(25)

Jesse terbangun pukul empat keesokan paginya. Meski ia meyakini tubuhnya luar biasa lelah setelah pesta Cara semalam dan mendorong tubuhnya untuk kembali tidur, Jesse tidak bisa menghentikan otaknya yang terus memikirkan Max. Jesse menyingkap tirai jendelanya dan melirik ke kamar Max yang diterangi cahaya temaram. Setelah hubungannya dengan Davis berakhir, berarti ini saatnya Jesse membangun hubungannya kembali dengan Max.

Tapi darimana ia harus memulai?

Jesse tidak pernah berpikir akan menjalin hubungan sungguhan. Sesuatu yang serius hingga melibatkan sebuah kehidupan bersama di masa depan. Ketika ia menjalani hubungan dengan Max bertahun-tahun silam, ia tidak berpikir sejauh itu mengingat mereka masih remaja. Tidak ada bayangan rumah di atas tebing pantai, tidak ada kebun yang suatu saat akan Jesse rawat, tidak pula penantian untuk menyentuh seseorang yang begitu nikmat seperti Max. Kenyataannya, malam ini Jesse memikirkan semua itu. Ia menginginkan semua itu.

Urusannya dengan Davis selesai. Tidak perlu suatu drama apapun mengingat ikatan di antara mereka adalah hubungan ranjang yang saling menguntungkan. Jesse dan Davis sama-sama terbuka soal hubungan ini sebelum saling mengajukan tawaran. Di antara keduanya pun tidak pernah ada perasaan lebih. Untungnya Jesse dan Davis juga tidak bersikap layaknya kekasih. Hanya Vivian yang pernah tak sengaja menemukannya berbelanja bibit bersama Davis, tapi sepertinya, Vivian tak pernah membahasnya lagi. Sangat mengejutkan Davis sempat memikirkan sebuah masa depan bersama Jesse. Yang harus diakui, Jesse memang pernah memikirkan sebuah hubungan bersama Davis, mengingat mereka sama-sama tidak berkencan dengan siapapun. Untung juga, Jesse tidak mengutarakan itu segamblang Davis. Jesse memang tahu bahwa perasaannya pada Davis tidak bisa dibandingkan dengan yang ia rasakan pada Max.

Memangnya untuk alasan apa Jesse tidak mudah menjalin hubungan setelah bersama Max?

Selain karena Jesse tak pernah cukup percaya diri, Jesse sering kali membandingkan pria-pria di luar sana dengan Max. Itu memang tidak adil mengingat secara fisik Max begitu sempurna.

Jesse akhirnya menyerah untuk kembali tidur setelah satu jam terjaga. Ia beranjak dari ranjang, mencuci wajah dan menyikat gigi. Namun entah mengapa ia sangat ingin mandi meski Jesse selalu mandi sebelum tidur, yang artinya baru beberapa jam lalu ia mandi. Jadi Jesse mandi, kemudian bersiap dengan baju rumahannya, tergoda untuk mencari-cari menu sarapan di internet. Jika kali ini Jesse harus memulai sebuah hubungan, mungkin ia bisa memikirkan inisiatif sederhana untuk mengejutkan pria itu.

Jesse keluar dari kamar dengan langkah perlahan, tak mau membangunkan ayah ibunya yang pasti kelelahan setelah pesta Cara. Sepertinya seluruh kota bisa saja menggunakan hari Minggu ini sebagai libur massal mengingat betapa habis-habisannya yang semalam itu. Jesse memeriksa bahan apa yang tersedia di dapur ibunya untuk membuat sarapan. Ternyata ibunya punya kismis di lemarinya. Jesse segera mencari resep sarapan terbaik yang menggunakan kismis. Kemudian memutuskan untuk membukan roti kismis yang kelihatannya mudah dibuat dan bisa matang saat jam sarapan tiba.

Jesse berkutat di dapur setenang mungkin dengan ponsel yang memandunya. Ia memang agak bisa memasak mengingat ia hidup jauh dari orang tuanya sejak SMA. Jesse bisa menerima masakannya sendiri tanpa menyemburkannya atau muntah atau masuk UGD. Ia juga sering membagi masakannya dengan Cara dan Vivian, tapi tak pernah ada yang memuji Jesse karena kemampuan memasaknya.

Tetapi Jesse ingin sesuatu yang spesial untuk Max.

"Apa yang kau lakukan?"

Jesse mendongak dari kegiatannya, ia tengah menabur kismis di atas adonan yang telah siap di loyang. Jesse tidak yakin apakah harus menebar sembarangan atau harus mengaturnya sedemikian rupa supaya tidak penuh di satu titik. "Membuat roti."

James menuju ke mesin pembuat kopi seraya menatap curiga pada Jesse. "Bukan kebiasaanmu membuat sarapan saat pulang ke rumah. Kau selalu berpikir kau pantas dilayani setelah melayani diri sendiri sejak sekolah begitu jauh."

"Siapa pula yang berpikir begitu? Dad selalu menyuruhku mengurus selada atau tomat saat sedang di rumah. Omong-omong, biasanya Mom yang menjauhkanku dari dapur. Bukan salahku kalau aku tidak pernah terlihat memasak."

"Kau mau kopi?"

"Ya. Trims, Dad. Maaf tidak membuatkanmu, kupikir kau akan bangun siang karena kelelahan setelah pesta."

"Aku memang kelelahan. Ya Ampun, itu pesta terbesar yang pernah kuhadiri. Banyak sekali wartawan. Rasanya aku hanya pernah melihat wartawan berkeliaran sebanyak itu saat ada gempa bumi."

"Cara dan Rick memang fenomenal."

James mengangguk. "Kasihan sekali Gerald harus mengalami yang seperti itu sekali lagi. Mungkin saat Maxime menikah nanti. Anak itu membawa timnya menang saja, seluruh kota membicarakannya."

Pipi Jesse panas dan itu tidak ada hubungannya dengan oven yang sedang ia buka untuk memasukkan loyang. Membayangkan Max menikah, membuat pikiran Jesse berkeliaran.

"Jesslyn!" seru seseorang yang mengetuk pintu dapurnya keras-keras. Dari suara lengkingannnya, Jesse tahu betul siapa itu. James membukakan pintu dan, seperti yang diduga Jesse, Vivian masuk dengan celana jins dan blus kasual meski ini belum pukul tujuh pagi. Vivian memang punya penampilan memukau meski kacamata bertengger di hidungnya. "Ahoy, Mr. James! Aku mau ketemu anakmu," katanya seolah Jesse tidak ada di ruangan yang sama.

"Kenapa semua orang sudah begitu siap dan segar pagi ini?" tukas James. "Aku merasa sangat tua karena masih pakai piyama dan berbau balsem setelah pesta semalam."

"Kau tampan, Mr. McGraw!" sahut Vivian. "Kalau umurmu tiga puluh atau empat puluh, aku pasti mau menikah denganmu."

"Jangan merayu ayahku, demi Tuhan," dengus Jesse setelah menyesap kopinya. "Mau kopi?"

"Tentu. Aku belum mendapatkan kafeinku dan memang agak berharap bisa mengganti kopi Beverly House dengan kopi McGraw."

"Nikmati sarapanmu, Viv. Aku mau mandi dan membangunkan Janice. Dia yang masih lima puluhan, tapi dia mengeluh ototnya kram setelah dansa. Memangnya kami sudah setua itu?" Kemudian ia berlalu dari dapur sambil membawa cangkir kopinya.

Jesse mengambil cangkir dan menekan tombol tuang pada mesin kopi untuk Vivian. "Biasanya kalau kau ingin sarapan di sini, kau akan menginap di sini."

Vivian memutar mata dan menjatuhkan tubuhnya di kursi makan. "Ya. Tapi keadaannya lain jika aku tidak menemukanmu di manapun padahal kau berutang sesuatu padaku."

Jesse menyodorkan kopi Vivian dan duduk di seberangnya. Ia melirik jam, menantikan roti buatannya meski pengatur waktu telah ia pasang. "Utang apa?"

"Kau menggoda Max! Kalian saling menggoda! Aku tahu ada sesuatu! Dan ke mana kalian semalam?" tuntut Vivian.

"Ya, memang ada sesuatu." Jesse tidak mau mendustai siapapun lagi. Tidak termasuk dirinya sendiri.

"Kau bahkan tidak menjawab pertanyaanku."

"Ke mana kami semalam? Tentu saja kami di pesta. Kemudian Max mengantarku pulang." Well, itu bukan kebohongan. Max memang mengantarnya meski ia mampir dulu ke tempat Max.

Vivian menyipit. "Aku tidak menemukan kalian di manapun."

"Yah, tempat itu 'kan lautan manusia. Kau pasti melewatkan kami."

Vivian menyesap kopinya dan terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya bicara lagi. "Jadi... kau memang kembali pada Max? Tidak peduli dia playboy atau sesuatu? Aku tidak mau kau sakit hati."

Vivian memang seprotektif itu pada teman-temannya. Ia juga menentang keras hubungan Rick dan Cara saat mereka kembali menjalin hubungan setelah terpisah beberapa tahun lamanya. Vivian mengancam Rick macam-macam, tapi akhirnya ia juga yang menjadi perencana pesta pasangan itu. Pesta semalam tak akan sempurna tanpa kerja keras Vivian. Jesse tahu Vivian hanya menyayanginya.

"Aku bisa menjaga diri, kau tahu." Jesse menyesap kopinya dan mengernyit ketika Vivian menatap khawatir padanya. "Max orang baik." Jesse ingin menjelaskan bahwa ia percaya Max bukan pemain wanita seperti yang Vivian pikirkan.

Vivian mengangguk. "Yah, Cara juga meyakinkanku soal itu." Kemudian ia mengecilkan suaranya. "Bagaimana dengan Davis?"

Jesse menatap aneh pada Vivian. "Aku tak pernah punya hubungan dengan Davis."

"Serius?"

"Yah, kami memang punya hubungan." Jesse tidak tahu bagaimana mengungkapkan hubungan sebatas ranjang itu tanpa menimbulkan pemikiran yang bukan-bukan. "Tapi... bukan yang semacam itu."

"Itu sebabnya kau tidak mengajaknya ke sini? Menurutku, waktu semacam ini tepat untuk mengenalkan satu sama lain. Mengenalkannya padaku secara resmi―bukan tidak sengaja bertemu di toko bibit tanaman yang penuh pupuk kandang. Juga Cara sepertinya ingin tahu dengan siapa kau menjalin hubungan selama ini setelah dengan Max."

"Aku mengundangnya," ujar Jesse. "Tapi... dia tidak mengiyakan." Nah, Jesse tidak bohong, bukan? Davis memang tidak langsung menyanggupi undangan itu. Alih-alih datang tiba-tiba, hingga Jesse harus meninggalkan Max. Jesse juga harus minta maaf soal itu. Jesse tidak punya banyak pilihan semalam dan tidak ingin menambah banyak drama hubungan dengan Max. Ia hanya harus menyelesaikan segalanya hubungan rumitnya dengan Davis.

Vivian mendengus. "Ternyata kalian memang tidak seserius itu? Seharusnya dia tidak menolakmu."

"Tenang. Aku baik-baik saja."

"Yah, kau 'kan dapat Max."

Jesse bersyukur pengatur waktunya berbunyi hingga ia bisa menyembunyikan rona di wajahnya. Aroma kayu manis, mentega hangat, dan kismis yang terlihat menggoda membuat Jesse kelaparan.

"Wow. Itu sepertinya enak," kata Vivian. "Aku mau satu."

"Ini masih panas. Aku harus membaginya dulu untuk keluarga Beverly."

"Huh, jadi ini semua karena Max?"

"Salah satunya, ya. Tapi aku juga akan menyisakan untuk Gerald dan Calvin. Bisa kau bayangkan seperti apa para pria itu mengurus diri sendiri tanpa ada wanita dalam hidup mereka? Aku selalu membayangkan Cara akan mengambil alih tugas itu setelah dewasa. Tapi nyatanya ketika kembali ke Westerly, dia bersama Rick dan langsung pindah ke perumahan elit dekat dermaga."

"Rick punya kapal. Tentu saja dia harus punya dermaganya sendiri. Tapi sepertinya para pria Beverly itu bisa mengurus diri masing-masing. Mereka terlihat hebat. Bahkan Gerald Beverly masih terlihat seksi di umur lima puluhan. Ya Ampun, aku merasa punya fantasi aneh soal pria paruh baya yang seksi."

Jesse meringis meski setuju soal Gerald Beverly yang masih tegap, berotot, dan memukau. Jesse dengar, ayah Max jadi incaran para janda di kota. "Jangan bicarakan itu padaku." Kemudian ia fokus memotong dan menyajikan roti-rotinya di piring. Ia juga menyiapkan piring-piring kecil untuk James, Janice, dan Vivian. Jesse juga menyicipi sepotong roti buatannya dan terkejut ketika rasanya begitu lezat. Ia bahkan bermaksud membawa seluruhnya ke kamar. Ia tak menyangka roti buatannya seenak ini.

"Bilang pada ayah dan ibuku, aku mengantar roti untuk keluarga Beverly."

"Ini enak," kata Vivian seraya mengunyah. "Tapi ini racun untukku yang ingin menjaga berat badan. Ya, nanti aku akan bilang pada James dan Janice. Salam untuk Gerald. Titip kecup untuknya―yah, kalau kau mau mengecupnya."

Jesse tidak lagi menghiraukan ocehan Vivian dan menuju ke tetangga sebelah rumahnya melalui pintu belakang. Lampu luar sudah dimatikan, yang artinya seseorang sudah bangun. Jesse mengetuk pintu belakang―bukan kamar Max―karena ia memang ingin memberikan sarapan untuk Gerald dan Calvin.

Pintu terbuka dan menampakkan Calvin yang terlihat acak-acakan―sangat acak-acakan, mengingat ia punya rambut panjang yang bahkan harus ia ikat saat di pesta Cara supaya terlihat lebih rapi. Berbeda dengan Kevin yang selalu rapi dan berpenampilan layaknya manajer hotel terbaik, Calvin mengingatkan Jesse pada tokoh Tarzan yang ada di kartun. Atau mungkin, pria itu memang baru keluar dari hutan untuk memotret singa.

"Jesse? Ada apa?" tanya Calvin.

"Aku ingin mengantar sarapan untuk kalian." Jesse menunjukkan piring yang dibawanya. Seharusnya aroma itu cukup membuat pria manapun kelaparan. "Ini roti buatan rumah. Masakan pertamaku. Aku ingin membaginya."

"Apa kau sudah mengujinya di lab?" Jesse memutar mata ketika Calvin terkekeh. "Masuklah. Kalau kau bisa pastikan kami tidak keracunan setelah ini. Masakan pertama biasanya punya cerita."

Sepertinya Calvin baru saja menyembunyikan maksud bahwa masakan pertama biasanya buruk. Jesse kadang lupa betapa brengseknya adik Cara yang kembar. "Kalau kau sampai minta tambah, aku ingin menjual tiap potongnya. Kau akan membayar masakanku, kau tahu. Lagipula ini bukan masakan pertama yang benar-benar pertama. Aku pernah memasak sebelumnya. Kau akan baik-baik saja."

Gerald masuk ke dapur dengan mengenakan celana jins pendek yang lusuh dan bertelanjang dada. Yah, Gerald memang berumur lima puluh lima, tapi badannya bagus meski ada beberapa keriput di wajahnya dan rambutnya beruban. Gerald terlihat segar sehabis mandi, handuk masih tersampir di lehernya. Untung saja Vivian tidak ikut atau ia akan histeris. "Hei, Jesse. Kenapa ke sini, Sayang?"

"Aku mengantarkan sarapan untuk kau, Calvin, dan Max. Kalian pasti lelah setelah pesta jadi aku ingin membagi masakanku sehingga kalian tidak perlu memasak."

"Oh, terima kasih. Ini berkat untuk kami para pria. Kau yang masak sendiri?"

Jesse mengangguk.

Calvin mengerang ketika mengunyah satu kuenya. "Ini enak. Berapa kali percobaan yang kau lakukan sebelum mendapatkan yang terbaik?"

Jesse terkekeh. "Nah, hati-hati. Kau mungkin perlu membayarku kalau bagianmu sudah habis."

"Bukan masalah," kata Calvin sambil mengambil potongan lainnya. "Bagian Max boleh kumakan 'kan, Dad? Max 'kan sudah pergi."

Jantung Jesse berhenti seketika. "Pergi? Ke mana?"

Gerald mendesah saat membelakangi Jesse dan Calvin untuk mengambil cangkir. "Max harus kembali ke Boston. Pelatihnya mendesak supaya dia segera kembali karena sebentar lagi musim pertandingan. Dia punya jadwal latihan siang ini jadi dia pergi pukul empat tadi. Aku tak mengerti mengapa ia tidak menunggu sehari setelah pesta. Calvin masih di sini dan ini tidak terjadi setiap hari."

"Aku hanya pulang," tukas Calvin. "Aku tidak perlu perlakuan istimewa. Kalau Max punya urusan, biarkan dia menyelesaikannya."

"Jesse, Sayang, kau mau teh?" tanya Gerald.

Jesse perlu mengerjap untuk mengembalikan kesadarannya dan menolak Gerald dengan halus. Memaksa kakinya kembali ke rumah dan menjawab orang-orang di rumah seperlunya. Sementara pikirannya melayang memikirkan kenapa Max tidak memberitahu Jesse lebih dulu soal kepulangannya ke Boston. Jesse menunggu sampai tengah hari, siapa tahu Max lupa mengabari atau sesuatu. Menantikan pesan atau panggilan Max yang meminta maaf karena pergi tanpa sepengetahuan Jesse.

Keesokan paginya tetap tidak ada pesan dari Max hingga Jesse frustasi dan menendang egonya untuk mengirim pesan lebih dulu pada Max. Jesse perlu memikirkan kalimat yang akan dikirimnya selama berjam-jam. Frustasi, Jesse pun cepat-cepat menekan tombol kirim sebelum ia berubah pikiran.

Jesse: Kau sudah pergi? Kenapa? Aku merindukanmu.

Tapi Max tidak pernah membalas meski sudah berminggu-minggu setelahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top