(26)
"Ini hebat!" kata Davis dengan begitu semangat setelah mengangkat pandangan dari laptopnya yang berseberangan dengan Jesse. Ia memutar laptopnya dan menunjukkannya pada Jesse. "Aku tak percaya rekayasa itu berhasil. Kita baru saja menciptakan kacang hijau superior yang punya nilai gizi empat kali lebih baik."
Jesse tak mengerti mengapa ia mau melakukan ini, di hari Minggu. Davis mendesak Jesse untuk pergi ke kantor untuk melihat kejutan. Ternyata ini kejutannya. Hasil laboratorium lengkap Sabtu kemarin baru saja keluar dan Davis tidak sabar menunjukkannya pada Jesse. Demi Tuhan, kenapa Davis merusak hari Minggu Jesse? Kenapa pula hasil lab itu tidak bisa menunggu sampai Senin? Kepala Jesse semakin berdenyut-denyut dan ia betul-betul mendambakan ranjangnya yang nyaman. Jesse masih bisa menerima jadwal di hari Sabtu―yang ia sesali―karena dulu ia sendiri yang mengaturnya begitu. Tapi hari Minggu sudah Jesse nantikan supaya bisa bergelung di ranjang sepanjang hari, bukan untuk mengecek kecambah. Lagi.
"Jangan senang dulu. Ini baru fenotip pertama. Kita tidak tahu apa yang mungkin dengan fenotip ke sepuluh. Bisa jadi sifatnya berubah." Jesse tidak pernah pesimis, ia selalu seoptimis Davis. Tapi kepalanya sakit, perutnya berputar, ia merindukan ranjang, tetapi seseorang menyuruhnya ke kantor di hari Minggu―kantor yang seharusnya tutup. Wajar saja jika kombinasi itu membuat Jesse pesimis.
"Kau benar. Kita harus menyempurnakan sintesis proteinnya." Senyuman itu tidak hilang dari wajah Davis. Jesse bertanya-tanya mengapa ia tidak senang dengan keberhasilan proyeknya sendiri. "Kita harus membuat laporan sekaligus mengajukan proposal baru untuk tinjauan ulang. Memperkuat gen ini atau sesuatu. Jika kita bisa berhasil melakukannya, ini akan menjadi terobosan. Mungkin saja semua biji bisa mendapat perlakuan yang sama. Aku membayangkan sesuatu yang besar, yang bisa kita ciptakan."
Lucu mengingat Jesse dulu juga sering berpikir begitu tapi yang ia butuhkan sekarang adalah pulang. "Tentu saja. Semuanya bisa jadi mungkin. Meski ada biayanya."
"Ya!" sahut Davis. "Untuk itulah proposalnya perlu. Kau harus mendukungku, Jesslyn. Kau akan merekomendasikan diri, kau akan menjadi timku. Kita pasti bisa mendapatkan dana untuk ini. Jika kita bisa memecahkan genetika serumit ini, aku yakin kita akan bergabung ke proyek yang lebih besar."
Dan semakin besar proyek itu, semakin besar pula kemungkinan Jesse berpisah dengan Davis, mengingat mereka akan punya tim masing-masing. Selama ini proyek-proyek kecil yang Jesse dan Davis tangani memang tidak membutuhkan banyak tenaga lain, sehingga Jesse bisa mengeklaim diri mereka sebagai satu tim solid. Dan tentu saja, jika proyek semacam ini saja membuat Jesse kehilangan hari Minggunya, ia tidak bisa membayangkan proyek yang lebih besar.
"Aku tak tahu mengapa ini terburu-buru," kata Jesse. "Kita bisa perlahan-lahan, menyempurnakan proyek ini, sehingga tidak ada lagi keraguan. Kita bisa mencoba apa saja yang mungkin tanpa harus mengajukan proposal yang baru. Kita bisa menunggu beberapa bulan untuk fenotip lanjutan. Siapa yang tahu yang kali sudah lebih unggul."
"Menurutmu begitu?"
"Ya!" sahut Jesse seketika. "Sekarang, bisakah aku pulang?"
Davis mengerjap di balik kacamatanya. Ia menatap Jesse sesaat, lalu melepaskan kacamata, dan menutup laptop. "Uh... Jesslyn, jangan tersinggung. Kau terlihat... pucat. Dan... selama bertahun-tahun aku bekerja denganmu, kau tidak pernah mengajukan pertanyaan itu."
"Pertanyaan yang mana?"
"Itu―bisakah aku pulang?"
"Itu 'kan jenis pertanyaan biasa." Tetapi Jesse juga terkejut ketika mengingat-ingat dan menemukan bahwa Davis benar.
"Kau terlihat pucat. Kau terlihat sakit."
Jesse mendengus. Ia yakin ia tidak sakit. Jesse tidak pernah sakit. Ia menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan baik. Nafsu makannya baik-baik saja. Tidak ada bersin, tidak ada demam, tidak ada kesulitan tidur―malahan ia selalu mendapatkan tidur nyenyak berkualitas. "Aku memang punya kulit pucat dari dulu. Kau bukannya tak tahu." Mengingat mereka pernah telanjang bersama, tapi Jesse tak ingin mengungkapkannya secara terang-terangan.
Davis tidak menanggapi lelucon Jesse. "Apa kau sakit? Merasakan gejala apapun? Seharusnya kau bilang padaku. Kau mungkin butuh antibiotik atau semacamnya. Ayo aku akan mengantarmu ke dokter sebelum virus menyebar ke mana-mana."
Saat ini hanya kepalanya yang pening, tapi Jesse yakin ini hanya karena emosinya yang tidak ingin meninggalkan ranjang demi sebuah kecambah. Bukan berarti ia butuh antibiotik dan sedang menyebarkan virus. "Aku baik-baik saja, Dave―"
"Namaku Davis."
"Davis. Aku bisa menjaga diri. Dan kalau aku benar-benar sakit, aku sudah memeriksakan diri. Ada Vivian yang menjagaku. Dia bisa mengantarku." Tidak perlu kau yang melakukan itu, begitulah maksudku.
Davis sepertinya masih ragu. "Kau yakin?"
"Tidak pernah seyakin ini. Aku hanya ingin menikmati hari Mingguku untuk bersantai, jadi pertanyaan itu―apakah aku bisa pulang?―bukan jenis pertanyaan aneh."
"Baiklah," ujar Davis kemudian. "Tentu saja kau bisa pulang. Kau seharusnya libur."
Kita seharusnya libur, pikir Jesse. Tapi ia tak ingin menyinggung Davis. Beberapa minggu yang lalu, kehidupan Jesse juga sama seperti Davis. Jesse bisa mengerti. "Terima kasih," kata Jesse seraya membereskan tasnya. "Aku senang hasil ujinya memuaskan. Ketika hari Senin datang, bukan hanya aku yang berkata begini."
Davis tersenyum. "Ya. Kupikir juga begitu. Ini juga berkat kau, Jesslyn."
"Aku akan pulang. Jangan terlalu keras bekerja. Kau butuh jeda."
Sepertinya kata-kata itu akan berlalu bagi Davis karena setelahnya, ia hanya melambaikan tangan pada rekan kerjanya itu, kemudian kembali menekuri laptop dan bersiap dengan mikroskop. Jesse mungkin harus menghubungi Davis nanti saat jam makan siang atau saat sore hari. Memastikan Davis butuh nutrisi yang cukup sebelum mati di laboratoriumnya sendiri. Biasanya mereka bekerja sama dan saling mengingatkan untuk beristirahat, tapi Jesse tak tahu apa jadinya jika Davis bekerja sendirian.
Jesse tidak pernah membiarkan rekan satu timnya bekerja sendirian. Jesse selalu berusaha total dalam pekerjaan apapun, tak peduli sesulit apapun. Tapi hari ini Jesse benar-benar butuh bersantai. Akhir-akhir ini Jesse tidak bisa menahan kuap saat tengah hari hingga akhirnya ia memutuskan pulang saat jam makan siang hanya supaya mendapatkan tidur siang singkat yang memuaskannya. Menahan kesadaran seperti sekarang ini hanya membuat kepalanya berdenyut-denyut. Jesse merasakan asam yang mulai naik ke kerongkongannya hingga membuatnya mual.
Jangan sampai Jesse muntah. Itu berarti Davis benar bahwa Jesse sedang sakit dan butuh bantuan. Tidak. Jesse tidak sakit. Dia sangat baik-baik saja. Tidak ada gejala apapun. Tidak juga karena patah hati atau apapun. Dia berusaha tegar meski setelah Max mengabaikannya selama dua bulan terakhir.
Sekarang yang Jesse butuhkan hanya pulang dan tidur, lalu ia akan bangun dengan perasaan lebih baik dan tidak lagi memikirkan Max. Syukurlah denyut di kepalanya berkurang saat Jesse sudah menyetir menjauhi kantornya. Tetapi Jesse tak mengira denyut lain menggantikannya ketika ia melewati papan iklan raksasa yang menayangkan video pertandingan futbol yang akan dimulai sebentar lagi. Itu hatinya yang berdenyut ketika ia terpaksa berhenti di lampu merah dan menatap wajah Max yang terekam tanpa helm setelah kemenangan besar mereka musim lalu. Meski bukan hanya wajah Max yang ada di video itu, tapi semua itu cukup untuk membuat Jesse terpaku hingga seseorang perlu mengklaksonnya saat lampu sudah hijau.
Ya, baiklah. Jesse tidak baik-baik saja sejak Max mengabaikannya. Jesse masih sering memikirkan Max dan bertanya-tanya mengapa pria itu mengabaikannya. Apakah Max hanya membuat Jesse merasa buruk setelah apa yang Jesse lakukan? Jesse tahu ia pantas mendapatkan itu, mengingat selama ini dirinya berkeras menghindari Max. Sekarang setelah Max sepenuhnya menjauh dari Jesse, konyol sekali jika Jesse merasa sakit hati. Jesse tahu Max dulu sakit hati padanya, jadi seharusnya Jesse tak mengeluh.
Sesampainya di rumah, ia mendapati mobil Vivian yang terparkir. Kehilangan Cara selama setahun ini saja sudah cukup membuat Jesse kesepian. Baru-baru ini Vivian mencari 'kegiatan lain' yang bisa ia lakukan di luar rumah selagi menunggu Cara kembali menulis, tapi hanya Tuhan yang tahu apa yang Vivian lakukan di luar sana mengingat editor seperti dirinya bisa melakukan seluruh pekerjaannya di rumah.
"Ah! Kau kembali tepat waktu," ujar Vivian saat Jesse turun dari mobil. Wanita itu menyeret koper dan memasukkannya ke mobil. "Cara baru saja meneleponku bahwa dia merasa mulas."
Jesse mengerjap. "Apa dia baik-baik saja?" Ia tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Cara.
"Tentu saja!" ujar Vivian dengan senyuman lebar. "Mulas ini pertanda baik. Cara akan segera melahirkan, jadi aku akan menyusulnya ke Westerly. Bibi Vivian harus ada di kelahiran Starr kecil yang sudah dinanti. Jadi, ayo, cepat, ambil apapun yang ingin kau bawa, kita akan ke Westerly."
Jesse merasa kakinya terpaku sementara pikirannya menimbang. Ia merasa senang untuk Cara, tapi setelah guncangan kecil karena melihat cuplikan Max bertanding, Jesse perlu jeda untuk menjernihkan pikirannya. "Begini, aku harus melakukan beberapa hal."
"Hal apa?"
Jesse mencari-cari alasan yang cocok supaya ia bisa mengatasi guncangan kecil terlebih dulu, sebelum menghadapi guncangan yang lebih besar. Jika Bibi Vivian berkeras berada di sana, Paman Max pasti punya pikiran yang sama. "Aku sangat ingin berada di sana tapi―"
"Max tidak akan ada di sana," potong Vivian.
"Bukan itu masalahnya." Meskipun, ya, itu masalahnya. "Lagipula dari mana kau tahu dia tidak akan di sana?"
"Karena hari ini hari Minggu dan malam ini adalah malam Super Bowl. Max bertanding hari ini."
"Kau tidak tahu itu."
Vivian memutar mata. "Tentu saja aku tahu. Dia akan melawan New York malam ini. Seluruh surat kabar menayangkan jadwal itu. Kubilang pada klienku―oh, Max Beverly itu kakak sahabatku―tapi tak ada yang percaya. Kemudian semua orang bertaruh untuk New York atau Massachusetts. Jadi, ya, aku tahu Max bertanding malam ini. Max tidak akan ada di Westerly jika itu yang kau khawatirkan."
Jesse salut dengan kemampuan temannya itu, tapi tetap saja Jesse mengkhawatirkan banyak hal. Jika Max tidak akan ada di Westerly malam ini, Max pasti akan langsung pulang setelahnya. "Aku... punya proyek, sebenarnya." Itu bukan kebohongan meski kini Davis lah yang terobsesi dengan proyek itu. "Itu sebabnya aku sangat sibuk hari ini... dan juga besok. Aku tak yakin hanya akan mampir. Lagipula, kita tidak tahu kapan bayinya akan benar-benar lahir. Aku berharap prosesnya cepat untuk Cara. Tapi aku akan segera pulang begitu urusannya selesai."
"Yah, kau benar. Sayang sekali," ujar Vivian. "Kalau begitu kau akan baik-baik saja kutinggal?"
"Tentu saja. Kenapa tidak? Titip balon pink untuk bayinya. Aku akan mengantar hadiahku sendiri begitu semuanya memungkinkan untuk meninggalkan kota."
Vivian mengangguk, lalu memasukkan kopernya ke mobil. "Aku harus berangkat sekarang sebelum aku kehilangan momentum penting."
"Ya. Salam untuk Cara. Aku berharap yang terbaik untuk Cara dan bayinya."
Jesse bertahan di luar memperhatikan Vivian bersiap pergi dan melambaikan tangan padanya. Begitu mobil Vivian berbelok di ujung blok, Jesse pun masuk ke dalam. Jesse tidak ingin menjadi sahabat yang buruk karena berbohong pada Cara untuk menghindari sesuatu, tapi Jesse butuh menata hatinya kembali. Seketika saja tidur siang tidak lagi terdengar menarik meski Jesse mengakui tubuhnya kelelahan.
Jesse meraih laptopnya untuk mencari hadiah yang mungkin cocok untuk kelahiran bayi perempuan keluarga Storm. Jesse tidak mau berkeliling toko tanpa tujuan. Tidak ketika akhir-akhir ini kepalanya sering berdenyut mendadak seolah kantuk bisa menyerangnya kapan saja dan di mana saja. Jesse bisa memilihnya di internet, melakukan pemesanan, dan menjemputnya di toko.
Tetapi sebuah iklan muncul di situs belanjanya, membuat Jesse tertarik karena tentu saja, wajah Max ada di sana. Jesse membuka tautan itu dan mendapati bahwa Vivian benar. Max akan bertanding malam ini melawan tim futbol New York. Jesse tidak pernah tertarik membaca berita olahraga, tapi ia berhasil membaca blog olahraga itu sampai selesai. Nama Max sering disebut karena banyak yang berharap pria itu bisa membawa kemenangan untuk New England. Jesse mengeklik tautan lainnya tanpa berpikir, ia melihat harga kursi untuk pertandingan malam ini di Boston. Kursi termurah seharga seratus dolar sudah habis dipesan, begitupun dengan kursi seharga dua ratusan dolar, kursi seharga tiga ratus dolar yang hampir habis tidak bisa lagi dipesan ketika Jesse mengekliknya. Akhirnya Jesse menyerah memperebutkan kursi yang hampir habis. Jesse memutuskan melihat harga kursi yang lain. Ketika mendapati posisi yang sempurna untuk menonton, Jesse tidak berpikir dua kali untuk mengekliknya sebelum ia kehabisan. Ia memasukkan email dan nomor kartu kreditnya dengan cepat, lalu membelinya sebelum ia bisa berubah pikiran.
"Ya Tuhan! Apa yang kulakukan?" desah Jesse putus asa ketika mendapati pemesanannya berhasil. Jesse berada di Manhattan, beralasan pada Davis bahwa ia butuh pulang, beralasan pada Vivian bahwa ia punya pekerjaan, tapi ia membeli tiket pertandingan futbol seharga lima ratus dolar yang akan diadakan di Boston.
Jesse jelas-jelas tidak berpikiran rasional saat ini. Ia segera menutup laptop; mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana jins; menyiapkan tas, dompet, ponsel, dan kunci mobilnya. Kemudian mengunci pintu dan keluar. Ia punya empat jam perjalanan yang harus ia tempuh dan ia harus tiba di Boston sebelum pertandingan malam ini dimulai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top