersenyum geli. "Aku tidak selemah itu. Sepertinya cairan tambahan itu punya efek yang bagus. Begitu aku keluar dari rumah sakit, aku yakin aku bisa menyetir pulang ke Manhattan. Omong-omong, siapa yang mengurus mobilku?"

"Polisi pasti sudah mendereknya ketika hanya ada mobilmu yang tersisa."

"Sial sekali," gumam Jesse. Sekarang ia harus berurusan dengan polisi demi mengembalikan mobilnya, padahal ia sendiri terjebak di rumah sakit.

"Jadi... Manhattan, ya? Itu perjalanan yang cukup jauh. Kau pasti penggemar berat olahraga futbol."

Jesse terkekeh. "Ya. Itu keputusan bodoh. Aku pergi tanpa berpikir. Aku membeli tiket seharga lima ratus dolar dan sekarang mobilku diderek polisi. Aku mungkin juga harus membayar untuk itu. Dan tentu saja, biaya rumah sakit."

"Sekarang kau tahu, Ma'am. Aku mengerti hasrat menginginkan sesuatu sampai begitu parah saat awal-awal kehamilanmu. Tapi aku lebih suka tidak menjurumuskan diri dalam masalah. Trimester pertama memang waktu paling riskan untuk ibu hamil."

Senyum Jesse menghilang seketika dan kebingungan mulai melandanya. "Siapa yang hamil?"

Perawat itu sepertinya terkejut dengan pertanyaan Jesse. "Kau. Siapa lagi?"

Oh. Tidak. Tidak.

Jesse berharap ada yang tertawa dan berkata bahwa ini lelucon, tetapi perawat itu terlihat sama bingungnya dengan Jesse. Perawat itu serius dengan kata-katanya. "Itu tidak mungkin―" Jesse berhenti ketika menyadari hal-hal penting. Tentu saja itu mungkin karena ia melakukan hubungan seks. Dan setelah diingat lagi, Jesse lupa kapan terakhir kali mendapatkan tamu bulanannya. "Tunggu. Ini pasti salah."

"Eh... jadi kau belum tahu kalau kau hamil?"

"Aku tidak hamil." Jesse berkeras. "Itu mungkin bukan hasil diagnosaku. Pasti ada yang salah."

Tidak mungkin terjadi, Jesse selalu memastikan Davis mengenakan pengaman. Bahkan Jesse sering mendapati pengaman Davis baru diambil dari kotak yang disegel.

Tapi Jesse bukan hanya berhubungan seks dengan Davis saja. Dua bulan lalu ia berhubungan dengan Max. Sialan. Apakah mereka pernah melakukannya tanpa perlindungan? Jesse tidak ingat. Ia hilang akal saat bersama Max. Tidak lagi peduli untuk memastikan ada pengaman di antara mereka.

"Eh... aku akan membiarkanmu istirahat," kata perawat itu kemudian. "Aku akan... membawakan beberapa berkas untuk kau isi. Tapi aku tetap berharap seseorang datang untuk menjemputmu. Aku serius, Ma'am. Kau tidak bisa menyetir sejauh itu dalam keadaanmu sekarang. Kau tak ingin... mengambil risiko untuk... hmm... bayinya."

"Bayinya," ulang Jesse seraya memeluk diri. Entah mengapa pelukan itu berakhir di perutnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia tidak bisa menghubungi siapapun untuk menjelaskan situasinya. Ia tidak mungkin menelepon Vivian yang sedang mengurus Cara. Ia tidak mungkin menelepon ayah dan ibunya, atau ia akan menimbulkan pertanyaan besar mengapa ia bisa sampai di Boston dan berakhir di rumah sakit. James McGraw pasti lebih cerdas dari itu untuk menilai keadaan. Tidak mungkin pula menghubungi Max mengingat pria itu sudah mengusir Jesse.

Jesse sendirian dan dalam keadaan gundah karena berita ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Jesse tidak bisa memikirkan solusi yang tepat.

"Aku permisi."

"Tunggu!" panggil Jesse. "Aku ingin hasil uji laboratoriumnya―bahwa aku positif. Dan... di mana ponselku?"

"Tasmu ada di laci. Mungkin ponselmu di sana. Kami belum membukanya. Sejauh ini kami belum menemukan tanda-tanda vital pada kondisimu, jadi kami menunggu."

"Trims."

"Untuk hasil uji, kami butuh sampel seperti urin atau darah. Kau juga harus mengisi formulirnya karena diagnosa ini hanya hasil pemeriksaan dokter."

Jesse tidak yakin ingin melihat hasil ujinya. Terlalu takut setelah kenyataan tamu bulanan tidak datang menghampirinya. Takut jika mendapati hal yang sudah jelas. "Berikan saja formulirnya."

"Ada lagi yang kau butuhkan?"

Jesse menggeleng pelan seraya mengusap perutnya meski ia tidak berniat melakukan itu.

"Kau tahu, Ma'am? Kehamilan memang kadang-kadang sangat mengejutkan. Tapi bayi itu tetap pemberian Tuhan. Itu hadiah."

# # # #

Jesse akhirnya memutuskan untuk menelepon Davis. Ia bisa membayangkan betapa gusarnya Davis karena tidak mendapati Jesse di kantor dan tiba-tiba Jesse menyuruhnya pergi ke Boston untuk menjemput. Jesse tidak menjawab panggilan dari Vivian, Cara, dan jutaan orang lainnya. Vivian mengirimkan foto Starr kecil yang cantik hingga mendadak Jesse merasa emosional melihat bayi yang begitu mungil.

Jesse mengisi formulir, membayar, dan mengurus segalanya seorang diri. Ia juga meminta dipindahkan ke ruang perawatan sambil menunggu Davis tiba di Boston. Berulang-ulang kali memikirkan siapa ayah dari bayinya. Itu bisa saja Davis atau Max. Pasti ada yang salah pada pelindungnya atau sesuatu. Sialnya Jesse memang tidak melakukan proteksi ganda dengan minum pil atau memasang pencegahan lainnya.

"Jesslyn?" Wajah Davis terlihat tanpa sebuah ketukan terlebih dahulu. Untungnya Jesse hanya sedang melihat-lihat acara televisi yang membosankan. "Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu? Kau baik-baik saja?"

"Kau tahu ruanganku?"

"Aku bertanya ke resepsionis. Kau baik-baik saja? Bagaimana mungkin kau bisa di sini?"

"Ceritanya panjang." Jesse meringis. "Sekarang sudah lebih baik. Aku minta maaf harus mengganggumu, tapi aku tidak tahu lagi siapa yang bisa kumintai tolong. Mereka tidak mengijinkanku keluar sebelum seseorang menjemput. Aku hampir saja berpikir akan kembali ke Manhattan dengan ambulan."

"Jangan. Aku tidak apa-apa. Meski aku khawatir. Sudah kubilang, kau sakit. Kau tidak mau mendengarkanku."

"Maaf, Davis."

Davis mengambil kursi dan duduk di samping ranjang Jesse. "Jadi... masalahnya pasti lebih serius kalau mereka tidak mengijinkanmu keluar sendiri."

"Ya. Sangat serius."

"Kau membuatku takut."

"Aku sudah takut." Jesse menyodorkan hasil labnya pada Davis. Ia tidak yakin dengan siapa membagi berita ini lebih dulu. Tetapi Davis adalah temannya. Ia bekerja bersama Davis dan Davis pantas mengetahui berita ini, terlepas dari hubungan mereka sebelum ini.

Davis membaca dengan seksama hasil lab itu. Wajahnya berkerut serius meski menurut Jesse, membaca hasil lab tidak mungkin sesulit itu bagi Davis. "Apa yang... positif?"

"Ya." Jesse menelan ludah. "Aku hamil."

"Dua embrio?"

Jesse mengangguk. "Tadinya aku menolak USG tapi mereka meyakinkanku."

"Dan ini anakku?"

Jesse mengerjap menatap Davis. "Kalau boleh jujur, aku tidak tahu."

"Apa maksudmu kau tidak tahu?"

"Karena aku tidak hanya tidur denganmu." Dokter membantu Jesse menghitung umur si bayi. Jesse juga berkeras mengetahui caranya menghitung kapan fertilisasi terjadi. Dokter tidak yakin apakah itu akurat. Tapi menurut dokter, minggu-minggu sebelum pesta Cara adalah yang paling mungkin terjadinya fertilisasi. Sialnya, Jesse tidak hanya tidur dengan satu orang pria saja di minggu itu.

"Tapi mungkin saja ini bayiku."

"Mungkin." Tetapi bayi kembar? Tidak mungkin Jesse seberuntung itu mendapat dua bayi sekaligus. Mungkin Jesse terlalu subur, atau sel pembuahnya yang juga lebih subur, atau seseorang yang punya gen kembar yang membuahinya.

Kenapa pula Jesse berharap Max adalah ayahnya? Pria itu mengusirnya di tengah keramaian.

"Itu artinya aku harus bertanggung jawab."

"Kenapa kau bilang begitu?" Jesse menyipit pada Davis untuk menelaah. "Davis, apa kau pernah mendapatkan kecacatan pada pengamanmu?"

"Tentu saja tidak!" sahut Davis cepat. "Meski aku tidak percaya kau hamil anakku, karena aku selalu memastikan semuanya aman sebelum kita melakukannya. Aku bahkan membuang pengaman yang sudah dua minggu segelnya terbuka―yah, oke, kadang-kadang aku masih menggunakannya lagi saat keaadannya genting. Tapi aku bersumpah, aku menggantinya setiap bulan."

Jesse sudah yakin bahwa Davis melakukan itu. Namun semuanya hanya membuat kemungkinan terbesar terpampang pada satu pilihan yang membuat Jesse gelisah.

Melihat wajah murung Jesse, Davis merasa bersalah. Ia meraih tangan Jesse dan menggenggam erat. "Maafkan aku. Bukan berarti aku tidak mau mengakui bayi itu. Tapi... aku sudah melakukan pencegahan sebisaku. Aku bukannya sengaja melakukan itu padamu karena aku tahu itu di luar rencana hidupmu. Tapi jika kecelakaan itu mungkin terjadi, aku siap bertanggung jawab untuk menjadi ayah bayi itu."

Jesse menghela napas. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, Davis. Aku juga tidak ingin membawamu ke masalah ini sebelum ada bukti-bukti yang jelas. Kita bisa melakukan tes DNA atau apapun yang bisa menguatkan. Tapi untuk saat ini aku hanya ingin waktu untuk diriku sendiri supaya bisa menerima semua ini."

"Tentu." Davis tersenyum. "Ini pasti berat buatmu."

"Dan... masih ada pria lain yang mungkin jadi ayahnya."

"Pacarmu?"

"Dia mengusirku. Bukan pacarku lagi."

"Oh... um... maaf." Davis mengendik. "Yah, sial. Brengsek sekali pria itu. Bagaimana jika ini anaknya?"

"Aku tidak tahu." Jesse mengusap perutnya lagi. Ada dua kehidupan dalam perutnya dan Jesse bersumpah akan mempertahankannya apapun yang terjadi. "Mungkin aku akan membesarkannya sendiri jika dia tidak mau menerima." Jesse mengingat lagi kata-kata terakhir Max yang mengusirnya. Sulit bagi Jesse untuk mengungkapkan perasaannya. Tetapi ketika ia menyatakannya pada Max, pria itu membuangnya.

Tanpa sadar Jesse menangis lagi. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia menangis sesering ini. Mungkin saat umurnya enam tahun. Ia sama sekali tidak berencana menangis di depan Max, begitu pula di depan Davis.

"Oh, Jesslyn." Davis menegakkan tubuhnya dan memberi pelukan pada Jesse. Jesse tidak menyangka betapa menyenangkannya punya bahu untuk bersandar, punya seseorang untuk menemaninya seperti sekarang ini. Menelepon Davis memang merupakan keputusan terakhir Jesse, tetapi itu adalah keputusan terbaiknya. "Aku akan ada untukmu, oke? Kalau benar bayi-bayi itu adalah bayiku, bilang saja. Kita pasti bisa mengatasi itu. Aku tidak keberatan punya bayi."

"Serius?" isak Jesse.

"Yah, tidak. Itu melenceng sangat sangat sangat jauh dari rencana hidupku. Tapi beberapa hal memang tidak sesuai dengan rencana."

Jesse mengurai pelukan dan membersit hidungnya. Davis meringis dan mengeluarkan sapu tangan untuk Jesse. "Kau tahu, aku memberitahumu karena aku tidak yakin bagaimana mengatasi masalah serius soal saran dokter. Aku bisa menyembunyikan ini dari beberapa orang selama beberapa waktu lamanya, tapi tidak darimu. Kau harus membantuku mengurus cuti sialan ini. Dokter menyuruhku istirahat total dan aku bahkan tidak diijinkan berjalan dengan kakiku sendiri saat ini."

"Itu perkara mudah. Kita satu tim. Kita bekerja sama."

"Dan omong-omong soal tim, aku mungkin harus menunda proyek besar kita."

Davis tersenyum, memasukkan tangan ke saku celananya. "Itu bukan masalah, Jesslyn. Pikirkan dulu bayi-bayimu. Kau harus fokus pada kehamilanmu. Aku ingin kau segera keluar dari sini, oke? Semuanya pasti sudah cukup berat tanpa kau harus terjebak di tempat ini."    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top