(28)

Starr Margaret Storm sepenuhnya mirip Rick versi perempuan. Satu-satunya hal yang ia warisi dari Cara adalah mata birunya, selebihnya, ia adalah Rick. Max bergegas kembali ke Westerly setelah evaluasi pertandingannya selesai. Max bisa mengurus evaluasi terkutuk itu nanti setelah adiknya melahirkan dan ia kembali ke Boston, karena daftar itu begitu panjang dan Max tidak punya banyak waktu sebelum adik perempuannya melahirkan.

Ketika Max melajukan mobilnya ke Westerly ayahnya memberitahu bahwa Cara sedang berada di ruang persalinan dan semuanya berjalan baik-baik saja. Max tahu hal itu dikatakan ayahnya hanya supaya Max tidak panik. Sungguh aneh Max merasa khawatir mengingat bukan Max ayah dari bayi itu.

Tetapi semua itu sepadan. Max bisa melihat keponakannya yang begitu cantik. Kalau saja terjadi apa-apa karena Max mengebut di jalan, ia pasti kehilangan momen itu. Belum apa-apa, Max sudah begitu menyayangi bayi itu.

"Aku seperti melihat Miranda," gumam Gerald ketika menatap Cara dengan penuh kekaguman. Sudah belasan tahun sejak kematian ibu Max itu. Cara, Kevin, dan Calvin punya wajah ibunya. Melihat Cara yang luwes menggendong putrinya, pasti membangkitkan kenangan kecil Gerald yang selalu mencintai mendiang istrinya. "Dia akan menjadi ibu yang baik."

"Aku tidak percaya kau menjadi ibu," kata Vivian yang setia berada di samping Cara. "Aku sekarang jadi Bibi Vivian. Sekarang aku harus memikirkan kado natal untuk Starr setiap tahunnya. Aku juga harus punya inisiatif kado ulang tahun setiap tahunnya. Dia bisa saja merampokku kalau sudah tahu uang."

"Dia akan lebih sering merampokku karena kami masih berada di kota yang sama," sahut Kevin yang sama kagumnya dengan semua orang. "Starr Storm terdengar seperti nama pembuat onar."

"Dia begitu kecil. Mana mungkin jadi pembuat onar? Kalau kau lupa, ini anak Rick yang dulu sangat pendiam. Bukan anakmu," komentar Max ketika menatap bayi dalam gendongan Cara. "Hei, Rick, kau beruntung sekali."

"Rasanya seperti aku jatuh cinta lagi," gumam Rick di samping Max yang tengah menatap putrinya yang tertidur pulas dalam rengkuhan nyaman ibunya. "Ajaib sekali makhluk kecil seperti itu bisa membuatku menangis."

Max menyenggol lengan Rick yang kembali mengusap ujung matanya. "Selamat, Bung. Kau jadi ayah sekarang. Jaga mereka, ya?"

Rick membersit hidung. "Seseorang harus melangkahi mayatku dulu sebelum menyakiti keluargaku."

Diam-diam Max merasa iri pada Rick. Max juga iri pada teman-teman satu timnya yang sudah berkeluarga dan mengundang keluarganya untuk menontonnya bertanding di tribun. Max tidak pernah tertarik dengan hubungan main-main yang dijalani beberapa gelandang terkenal. Max selalu ingin membangun hubungan serius untuk berkeluarga. Max selalu berpikir ia memberi cucu pada ayahnya lebih dulu daripada saudara dan saudarinya. Kenyataannya, kehidupan percintaannya tidak semulus itu.

Wajah Jesse yang menangis terlintas lagi di pikiran Max. Jesse tidak pernah menangis sebelumnya. Max selalu berharap Jesse menangis ketika memaksanya menjauh, mengartikan bahwa Jesse tidak bersungguh-sungguh, bahwa hatinya berkata lain. Tetapi Jesse membangun temboknya tinggi-tinggi dan membulatkan suaranya seolah menantang Max. Kenapa Jesse menangis sekarang? Ketika Max begitu rapuh dan sedang berusaha melupakan wanita itu.

Max sempat merasa sangat jahat hingga ingin menarik kata-katanya dan meminta maaf pada Jesse. Mungkin ia bisa menenangkan Jesse dengan memeluk atau menciumnya. Tetapi Max justru bertindak seperti bajingan yang membentak Jesse di lapangan parkir.

Jesse pantas mendapatkan itu, pikir Max.

Tentu saja tidak, pikir sisi lain dalam diri Max. Separah apapun Jesse melakukan hal buruk padanya, Max tidak seharusnya membentak Jesse. Jika diingat lagi, Jesse tidak pernah benar-benar membentak Max. Jesse berusaha bersikap selembut mungkin karena begitulah sifat wanita itu. Lantas kenapa Max merasa begitu kebas? Begitu bimbang memutuskan apakah tindakannya benar atau salah.

"Di mana Jesse?" tanya Cara pada Vivian hingga Max menegang seolah terpergok sedang memikirkan Jesse. Baru beberapa jam berlalu setelah ia bertemu Jesse dan Max baru menyadari bahwa Jesse tidak ada di sini. Meskipun sosok Jesse yang memenuhi kepalanya.

Vivian mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Dia punya proyek."

"Proyek?" sahut Max sebelum mengijinkan diri.

"Ya." Vivian mengendik. "Kau tahu bagaimana Jesse. Penuh proyek. Dia punya proyek hari Minggu dan hari Senin, jadi dia tak bisa di sini."

Max bertanya-tanya apakah menonton pertandingannya masuk ke dalam daftar proyek Jesse McGraw.

"Tidak apa-apa. Dia pasti sangat sibuk dan punya pekerjaan," sahut Cara. "Aku mulai mengantuk. Lagi. Astaga, melahirkan ternyata melelahkan."

Rick mengambil alih Starr hingga bayi itu terusik di balik selimutnya. Tetapi Starr sepertinya mengenali ayahnya sehingga mendapatkan posisi ternyaman dengan cepat. "Tidurlah, Cara. Starr sedang tidur. Kau butuh seluruh tenagamu untuk menyusuinya."

"Dan itu isyarat agar kita pergi supaya Cara beristirahat," kata Gerald.

"Kalian masih bisa di sini," kata Rick. "Aku bisa mengatasi Starr selagi Cara tidur. Atau kuharap aku bisa. Ini hal baru untukku."

"Biarkan Starr beristirahat, Rick," kata Kevin. "Aku harus ke hotel pagi-pagi, tapi aku butuh tidur beberapa jam karena malaikat kecil ini lahir tengah malam. Kau pasti juga lelah."

"Aku akan kembali ke sini pagi-pagi sekali," kata Vivian. "Aku bisa membawakanmu sarapan kalau kau mau. Cara mungkin ingin mendapatkan donat atau sesuatu untuk sarapan."

"Kami semua akan kembali," kata Gerald.

"Kecuali aku," kata Max. Ia sangat ingin berada di sini untuk merayakan kelahiran keponakannya. Tetapi musim pertandingan mengharuskannya tetap di Boston dan ia harus fokus memperbaiki kesalahannya di pertandingan yang lalu supaya bisa masuk ke putaran final. "Aku punya latihan dan sebagainya."

Cara sepertinya sudah terlelap selagi orang-orang di sekitar berbincang. Gerald memberi isyarat supaya semua orang mengikutinya keluar dengan pelan-pelan supaya tidak membangunkan putrinya yang sudah bersusah payah malam ini. Max menyalami Rick dan mengucapkan selamat sekali lagi sebelum keluar dari rumah sakit bersama Kevin. Gerald menawarkan diri untuk mengantar Vivian ke Beverly House di mana ia menginap, tetapi Max menawarkan diri untuk menggantikan ayahnya.

"Sebenarnya, aku bawa mobil," ujar Vivian.

"Tinggalkan saja mobilnya, Nak," kata Gerald. "Aku tidak tenang membiarkanmu menyetir dini hari begini. Max, titip wanita cantik ini."

"Jangan menggodaku," sahut Vivian. "Aku tidak yakin punya anak tiri seumuranku."

"Aku juga tidak," kata Kevin dan Max bersamaan. Merasa ngeri membayangkan harus memanggil Vivian dengan sebutan Mom.

"Aku menonton pertandinganmu," kata Kevin begitu mereka berjalan ke tempat parkir. "Meskipun euforianya lebih mengerikan dengan Cara yang terus kesakitan. Ya Ampun, yang tadi itu gila. Aku tidak yakin bisa jadi Rick yang mengkhawatirkan Cara sepanjang waktu."

"Untungnya aku tidak di sini waktu itu." Bukan berarti nasib Max lebih beruntung mengingat apa yang terjadi pada pertandingan malam tadi.

"Aku tidak percaya kalian kalah. Demi Tuhan, kalian juara tahun lalu. New York bahkan tidak masuk putaran final."

"Aku juga tidak percaya," kata Max.

"Jangan buat aku kalah taruhan, oke?" kata Kevin, lalu menepuk bahu Max dan berlalu menuju ke mobilnya.

Max menunggu Vivian yang sedang mengambil koper sebelum mengunci mobilnya. Meski Vivian terlihat selalu hebat dan begitu cantik, tapi kelelahan di wajahnya tidak bisa ditutupi. "Aku tidak bisa mengantarmu besok, tapi aku yakin Kevin bersedia."

"Aku bisa minta layanan antar dari hotel. Pasti bebas biaya mengingat kalian pemiliknya."

Max memutar mata tapi tetap bersikap jantan dengan membukakan pintu penumpang untuk Vivian. Perjalanan menuju Beverly House berlangsung dalam keheningan karena keduanya sama-sama lelah sehingga perjalanan itu terasa cepat. Beverly House terang benderang ketika Max menurunkan Vivian. Wanita itu mengucapkan terima kasih secara singkat. Max sudah hampir melajukan mobilnya ketika Vivian berbalik menghentikan Max.

"Ada apa?" tanya Max.

"Aku hanya... bertanya-tanya."

"Apa?"

"Kenapa kau pergi pagi itu?"

"Kapan?"

"Setelah pesta Cara. Kau sudah tidak ada di rumah keesokan paginya. Kata Jesse begitu."

Max terkejut Vivian menanyakan pertanyaan itu. Semua orang memang mempertanyakan alasan kepergiannya. Tetapi Max tidak menyangka jika Vivian menanyakan itu. Apalagi kejadian itu sudah lama berlalu. "Aku harus kembali sesegera mungkin. Pertandingan menungguku."

"Apa kau bahkan berpamitan pada Jesse?" tukas Vivian. Ada nada waspada dalam suaranya hingga Max tak yakin bagaimana menjawabnya.

"Memangnya kenapa?"

Vivian melipat lengan dan menatap tajam pada Max. "Karena ketika dia kembali ke rumah, wajahnya seputih mayat, seolah jiwanya baru saja melayang dari tubuhnya."

Max tidak tahu bahwa kepergiannya akan berarti sesuatu. Selama ini Jesse yang mendorongnya menjauh. Itukah arti Max bagi Jesse? Jiwanya?

"Kau tahu, Max? Kau memang kakak Cara. Meski persahabatanku dengan Cara tidak selama dengan Jesse tapi aku menyayangi mereka. Jesse sangat berarti untukku. Kalau kau menyakitinya sedikit saja, aku bersumpah akan membuatmu menyesal. Aku tidak peduli pada hubungan darahmu dengan Cara. Aku yakin Cara juga setuju denganku."

Max mendengus dan membuang pandangan dari Vivian. "Bagaimana jika kenyataannya dia yang menyakitiku?"

Vivian tidak menjawab beberapa saat lamanya. Max hampir saja merasa menang karena bisa membalikkan keadaan. Tetapi bukan Vivian jika wanita itu mudah menyerah. "Kalau begitu akan kupastikan dia menjauh darimu. Aku juga tidak terlalu setuju kau bersamanya. Dasar playboy." Kemudian ia meninggalkan Max, menuju ke Beverly House.

Max ingin menyanggah tuduhan Vivian bahwa ia sering mempermainkan wanita, namun ia menepisnya. Max memang dikenal begitu oleh rekan satu timnya. Max tidak pernah menjalin hubungan serius dengan wanita manapun mengingat sosok Jesse yang selalu membayanginya. Tetapi setelah Jesse yang mempermainkannya, mungkin Max harus mulai membuka hatinya untuk orang lain.

Pikiran itu cukup menggiurkan bagi Max. Ia akan punya kehidupan yang utuh tanpa perlu merasa sakit hati untuk ke sekian kali. Namun kata-kata Vivian terngiang dalam benaknya.

Karena ketika dia kembali ke rumah, wajahnya seputih mayat, seolah jiwanya baru saja melayang dari tubuhnya.

Kemudian kata-kata Jesse lah yang menggema.

Kau tidak perlu mengejarku. Aku sudah di sini.

Bukan berarti aku tidak mencintaimu kalau aku tidak mengatakannya!

Aku mencintaimu, Maxime.

Dan kebimbangan menderu Max kian dalam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top